Representasi Masyarakat Pincalang Menghadapi Era Modernisasi Dalam Novel Pincalang Karya Idris Pasaribu

(1)

138

Copyright ©2015, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1693-4660

REPRESENTASI MASYARAKAT PINCALANG MENGHADAPI ERA

MODERNISASI DALAM NOVEL PINCALANG KARYA IDRIS PASARIBU

Rini Efri Leni riniefri.leni@yahoo.com Asmyta Surbakti, Siti Norma Nasution Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana pengarang merepresentasikan masyarakat Pincalang menghadapi era modernisasi dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu. Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan upaya masyarakat Pincalang menjaga kearifan lokal dalam menghadapi era modernisasi. Karya sastra sebagai objek penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data berupa prilaku yang diamati dari tokoh dalam novel. Penganalisisan merupakan penerapan dari teori sosiologi sastra dan teori perubahan sosial terhadap karya sastra.Objek penelitian adalah novel Pincalang karya Idris Pasaribu, bercerita tentang perjalanan hidup orang-orang Pincalang (orang perahu) di pesisir pantai barat Pulau Sumatera. Mereka adalah penjaga habitat laut, termasuk kayu bakau dan terumbu karang, serta diajarkan oleh kearifan lokal untuk menjaga laut agar mendapatkan yang terbaik dari alam. Sumber data berupa data primer dari teks novel, didukung oleh data sekunder berupa sumber-sumber lisan dan tulisan yang diperoleh dari buku, dokumentasi, hasil kajian sastra, serta wawancara dengan pengarang dan beberapa informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengarang merepresentasikan masyarakat Pincalang menghadapi era modernisasi dalam upaya menjaga kearifan lokal di tengah benturan tradisional dan modernisasi. Pelestarian alam yang dilakukan oleh Amat dan keluarganya turun temurun, tidak lagi dapat terjaga, karena banyak nelayan kapitalis hanya mengeksploitasi hasil laut, sehingga masyarakat Pincalang perlahan punah. Penelitian ini diharap dapat merevitalisasi kearifan lokal yang pernah ada.

Kata kunci: representasi, pincalang, modernisasi, hegemoni, kapitalisme

REPRESENTATION OF PINCALANG COMMUNITY IN FACING MODERNIZATION ERA IN THE NOVEL PINCALANG BY IDRIS PASARIBU

Abstract

The matter in this research is how the authors represent the Pincalang people in the age of modernization in Pincalang novel by Idris Pasaribu. This research aims to describe the attempts of Pincalang people to keep their local wisdom trough modernization. Literature as the object of this research using qualitative methods that produce data in the form of the


(2)

139

observed behaviour of the characters in the novel. Analyzing an application of sociological theory and social-changing theory to the literatures. The object of this research is Pincalang novel by Idris Pasaribu, tells the journey of life of Pincalang people (the boat-man) on the west coast of Sumatera Island. They are the keepers of marine habitats, including coral reefs and mangrove wood, and are taught by local wisdom to keep the sea in order to get the best from nature. Sources of data in the form of primary data is taken from novel texts, supported by secondary data sources such as oral and written acquired from books, documentations, results of the study of literature, as well as interviews with the author and several informants. The results showed that the author represents Pincalang people facing the modernization and efforts to keep the local wisdom in the midst of the clash of traditional and modernization. Natural preserving by Amat and his family for generations, no longer can be maintained, because many capitalist fishermen simply exploiting the sea, so that Pincalang people slowly become extinct. This research is expected to revitalize the local wisdom that ever existed.

Keywords: representation, pincalang, modernization, hegemony,capitalism

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Karya sastra merupakan representasi realitas sosial dalam kajian sosiologi sastra. Realitas itu hadir dalam karya sastra dengan objeknya adalah realitas faktual masyarakat melalui kreativitas pengarang yang mempelajari sastra sebagai dokumen sosial dan sebagai potret kenyataan sosial. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual, melainkan juga dapat mengidentifikasi dan mengenali perilaku kelompok masyarakat serta merekam terjadinya perubahan sosial suatu kelompok masyarakat.

Faruk (2013: 51) menjelaskan bahwa karya sastra dapat menggambarkan objek-objek dan gerak-gerik yang berbeda dari objek-objek-objek-objek dan gerak-gerik yang terdapat dalam dunia pengalaman langsung. Akan tetapi, dari segi cara strukturasinya atas objek dan gerak-gerik itu, karya sastra dapat memperlihatkan persamaan dengan cara strukturasi dalam dunia sosial. Sastra tidak mencerminkan realitas sebagai fotografi, melainkan sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas secara jujur, objektif, tetapi juga dapat mencerminkan kesan realitas subjektif. Oleh karena itu, sebuah karya sastra merupakan cerminan realitas yang lebih lengkap dan kompleks daripada cermin realitas itu sendiri.

Sastra sebagai dokumen sosial menjadi perhatian Ratna (2007: 389) yang menyatakan bahwa sastra warna lokal memerlukan data khusus dalam bentuk fakta-fakta sosial sesuai dengan semesta yang diacu. Ini menunjukkan bahwa data yang akurat mengenai fakta-fakta sosial dibutuhkan oleh seorang pengarang untuk diangkat dalam karyanya. Hal itu terjadi karena setiap fenomena sosial yang ada di masyarakat merupakan indikator dan menjadi objek penciptaan karya sastra. Realitas sosial dalam hal ini merupakan bahan dasar yang kemudian diolah sedemikian rupa dengan kombinasi imajinasi dan intelektualitas pengarang sehingga menjadi sebuah karya. Karya yang dihasilkan tidak hanya bersifat menghibur, tetapi sekaligus juga bermanfaat. Dengan cara ini dapat dibuktikan ungkapan yang menyatakan bahwa sastra adalah cermin masyarakat. Hasil karya sastra berupa novel diciptakan pengarang tidak terlepas dari tiga hal, seperti yang digambarkan Wellek (1989: 23). Pertama, melalui pengarang. Pada sudut


(3)

140

pandang ini novel adalah cerminan dari pengalaman pengarang yang bercampur dengan imajinasinya namun bisa juga tidak. Kedua, merupakan representasi fenomena di masyarakat. Sudut pandang ini memperlihatkan bagaimana novel mampu menjadi alat penyampai informasi atau fenomena di masyarakat. Ketiga, dampak karya sastra terhadap pembaca. Pada sudut pandang ini, suatu karya sastra akan berdampak pada masyarakat dan sejauh mana dampak tersebut mempengaruhi masyarakat atau pembaca.

Representasi dalam karya sastra merupakan penggambaran karya sastra terhadap suatu fenomena sosial melalui pengarang sebagai kreator. Representasi merekonstruksi serta menampilkan berbagai fakta sebuah objek sehingga eksplorasi makna dapat dilakukan dengan maksimal (Ratna, 2007: 61). Sedangkan menurut Sumardjo (2006: 76), representasi mengandung pengertian penghadiran karya seni oleh seniman. Istilah representasi dalam seni muncul sehubungan dengan adanya pandangan atau keyakinan bahwa seni sebetulnya hanyalah merupakan cerminan gambaran, bayangan, atau tiruan (imitasi) kenyataan. Dalam konteks ini representasi seni diartikan sebagai penggambaran yang melambangkan kenyataan.

Sesuai pengertiannya, model representasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini mengacu pada representasi pendapat Sumardjo, bahwa representasi adalah penggambaran atau pencerminan dalam novel yang melambangkan kenyataan. Objek penelitian ini adalah karya sastra Indonesia berupa novel yang sarat dengan aspek-aspek kemanusiaan dan gambaran realitas, yakni novel Pincalang karya Idris Pasaribu, cetakan pertama yang diterbitkan oleh Salsabila Pustaka Alkautsar, April 2012.

Pengarang menulis novel ini dengan mengambil latar daerah Sibolga, di pesisir Pantai Barat Sumatera. Tokoh utama dalam novel ini adalah Amat sebagai orang Pincalang yang hidup mengelilingi lautan dari pulau ke pulau, membuat arang dari kayu bakau, membuat kopra, memasak minyak, menangkap ikan dan membuat ikan asin. Di atas Pincalang Amat dilahirkan, belajar shalat dan belajar mengaji dari ibunya. Ayahnya juga mengajarkannya menaik-turunkan layar, mengemudikan perahu, melihat bintang, merasakan angin, belajar mencium bau karang, dan belajar membaca tanda-tanda alam di lautan. Amat merupakan sosok seorang Pincalang yang diajarkan oleh kearifan lokal dalam menjalani hidupnya di atas perahu. Ia selalu menjaga dan melindungi alam sekitarnya dengan menanami pohon bakau, pohon kelapa, dan menjaga biota laut, terumbu karang lainnya, seperti yang tergambar dari kutipan novel berikut:

“Isi laut tidak akan pernah habis, asal kita mau menjaganya dengan baik,”, Amat memberikan nasihat. “Itu sebabnya orangtua selalu mengajarkan kita untuk menanami bakau dan terumbu karang di habitatnya”.

Melihat karang-karang yang rusak, mereka tanami dengan yang baru. Melihat bakau yang tertebang dan mulai bertunas, mereka jaga dengan baik. Kapal-kapal kayu dan Pincalang yang tidak mereka kenal bahasanya dan berbeda kulit dengan mereka, diusir dari pulau-pulau kecil yang berserakan di dekat mereka. (Pincalang: 123).

Sibarani (2012: 112) menyatakan bahwa, kearifan lokal atau kearifan setempat (local wisdom) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan dan pengetahuan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, dan berbudi luhur yang dimiliki, dipedomani, dan dilaksanakan oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal itu diperoleh dari tradisi budaya atau tradisi lisan, karena kearifan lokal merupakan kandungan tradisi lisan atau tradisi budaya yang secara turun temurun diwarisi atau dimanfaatkan untuk menata kehidupan sosial masyarakat dalam segala bidang kehidupannya atau untuk mengatur tatanan kehidupan komunitas.


(4)

141

Kearifan lokal seperti yang dimiliki orang Picalang nyaris punah tergerus keberadaan teknologi yang semakin canggih. Jika kondisi tersebut dibiarkan saja, kearifan lokal itu sendiri mungkin tidak hanya akan menjadi kabur tetapi juga menghilang, seiring dengan hilangnya masyarakat Pincalang di pesisir pantai Barat Sumatera. Lewat novel Pincalang, pengarang mencoba mengembalikan tradisi lisan yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang hampir punah.

Oleh karena itu pelenyapan atas sumber tradisi lisan yang diawali dengan krisis sosial sangat merugikan, karena tradisi lisan mengandung nilai budaya yang dapat dimanfaatkan untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Sibarani (2012: sampul belakang) menyimpulkan bahwa kearifan lokal menjadi modal sosiokultural yang dapat dimanfaatkan untuk memberdayakan kehidupan masyarakat dalam penciptaan kedamaian dan peningkatan kesejahteraannya.

Penelitian ini dipusatkan pada teks dan konteks novel dengan rumusan masalah berikut ini.

 Bagaimanakah upaya masyarakat Pincalang menjaga kearifan lokal dalam menghadapi era modernisasi yang direperesentasikan pengarang dalam novel Pincalang?

KAJIAN PUSTAKA 1. Kepustakaan Konseptual

Kepustakaan konseptual merupakan penyajian konsep dasar atau pengertian dasar secara singkat mengenai permasalahan yang akan dibahas. Konsep dasar tersebut adalah rangkuman dari pendapat atau teori-teori para ahli yang akan memberikan gambaran mengenai permasalahan yang akan dibahas. Fungsi utama kerangka konseptual adalah untuk menyederhanakan pemikiran terhadap ide-ide maupun gejala-gejala yang dibicarakan. Sesuai dengan kerangka teori yang disajikan, maka penulis membuat konsep dasar tentang penelitian ini sebagai berikut.

a. Representasi

Representasi merupakan istilah yang berkembang dalam sastra, muncul sehubungan dengan adanya pandangan atau keyakinan bahwa karya sastra sebetulnya hanyalah merupakan cermin, gambaran, bayangan, atau tiruan kenyataan. Dalam konteks ini karya sastra dipandang sebagai penggambaran yang melambangkan kenyataan (Teeuw, 1984: 220).

