Pincalang Representasi Masyarakat Pincalang Menghadapi Era Modernisasi Dalam Novel Pincalang Karya Idris Pasaribu

142 Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015 3 penggambaran karakteristik general dari alam manusia yang dilihat secara subyektif oleh senimannya, 4 penghadiran bentuk-bentuk ideal yang berada di balik kenyataan alam semesta yang dikemukakan lewat pandangan mistis-filosofis seniman. Keempat klasifikasi tersebut menunjukkan bahwa selain bersifat objektif, representasi juga bersifat subyektif. Klasifikasi 1 dan 2 menunjukkan bahwa representasi memiliki sifat yang objektif karena realitas digambarkan berdasarkan apa yang dilihat, dirasakan, dialami langsung oleh seniman sastrawan. Sebaliknya, klasifikasi 3 dan 4 menunjukkan bahwa representasi bersifat subjektif karena realitas digambarkan secara subjektif melalui struktur mental, dan struktur nalar senimannya. Istilah representasi itu sendiri merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Representasi ini penting dalam dua hal, pertama apakah seseorang, kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya, apa adanya atau ada penambahan citra buruk atau baik. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan foto seperti apa seseorang, kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak. Representasi dalam dunia sastra tidak hanya sekadar penggambaran fenomena sosial sebuah masyarakat dalam kurun waktu tertentu, akan tetapi lebih mengarah kepada penggambaran yang bermakna atas masyarakat dan situasi sosial melalui proses kreatif pengarang. Posisi pengarang dalam proses representasi fenomena sosial dalam karyanya sangat dipengaruhi oleh ras, saat, serta lingkungan yang melatarbelakanginya. Konsep inilah yang akan mengupas gambaran sosial budaya, pengaruh modernisasi terhadap sosial budaya, serta upaya masyarakat Pincalang menjaga kearifan lokal dalam menghadapi era modernisasi.

b. Pincalang

Judul novel Pincalang ini jelas, lugas, dan singkat. Sesuai judulnya „Pincalang‟ dalam sastra lama ditulis „pencalang‟ adalah semacam perahu kayu ukuran besar untuk memuat barang-barang dagangan. Sering dipakai untuk memata-matai musuh dengan memakai sifat dagangnya itu. Jadi, „Pincalang‟ sama dengan „Pencalang‟, yaitu perahu layar tradisional yang mempunyai 2 tiang layar utama dan mempunyai 7 buah layar yaitu 3 di ujung depan, 2 di depan, dan 2 di belakang yang digunakan untuk pengangkutan barang antar pulau. „Pencalang‟ berasal dari Melayu, sekitar perairan Selat Malaka. „Pencalang‟ memiliki sebuah tiang layar empat persegi dan lantai perahu terbuat dari bahan papan. Penutup lubang geladak menggunakan keset terbuat dari sabut kelapa, berfungsi melindungi barang pecah belah dari benturan atau gerakan goncangan gelombang ombak lautan. „Pencalang‟ memiliki panjang sekitar 40-60 kaki atau 13-20 meter dengan panjang tiang layar 3 meter dan satu kemudi yang diletakkan di bagian samping sisi kapal. Sumber: Pramono http:coastalpoverty.blogspot.com200802 gambaran-kehidupan- masyarakat pesisir.html. Jad i pengertian „Pincalang‟ atau „Pencalang‟, adalah perahu besar tradisional, memakai tiang layar yang digunakan untuk pengangkutan barang dagangan antar pulau, sekaligus dapat dipergunakan untuk mengintai musuh seperti perompak atau bajak laut yang mengancam harta, jiwa, dan raga. Sementara Pincalang dalam novel ini berfungsi lebih dari itu. Pincalang berfungsi sebagai rumah, alat transportasi dan media bisnis suatu 143 suku sekelompok orang yang hidup matinya di laut, memiliki agama, budaya, dan tradisi. Berlayar dari pulau ke pulau untuk mencari makan, berniaga, bertahan hidup dari musuh dan bersahabat dengan alam. Di samping pengertian dan fungsi Pincalang yang telah disebutkan terdahulu, dalam novel juga terdapat pemakaian kata „Pincalang‟, „manusia Pincalang‟, dan „orang- orang Pincalang‟ yang berarti awak Pincalang dan keluarganya, seperti dalam kutipan berikut: Ada dua Pincalang membawa istri dan dua Pincalang tidak membawa istri. Pincalang: 14. Para manusia Pincalang yang ini tak gampang dikalahkan seperti yang lalu-lalu. Pincalang: 60 Sudah menjadi kebiasaan bagi para istri orang-orang Pincalang untuk membeli emas jika mereka memiliki uang. Pincalang: 69. Dengan demikian, pemakaian kata „Pincalang” bukan hanya berarti perahu, tetapi juga dipakai untuk menyatakan orang dan masyarakatnya. Perahu, dengan berbagai nama lokal: sampan, biduak, pencalang, pincalang, pelang, kolek, adalah lambang yang sering digunakan dalam sastra Melayu Klasik untuk jiwa, pikiran, atau hal lainnya, baik yang bersifat duniawi maupun yang bersifat ukhrawi.

c. Modernisasi