Konsep Pendidikan dalam Novel Pincalang Karya Idris Pasaribu.

(1)

KONSEP PENDIDIKAN

DALAM NOVEL

PINCALANG

KARYA IDRIS

PASARIBU

SKRIPSI

OLEH ROBBISAM

090701007

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013


(2)

LEMBARAN PERNYATAAN

KONSEP PENDIDIKAN DALAM NOVEL PINCALANG KARYA IDRIS PASARIBU

Oleh Robbisam NIM 090701007

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh pihak lain, kecuali yang saya kutip dalam naskah ini dan dituliskan di dalam daftar pustaka. Apabila pernyataan yang saya buat ini tidak benar, saya bersedia menerima sanksi.

Medan, 10 Oktober 2013 Peneliti,

Robbisam NIM 090701007


(3)

Abstrak

KONSEP PENDIDIKAN DALAM NOVEL

PINCALANG

KARYA IDRIS PASARIBU

Oleh: Robbisam

Sastra Indonesia FIB USU

Karya sastra tercipta melalui proses kreatif yang dilakukan oleh seorang pengarang. Karya Sastra yang bermutu tidak bisa lahir begitu saja. Seorang pengarang terlebih dahulu harus melaui proses kreatif dalam penciptaan karya sastra tersebut. Proses kreatif yang baik berupa observasi yang mendalam terhadap aspek atau pun konsep-konsep yang ingin digambarkan oleh seorang pengarang di dalam karyanya. Setelah melalui proses tersebut, bagian-bagian yang telah diobservasi oleh pengarang kemudian didramatisir sedemikian rupa untuk mendapatkan afek estetis yang menjadikan karya tersebut menarik serta memiliki bahan pembelajaran yang dapat diimplementasikan di dalam kehidupan sehari-hari. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan tujuan memperoleh gambaran pendidikan yang terdapat dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu. Untuk mencapai tujuan tersebut penulis telah menganalisis novel Pincalang Karya Idris Pasaribu dengan menggunakan teori sosiologi sastra yang berfokus pada segi-segi kemasyarakatan di dalam karya.Masalah dalam analisis skripsi ini dibatasi pada gambaran pendidikan serta nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu. Manfaat dari penelitian ini untuk memperkaya pengkajian serta pengapresiasian karya sastra Indonesia, dapat memahami gambaran pendidikan serta memahami nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu. Metode yang digunakan dalan penelitian ini adalah metode membaca heuristik dan hermeneutik. Gambaran pendidikan di dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu dapat dilihat dari perjalanan kehidupan orang-orang perahu di dalam karya tersebut. Sebagai kesimpulan dalam analisis ini, penulis menemukan beberapa konsep pendidikan yang terdapat dalam novel Pincalang yaitu antara lain: konsep pendidikan formal, nonformal, dan informal. Menegenaia analisis nilai-nilai pendidikan di dalam novel Pincalang penulis menemukan beberapa kategori tentang nilai pendidikan antara lain: nilai pendidikan lingkungan, nilai pendidikan keluarga, nilai pendidikan sosial, dan nilai pendidikan religuis.


(4)

Kata Pengantar

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT. Karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Konsep Pendidikan dalam Novel Pincalang Karya Idris Pasaribu. Proses dari awal sampai akhir penulisan skripsi ini sangat banyak kesulitan yang penulis alami, namun berkat saran dan dukungan dari semua pihak, sehingga semua hambatan dapat penulis atasi. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Rektor dan Pembantu Rektor Universitas Sumatera Utara, Medan. Terima kasih atas kesempatan dan fasilitas-fasilitas yang telah penulis gunakan selama kuliah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara, Medan.

2. Dekan dan Pembantu Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU, Medan. Terima kasih atas arahan dan bimbingan yang bapak berikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan tepat waktu di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, USU, Medan.

3. Ketua Departemen Sastra Indonesia Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M. Si. dan Sekretaris Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M. Sp. Fakultas Ilmu Budaya USU. Terima kasih atas semua petunjuk yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan semua urusan administrasi di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya. USU, Medan.


(5)

4. Pembimbing I Bapak Drs. Isma Tantawi, M.A. dan pembimbing II Ibu Dra. Kristiana, M. Hum. Terima kasih karena telah membimbing penulis dengan sungguh-sungguh, sehingga penulis dapat memahami proses penelitian dari awal sampai akhir.

5. Ayahanda Burhanuddin dan Ibunda Lasmi. Terima kasih atas semua usha dan doa, sehingga ananda dapat meraih gelar sarjana pada Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, USU, Medan.

6. Abangda Dasri Lubis dan Andryani S.H. sekeluarga. Terima kasih banyak untuk segala perhatian, pemberian, serta kasih sayang kepada penulis selama penulis menjalankan perkuliahan di Departemen Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, USU, Medan.