Karya sastra sebagai bagian dari seni mengambil bahan dari masyarakat, bahan yang dimaksud adalah fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial yang ada dengan sendirinya dipersiapkan dan dikondisikan oleh masyarakat, eksistensinya selalu dipertimbangkan dalam antarhubungannya dengan fakta sosial yang lain, yang juga telah dikondisikan secara sosial (Ratna, 2003: 36).

Representasi merekonstruksi serta menampilkan berbagai fakta sebuah objek sehingga eksplorasi makna dapat dilakukan dengan maksimal (Ratna, 2007: 61). Jika dikaitkan dengan bidang sastra, maka representasi dalam karya sastra merupakan penggambaran karya sastra terhadap suatu fenomena sosial. Penggambaran ini tentu saja melalui pengarang sebagai kreator.

Sumardjo (2006: 128), mengungkapkan bahwa representasi adalah:

(1) penggambaran yang melambangkan atau mengacu kepada kenyataan eksternal, (2) pengungkapan ciri-ciri umum yang universal dari alam manusia,


(5)

142

(3) penggambaran karakteristik general dari alam manusia yang dilihat secara subyektif oleh senimannya,

(4) penghadiran bentuk-bentuk ideal yang berada di balik kenyataan alam semesta yang dikemukakan lewat pandangan mistis-filosofis seniman.

Keempat klasifikasi tersebut menunjukkan bahwa selain bersifat objektif, representasi juga bersifat subyektif. Klasifikasi 1 dan 2 menunjukkan bahwa representasi memiliki sifat yang objektif karena realitas digambarkan berdasarkan apa yang dilihat, dirasakan, dialami langsung oleh seniman (sastrawan). Sebaliknya, klasifikasi 3 dan 4 menunjukkan bahwa representasi bersifat subjektif karena realitas digambarkan secara subjektif melalui struktur mental, dan struktur nalar senimannya.

Istilah representasi itu sendiri merujuk pada bagaimana seseorang, satu kelompok, gagasan atau pendapat tertentu ditampilkan dalam pemberitaan. Representasi ini penting dalam dua hal, pertama apakah seseorang, kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan sebagaimana mestinya, apa adanya atau ada penambahan citra buruk atau baik. Kedua, bagaimana representasi tersebut ditampilkan dengan kata, kalimat, aksentuasi, dan bantuan foto seperti apa seseorang, kelompok atau gagasan tersebut ditampilkan dalam pemberitaan kepada khalayak.

Representasi dalam dunia sastra tidak hanya sekadar penggambaran fenomena sosial sebuah masyarakat dalam kurun waktu tertentu, akan tetapi lebih mengarah kepada penggambaran yang bermakna atas masyarakat dan situasi sosial melalui proses kreatif pengarang. Posisi pengarang dalam proses representasi fenomena sosial dalam karyanya sangat dipengaruhi oleh ras, saat, serta lingkungan yang melatarbelakanginya. Konsep inilah yang akan mengupas gambaran sosial budaya, pengaruh modernisasi terhadap sosial budaya, serta upaya masyarakat Pincalang menjaga kearifan lokal dalam menghadapi era modernisasi.

b. Pincalang

Judul novel Pincalang ini jelas, lugas, dan singkat. Sesuai judulnya „Pincalang‟ dalam sastra lama ditulis „pencalang‟ adalah semacam perahu kayu ukuran besar untuk memuat barang-barang dagangan. Sering dipakai untuk memata-matai musuh dengan memakai sifat dagangnya itu. Jadi, „Pincalang‟ sama dengan „Pencalang‟, yaitu perahu layar tradisional yang mempunyai 2 tiang layar utama dan mempunyai 7 buah layar yaitu 3 di ujung depan, 2 di depan, dan 2 di belakang yang digunakan untuk pengangkutan barang antar pulau.

„Pencalang‟ berasal dari Melayu, sekitar perairan Selat Malaka. „Pencalang‟ memiliki sebuah tiang layar empat persegi dan lantai perahu terbuat dari bahan papan. Penutup lubang geladak menggunakan keset terbuat dari sabut kelapa, berfungsi melindungi barang pecah belah dari benturan atau gerakan goncangan gelombang ombak lautan. „Pencalang‟ memiliki panjang sekitar 40-60 kaki atau 13-20 meter dengan panjang tiang layar 3 meter dan satu kemudi yang diletakkan di bagian samping sisi kapal. (Sumber: Pramono http://coastalpoverty.blogspot.com/2008/02 gambaran-kehidupan-masyarakat pesisir.html).

Jadi pengertian „Pincalang‟ atau „Pencalang‟, adalah perahu besar tradisional, memakai tiang layar yang digunakan untuk pengangkutan barang dagangan antar pulau, sekaligus dapat dipergunakan untuk mengintai musuh seperti perompak atau bajak laut yang mengancam harta, jiwa, dan raga. Sementara Pincalang dalam novel ini berfungsi lebih dari itu. Pincalang berfungsi sebagai rumah, alat transportasi dan media bisnis suatu


(6)

143

suku (sekelompok orang) yang hidup matinya di laut, memiliki agama, budaya, dan tradisi. Berlayar dari pulau ke pulau untuk mencari makan, berniaga, bertahan hidup dari musuh dan bersahabat dengan alam.

Di samping pengertian dan fungsi Pincalang yang telah disebutkan terdahulu, dalam novel juga terdapat pemakaian kata „Pincalang‟, „manusia Pincalang‟, dan „orang -orang Pincalang‟ yang berarti awak Pincalang dan keluarganya, seperti dalam kutipan berikut:

Ada dua Pincalang membawa istri dan dua Pincalang tidak membawa istri. (Pincalang: 14).

Para manusia Pincalang yang ini tak gampang dikalahkan seperti yang lalu-lalu. (Pincalang: 60)

Sudah menjadi kebiasaan bagi para istri orang-orang Pincalang untuk membeli emas jika mereka memiliki uang. (Pincalang: 69).

Dengan demikian, pemakaian kata „Pincalang” bukan hanya berarti perahu, tetapi juga dipakai untuk menyatakan orang dan masyarakatnya. Perahu, dengan berbagai nama lokal: sampan, biduak, pencalang, pincalang, pelang, kolek, adalah lambang yang sering digunakan dalam sastra Melayu Klasik untuk jiwa, pikiran, atau hal lainnya, baik yang bersifat duniawi maupun yang bersifat ukhrawi.

c. Modernisasi

Secara etimologis modernisasi berasal dari bahasa latin yaitu „modo‟ yang berarti akhir-akhir ini, dan “ernus” yang berarti periode waktu masa kini, serta mendapatkan tambahan „isasi‟ yang mengandung arti proses. Jadi, modernisasi berarti proses menuju masa kini atau akhir-akhir ini. Secara sederhana, modernisasi berarti perubahan dari masyarakat tradisional menuju kemasyarakat modern. Sedangkan untuk pengertian yang lebih luas dikemukakan oleh Soekanto (1990: 36), bahwa modernisasi merupakan suatu transformasi total dari kehidupan bersama yang tradisional atau pra modern dalam artian teknologis serta organisasi sosial kearah pola-pola ekonomis dan politis yang menjadi ciri negara-negara barat yang stabil.

Modernisasi juga adalah suatu bentuk dari perubahan sosial yang terarah yang didasarkan pada suatu perencanaan yang biasanya dinamakan social planning. Modernisasi yang terjadi bersamaan dengan revolusi industri di Eropa Barat pada abad ke-17 dimaknai berbeda-beda oleh pakar sosiologi, seperti pendapat para ahli (dalam Soekanto, 1990: 30) berikut ini;

a. Max Webber melihat modernisasi sebagai gejala perubahan dari cara berpikir tradisional menjadi rasional. Dalam kehidupan masyarakat tradisional, kebenaran adalah sesuatu yang selalu atau terus-menerus dihadapi, sedangkan dalam kehidupan masyarakat modern, kebenaran adalah sesuatu yang dirumuskan berdasarkan kalkulasi efisiensi, karena itu bersifat rasional.

b. Karl Marx melihat masyarakat modern bersinonim dengan kapitalisme. Menurutnya, modernisasi telah melemahkan tradisi. Selain itu, kapitalisme juga telah meningkatkan the division of labour dan mengembangkan rasionalitas. c. Kapitalisme menghendaki rasionalitas yang membutuhkan sistem pembagian

kerja yang spesifik supaya lebih efisien. Dengan kata lain supaya kaum borjuis (penguasa modal) mendapatkan keuntungan yang berlipat. Oleh karena itu, modernisasi sebenarnya merupakan sebuah perjalanan yang menyengsarakan masyarakat, terutama karena telah menghancurkan kebebasan, membelenggu kreativitas, dan memicu konflik sosial.


(7)

144 2. Kepustakaan Penelitian

Penelitian terhadap representasi novel-novel sastra Indonesia yang menggunakan metodologi kualitatif dalam kajian sosiologi sastra dan teori perubahan sosial telah digunakan oleh beberapa peneliti sastra, terutama dalam penulisan skripsi, tesis, dan disertasi. Hasil penelitian yang menjadi rujukan ini mempunyai kontribusi dan relevansi terhadap penelitian representasi nilai-nilai tradisional untuk menyelamatkan budaya lokal. Penelitian ini merujuk pada hasil penelitian sebagai berikut:

1. Representasi Budaya Lokal dalam Kegiatan Festival di Kota Denpasar, oleh Ni Putu Eka Juliawati, diterbitkan dalam E-Jurnal Kajian Budaya Universitas Udayana Volume 1, Nomor 1, Desember 2012 ISSN: 2302-7304. Fokus penelitian ini mengenai kegiatan festival di kota Denpasar yang merupakan representasi budaya lokal yang dimiliki oleh masyarkat kota Denpasar untuk menghadirkan kembali budaya lokal ke dalam sebuah kegiatan. Terkait dengan penelitian masyarakat Pincalang yang tradisional dan mulai punah, representasi budaya lokal dan tradisi masyarakat Denpasar memberikan kontribusi terhadap penelitian ini, dimana kegiatan tradisional direpresentasikan dengan komitmen berbagai pihak untuk melakukan revitalisasi budaya, mengacu kepada peraturan pemerintah akan tuntutan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam bidang budaya, beberapa budaya lokal Kota Denpasar yang hampir punah bisa diselamatkan dan dihadirkan kembali di tengah-tengah masyarakat, dan dari segi ekonomi, kegiatan ini mampu meningkatkan penghasilan warga yang ikut berpartisipai langsung. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, sebagai metode ilmu-ilmu sosial, khususnya kajian budaya dengan cara penafsiran bersifat kualitatif interpretatif.

2. Perubahan Huyula dalam Kehidupan Masyarakat Desa Buhu Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo, oleh Rauf Hatu. Tesis S-2 (Magister) Unair, Surabaya. Penelitian ini memaparkan masalah perubahan sosial budaya yang menjadi topik pembicaraan, bukan saja oleh ahli Ilmu Kemasyarakatan, bahkan di kalangan masyarakat luas. Perubahan sosial budaya dalam masyarakat tidak hanya berfokus dalam kehidupan masyarakat kota, akan tetapi masyarakat desa juga telah banyak mengalami perubahan maupun perkembangan sebagai akibat dari teknologi dan transportasi dalam tatanan kehidupan masyarakatnya. Hasil penelitian ini mempunyai relevansi dengan penelitian terhadap perubahan sosial budaya masyarakat Pincalang, dimana perubahan sosial disebabkan oleh perkembangan teknologi, yaitu mesinisasi kapal tadisional yang ternyata tidak dapat menuntaskan permasalahan kesejahteraan masyarakat Pincalang, bahkan menimbulkan perpecahan.

3. Nilai-nilai Budaya dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam dan Implementasi di Sekolah, oleh Era Indriati, H. Martono, Sesilia Seli. E-Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra, FKIP Untan.Vol. 2, No. 9 Tahun 2013. Penelitian yang menggunakan pendekatan sosiologi sastra ini, berkontribusi terhadap penelitian dalam mengungkap gambaran nilai-nilai budaya masyarakat Pincalang, seperti hubungan manusia dengan Tuhan, yakni; berdoa, bersyukur, berzikir dan tawakal. Juga nilai-nilai kearifan tentang hubungan manusia dengan manusia yang tergambar dari cara menolong orang lain dan menyebar kasih sayang sesama manusia. Kemudian nilai-nilai kearifan yang mengungkap hubungan manusia dengan dirinya sendiri, yaitu: sabar, menuntut ilmu, dan menjunjung tinggi kejujuran. Selanjutnya diungkap juga nilai-nilai kearifan tentang hubungan manusia dengan alam,


(8)

145

dimana alam menyediakan berbagai kebutuhan manusia dan manusia bersahabat dengan alam yang berkaitan dengan kearifan lokal.

4. Ada Apa di Balik “Pincalang” Idris Pasaribu, Sebuah Kritikan oleh Abdul Rahim Harahap E-Jurnal Keguruan Volume 1 No. 1 ISSN: 2337-6198 Januari – Juni 2013, membahas tentang perkembangan sastra Indonesia di Sumatera Utara, terutama dalam penerbitan novel yang secara kuantitas dinilai masih relatif rendah. Oleh karena itu menurut penulis, penerbitan novel “Pincalang” karya Idris Pasaribu perlu mendapat perhatian. Penulis juga mengapresiasi kedalaman isi novel untuk melihat sampai sejauhmana penguatan struktur cerita yang terdiri dari tema dan bentuk novel serta sejarah keberadaan “orang laut” dilihat dari nilai-nilai budaya dan agama. Penelitian terhadap representasi masyarakat Pincalang relevan dengan hasil penelitian ini, karena pertama, objek penelitian terhadap novel yang sama, yaitu Pincalang karya Idris Pasaribu. Kedua, penulis juga mengupas nilai budaya dan agama serta sejarah keberadaan „orang laut‟. 1. Teori Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra merupakan salah satu alat kritis sastra dan sastra sendiri merupakan bagian dari masyarakat. Jadi, tidak aneh jika dikatakan bahwa sastra adalah produk kebudayaan sehingga sastra tidak bisa terlepas dari keberadaban manusia dikarenakan sastra menceritakan tentang kehidupan dari masyarakat itu sendiri. Bagaimanapun juga, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam batin seseorang sebagai aspek terkecil dari masyarakat yang sering menjadi bahan sastra adalah pantulan hubungan seseorang dengan orang lain atau dengan masyarakat dan menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial tertentu.

Zeraffa (dalam Elizabeth, 1973: 38) menyebutkan bahwa sebuah karya sastra adalah ekpresi dari realitas sosial yang telah ada dalam pikiran pengarang, bentuk dan maknanya diungkapkan dengan memakai teknik yang diperolehnya dari para pendahulunya dan caranya sendiri setelah melakukan observasi. Pengarang selalu memberi perhatian pada suatu gejala yang khusus pada periode tertentu dan ke arah mana situasi itu akan bergerak. Karya sastra juga berusaha mengungkapkan kenyataan seperti apa adanya, tidak mengidealkan realita serta menunjukkan aspek-aspek kehidupan yang tersembunyi yang tidak diterima dari sudut sosial ekonomi atau psikologi, mencari dan mengekpresikan makna dan esensi kehidupan.

Ratna (2003: 2) menjelaskan bahwa ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:

a. Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya.

b. Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya.

c. Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi.

d. Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) antara sastra dengan masyarakat.

e. Sosiologi sastra berusaha menemukan kualitas interdependensi antara sastra dengan masyarakat.

Pendekatan yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan dalam sastra oleh beberapa ahli disebut sosiologi sastra. Pada dasarnya sebutan ini pun tidak berbeda dengan sebutan-sebutan lain, masing-masing tetap didasarkan dan berlandaskan pandangan teoretis. Meskipun pandangan kritikus satu sama lain berlandaskan pengertian tertentu akan tetapi pada dasarnya semua pendekatan mengacu pada sebuah kesamaan.


(9)

146

Sastra adalah sebuah lembaga sosial yang diciptakan oleh sastrawan yang tidak lain adalah anggota dari masyarakat. (Damono, 2003: 3).

Perbedaan antara sosiologi dan sastra hanya terbatas pada cara penelaahan: sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sastra lebih mengarah kepada perasaan seorang pengarang dalam memandang masyarakat. Meskipun demikian, sosiologi dan sastra dipertemukan dalam beberapa hubungan dan persamaannya, maka muncul suatu disiplin ilmu yang baru, yaitu sosiologi sastra atau sosiologi dalam sastra (Damono, 2002: 10).

Sebuah karya sastra adalah ekpresi dari realitas sosial yang telah ada dalam pikiran pengarang, bentuk dan maknanya diungkapkan dengan memakai teknik yang diperolehnya dari para pendahulunya dan caranya sendiri setelah melakukan observasi. Endraswara (2012: 89) menyatakan bahwa karya sastra mengalami perjalanan yang panjang sebelum mencapai pembaca. Naskah yang ditulis oleh pengarang umumnya tidak bisa langsung diserahkan kepada pembaca tetapi melalui proses reproduksi yang berliku-liku.

Dalam sosiologi sastra, dikenal strategi yang berhubungan dengan pemahaman aksi sosial dengan mempertimbangkan kehidupan masyarakat sebagai suatu jaringan yang kompleks, saling berhubungan, ketergantungan dan bermakna, konstruksi realitas sosial yang dimiliki oleh setiap anggota kelompok, komunitas atau masyarakat.

2. Teori Perubahan Sosial

Para sosiolog maupun antropolog telah banyak mempersoalkan mengenai pembatasan pengertian perubahan-perubahan sosial dan kebudayaan. Hooguelt (1995: 56) membuat definisi dan pengertian tentang perubahan sosial menurut para ahli, diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Kingsley Davis mengartikan perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. Misalnya, timbulnya pengorganisasian buruh dalam masyarakat kapitalistis, menyebabkan perubahan-perubahan dalam hubungan antara buruh dan majikan yang kemudian menyebabkan perubahan-perubahan dalam organisasi politik.

b. Gillin mengartikan perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi sebagai suatu variasi dari cara hidup yang telah diterima karena adanya perubahan kondisi geografi, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun adanya difusi atau penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.

c. Emile Durkheim menyatakan, bahwa perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari faktor-faktor ekologis dan demografis, yang mengubah kehidupan masyarakat dari kondisi tradisional yang diikat solidaritas mekanistik, ke dalam kondisi masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas organistik.

d. Wiliam F. Ogburn menyatakan, ruang lingkup perubahan sosial mencakup, unsur-unsur kebudayaan baik yang bersifat material maupun yang tidak bersifat material (immateriil) dengan menekankan pengaruh yang besar dari unsur-unsur kebudayaan yang material terhadap unsur-unsur immaterial.

e. Mac Iver mengartikan perubahan sosial adalah perubahan-perubahan yang terjadi dalam hubungan sosial (social relation) atau perubahan terhadap keseimbangan (ekuilibrium) hubungan sosial.

Perubahan sosial tidak hanya berarti kemajuan, tetapi dapat pula kemunduran, meskipun dinamika sosial selalu diarahkan kepada gejala transformasi (pergeseran) yang bersifat linear.


(10)

147

Kamanto (2004: 203-205), membagi dua pola perubahan sosial sebagai berikut: a. Pola Linear

Pemikiran mengenai pola perkembangan linear dapat ditemukan dalam karya Comte. Menurut Comte kemajuan progresif peradaban manusia mengikuti suatu jalan yang alami, pasti, sama, dan tidak terelakan. Dalam teorinya yang dikenal dengan nama „Hukum Tiga Tahap‟, Comte mengemukakan bahwa sejarah memperlihatkan adanya tiga tahap yang dilalui peradaban. dapat disebut juga hukum urutan perkembangan masyarakat yang dimaksud: hukum fundamental perkembangan pemikiran manusia, yakni tingkat teologis (khayalan), tingkat metafisik (abstrak), dan tingkat ilmiah (positivis).

b. Pola Siklus

Menurut pola kedua, pola siklus, masyarakat berkembang laksana suatu roda; kadang kala naik, kadang kala turun. Pandangannnya bahwa kebudayaan tumbuh, berkembang dan pudar laksana perjalanan gelombang, yang muncul mendadak, berkembang dan kemudian lenyap; ataupun laksana tahap perkembangan seseorang manusia melewati masa muda, masa dewasa, masa tua, dan akhirnya punah.

METODE PENELITIAN 1. Metode

Metode adalah cara yang ditempuh dalam mencapai suatu tujuan tertentu, sedangkan teknik adalah cara yang spesifik dalam memecahkan masalah yang ditemui dalam melaksanakan prosedur (Semi 1988: 30). Metode dan teknik penelitian merupakan penerapan dari suatu teori sastra terhadap karya sastra dengan menggunakan sistematika atau langkah-langkah analisis yang sesuai dengan objek penelitian.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang digunakan untuk memahami sebuah karya sastra secara mendasar dan mendalam dengan prinsip interpretasi atau penafsiran. Pesan dan tujuan pengarang dapat diinterpretasikan dengan melihat aspek dalam dan luar dari suatu karya sastra untuk mengungkap makna yang ada didalamnya. Menurut Bungin (2007: 68), karya sastra sebagai objek penelitian dengan metode deskriptif kualitatif bertujuan menggambarkan dan menjelaskan makna dibalik makna berbagai fenomena realitas sosial yang ada dengan mengungkapkan ciri, karakter, sifat, model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu.

Rakhmat (2004: 25), menyatakan bahwa metode deskriptif bertujuan untuk: (1) mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada, (2) mengidentifikasikan masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang berlaku, (3) menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan pada waktu yang akan datang.

Alasan utama metode kualitatif digunakan, karena data yang diperoleh biasanya tidak terstuktur dan relatif banyak, sehingga memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritisi, dan mengklasifikasikan data. Pengamatan kualitatif cenderung mengandalkan kekuatan indra peneliti untuk merefleksikan fenomena budaya, dimana pengamatan indra ini dipertimbangkan lebih akurat untuk melihat kebudayaan yang cenderung berubah-ubah seiring dengan pergeseran zaman.


(11)

148 2. Data dan Sumber Data

Data adalah fakta empirik yang dikumpulkan untuk memecahkan masalah atau menjawab pertanyaan penelitian. Data penelitian dapat berasal dari berbagai sumber yang dikumpulkan dengan menggunakan berbagai teknik selama kegiatan penelitian berlangsung. Dalam ilmu sosial, sumber datanya adalah sikap dan tindakan-tindakan masyarakat, sedangkan dalam ilmu sastra, sumber datanya adalah teks-teks dan wacana yang terdapat dalam naskah karya sastra.

Sumber data penelitian ini terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer berupa novel Pincalang karya Idris Pasaribu, cetakan pertama yang diterbitkan oleh Salsabila Pustaka Alkautsar, April 2012. Sampul (kulit) depan novel bergambar Pincalang yang tengah berlabuh di tengah lautan didesain oleh Gobagsodor. Novel yang berukuran 13,5 x 20,5 cm terdiri atas 255 halaman dan 12 episode, dirangkai dalam peristiwa demi peristiwa.