7. Keluarga Besar Bahasa dan Sastra Indonesia (KBSI). Terima kasih untuk kekeluargaan yang dapat penulis rasakan selama menjalankan perkuliahan di Departemen Sastra Indonesia , Fakultas Ilmu Budaya USU, Medan. 8. UKM Teater’O’ Universitas Sumatera Utara. Terima kasih untuk

kekeluargaan dan pembelajaran dalam hal seni pertunjukan yang penulis peroleh selama menjabat sebagai anggota UKM Teater’O’ Universitas Sumatera Utara, Medan.

9. Semua pihak yang pernah membantu penulis. Terima kasih segala bentuk bantuannya. Walau tidak saya sebutkan namanya satu per satu, namun penulis tetap mengenangnya sampai akhir hayat.

Dalam usaha pengumpulan dan pengolahan data serta penulisan skripsi ini, penulis telah berusaha dengan sungguh-sunguh. Namun demikian, jika ada


(6)

kekurangan dan kelemahan, penulis bersedia menerima saran yang bersifat membina, demi sikap ilmiah dan perbaikan bagi penulis pada masa mendatang.

Medan, 14 Oktober 2013

Robbisam NIM 090701007


(7)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN……….1

1.1 Latar Belakang………1

1.2 Rumusan Masalah………...5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ………. 6

1.3.1 Tujuan Penelitian………..………...6

1.3.2 Manfaat Penelitian………...………6

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN PUSTAKA…….7

2.1 Konsep……….………...7

2.1.1 Novel……...……….…….………..8

2.1.2 Nilai………...………..9

2.1.3 Pendidikan……….….…...….…...……….10

2.1.4 Nilai Pendidikan………....….………11

2.1.5 Sosiologi Sastra……….…….………12

2.2 Landasan Teori………..……….13

2.3 Tinjauan Pustaka………..………...16

BAB III METODE PENELITIAN……….………..……..19

3.1 Metode Pengumpulan Data………..…...…...19

3.2 Sumber Data………..……….20

3.3 Metode Analisis Data……….……….20


(8)

BAB IV KONSEP PENDIDIKAN DALAM NOVEL PINCALANG KARY A

IDRIS PASARIBU………25

4.1 Konsep Pendidikan dalam Novel Pincalang Karya Idris Pasaribu……..25

4.1.1 Pendidikan Formal………..25

4.1.2 Pendidikan Nonformal………26

4.1.3 Pendidikan Informal………...28

4.2 Nilai Pendidikan dalam Novel Pincalang Karya Idris Pasaribu…...30

4.2.1 Nilai Pendidikan Lingkungan……….………30

4.2.1 Nilai Pendidikan Keluarga……….……….………33

4.2.2 Nilai Pendidikan Sosial……….……….………38

4.2.3 Nilai Pendidikan Religius………44

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………49


(9)

Abstrak

KONSEP PENDIDIKAN DALAM NOVEL

PINCALANG

KARYA IDRIS PASARIBU

Oleh: Robbisam

Sastra Indonesia FIB USU

Karya sastra tercipta melalui proses kreatif yang dilakukan oleh seorang pengarang. Karya Sastra yang bermutu tidak bisa lahir begitu saja. Seorang pengarang terlebih dahulu harus melaui proses kreatif dalam penciptaan karya sastra tersebut. Proses kreatif yang baik berupa observasi yang mendalam terhadap aspek atau pun konsep-konsep yang ingin digambarkan oleh seorang pengarang di dalam karyanya. Setelah melalui proses tersebut, bagian-bagian yang telah diobservasi oleh pengarang kemudian didramatisir sedemikian rupa untuk mendapatkan afek estetis yang menjadikan karya tersebut menarik serta memiliki bahan pembelajaran yang dapat diimplementasikan di dalam kehidupan sehari-hari. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan tujuan memperoleh gambaran pendidikan yang terdapat dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu. Untuk mencapai tujuan tersebut penulis telah menganalisis novel Pincalang Karya Idris Pasaribu dengan menggunakan teori sosiologi sastra yang berfokus pada segi-segi kemasyarakatan di dalam karya.Masalah dalam analisis skripsi ini dibatasi pada gambaran pendidikan serta nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu. Manfaat dari penelitian ini untuk memperkaya pengkajian serta pengapresiasian karya sastra Indonesia, dapat memahami gambaran pendidikan serta memahami nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu. Metode yang digunakan dalan penelitian ini adalah metode membaca heuristik dan hermeneutik. Gambaran pendidikan di dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu dapat dilihat dari perjalanan kehidupan orang-orang perahu di dalam karya tersebut. Sebagai kesimpulan dalam analisis ini, penulis menemukan beberapa konsep pendidikan yang terdapat dalam novel Pincalang yaitu antara lain: konsep pendidikan formal, nonformal, dan informal. Menegenaia analisis nilai-nilai pendidikan di dalam novel Pincalang penulis menemukan beberapa kategori tentang nilai pendidikan antara lain: nilai pendidikan lingkungan, nilai pendidikan keluarga, nilai pendidikan sosial, dan nilai pendidikan religuis.