Data sekunder berupa sumber-sumber lisan dan tulisan yang diperoleh dari buku, dokumentasi, hasil kajian sastra, serta wawancara dengan Idris Pasaribu sebagai pengarang novel dan informan yang berkaitan dengan penelitian ini. Moleong (2007: 186) menyebutkan, wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan. Selanjutnya diungkapkan bahwa wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.

3. Paparan Data

Data penelitian ini dipaparkan dari sumber data utama yang dideskripsikan dan dianalisis sesuai dengan rumusan masalah pada penelitian ini. Dari gambaran realitas sosial budaya masyarakat Pincalang terlihat upaya masyarakat Pincalang menghadapi era modernisasi dalam menjaga kearifan lokal. Pola hidup masyarakat yang sebahagian besar berada di laut, berlayar dari pulau ke pulau, terlihat dari tokoh utama novel, yaitu Amat. Selama hidupnya, Amat ikut dengan ayahnya mengelilingi lautan. Di atas perahu itu dia dilahirkan ibunya, dan sejak berusia lima tahun, di atas perahu pula dia belajar shalat dan mengaji dari ibunya. Ayah Amat mengajarinya menarik turunkan layar, mengemudi, melihat bintang, merasakan angin dan belajar mencium bau karang dari haluan, lambung, dan buritan. Ia manusia Pincalang yang menghabiskan hidupnya di atas perahu.

Sejak berusia lima tahun, Amat ikut dengan ayahnya mengelilingi lautan buas dan ganas. Di atas Pincalang itu dilahirkan ibunya, begitu juga dua adiknya. Di atas Pincalang itu dia belajar mengaji. Belajar shalat dari ibunya, juga dari para uztadz yang datang diundang naik ke atas Pincalang bila mereka bersandar di pelabuhan kecil atau di kampung-kampung di pantai.

Amat belajar menaik turunkan layar. Belajar mengemudi. Belajar melihat bintang, belajar merasakan angin, dan belajar mencium bau karang dari haluan, lambung, dan buritan. (Pincalang: 21)

Ketika Amat dewasa, ia pun dinikahkan dengan seorang gadis pilihan ayah dan ibunya bernama Maryam, ia pun tak menolaknya. Di samping Maryam gadis yang cantik, ia juga seorang gadis sholehah dan pandai memasak serta pintar berjualan. Ujian terberat setelah mereka menikah adalah mengarungi lautan hanya dengan berdua saja, karena mereka telah diberi Pincalang oleh Ayah Amat. Filosofi hidup berkeluarga, mengarungi


(12)

149

samudera luas dengan berbagai rintangan dan cobaan, seperti hujan angin, petir, badai, dan ombak harus mereka lalui.

Masyarakat Pincalang tergolong orang yang taat melaksanakan ajaran agama, dan mayoritas pemeluk agama Islam. Hal ini terlihat dari ketaatan keluarga Amat dalam mendirikan shalat, baik shalat di atas Pincalang, di mesjid atau di manapun berada. Begitu pun setelah dikaruniai tiga orang anak, yang sulung serorang laki-laki, diberi nama Buyung, dan dua orang anak perempuan, Amat dan istrinya selalu mengajarkan shalat dan mengaji Alquran kepada ketiga anak-anaknya itu.

Amat yang berpikiran maju mengenai kehidupan, juga berharap anaknya jadi orang pintar, karena ia tidak ingin terus dibodohi oleh orang-orang darek sebutan untuk orang-orang di darat dan para tauke sebutan untuk orang-orang Tionghoa. Selesai mengikuti pendidikan dasar, Buyung disekolahkannya di sekolah Pelayaran, seperti yang dicita-citakannya. Dalam usaha niaga, Amat dibantu Rohim, Lokot, dan Sangkot membuat kopra, memasak minyak, menangkap ikan, membuat ikan asin, dan arang dari kayu bakau untuk dijual.

Ia juga akhirnya memilih untuk tinggal di darat bersama Istri dan anak-anaknya untuk lebih memajukan usaha dagangnya dengan menjadi tauke. Hal tersebut sempat mendapat kecaman dan larangan dari kedua orang tua dan mertuanya. Selama ini mereka mengganggap orang-orang darat tidak ada yang baik, namun berkat kerja keras Amat meyakinkan, akhirnya mereka mau mengerti keinginan Amat dan dia pun cukup sukses dalam meningkatkan perekonomian masyarakat Pincalang.

Dari hasil kerja kerasnya, Amat memiliki kapal dengan tenaga mesin, yang disebut Kapal Keppres karena merupakan proyek pemerintah zaman Orde Baru. Kapal Amat diberi nama K.M. Pincalang, dan Buyung pun didaulat menjadi Nahkodanya setelah ia lulus di SMPP (Sekolah Menengah Pelayaran Pertama). Semua keluarga, teman-teman Buyung, dan orang-orang yang selama ini membantu dan mendukung Amat turut hadir dalam pelayaran perdana K.M. Pincalang, dengan rute Nias-Meulaboh.

Pengaruh modernisasi terhadap sosial budaya masyarakat Pincalang yang tradisional, diawali sejak masuknya kapal Keppres. Para kapitalis berlomba mengeruk keuntungan sebanyak-banyaknya, tanpa memperhatikan akibatnya. Hutan bakau digunduli, biota laut di sapu habis. Alam menangis, tak sanggup lagi memberikan yang terbaik untuk manusia. Hegemoni pemerintah sangat berpengaruh terhadap kesewenangan tersebut. Amat pun geram melihat kondisi laut yang semakin rusak oleh tangan-tangan jahil para penguasa, yang tidak menjaga ekosistem laut, seperti terlihat dari kutipan berikut ini.

Amat sangat marah melihat pohon-pohon bakau ditebang sembarangan. Para penebang itu tidak sedikitpun menghiraukan Amat yang sedang menanami bibit-bibit bakau di sela hutan bakau yang menggundul.

“Ini baru kutanami, jangan kalian injak-injak! Kalau mau ambil bakau dari ujung sana atau di tempat lain!” Amat merasa tak dihargai sama sekali oleh mereka yang rakus menebangi pohon bakau.

“Lha.... Kowe siapa? Enak-enak membentak?” Amat didatangi dua orang. “Pokoknya tak boleh ambil bakau di sini. Baru ditanami.”

“Apa hutan ini bapakmu punya?”


(13)

150

Hidup manusia selalu mengalami perubahan, perubahan di satu bidang akan memengaruhi bidang-bidang lainnya. Meskipun tidak terjadi dalam kecepatan yang sama, perubahan terus terjadi dan melanda setiap masyarakat, termasuk masyarakat marjinal seperti masyarakat Pincalang. Perubahan sosial yang direpresentasikan pengarang dalam novel ini adalah bagaimana Amat berjuang meyekolahkan Buyung agar menjadi anak yang pintar serta ia dan Maryam juga bersemangat dalam mengikuti pemberantasan buta huruf serta perjuangan Amat dalam merubah pola pikir orang-orang Pincalang yang negatif terhadap orang-orang darek, di samping upaya pelestarian alam.

Namun, perjuangan dan upaya yang dilakukan Amat terasa berat, karena banyak pihak yang tidak peduli untuk menjaga pelestarian alam. Hal ini menyalahi pesan tetua orang-orang Pincalang, yang secara turun temurun diajarkan oleh kearifan lokal untuk menjaga laut, agar manusia mendapatkan yang terbaik dari alam. Lewat pesan inilah pengarang merepresentasikan bagaimana Amat ingin selalu dan selamanya melestarikan kehidupan laut. Perlawanan Amat terhadap penguasa tidak bisa terelakkan, ia pun dicari hendak ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena dianggap membahayakan penguasa. Amat yang tidak takut dengan ancaman itu pun melakukan perlawanan, sehingga banyak menewaskan petugas yang ingin menangkapnya, namun akhirnya Amat berhasil ditangkap, diadili, dan dipenjarakan.

Pada saat kebebasannya setelah tiga tahun lebih berada dalam Lembaga Pemasyarakatan, ia dinyatakan bebas bersyarat. Amat dijemput oleh istri dan anak-anaknya, serta orangtua dan mertuanya dengan perasaan haru, senang, bahagia yang bercampur aduk. Amat langsung sujud syukur begitu menghirup udara segar. Ia terkejut dan terharu saat digiring menuju ke mesjid, untuk menyaksikan anak sulungnya dinikahkan dengan anak Tuan haji, yaitu Salamah Binti Haji Ahmad Palindih yang banyak memberinya nasihat dan banyak membantunya selama ini.

Air mata Amat langsung meleleh. Ditatapnya Buyung lekat-lekat. Dia sudah lama mengidamkan Buyung agar menikah. Dia sudah ingin menimang cucu. Saat dalam selnya di penjara, dia selalu membayangkan kematian. Amat tak dapat menahan tangisnya jika mengenang hidupnya harus mati sebelum menimang cucu. (Pincalang: 243)

Tiga hari setelah perhelatan pernikahan Buyung, Amat kembali merindukan laut dan pulau-pulau kecil yang berada di sana. Rindu pada aroma laut dan lumpur pantainya. Setelah mengantarkan kedua pasang orang tuanya, Amat kembali berlayar bersama adik angkatnya Sangkot dan Lokot. Mereka bercerita kepada Amat, bahwa hampir semua teman-teman mereka orang Pincalang bekerja pada kapal penagkap ikan,hanya sedikit yang setia hidup di atas Pincalang mereka masing-masing, termasuk kedua pasang orangtua Amat dan anak-anaknya. Semakin hari jumlah orang Pincalang semakin menyusut.

Bersama Sangkot, Amat menaiki perahu bercadik mengelilingi pulau dan menuju pulau lainnya untuk menanam kembali biota-biota laut yang sudah banyak digunduli oleh mesin-mesin pemotong. Bagi Amat, alam adalah nafasnya yang dicintai sepenuh jiwa raganya. Apa yang diberikan alam kepadanya adalah berkah dari Allah SWT. Tidak ada kebahagiaan yang dicarinya lagi selain melihat pohon bakaunya kuat tertancap dan memberi naungan bagi biota laut dibawahnya. Ia tidak mengerti mengapa ada manusia yang tega membabati pohon bakau dan menghancurkan sebuah kehidupan demi segenggam uang.

Amat bukanlah seorang pahlawan, dia hanya ingin melakukan apa yang diketahuinya dari pesan leluhurnya untuk selalu menjaga keseimbangan kehidupan alam di pulau kelahirannya sesuai kemampuannya. Pesan yang sarat dengan norma kehidupan


(14)

151

yang mereka miliki itu lahir dari lokal jenius yang melahirkan kearifan lokal. Amat adalah salah satu orang Pincalang yang selalu berusaha untuk menjagalingkungan dan kelestarian alam. Hal ini diungkap pengarang sebagi berikut.

“Amat dan keluarganya adalah sosok yang terus berjuang untuk menjaga pesan -pesan dari leluhurnya. Pesan--pesan yang sangat sarat dengan norma kehidupan yang mereka miliki. Sudah barang tentu, pesan itu lahir dari lokal jenius yang melahirkan kearifan lokal pula. Baginya laut dan segala isi yang terkandung di dalamnya adalah sumber kehidupan yang memberikan kesejahteraan bagi manusia”. (Pincalang: 253-254).

4. Temuan Penelitian

Temuan penelitian terdiri dari uraian pokok temuan yang sesuai dengan substansi rumusan masalah, upaya masyarakat Pincalang menjaga kearifan lokal dalam menghadapi era modernisasi, direpresentasikan dalam bentuk pelestarian alam, dan benturan yang terjadi antara tradisional dan modernisasi.