(10)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Karya sastra adalah kesimpulan terhadap nilai yang berkembang dalam suatu masyarakat. Masyarakat di sini termasuk juga sang kritikus, pengarang (sastrawan), dan pembaca karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra memiliki keterkaitan yang sangat erat terhadap sosial-budaya dan kehidupan masyarakat yang digambarkannya lewat kata-kata. Karya sastra diciptakan oleh seorang pengarang bukan untuk dibaca oleh pengarang itu sendiri, akan tetapi di dalam karya sastra terdapat ide, gagasan, pengalaman, dan amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan harapan apa yang dibacanya menjadi bahan perenungan untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari dan menjadi berguna bagi perkembangan kualitas kehidupannya (Ikhwanuddin 2009: 8). Seorang pengarang tentunya harus memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap problematika atau gejolak sosial yang terjadi di lingkungan sekitarnya, dengan sensitifitasnya tersebut sebuah gejala kehidupan diobservasi secara mendalam oleh seorang pengarang yang kemudian dituangkan dalam bentuk karya sastra yang syarat dengan pesan moral dan nilai pendidikan yang bermanfaat bagi masyarakat pembaca.

Karya Sastra sebenarnya ditulis dengan maksud untuk menunjukkan nilai-nilai kehidupan. Setidak-tidaknya karya sastra mempersoalkan nilai-nilai-nilai-nilai yang dipandang kurang sesuai dengan kebutuhan zaman atau kebutuhan manusia


(11)

umumnya. Nilai kehidupan yang ditawarkan dapat berupa nilai keagamaan, budaya, moral, budi pekerti, pendidikan maupun nilai sosial (Sumardjo,1986: 3).

Karya sastra juga memiliki fungsi bagi kehidupan masyarakat.

Wellek dan Warren (1995: 25) mengatakan bahwa sastra berfungsi untuk memberikan kesenangan dan manfaat. Kedua hal ini saling mengisi, kesenangan yang diperoleh dari sastra bukan kesenangan bersifat fisik atau materi, melainkan kesenangan yang lebih tinggi, yaitu kontemplasi yang tidak mencari keuntungan. Manfaat yang diperoleh dari karya sastra ialah karya sastra mampu menciptakan suasana lebih menarik, lebih bersemangat, dan memberikan kenikmatan bagi pembacanya sehingga apa yang dibutuhkan oleh masyarakatnya dapat dipenuhi dengan baik.

Pincalang Karya Idris Pasaribu dipilih menjadi objek penelitian ini karena penulis memiliki beberapa pertimbangan. Pincalang merupakan sebuah novel yang menginspirasi dengan tema yang cukup sederhana, namun dikemas dengan sangat menarik karena mengangkat sebuah kearifan lokal. Pincalang menggambarkan realitas kehidupan orang-orang perahu yang berjuang untuk menjaga pesan-pesan leluhurnya. Pesan-pesan yang syarat dengan nilai-nilai pendidikan. Bagi orang-orang perahu laut dan segala isi yang terkandung di dalamnya adalah sumber kehidupan yang memberikan kesejahteraan bagi manusia, oleh karena itu, tokoh-tokoh yang dihadirkan Idris Pasaribu dalam karyanya Pincalang berjuang menjaga keasrian laut, merawat terumbu karang, dan pohon-pohon bakau. Dalam Pincalang Idris Pasaribu juga menggambarkan polemik yang sangat berdampak bagi tradisi dan budaya suatu kelompok masyrakat. Polemik itu


(12)

adalah modernisasi yang tidak selamanya membawa pengaruh baik bagi budaya suatu kolektif. Idris Pasaribu dengan sangat baik menggambarkan bagaimana sentuhan modernisasi terhadap masyarakat budaya yang masih kental dengan tradisi lama serta tata kehidupan klasik yang mereka terima dan wariskan secara turun-temurun.

Tokoh yang ditonjolkan Idris Pasaribu dalam novelnya Pincalang adalah Amat. Amat adalah bagian dari orang-orang perahu yang lahir, besar, belajar mengaji, menikah, dan beranak-pinak di atas perahu yang disebut Pincalang. Amat dan orang-orang perahu lainnya berusaha mempertahankan tata kehidupan yang diajarkan oleh leluhurnya yaitu dengan selalu menjaga alam sekitar khususnya laut dan biotanya sebagai anugerah bagi kehidupan manusia yang harus dijaga dan lestarikan. Dengan keyakinan yang teguh, mereka berusaha keras untuk mempertahankan nilai-nilai dan tata kehidupan yang diwariskan leluhurnya kepada mereka.

Saat Amat sebagai salah satu dari orang-orang perahu berumur 16 tahun, ayahnya berpesan agar dia segera menikah. Maka dari itu, dipilihkanlah Maryam yang hanya terpaut usia dua tahun lebih muda dari Amat sebagai calon istrinya. Dari pernikahan tersebut mereka dikaruniai seorang anak beranama Buyung. Amat yang hanya berbekal kepandaian berbahasa Arab merasa apa yang dimilikinya tidak cukup. Hal itu disadari setiap kali Amat berkumpul dan berbincang-bincang di kedai kopi bersama orang-orang darek (darat) setiap kali pincalangnya merapat ke dermaga untuk menjual barang miliknya.