Dengan demikian, masalah yang dideskripsikan dapat mengedepankan fakta sosial masyarakat Pincalang yang direpresentasikan pengarang dalam membantu analisis dan menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

a. Pelestarian Alam

Gambaran masyarakat Pincalang yang selalu menjaga alam terlihat dengan jelas dalam novel ini. Orang Pincalang selalu menjaga ekosistem laut, menanam lumut-lumut hijau pada terumbu karang agar tetap hidup, menyisakan beberapa senti batang bakau agar dapat bertunas, menanami kelapa di lahan yang masih kosong, dan hal lainnya. Kearifan lokal dalam menjaga alam seperti ini terus dijaga dan diturunkan dari generasi ke generasi oleh masyarakat Pincalang.

Bentuk kearifan lainnya dideskripsikan pengarang dalam bentuk kerjasama dalam kehidupan para Pincalang, salah satunya diperlihatkan oleh keluarga Amat. Dalam kondisi tertentu, semua anggota keluarga harus saling bahu-membahu, menjaga Pincalangnya tetap utuh, sekaligus juga mempertahankan keselamatan jiwa keluarganya. Tampak jelas, ketika badai menerjang, Buyung secara spontan memanjat tiang-tiang layar, lantas menurunkan kemudi angin, sementara sang ayah berjaga-jaga di bawah dan langsung melipat layar. Setelah keadaan membaik Amat segera menuju buritan, mengambil alih kemudi dari tangan Maryam, istrinya, kemudian Maryam segera melanjutkan pekerjaannya di dapur. Begitulah, adegan awal dalam novel yang menandakan betapa sengitnya perjuangan para Pincalang namun dilakukan dalam kebersamaan.

Ketika menghadapi modernisasi perlahan kearifan ini mulai luntur, banyak nelayan dari daerah lain yang datang ke daerah itu dan menjajah laut orang Pincalang. Dengan kehadiran kapal Keppres, mereka datang dengan mengeksploitasi hasil laut dan hutan sesuka mereka. Mereka menebang habis hutan bakau untuk dijadikan arang dan dijual ke pasar. Mereka juga menggunakan pukat harimau yang menghancurkan terumbu karang dan ekosistem ikan. Menghadapi hal ini, hanya sebagian dari masyarakat Pincalang asli yang masih melakukan gerakan sukarela untuk menghijaukan kembali terumbu karang, menanami bakau dan tidak melakukan penangkapan ikan menggunakan bom atau racun yang sangat membahayakan keberlangsungan ekosistem alam. Jika diabaikan, hilangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga alam juga dapat menghacurkan sistem ekonomi masyarakat itu sendiri yang mayoritas masih bergantung pada laut.


(15)

152

Inilah sekilas realitas yang terjadi di tengah masyarakat yang mendiami pesisir pantai Barat Sumatera, yang dikenal sebagai kawasan yang kaya akan beragam sumberdaya alam dan seharusnya menikmati dampak-dampak positifnya. Di tengah kekhawatiran punahnya kearifan lokal, sebenarnya ada banyak cara yang dapat dilakukan. Salah satunya adalah membangun kesadaran untuk menggiatkan kembali (revitalisasi) implementasi beragam kearifan lokal yang berkaitan dengan sumberdaya alam yang ada dalam masyarakat Pincalang. Sibarani (2010: 259) mengingatkan bahwa sebagian besar tradisi lisan di Indonesia telah mengalami kemunduran, bahkan sebagian telah mengalami kepunahan. Kemunduran itu ditandai oleh semakin sedikitnya penggemar tradisi lisan yang diakibatkan oleh berbagai faktor, sedangkan kepunahan ditandai oleh banyaknya tradisi lisan yang tidak lagi hidup di masyarakat. Tradisi lisan itu telah kehilangan pemiliknya dan generasi pemiliknya tidak pernah lagi melihat tradisi lisan itu. Akibatnya, bentuk dan isi tradisi lisan itu semakin tidak dikenal komunitasnya.

Secara sederhana, kearifan lokal dipahami sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat tertentu yang mencakup di dalamnya sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari. Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa dalam kehidupan orang Pincalang, terdapat orang-orang yang sadar dan peduli akan kelestarian alam seperti Amat dan keluarganya yang dilakukan turun temurun. Dari kelompok orang seperti inilah kearifan lokal tersebut berasal, dan dengan memiliki kepedulian alam ini mereka menciptakan aturan-aturan sederhana yang pada awalnya didapatkan melalui cara meneruskan aktivitas yang diyakini dapat melestarikan alam dan meninggalkan praktek-praktek yang berujung pada kerusakan.

Jika hal tersebut terlaksana, akan terbangun komitmen dari para anggota masyarakat terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang ada sebagai tatanan hidup bermasyarakat, sehingga individu, kelompok, perkumpulan maupun komunitas yang ada di dalam masyarakat masih dapat memenuhi keinginan dasar dari individu-individu yang berinteraksi di dalam masyarakat. Menurut penulis, pengarang menggambarkan kehidupan masyarakat Pincalang agar pembaca dapat mengubah cara pandang dan cara berpikir dengan mempertimbangan bahwa sebuah solusi masalah justru dapat menimbulkan masalah tersendiri yang bahkan jauh lebih parah dari masalah sebelummya.

Menelaah kembali masalah pendidikan dan teknologi yang seharusnya diterapkan untuk membantu masyarakat Pincalang, dalam penelitian ini khusus kepada masyarakat nelayan di Sumatera Barat. Dalam kehidupan sosial budayanya yang saling menghargai sesama nelayan harusnya mereka juga melakukan perubahan dengan ikut berinteraksi dengan kemajuan teknologi dan tidak menutup diri terhadap perkembangan informasi guna perbaikan taraf hidup mereka.

Nilai budaya dalam novel ini tercermin dalam pola dan tingkah laku tokoh-tokohnya yang ditandai dengan tinggal dan menetapnya mereka di atas Pincalang. Lewat tradisi mengarungi lautan inilah mereka banyak belajar dari tanda-tanda alam dan gejalanya, sehingga laut sebagai tempat tinggal mereka sangat bernilai sehingga harus selalu dijaga kelestariannya. Pesan-pesan yang sarat dengan norma kehidupan yang mereka miliki berupa kearifan lokal, yang sudah barang tentu, pesan itu lahir dari lokal jenius yang melahirkan kearifan lokal pula. Baginya laut dan segala isi yang terkandung di dalamnya adalah sumber kehidupan yang memberikan kesejahteraan bagi manusia. Untuk itu, Amat berjuang untuk menjaga kelestarian laut dengan merawat terumbu karang dan pohon-pohon bakau, tempat ikan-ikan dan binatang laut lainnya tumbuh dan berkembang biak.


(16)

153

Menurut Ratna (2011: 90), kearifan lokal menjadi isu utama dalam teori kontemporer. Globalisasi, baratisasi di satu pihak, dominasi Orde Baru selama tiga dasawarsa dengan intensitas homogenisasi di pihak lain dianggap sebagai pemicu utama bangkitnya kearifan lokal. Lokal tidak harus diartikan sebagai makna sederhana, sempit, rendah dan nilai-nilai peyoratif yang lain. Sebaliknya, berbagai bentuk kebijaksanaan lokal, pengetahuan tradisional, dan berbagai bentuk kebudayaan setempat yang lain, sebagai sesuatu yang pernah dipinggirkan, dimarginalisasikan, sebagai „perempuan‟, diangkat kembali ke permukaan, dijadikan sebagai isu utama, bahkan ditempatkan pada posisi pusat. Dalam banyak hal kebijaksanaan lokal ini mampu mengantisipasi berbagai permasalahan, termasuk yang terjadi di dunia kontemporer.

Terkait dengan hal tersebut, pengetahuan tradisional yang dijaga masyarakat merupakan suatu proses belajar individu dalam berperilaku sesuai dengan standar kebudayaan masyarakatnya. Upaya pembentukan karakter dan kepribadian ini, sangat penting artinya bagi anggota keluarga nelayan di pesisir pantai Barat Sumatera, terutama generasi muda. Keluarga merupakan unit sosial terkecil yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak yang menjadi lingkungan pertama bagi anggota keluarga untuk belajar berbagai pengetahuan, keterampilan, nilai, norma dan sebagainya, dalam menjaga alam sekitar.

Melalui lingkungan keluarga, anak mengenal dunia sekitarnya dan pola-pola pergaulan hidup yang berlaku sehari-hari, oleh karena itu keluarga merupakan salah satu agen sosialisasi pertama bagi seorang anak untuk belajar, sehingga dapat dikatakan bahwa terbentuknya watak dan kepribadian sangat dipengaruhi oleh cara dan corak orangtua memberikan pendidikan dan bimbingan bagi anak-anaknya dalam menjaga alam. Salah satu upaya pelestarian alam yang diajarkan orang Pincalang secara turun temurun dilakukan Amat dalam bentuk nyata seperti kutipan berikut.

Amat mengitari laut sekitar dengan perahunya. Dari beningnya air ia bisa melihat karang-karang berwarna hijau. Amat menyelam dan dengan sigap ia memunguti lumut-lumut hijau itu, lalu memasukkannya ke dalam perahunya. Ia melakukan hal itu beberapa kali. Setelah itu, Amat menuju areal yang karangnya sudah memutih bersama perahunya. Amat memecah-mecah lumut itu dan menjatuhkannya ke bawah, mengenai karang-karang yang menunggu. Amat yakin seminggu kemudian lumut-lumut itu akan berkembang biak dengan cepat dan ikan kembali berkumpul di sana. Bertelur dan beranak pinak serta siap untuk ditangkap. (Pincalang: 30)

Kearifan lokal dalam menjaga laut sebenarnya juga menguntungkan mereka sendiri. Laut dan orang Pincalang adalah sebuah simbiosis mutualisme, di mana kedua pihak saling mendapat keuntungan. Orang Pincalang menjaga laut dan karangnya sehingga banyak ikan berkembang biak di sekitarnya, dan mereka dapat menjaringnya sebagai bahan makanan dan sumber pendapatan ekonomi dengan menjual ikan tangkapan tersebut.

Sehubungan dengan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa upaya pelestarian alam merupakan proses pendidikan dan nilai-nilai kecakapan hidup di lingkungan keluarga nelayan Pincalang, yaitu suatu proses akomodasi di mana individu menjaga, melindungi dan merealisasikan suatu sikap kearifan sebagaimana yang dilakukan Amat sebagai berikut.

Amat memutuskan untuk menyelam ke dasar laut dan dilihatnya perputaran arus yang deras di bawahnya. Karang-karang yang kokoh tak berwarna hijau lagi. Dia ingat apa yang dikatakan oleh ayahnya, “Kalau warna hijau melilit karang, itu adalah makanan ikan. Jika lumut-lumut berwarna hijau itu hilang, harus ditanam lagi”. (Pincalang: 30)


(17)

154

Ekosistem terumbu karang mempunyai manfaat yang bermacam-macam, yakni sebagai tempat hidup bagi berbagai biota laut tropis lainnya sehingga terumbu karang memiliki keanekaragaman jenis biota sangat tinggi dan sangat produktif, dengan bentuk dan warna yang beraneka ragam, sehingga dapat dijadikan sebagai sumber bahan makanan dan daerah tujuan wisata, selain itu juga dari segi ekologi terumbu karang berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak.

Oleh sebab itu mereka berusaha memperbaiki terumbu karang yang berserakan. Meletakkan ganggang-ganggang di sela-sela karang dan membiakkannya untuk makanan ikan. Pekerjaan mulia mereka sering menjadi bahan ejekan, karena mereka dianggap konyol, tidak mau beralih dari kehidupannya. Setidaknya mereka bisa menjadi pekerja di atas kapal-kapal hasil kredit yang diamanahkan oleh keppres.