(13)

Amat lalu berkeras pada Maryam agar Buyung disekolahkan. Maryam sempat menolak karena harus menerima kenyataan akan terpisah dari anak pertama mereka. Pada akhirnya keputusan Amatlah yang harus dituruti. Buyung bersekolah. Amat berharap anaknya kelak akan menjadi orang pintar dan tidak begitu saja dapat dengan mudah ditipu tauke yang kerap mengambil keuntungan dari kekurangtahuan Amat dan masyarakat pincalang lainnya. Terdapat keinginan untuk belajar serta mengubah perilaku terhadap kehidupan yang digambarkan oleh Idris Pasaribu dari tokoh yang dimunculkannya dalam novel Pincalang. Melalui kasus dan perjalanan kehidupan Amat yang tergambar di dalam novel Pincalang tersebut tentunya dapat memberikan gambaran mengenai objek penelitian ini yang akan menganalisis nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Pincalang .

Novel Pincalang diketahui banyak memberikan inspirasi bagi pembaca, Hal itu berarti terdapat nilai-nilai positif yang dapat diambil dan diimplementasikan oleh pembaca dalam kehidupan sehari-hari mereka, khususnya dalam hal pendidikan. Pradopo (1994: 94) mengungkapkan bahwa sebuah karya sastra yang baik adalah yang langsung memberi didikan kepada pembaca tentang budi pekerti dan nilai-nilai moral.


(14)

1.2 Rumusan Masalah

Karya sastra selalu menghadirkan interpretasi yang berbeda-beda bagi pembacanya. Hal tersebut disebabkan oleh sifat sastra yang khas dan unik. Teks sastra mengandung ambiguitas, kadangkala membutuhkan perhatian khusus untuk memahami apa sebenarnya yang ingin disampaikan pengarang melalui karyanya. Bukan hanya karena banyaknya kosa kata, gaya bahasa, atau diksi yang digunakan di dalam karya sastra. Akan tetapi terdapat semacam penganalogian terhadap sesuatu hal yang mengandung arti atau amanat yang sepertinya dirahasiakan oleh pengarang, dan menjadi tantangan bagi pembaca untuk memahami apa yang sebenarnya yang ingin disampaikan pengarang melalui karya tersebut. Perbedaan latar belakang sosial pembaca sangat berpengaruh terhadap interpretasi masing-masing pembaca. Karya sastra itu pun sebenarnya adalah luapan kebebasan pengarang dalam mengekspresikan ide serta gagasannya tentang apa saja yang pengarang inginkan. Maka wajar bila timbul perbedaan interpretasi, keberagaman teori, atau pun metodologi penelitian sastra.

Dalam penelitian ini penulis akan menganalisis novel Pincalang karya Idris Pasaribu melalui pendekatan sosiologi sastra khususnya pada bagian sosiologi karya. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

1) Bagaimanakah konsep pendidikan yang terdapat dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu ?

2) Nilai-nilai pendidikan apa sajakah yang terkandung dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu ?


(15)

1.3 Tujuan dan Manfaat 1.3.1 Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan konsep pendidikan yang terdapat dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu.

2. Mendeskripsikan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1) Memberikan masukan dalam pengembangan apresiasi sastra, khususnya karya sastra berupa novel.

2) Memberikan pemahaman mengenai nilai-nilai pendidikan yang terbangun pada Pincalang Karya Idris Pasaribu.

3) Menambah khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam studi sastra dengan tinjauan sosiosastra


(16)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI,2007: 588), konsep adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memenuhi hal-hal lain. Konsep atau anggitan adalah

Istilah konsep berasal dari bahasa latin conceptum, artinya sesuatu yang dipahami. Aristoteles dalam "The classical theory of concepts" menyatakan bahwa konsep merupakan penyusun utama dalam pembentukan pengetahuan ilmiah dan filsafat pemikiran manusia. Konsep merupakan abstraksi suatu ide atau gambaran mental, yang dinyatakan dalam suatu kata atau simbol. Konsep dinyatakan juga sebagai bagian dari pengetahuan yang dibangun dari berbagai macam karakteristik.

Setiap ahli akan memiliki perbedaan asumsi dalam mendefinisikan sebuah konsep mengenai suatu hal. Sehingga tidak jarang ditemukan beragam pengertian mengenai suatu konsep tertentu. Oleh sebab itu peneliti akan mencoba memaparkan definisi tentang istilah yang merupakan konsep dari penelitian ini.


(17)

2.1.1 Novel

Sudjiman (1998: 53) mengatakan bahwa novel adalah prosa rekaan yang menyuguhkan tokoh dan menampilkan serangkaian peristiwa serta latar secara tersusun. Novel sebagai karya imajinatif mengugkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang mendalam dan menyajikannya secara halus. Novel tidak hanya sebagai alat hiburan, tetapi juga sebagai bentuk seni yang mempelajari dan meneliti segi-segi kehidupan dan nilai-nilai baik buruk (moral) dalam kehidupan ini dan mengarahkan pada pembaca tentang budi pekerti yang luhur.