Seperti halnya hutan, laut juga sebagai sumber daya alam potensial. Kerusakan biota laut dan pantai banyak disebabkan karena ulah manusia. Pengambilan pasir pantai, karang di laut, pengrusakan hutan bakau, merupakan kegatan-kegiatan manusia yang mengancam kelestarian laut dan pantai. Terjadinya abrasi yang mengancam kelestarian pantai disebabkan telah hilangnya hutan bakau di sekitar pantai yang merupakan pelindung alami terhadap gempuran ombak.

Terkait dengan uapaya pelestarian alam dan lingkungan laut, Azwir (54 tahun) pada wawancara tanggal 14 Februari 2014, memberikan pendapat bahwa;

“Sebenarnya persoalan lingkungan hidup, bukan hanya sekadar soal pencemaran, sampah dan upaya penanggulangannya. Tapi persoalan lingkungan adalah persoalan yang terkait erat dengan pandangan hidup, sikap dan prilaku manusia dalam hubungannya dengan alam. Akar persoalan pencemaran dan pengrusakan lingkungan hidup alam laut, terdapat pada pandangan manusia terhadap alam. Bila pandangan kita benar dan baik, maka sikap, prilaku dan tindakan kita terhadap alam juga benar dan baik. Kita mestinya memandang lingkungan alam atau bumi ini adalah sahabat, bahkan sebagai ibu yang menghidupi kita. Sebagaimana seorang anak harus sayang, hormat, akrab dengan ibunya, kita semestinya harus hormat, akrab, sayang kepada alam atau bumi yang disebut ibu pertiwi itu”.

Beberapa hal penting yang harus dilakukan terkait dengan upaya pelestarian alam laut dan pantai adalah sebagai berikut.

1) Melakukan reklamasi pantai dengan menanam kembali tanaman bakau di areal sekitar pantai.

2) Melarang pengambilan batu karang yang ada di sekitar pantai maupun di dasar laut, karena karang merupakan habitat ikan dan tanaman laut.

3) Melarang pemakaian bahan peledak dan bahan kimia lainnya dalam mencari ikan.

4) Melarang pemakaian pukat harimau untuk mencari ikan.

Representasi Amat dan keluarganya, mewakili masyarakat Pincalang memiliki adat atau kebiasaan yang sangat bernilai, yaitu menjaga dan melestarikan kehidupan biota laut yang menjadi sumber dari kehidupan mereka. Sebuah catatan yang mengakhiri sebagai nilai kearifan lokal dalam novel ini adalah gambaran bahwa, Amat yang lahir, besar, belajar mengaji, menikah, dan beranak-pinak di atas Pincalang hafal betul kondisi pulau-pulau di sana dan hafal tentang cuaca, serta menguasai seluk beluk laut. Dia dan keluarganya serta beberapa adik angkatnya berusaha keras bertahan untuk hidup sesuai dengan apa yang diamanahkan oleh leluhur mereka. Dari sebuah rumpun, ada yang dilahirkan sebagai orang yang berjuang dengan hatinya yang tulus. Amat termasuk salah


(18)

155

satu orang yang berusaha untuk mempertahankan alam yang diciptakan oleh-Nya. Dengan keyakinan yang teguh, dia berusaha mempertahankan kebenaran.

b. Benturan Antara Tradisional dan Modernisasi

Nelayan tradisional adalah nelayan yang menggantungkan seluruh hidupnya dari kegiatan penangkapan ikan, dilakukan secara turun-temurun dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana. Dari pengertian ini jelas bahwa, nelayan tradisional diukur dengan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan, serta aktivitas penangkapan ikan itu dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana, dan mereka tidak dikenakan kewajiban memiliki izin usaha perikanan.

Nelayan tradisional merupakan salah satu komponen dalam usaha pengelolaan sumberdaya laut dengan tujuan tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, terutama nelayan. Hal ini senada dengan isi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diserahi kewenangan melakukan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan dengan menempatkan kemakmuran rakyat sebagai arah dan tujuan yang hendak dicapai, terutama kemakmuran masyarakat nelayan di daerahnya. Dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan tersebut pemerintah dituntut harus mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan, termasuk memperbaiki kehidupan nelayan tradisional.

Terkait dengan hal tersebut, masyarakat Pincalang dalam novel merupakan representasi kehidupan nelayan tradisi dan bagian dari kelas sosial yang juga harus mendapatkan perbaikan dan perubahan dalam tatanan hidup mereka. Sastra terkadang mengungkapkan perubahan dan pertentangan-pertentangan antar kelas yang terjadi di masyarakat, juga mengungkapkan ketimpangan dan benturan di tengah masyarakat, karena itulah salah satu tugas karya sastra. Lenin (Luxemburg, 1982: 25) mengungkapkan bahwa sastra dapat membawa perubahan-perubahan dalam masyarakat. Sastra juga dapat berperan sebagai guru yang menjalankan fungsi mengajarnya. Sastra tidak hanya membuka mata para pelaku pertentangan antar kelas sosial, tetapi memberikan pembelajaran atas apa yang terjadi. Pandangan kaum Marxis terhadap karya sastra dan kelas sosial adalah karya sastra merupakan perwakilan kelas sosial tertentu sebab karya sastra digunakan untuk menyampaikan aspirasi kelasnya.

Endraswara (2012: 146) membagi tiga karakteristik pokok tindakan manusia terkait dengan cipta sastra, yaitu (1) Kecenderungan terhadap adaptasi dengan realitas lingkungan, sehingga bentuk karakteristik berhubungan dengan lingkungan yang melingkupi, (2) Kecenderungan menuju konsistensi secara keseluruhan dan untuk menciptakan bentuk struktural, (3) Kecenderungan dinamis, yaitu ke arah memodifikasi dan mengembangkan struktur. Dari tiga kecenderungan ini, nampak bahwa dalam sastra jelas merefleksikan perilaku yang tidak stabil.

Perilaku masyarakat Pincalang yang masih memercayai segala sesuatu berdasarkan tradisi adalah salah satu bentuk penolakan terhadap modernisasi. Mereka masih meyakini kemampuan dan kejelian secara alami, seperti kutipan berikut.

“...Bintang-bintang di langit sangat banyak. Terang dan mengirimkan cahaya biru, kecil-kecil, berkelip-kelip. Dalam pelayaran malam bintang-bintang itu menjadi petunjuk jalan. Menjadi navigasi dan pertanda apakah angin akan datang atau hujan akan deras dan sebagainya. Bintang, bulan dan langit menjadi tumpuan harapan. Jika siang, petunjuk bisa dilihat dari awan atau angin. Semuanya


(19)

156

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015 tergantung kejelian. Pelajaran yang tak pernah dipelajari di bangku sekolah”. (Pincalang: 97-98)

Kemampuan orang Pincalang melihat tanda-tanda alam seperti itu merupakan tradisi lisan yang mengandung nilai dan norma budaya luhur yang dapat dimanfaatkan masyarakat selama beberapa generasi secara turun temurun.

Sibarani (2012: 124) mengatakan bahwa nilai dan norma budaya semacam itu dimanfaatkan leluhur kita di nusantara ini sejak dahulu untuk mengatur berbagai tatanan kehidupan secara arif terutama untuk kesejahteraan dan kedamaian mereka. Pada zaman dahulu, kearifan itulah satu-satunya pedoman hidup masyarakat karena pada waktu itu belum ada undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh negara.

Di dalam kisah lain digambarkan bahwa Amat sebagai orang Pincalang tidak dapat memercayai semua kemampuan teknologi, karena menurutnya alat tersebut tidak melebihi kemampuannya dalam mendeteksi tanda-tanda alam, yang dideskripsikan pengarang sebagai berikut.

“Amat manggut-manggut. Dia tak mengerti sama sekali walau sudah melihat radar itu. Amat tak mampu membedakan mana kapal, pulau, atau Pincalang. Dia tetap lebih percaya pada pengalamannya berpuluh tahun sebagai orang Pincalang. Dia mampu mencium bau karang dari jarak duapuluh mil. Mampu melihat rasi bintang dan mengetahui apakah kawasan itu banyak ikan atau tidak. Amat juga bisa mengetahui kapan datangnya hujan, deras atau rintik. Angin yang kencang menderu-deru atau angin biasa. Bahkan angin berputar pun Amat mampu mengetahuinya hanya dari tanda-tanda alam. Dari arah mana datangnya angin kencang, dari haluan, buritan, atau dari lambung kanan dan kiri”. (Pincalang: 169-170).

Masyarakat dengan latar belakang tradisional yang kuat akan menjaga adat serta tradisinya masing-masing dengan kuat pula. Bahkan, ketika menjadi kaum minoritas pun tradisi serta adat yang dibawa dari tanah kelahirannya akan tetap dipertahankan. Namun, dalam multikulturalisme persinggungan yang tak terhindarkan dari adat dan tradisi seharusnya menjadikan masyarakatnya lebih menghargai serta memahami satu sama lain tanpa harus meninggalkan prinsip serta identitasnya masing-masing.

Ketika menghadapi modernisasi dengan mulai masuknya isu tentang kapal Keppres, orang-orang darat yang digambarkan lebih maju dalam perolehan informasi mulai memikirkan keuntungan dari pengaruh kapal Keppres untuk perekonomian mereka. Namun orang Pincalang memperoleh informasi sangat terbatas, termasuk Amat, walaupun dia sering duduk bersama orang darat tapi tidak terlalu mengerti tentang medernisasi. Yang dia pikirkan hanya lautnya. Sebagai sesama orang Pincalang, mereka hanya mempunyai peraturan tidak tertulis untuk menjaga laut dan menanam tunas-tunas bakau yang mereka temukan:

Setengah hari mereka memotong kayu-kayu bakau yang besar, tidak sampai ke akar. Pohon itu tersisa beberapa puluh senti agar bertunas dan hidup lagi. Tanah berlumpur yang kosong mereka tanami dengan anak-anak bakau yang tumbuh liar. (Pincalang: 25)

Cara yang dilakukan Amat dalam menebang pohon termasuk salah satu cara memanfaatkan hutan tanpa merusaknya. Berdasarkan Pedoman Umum Eksploitasi Hutan (Lampiran Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 76/Kpts/EKKU/3/1969), eksploitasi hutan dapat dilakukan dengan sistem tebang pilih atau tebang habis. Akan tetapi untuk


(20)

157

menjamin kelestarian hutan, maka pada dasarnya eksploitasi hanya dilakukan dengan cara tebang pilih, dan penanaman kembali dilakukan secara alamiah dan buatan.

Sebagai seorang Pincalang, Amat tentu tidak mengetahui adanya peraturan seperti itu, tetapi kearifan budaya yang diajarkan kepadanya mengajarkannya untuk menjaga alam. Secara garis besar, kita dapat melihat bahwa budaya dan sifat asli masyarakat Pincalang dalam menjaga alam sangat sesuai dengan peraturam perundangan dimana keduanya berfungsi untuk melindungi alam dari kehancuran. Lahan yang tampak kosong akan digunakan orang Pincalang untuk menanam bibit baru:

Amat melompat dari satu pohon kelapa ke pohon kelapa yang lain. Setiap usai menjatuhkan buah-buah kelapa dengan tandannya, Maryam memungutinya dengan telaten. Beberapa kelapa yang terjatuh sendiri karena tua, bahkan yang sudah mulai kelihatan tumbuh, ikut dia pungut. Yang tunasnya sudah panjang atau menunjukkan sudah berdaun dipungut untuk ditanam di tanah yang masih kosong. (Pincalang: 27)

Ketika modernasisi dan kemajuan teknologi telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Pincalang, terutama sejak masuknya kapal Keppres, banyak nelayan yang datang dari luar masyarakat Pincalang yang mengabaikan kelestarian alam. Ini merupakan benturan yang harus dihadapi masyarakat tradisional, dan tergambar pada kutipan berikut, ketika Amat marah melihat mereka menebang pohon-pohon bakau sembarangan, sementara Amat sedang menanami bibit bakau.