Menurut Muhardi dan Hasanuddin (1992: 6), novel adalah sebuah cerita yang memuat beberapa kesatuan persoalan disertai dengan faktor penyebab dan akibatnya. Persoalan kehidupan yang diangkat seperti kesedihan, kegembiraan pengkhianatan, kejujuran dan permasalahan kemanusiaan lainnya.

Semi (1988: 32) menjelaskan bahwa novel merupakan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang, dan pemusatan kehidupan yang tegas.. Terkait dengan unsur novel, Semi (1988: 35) menyatakan bahwa novel sebagai salah satu karya sastra secara garis besar dibagi atas dua bagian (1) struktur luar (ekstrinsik), dan (2) struktur dalam (intrinsik). Struktur luar adalah segala macam unsur yang berada di luar karya sastra yang ikut mempengaruhi karya sastra tersebut,misalnya, faktor sosial, ekonomi, sosial, politik, keagamaan, dan tata nilai yang dianut suatu masyarakat.


(18)

Nilai mempunyai kedudukan penting dalam kehidupan, Nilai dapat menjadi ukuran untuk mengetahui tingakatan tinggi rendahnya kualitas sesuatu. Sesuatu yang mengandung nilai yang tinggi tentunya akan sangat berkualitas. Kualitas akan mempengaruhi sikap kehidupan terhadap objek pemilik nilai tersebut.

Soekanto (1983: 161) menyatakan, nilai-nilai merupakan abstraksi dari pengalaman-pengalaman pribadi seseorang dengan sesamanya. Nilai berupa petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, nilai dapat dikaitkan sebagai sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Persahabatan sebagai nilai (positif/baik) tidak akan berubah esensinya manakala ada pengkhianatan antara dua yang bersahabat. Artinya nilai adalah suatu ketetapan yang ada bagaimanapun keadaan di sekitarnya berlangsung.

Di dalam pendapat lain Milton Receach dan James Bank mengemukakan bahwa definisi nilai adalah suatu tipe kepercayaan yang berada dalam ruang lingkup sistem kepercayaan, dimana seseorang harus bertindak atau menghindari suatu tindakan mengenai sesuatu yang pantas atau sesuatu yang tidak pantas dikerjakan, dimiliki dan dipercayai. Pandangan ini juga berarti nilai merupakan sifat yang melekat pada sesuatu yang telah berhubungan dengan subyek (manusia pemberi nilai). Sementara itu, definisi nilai menurut Frankel bahwa nilai adalah standar tingkah laku, keindahan, keadilan, kebenaran, dan efisiensi yang mengikat manusia dan sepatutnya dijalankan serta dipertahankan.


(19)

Dari beberapa pendapat tersebut di atas pengertian nilai dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia untuk mengarahkan kehidupan atau tingkah laku menusia supaya etis, logis, dan estetis.

2.1.3 Pendidikan

Purwanto (1986: 11) menyatakan bahwa pendidikan berarti segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Hakekat pendidikan bertujuan untuk mendewasakan anak didik, maka seorang pendidik haruslah orang yang dewasa, karena tidak mungkin dapat mendewasakan anak didik jika pendidiknya sendiri belum dewasa. Tilaar (2002: 435) mengatakan hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia.

Pendidikan dapat digunakan sebagai sarana mencerdaskan kehidupan manusia di dalam bermasyarakat dan berbangsa. Orang-orang yang tidak terdidik tentunya cenderung banyak melakukan kesalahan dalam menyikapi berbagai permasalahan dalam kehidupan. Kesalahan -kesalahan tersebut adalah akibat dari kurangnya pendidikan dan ilmu pengetahuan. Menjalani kehidupan haruslah diringi dengan perubahan-perubahan yang positif dalam prosesnya guna mencapai tujuan hidup yang baik.

Melalui pendidikan manusia mampu membentuk sikapnya dalam kehidupan menuju keterarahan. Keterarahan tersebut tentunya akan bermuara pada harkat dan martabat individu di mata masyarakat serta Tuhannya. Pendidikan


(20)

diharapkan dapat mendewasakan sikap manusia terhadap segala dinamika dan persoalan kehidupan yang sangat beragam. Manusia dalam masyarakat memiliki cita-cita bagi kehidupannya itu sendiri, banyak jalan yang dapat ditempuh untuk mencapai cita-cita tersebut, kemudian berjalan atau tidaknya proses pencapaian maksud dan tujuan tersebut tergantung pada cara manusia tersebut berproses dalam kehidupan itu sendiri. Orang-orang yang terdidik tentunya akan lebih leluasa dan paham mengenai konsep, sikap, dan arah kehidupan yang baik.

Setiap individu berkewajiban menyumbangkan pengetahuannya untuk masyarakat, meningkatkan derajat kemuliaan masyarakat sekitar dengan ilmu, sesuai dengan yang diajarkan agama dan pendidikan. Indikator terpenting kemajuan suatu bangsa adalah pendidikan dan pengajaran (Ratna, 2005: 449).

Pendidikan memiliki peran penting dalam kehidupan. Oleh sebab itu, nilai pendidikan di dalam karya sastra selalu menjadi kajian yang sangat menarik.

2.1.4 Nilai Pendidikan

Nilai pendidikan adalah segala sesuatu yang mendidik ke arah kedewasaan individu atau masyarakat, mendewasakan manusia dan pandangannya dalam kehidupan yang bersifat baik maupun buruk sehingga berguna untuk dijadikan bahan pembelajaran dalam kehidupan. Nilai-nilai pendidikan dapat dijadikan sebagai sarana untuk membentuk kepribadian manusia sebagai makhluk yang memiliki ketergantungan antara satu dengan yang lain, sebagai makhluk sosial, religius, dan berbudaya. Nilai pendidikan merupakan subjek yang dapat


(21)

mendorong sikap manusia dalam kehidupannya untuk menjadikan kehidupan itu sendiri menjadi lebih berharga dan bermanfaat.

Karya sastra yang bersifat mimesis atau tiruan dari kenyataan menggambarkan realitas kehidupan manusia tentunya mengandung nilai pendidikan yang dapat diimplementasikan masyarakat pembaca dalam kehidupan yang sebenarnya. Kandungan nilai tersebutlah yang menyebabkan karya sastra menjadi sesuatu yang bermanfaat. Manfaat pastinya adalah sesuatu yang harus kita peroleh dari banyak hal dalam kehidupan, dalam konteks karya sastra, nilai-nilai yang mendidik di di dalamnya tidaklah bisa kita abaikan keberadaannya. Nilai pendidikan di dalam karya sastra adalah sesuatu yang harus kita cari dan gali lebih dalam sehingga karya sastra tersebut dapat kita peroleh manfaatnya yang baik untuk kehidupan manusia di masa depan.

2.1.5 Sosiologi sastra

Sosiologi sastra adalah sebuah pendekatan terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatannya. Sosiologi sastra menelaah secara objektif dan ilmiah antara manusia dalam masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial. Sosiologi mencari tahu bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia tetap berlangsung, dan bagaimana ia tetap ada, dengan mempelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah perekonomian, keagamaan, politik, dan lain-lain yang ke semuanya itu merupakan struktur sosial.

Sosiologi sastra sebagai sebuah metode yang memahami manusia lewat fakta imajinatif.


(22)

Fakta-fakta sosial di dalam karya sastra ditelusuri untuk kemudian dibangkitkan hal-hal apa saja yang terkandung di dalam mozaik-mozaik kehidupan masyarakat yang tersaji dalam karya sastra tersebut. Dengan memahami aspek-aspek kemasyarakatan di dalam sebuah karya sastra tentunya akan melahirkan nilai-nilai penting yang secara sekilas tanpa melakuakan pendekatan tidak akan dapat terungkap begitu saja. Adanya analisis sosiologi sastra memudahkan masyarakat sastra untuk lebih memahami dan mengambil pelajaran-pelajaran moral yang tersurat maupun pelajaran-pelajaran yang tersirat di dalam karya sastra.

2.2 Landasan Teori

Penelitian ini menggunakan teori sosiologi sastra, dengan menggunakan teori ini diketahui dengan jelas penggambaran realitas kehidupan suatu masyarakat di dalam sebuah karya sastra. Selain itu, dengan sosiologi sastra, karya sastra dapat dikaji dengan memfokuskan perhatian kepada segi-segi sosial kemasyarakatan. Pedekatan terhadap sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan oleh beberapa penulis disebut sosiologi sastra.

Menurut Damono (1984 : 3-4), pendekatan sosiologi ini pengertiannya mencakup berbagai pendekatan, masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoritis tertentu, tetapi semua pendekatan itu menunjukkan satu ciri kesamaan, yaitu mempunyai perhatian terhadap sastra sebagai institusi sosial yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat.


(23)

Ian Watt (Sapardi: 1978) dengan melihat hubungan timbal-balik antara sastrawan, sastra, dan masyarakat, membagi telaah sosiologi sastra ke dalam tiga hal :

(1) Konteks sosial pengarang, yakni menyangkut posisi sosial masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di dalamnya faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi pengarang sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya.

(2) Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sejauh mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.

(3) Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah berapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial, berapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial, serta seberapa jauh pula sastra dapat berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan bagi masyarakat pembaca.

Konteks sastra sebagai cermin, menurut Vicomte de Donald dalam (Wiyono,1974:5) hanya merefleksikan keadaan pada saat tertentu. Istilah cermin ini akan merujuk pada berbagai perubahan dalam masyarakat. Dalam pandangan Lowenthal Laurenson dan Swingewood (1972:16-17) sastra sebagai cermin nilai dan perasaan , akan merujuk pada tingkatan perubahan yang terjadi dalam masyarakat yang berbeda dan juga cara individu menyosialisasikan diri melalui struktur sosial. Perubahan dan cara individu bersosialisasi biasanya akan menjadi sorotan pengarang yang tercermin lewat teks. Cermin tersebut, menurut Stendal dapat berupa pantulan langsung segala aktivitas kehidupan sosial. George Lukacs adalah tokoh sosiologi sastra yang mempergunakan istilah ”cermin” sebagai ciri


(24)

khas dalam keseluruhan karya. Mencerminkan menurut George Lukacs berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan ”realitas” melainkan lebih dari itu memberikan kepada kita ”sebuah refleksi realitas yang lebih besar , lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik” yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena individual secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah ”proses yang hidup”.