“Ini baru kutanami, jangan kalian injak-injak! Kalau mau ambil bakau dari ujung sana atau di tempat lain! Amat merasa tak dihargai sama sekali oleh mereka yang rakus menebangi pohon bakau.”

“Lha… Kowe siapa? Enak-enak membentak?” Amat didatangi dua orang. “Pokoknya tak boleh ambil bakau di sini. Baru ditanami.”

“Apa hutan ini bapakmu punya?”

Amat sangat tersinggung ayahnya dibawa-bawa dalam masalah. “Pokoknya tak boleh”. (Pincalang, hal. 213)

Sehubungan dengan adanya perubahan yang dialami masyarakat tradisional ini, Ratna (2011: 400-401) mengatakan bahwa perkembangan peradaban manusia yang diduga mencapai titik puncak di zaman modern, diikuti oleh perubahan orientasi kehidupan. Dengan ditopang oleh perkembangan teknologi maka peralatan berkembang pesat, tenaga manusia digantikan oleh mesin yang pada gilirannya melahirkan zaman industri. Birokrasi melahirkan pegawai negeri, terjadi jual beli intelektualitas dan berbagai bentuk keterampilan lain, pengetahuan melahirkan kekuasaan. Pada dasarnya sejak zaman purba hingga zaman modern, bahkan postmodern hukum rimba tetap berlaku, kelompok yang berkuasa adalah mereka yang memiliki kekuatan.

Perdebatan di atas berlanjut hingga menjadi serangan fisik. Ketika lawan bicara Amat tersebut berusaha memukulnya, Amat secepat kilat memukul kepala salah satu dari mereka dan mengejar satu lainnya yang lari lalu memukulinya hingga terkapar. Hal tersebut menunjukkan salah satu ciri perilaku sosial dari masyarakat pesisir yang terkait dengan sikap temperamental dan harga diri, yang juga dapat disimak dalam pernyataan antropolog Belanda, Boelaars (1984: 62), berikut ini ini.

Orang pesisir memiliki orientasi yang kuat untuk merebut dan meningkatkan kewibawaan atau status sosial. Mereka sendiri mengakui bahwa mereka cepat marah, mudah tersinggung, lekas menggunakan kekerasan, dan gampang cenderung balas-membalas sampai dengan pembunuhan. Orang pesisir memiliki rasa harga diri yang amat tinggi dan sangat peka. Perasaan itu bersumber pada


(1)

155

satu orang yang berusaha untuk mempertahankan alam yang diciptakan oleh-Nya. Dengan keyakinan yang teguh, dia berusaha mempertahankan kebenaran.

b. Benturan Antara Tradisional dan Modernisasi

Nelayan tradisional adalah nelayan yang menggantungkan seluruh hidupnya dari kegiatan penangkapan ikan, dilakukan secara turun-temurun dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana. Dari pengertian ini jelas bahwa, nelayan tradisional diukur dengan pendapatan yang diperoleh dari kegiatan penangkapan ikan, serta aktivitas penangkapan ikan itu dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana, dan mereka tidak dikenakan kewajiban memiliki izin usaha perikanan.

Nelayan tradisional merupakan salah satu komponen dalam usaha pengelolaan sumberdaya laut dengan tujuan tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, terutama nelayan. Hal ini senada dengan isi Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diserahi kewenangan melakukan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan dengan menempatkan kemakmuran rakyat sebagai arah dan tujuan yang hendak dicapai, terutama kemakmuran masyarakat nelayan di daerahnya. Dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan tersebut pemerintah dituntut harus mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan, termasuk memperbaiki kehidupan nelayan tradisional.

Terkait dengan hal tersebut, masyarakat Pincalang dalam novel merupakan representasi kehidupan nelayan tradisi dan bagian dari kelas sosial yang juga harus mendapatkan perbaikan dan perubahan dalam tatanan hidup mereka. Sastra terkadang mengungkapkan perubahan dan pertentangan-pertentangan antar kelas yang terjadi di masyarakat, juga mengungkapkan ketimpangan dan benturan di tengah masyarakat, karena itulah salah satu tugas karya sastra. Lenin (Luxemburg, 1982: 25) mengungkapkan bahwa sastra dapat membawa perubahan-perubahan dalam masyarakat. Sastra juga dapat berperan sebagai guru yang menjalankan fungsi mengajarnya. Sastra tidak hanya membuka mata para pelaku pertentangan antar kelas sosial, tetapi memberikan pembelajaran atas apa yang terjadi. Pandangan kaum Marxis terhadap karya sastra dan kelas sosial adalah karya sastra merupakan perwakilan kelas sosial tertentu sebab karya sastra digunakan untuk menyampaikan aspirasi kelasnya.

Endraswara (2012: 146) membagi tiga karakteristik pokok tindakan manusia terkait dengan cipta sastra, yaitu (1) Kecenderungan terhadap adaptasi dengan realitas lingkungan, sehingga bentuk karakteristik berhubungan dengan lingkungan yang melingkupi, (2) Kecenderungan menuju konsistensi secara keseluruhan dan untuk menciptakan bentuk struktural, (3) Kecenderungan dinamis, yaitu ke arah memodifikasi dan mengembangkan struktur. Dari tiga kecenderungan ini, nampak bahwa dalam sastra jelas merefleksikan perilaku yang tidak stabil.

Perilaku masyarakat Pincalang yang masih memercayai segala sesuatu berdasarkan tradisi adalah salah satu bentuk penolakan terhadap modernisasi. Mereka masih meyakini kemampuan dan kejelian secara alami, seperti kutipan berikut.

“...Bintang-bintang di langit sangat banyak. Terang dan mengirimkan cahaya biru, kecil-kecil, berkelip-kelip. Dalam pelayaran malam bintang-bintang itu menjadi petunjuk jalan. Menjadi navigasi dan pertanda apakah angin akan datang atau hujan akan deras dan sebagainya. Bintang, bulan dan langit menjadi tumpuan harapan. Jika siang, petunjuk bisa dilihat dari awan atau angin. Semuanya Rini Efri Leni


(2)

156

Kajian Linguistik, Tahun Ke-12, No 1, Februari 2015 tergantung kejelian. Pelajaran yang tak pernah dipelajari di bangku sekolah”. (Pincalang: 97-98)

Kemampuan orang Pincalang melihat tanda-tanda alam seperti itu merupakan tradisi lisan yang mengandung nilai dan norma budaya luhur yang dapat dimanfaatkan masyarakat selama beberapa generasi secara turun temurun.

Sibarani (2012: 124) mengatakan bahwa nilai dan norma budaya semacam itu dimanfaatkan leluhur kita di nusantara ini sejak dahulu untuk mengatur berbagai tatanan kehidupan secara arif terutama untuk kesejahteraan dan kedamaian mereka. Pada zaman dahulu, kearifan itulah satu-satunya pedoman hidup masyarakat karena pada waktu itu belum ada undang-undang atau peraturan yang dibuat oleh negara.

Di dalam kisah lain digambarkan bahwa Amat sebagai orang Pincalang tidak dapat memercayai semua kemampuan teknologi, karena menurutnya alat tersebut tidak melebihi kemampuannya dalam mendeteksi tanda-tanda alam, yang dideskripsikan pengarang sebagai berikut.

“Amat manggut-manggut. Dia tak mengerti sama sekali walau sudah melihat radar itu. Amat tak mampu membedakan mana kapal, pulau, atau Pincalang. Dia tetap lebih percaya pada pengalamannya berpuluh tahun sebagai orang Pincalang. Dia mampu mencium bau karang dari jarak duapuluh mil. Mampu melihat rasi bintang dan mengetahui apakah kawasan itu banyak ikan atau tidak. Amat juga bisa mengetahui kapan datangnya hujan, deras atau rintik. Angin yang kencang menderu-deru atau angin biasa. Bahkan angin berputar pun Amat mampu mengetahuinya hanya dari tanda-tanda alam. Dari arah mana datangnya angin kencang, dari haluan, buritan, atau dari lambung kanan dan kiri”. (Pincalang: 169-170).

Masyarakat dengan latar belakang tradisional yang kuat akan menjaga adat serta tradisinya masing-masing dengan kuat pula. Bahkan, ketika menjadi kaum minoritas pun tradisi serta adat yang dibawa dari tanah kelahirannya akan tetap dipertahankan. Namun, dalam multikulturalisme persinggungan yang tak terhindarkan dari adat dan tradisi seharusnya menjadikan masyarakatnya lebih menghargai serta memahami satu sama lain tanpa harus meninggalkan prinsip serta identitasnya masing-masing.

Ketika menghadapi modernisasi dengan mulai masuknya isu tentang kapal Keppres, orang-orang darat yang digambarkan lebih maju dalam perolehan informasi mulai memikirkan keuntungan dari pengaruh kapal Keppres untuk perekonomian mereka. Namun orang Pincalang memperoleh informasi sangat terbatas, termasuk Amat, walaupun dia sering duduk bersama orang darat tapi tidak terlalu mengerti tentang medernisasi. Yang dia pikirkan hanya lautnya. Sebagai sesama orang Pincalang, mereka hanya mempunyai peraturan tidak tertulis untuk menjaga laut dan menanam tunas-tunas bakau yang mereka temukan:

Setengah hari mereka memotong kayu-kayu bakau yang besar, tidak sampai ke akar. Pohon itu tersisa beberapa puluh senti agar bertunas dan hidup lagi. Tanah berlumpur yang kosong mereka tanami dengan anak-anak bakau yang tumbuh liar. (Pincalang: 25)

Cara yang dilakukan Amat dalam menebang pohon termasuk salah satu cara memanfaatkan hutan tanpa merusaknya. Berdasarkan Pedoman Umum Eksploitasi Hutan (Lampiran Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 76/Kpts/EKKU/3/1969), eksploitasi hutan dapat dilakukan dengan sistem tebang pilih atau tebang habis. Akan tetapi untuk


(3)

157

menjamin kelestarian hutan, maka pada dasarnya eksploitasi hanya dilakukan dengan cara tebang pilih, dan penanaman kembali dilakukan secara alamiah dan buatan.

Sebagai seorang Pincalang, Amat tentu tidak mengetahui adanya peraturan seperti itu, tetapi kearifan budaya yang diajarkan kepadanya mengajarkannya untuk menjaga alam. Secara garis besar, kita dapat melihat bahwa budaya dan sifat asli masyarakat Pincalang dalam menjaga alam sangat sesuai dengan peraturam perundangan dimana keduanya berfungsi untuk melindungi alam dari kehancuran. Lahan yang tampak kosong akan digunakan orang Pincalang untuk menanam bibit baru:

Amat melompat dari satu pohon kelapa ke pohon kelapa yang lain. Setiap usai menjatuhkan buah-buah kelapa dengan tandannya, Maryam memungutinya dengan telaten. Beberapa kelapa yang terjatuh sendiri karena tua, bahkan yang sudah mulai kelihatan tumbuh, ikut dia pungut. Yang tunasnya sudah panjang atau menunjukkan sudah berdaun dipungut untuk ditanam di tanah yang masih kosong. (Pincalang: 27)

Ketika modernasisi dan kemajuan teknologi telah menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat Pincalang, terutama sejak masuknya kapal Keppres, banyak nelayan yang datang dari luar masyarakat Pincalang yang mengabaikan kelestarian alam. Ini merupakan benturan yang harus dihadapi masyarakat tradisional, dan tergambar pada kutipan berikut, ketika Amat marah melihat mereka menebang pohon-pohon bakau sembarangan, sementara Amat sedang menanami bibit bakau.