Menurut pandangan Wolf dalam (Faruk, 1994: 3), sosiologi sastra merupakan disiplin tanpa bentuk, tidak terdefenisikan secara baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dengan masyarakat.

Rasionalisasi penelitian sosiologi sastra hadir dari Glickberg (1967: 75) bahwa” all literature, however fantastic or mystical in content, is animated by a profound social cocern, and this is true of even the most flagrant nihilistic work”. Maksudnya apa pun bentuk karya sastra, baik bersifat fantasi atau pun mistis, akan besar perhatiannya terhadap fenomena sosial. Karya tersebut bisa dikatakan tetap menampilkan kejadian-kejadian yang ada dalam masyarakat. Pendapat ini jelas merepresentasikan bahwa seperti apa bentuk karya sastra (fantastis dan mistis) pun akan besar perhatiannya terhadap fenomena sosial.

Berdasarkan uraian di atas, maka dalam penelitian ini peneliti mengarahkan penelitian terhadap isi karya sastra dengan menggunakan


(25)

pendekatan teori sosiologi sastra yang memfokuskan pembahasan pada gambaran pendidikan yang terdapat di dalamnovel Pincalang karya Idris Pasaribu.

2.3 Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka bertujuan untuk mengetahui keaslian suatu penelitian. Dalam hal ini peneliti ingin menyampaikan bahwa belum ada penelitian yang menjadikan Pincalang karya Idris Pasaribu yang dijadikan sebagai objek penelitian. Pincalang masih tergolong novel baru dalam dunia kesusastraan Indonesia sehingga belum ada yang meneliti sebelumnya. Akan tetapi terdapat beberapa penelitian yang menggunakan teori sosiologi sastra diantaranya adalah : Yelmi Andriani. Perubahan Sosial dalam Novel NegeriPerempuan Karya Wisran Hadi Suatu Tinjauan Sosiologi Sastra”. Skripsi ini merupakan hasil penelitian terhadap novel Negeri Perempuan. Novel ini ditulis oleh Wisran Hadi, diterbitkan oleh Pustaka Firdaus Jakarta tahun 2001. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanyaperubahan sosial yang terdapat dalam novel Negeri Perempuan.

Perubahan sosial yang digambarkan dalam novel tersebut berkaitan erat dengan persoalan adat dan budaya Minangkabau yang mengalami perubahan karena perubahan zaman dan masuknya budaya asing. Dalam penelitian novel Negeri Perempuan digunakan tinjauan sosiologi sastra, khususnya sosiologi karya. Tujuannya adalah untuk mengungkapkan bentuk-bentuk perubahan dan faktor-faktor penyebab perubahan sosial masyarakat Minangkabau yang terjadi dalam karya sastradengan menjabarkan teks-teks yang terdapat dalam novel.


(26)

Terdapat penelitian lain yang menggunakan judul yang hampir sama dengan penelitian ini. Akan tetapi dengan objek yang berbeda yaitu: Novita Rihi Amalia. Analisis Gaya Bahasa dan Nilai-nilai Pendidikan Novel Sang Pemimpi Karya Andrea Hirata. Skripsi ini ditulis pada tahun 2010 dengan memfokuskan penelitiannya dengan tujuan mendeskripsikan: (1) gaya bahasa yang digunakan oleh Andrea Hirata dalam novel Sang Pemimpi; (2) nilai-nilai pendidikan yang digunakan pengarang dalam novel Sang Pemimpi. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan: dalam novel Sang Pemimpi digunakan beberapa gaya bahasa yaitu: (a) perbandingan meliputi hiperbola, metonomia, personifikasi, perumpamaan, metafora, sinokdoke, alusio, simile, asosiasi, epitet, eponim, dan pars pro toto; (b) perulangan meliputi aliterasi, anafora, anadiplosis, simploke, epizeukis, dan mesodiplosis; (c) pertentangan meliputi litotes, antitesis, dan oksimoron; (d) penegasan meliputi repetisi dan epifora.

Berdasarkan analisis gaya bahasa yang mendominasi novel Sang Pemimpi karya Andrea Hirata adalah personifikasi. Hal tersebut disebabkan karena Andrea Hirata ingin menyampaikan nilai-nilai pendidikan yang sangat bermanfaat bagi para pembaca dengan menghidupkan isi cerita di dalamnya.

Penelitian lain yang berkenaan dengan teori sosiologi sastra dan kajian mengenai nilai-nilai pendidikan di dalam karya sastra berupa novel adalah: Dyah Hastuti: Nilai Pendidikan Dalam Kumpulan Cerpen Emak Ingin Naik Haji. Skripsi ini memandang sejauh mana sebuah karya sastra itu mengandung moral sebagai bagian yang sangat penting dalam karya sastra yang bermutu.