“Ini baru kutanami, jangan kalian injak-injak! Kalau mau ambil bakau dari ujung sana atau di tempat lain! Amat merasa tak dihargai sama sekali oleh mereka yang rakus menebangi pohon bakau.”

“Lha… Kowe siapa? Enak-enak membentak?” Amat didatangi dua orang. “Pokoknya tak boleh ambil bakau di sini. Baru ditanami.”

“Apa hutan ini bapakmu punya?”

Amat sangat tersinggung ayahnya dibawa-bawa dalam masalah. “Pokoknya tak boleh”. (Pincalang, hal. 213)

Sehubungan dengan adanya perubahan yang dialami masyarakat tradisional ini, Ratna (2011: 400-401) mengatakan bahwa perkembangan peradaban manusia yang diduga mencapai titik puncak di zaman modern, diikuti oleh perubahan orientasi kehidupan. Dengan ditopang oleh perkembangan teknologi maka peralatan berkembang pesat, tenaga manusia digantikan oleh mesin yang pada gilirannya melahirkan zaman industri. Birokrasi melahirkan pegawai negeri, terjadi jual beli intelektualitas dan berbagai bentuk keterampilan lain, pengetahuan melahirkan kekuasaan. Pada dasarnya sejak zaman purba hingga zaman modern, bahkan postmodern hukum rimba tetap berlaku, kelompok yang berkuasa adalah mereka yang memiliki kekuatan.

Perdebatan di atas berlanjut hingga menjadi serangan fisik. Ketika lawan bicara Amat tersebut berusaha memukulnya, Amat secepat kilat memukul kepala salah satu dari mereka dan mengejar satu lainnya yang lari lalu memukulinya hingga terkapar. Hal tersebut menunjukkan salah satu ciri perilaku sosial dari masyarakat pesisir yang terkait dengan sikap temperamental dan harga diri, yang juga dapat disimak dalam pernyataan antropolog Belanda, Boelaars (1984: 62), berikut ini ini.

Orang pesisir memiliki orientasi yang kuat untuk merebut dan meningkatkan kewibawaan atau status sosial. Mereka sendiri mengakui bahwa mereka cepat marah, mudah tersinggung, lekas menggunakan kekerasan, dan gampang cenderung balas-membalas sampai dengan pembunuhan. Orang pesisir memiliki rasa harga diri yang amat tinggi dan sangat peka. Perasaan itu bersumber pada Rini Efri Leni


(4)

158

kesadaran mereka bahwa pola hidup pesisir memang pantas mendapat penghargaan yang tinggi.

Secara ekonomi, tokoh Amat dalam cerita ini sebenarnya tidak kesulitan menerima Keppres tersebut sebab dia mampu mengkredit kapal itu. Bahkan dia mampu membuat KM. Pincalang, sebuah kapal bermuatan 20 ton, dengan fasilitas kredit dari bank. Namun meski ia mampu, sebagai orang Pincalang, ia tidak tega melihat penderitaan saudara-saudaranya yang miskin. Inilah nilai kearifan lokal lainnya yang terus dibawa Amat. Untuk itu, dia mencoba mengadu ke DPRD/Parpol, dan wartawan. Sayangnya, anggota DPRD/Parpol tempatnya mengadu malah di-recall dari DPRD, wartawan pun digari penanya pakai amplop atau diintimidasi. Bahkan Amat dianggap provokator, lalu diburu patroli hingga ke sudut pulau, ditembak, ditangkap, diadili dan dipenjarakan tanpa ampun. Begitulah nasib Amat, orang Pincalang yang ingin memertahankan kelestarian alam dan masyarakatnya.

Penebangan kayu secara sembarangan ini juga menyebabkan surutnya ekonomi. Dalam novel ini dikisahkan ketika tidak ada lagi kayu bakau yang bisa ditebang, nelayan-nelayan pendatang itu pindah ke daerah lain. Tapi ketika bakau yang ditanami Amat tumbuh, mereka kembali untuk menebangnya dengan dikawal anggota yang bersenjata.

Penurunan produksi tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman akan kemampuan hutan untuk berproduksi sehingga yang dipanen melebihi produksi hutan, ditambah dengan kurangnya kesadaran untuk menjaga kelestarian hutan agar dapat tetap berproduksi dalam jangka panjang. Kurangnya kesadaran tersebut bukan saja pada para pengusaha tetapi juga pada petugas kehutanan dan kelautan yang mengawasi pelaksanaan pengusahaan hutan dan laut. Para pemilik HPH (Hak Pengusahaan Hutan) tidak berkeinginan untuk mengelola hutan secara lestari apalagi izin yang diberikan adalah Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) dalam waktu yang terbatas, dan bukan izin usaha pengelolaan hutan. Hal inilah yang mengakibatkan terjadinya kerusakan hutan, karena tidak dikelola dengan baik.

Amat dan keluarganya adalah sosok yang terus berjuang untuk menjaga pesan-pesan dari leluhurnya, pesan-pesan yang sarat dengan norma kehidupan yang mereka miliki. Sudah barang tentu, pesan itu lahir dari lokal jenius yang melahirkan kearifan lokal pula. Baginya laut serta segala isi yang terkandung di dalamnya adalah sumber kehidupan yang memberikan kesejahteraan bagi manusia. Untuk itu, Amat berjuang untuk menjaga kelestarian laut dengan merawat terumbu karang dan pohon-pohon bakau, tempat ikan-ikan dan binatang laut lainnya berkembang biak.

Amat yang lahir, besar, belajar mengaji, menikah, dan beranak-pinak di atas Pincalang hafal betul kondisi pulau-pulau di sana, hafal tentang cuaca, dan menguasai seluk beluk laut. Dia dan keluarganya serta beberapa adik angkatnya berusaha keras bertahan untuk hidup sesuai dengan apa yang diamanahkan oleh leluhur mereka. Dari sebuah rumpun, ada yang dilahirkan sebagai orang yang berjuang dengan hatinya yang tulus untuk menjaga alam dan lingkungannya. Amat termasuk salah satu orang yang berusaha untuk memertahankan alam yang diciptakan Allah, dengan keyakinannya yang teguh.

Pelestarian alam yang dilakukan oleh Amat dan keluarganya turun temurun, tidak lagi dapat terjaga, karena banyak nelayan kapitalis hanya mengeksploitasi hasil laut, sehingga masyarakat Pincalang perlahan punah. Penelitian ini diharap dapat merevitalisasi kearifan lokal yang pernah ada.


(5)

159 SIMPULAN

Dari hasil deskripsi dan analisis melalui penelitian terhadap novel Pincalang karya Idris pasaribu penulis menyimpulkan bahwa;

Upaya masyarakat Pincalang menjaga kearifan lokal dalam menghadapi era modernisasi nampak dari upaya mereka yang selalu menjaga alam dan kehidupan laut yang diturunkan dari generasi ke generasi. Orang Pincalang selalu menjaga ekosistem laut, menanam lumut-lumut hijau pada terumbu karang agar tetap hidup, menyisakan beberapa senti batang bakau agar dapat bertunas, menanami kelapa di lahan yang masih kosong.

Bentuk kearifan lainnya juga dideskripsikan pengarang dalam bentuk kerjasama dalam kehidupan masyarakat Pincalang dalam menghadapi berbagai permasakahan dalam menjaga Pincalangnya dari perompak, sekaligus juga memertahankan keselamatan jiwa keluarganya. Ketika menghadapi modernisasi perlahan kearifan ini mulai luntur dan masyarakat Pincalangpun punah.

Saran

Masyarakat Pincalang yang saat ini telah punah dan digantikan oleh nelayan tradisional, adalah masyarakat dengan mata pencaharian utamanya mencari dan menangkap ikan dan memanfaatkan jenis-jenis biota laut lainnya yang bernilai ekonomi dengan menggunakan alat bantu berupa jaring dan lainnya. Meskipun masyarakat Pincalang telah punah, namun Penulis menyarankan kepada setiap orang untuk menjaga habitat laut dan mewariskan kearifan lokal yang baik sebagai warisan budaya kepada generasi berikutnya.

Penelitian terhadap novel Pincalang masih perlu diteliti dari perspektif lainnya. Oleh sebab itu penulis berharap agar penelitian lebih diperluas dari sumber data dan penerapan metodologi yang dapat dilakukan pada masa yang akan datang. Dengan demikian hasil penelitian ini dapat memberi sumbangan pemikiran atas keberlanjutan pelestarian alam dan lingkungan laut, dan merevitalisasi kearifan lokal yang diwariskan nenek moyang kita secara turun temurun.

DAFTAR PUSTAKA

Boelaars, Yan. (1984). Kepribadian Indonesia Modern: Suatu Penelitian Antropologi Budaya. Jakarta: Gramedia.

Buku Pedoman Tata Cara Penulisan Tesis & Disertasi (2012). Medan: Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Bungin, Burhan. (2007). Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Damono, Sapardi Djoko. (2002). Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta: Pusat Bahasa.

Damono, Sapardi Djoko. (2003). Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Pusat Bahasa.

Elizabeth, Tom Burns (Ed). (1973). Sociology of Literature and Drama. Middlesex: Penguin books.

Endraswara, Suardi. (2012). Teori Pengkajian Sosiologi Sastra Yogyakarta: Gadjah UNY Press.


(6)

160

Faruk. (2013). Pengantar Sosiologi Sastra dari Strukturalisme Genetik sampai Post Modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Hatu, Rauf. (1999). Perubahan Huyula dalam Kehidupan Masyarakat Desa Buhu Kecamatan Tibawa Kabupaten Gorontalo. Tesis S2 Unair. Surabaya.

Hooguelt, Ankle MM. (1995). Sosiologi Sedang Berkembang: Jakarta. Raja Grafindo Persada.

Kamanto, Sunarto. (2004). Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Luxemburg, Jan Van, dkk. (1982). Pengantar Ilmu Sastra (Terj. Dick Hartoko). Jakarta: PT Gramedia.

Moleong, Lexy J. (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Pasaribu, Idris. (2012). Pincalang. Jakarta: Salsabila, Pustaka Alkautsar.

Rakhmat, Jalaludin. (2004). Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosda Karya

Ratna, Nyoman Kutha. (2003). Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. (2007). Sastra dan Culture Studies: Representasi Fiksidan Fakta.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. (2011). Antropologi Sastra, Peranan Unsur-Unsur Kebudayaan dalam Prosese Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Semi, Atar. (1988), Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya.

Sibarani, Robert. (2012). Kearifan Lokal. Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan.Jakarta : Asosiasi Tradisi Lisan (ATL).

Soekanto, Soerjono. (1990). Sosiologi Suatu Pengantar, Edisi Baru. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sumardjo, Jakob. (2006). Filsafat Seni. Bandung: ITB.

Wellek, Rene dan Austin Warren. (1989). Teori Kesusasteraan (diindonesiakan oleh Melani Budianta dari Theory of Literature). Jakarta: Gramedia

Website

Harahap, Abdul Rahim. (2013). Ada Apa di Balik “Pincalang” Idris Pasaribu, Sebuah Kritikan. E-Jurnal Keguruan Volume 1 No. 1 ISSN : 2337-6198 Januari – Juni 2013 E-mail: Abdul.rahimharahap@fkip.uisu.ac.id

Indriati, Era, H. Martono, Sesilia Seli. (2013). Nilai-nilai Budaya dalam Novel Para Priyayi Karya Umar Kayam dan Implementasi di Sekolah.Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Vol.2, No. 9 Tahun 2013.

Juliawati, Ni Putu Eka. (2012). Representasi Budaya Lokal dalam Kegiatan Festival di Kota Denpasar. E-Jurnal Kajian Budaya Universitas Udayana ISSN: 2302-7304 Volume 1, Nomor 1, Desember 2012.

Pramon: http://coastalpoverty.blogspot.com/2008/02 gambaran-kehidupan-masyarakat-pesisir.html).