(27)

Wujud data berupa unsur-unsur instrinsik yang membangun cerpen Emak Ingin Naik Haji Karya Asma Nadia yang meliputi tokoh dan penokohan, latar, dan nilai pendidikan yang terdapat dalam masing-masing cerpen.

Hasil penelitian ini disampaikan secara keseluruhan bahwa nilai pendidikan dalam kumpulan cerpen Emak Ingin Naik Haji Karya Asma Nadia adalah nilai pendidikan moral dan nilai pendidikan agama atau religius.


(28)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Pengumpulan Data

Menurut Jhonson & Christensen (2000: 126), method of collection data is technique for physically obtaining data to be analyzed in a research study. Metode pengumpulan data diartikan sebagai teknik untuk mendapatkan data secara fisik untuk dianalisis dalam suatu studi penelitian.

Penelitian ini merupakan penilitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan di ruang perpustakaan. Pada penelitian ini akan diperoleh data dan informasi tentang objek penelitian melalui buku-buku. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah metode membaca heuristik dan hermeneutik.

Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau secara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik sistem pertama. Pembacaan hermeuneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedua atau berdasarkan konvensi sastranya. Pembacaan hermeuneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberi konvensi sastranya (Pradopo, 2001: 135).

Sesuai dengan namanya yaitu penelitian kepustakaan, maka peneliti melakukan berbagai riset yang berkenaan dengan kebutuhan penelitian di perpustakaan. Pengumpulan data menjadi syarat yang utama dalam penelitian sesuai dengan yang diutarakan Hall (dalam Endaswara 2011: 103) cukup penting diperhatikan bagi peneliti sosiologi sastra yang hendak mengumpulkan data. Data


(29)

itu tersedia dan banyak, tidak terstruktur, maka peneliti perlu mengumpulkan data dengan kartu-kartu kecil (Endaswara 2011: 103).

3.2 Sumber data

Data dalam penelitian ini akan dikumpulkan data dari novel. Novel yang merupakan sumber data dari penelitian ini adalah :

Judul : Pincalang Karya : Idris Pasaribu Penerbit : Salsabila

Jenis : Novel

Cetakan : Pertama Ukuran : 13,3x20,5 cm Tebal : 256 halaman

Gambar Sampul : Sebuah perahu yang berada di depan Pulau

Warna Kulit : Biru langit, ungu, merah muda, hitam, hijau, dan putih

3.2 Metode Analisis Data

Metode yang digunakan dalam menganalisis karya sastra adalah metode deskriptif. Dalam menganalisis data dan objek yang akan diteliti terlebih dahulu dirumuskan berdasarkan masalah kemudian diadakan studi perpustakaan. Setelah berbagai informasi diperoleh selanjutnya dilakukan pengumpulan data, penyusunan data, penganalisisan data dan penafsiran data yang kemudian ditutup dengan kesimpulan.


(30)

3.3 Sinopsis

Cerita bermula dengan kegigihan seorang anak, bernama Buyung, dalam menghadapi cuaca laut yang sangat ekstrim. Buyung mengendalikan Pincalang bersama ayahnya Amat. Amat berusaha melebarkan lubang hidungnya untuk mecium bau karang agar tidak mengenai lambung kapal. Mereka berharap dapat melihat pulau kecil untuk dijadikan tempat berlindung dari cuaca tersebut. Setelah melalui situasi yang sangat dahsyat, akhirnya Pincalang mereka sampai ke sebuah pulau, di pulau itu lah gubuk mereka. Amat beserta anak dan istrinya beristirahat di pulau tersebut.

Amat mempunyai seorang istri bernama Maryam. Maryam adalah seorang gadis soleha pilihan ayah Amat. Maryam adalah seorang istri yang setia. Suka bekerja, pintar berjualan, dan rajin mengaji.

Keseharian mereka berlayar dan mencari ikan dengan perahu, kadang-kadang menjual kopra dan minyak kelapa yang dimasak mereka di pulau dan kemudian mereka jual kepada pembeli di dermaga.

Perjalanan hidup Amat dan orang-orang perahu lainnya tidak berjalan begitu saja. Terdapat hambatan dan tantangan yang saat itu melanda mereka yaitu adanya gerombolan perompak yang datang menyerang untuk merampas harta benda orang-orang perahu. Amat dan orang-orang perahu lainnya yang saat itu berada di pulau melakukan perlawanan dengan tombak dan panah beracun terhadap perompak hingga pada akhirnya Amat beserta orang-orang perahu lainnya berhasil membunuh para perompak tersebut.


(31)

Buyung adalah seorang anak hasil dari pernikahan Amat dengan Maryam. Ketika Buyung sudah memasuki usia sekolah, Buyung disekolahkan Amat di darat. Usai melalui jenjang sekolah dasar Buyung kemudian melanjutkan pendidikannya ke sekolah yang bergerak dalam bidang pelayaran bernama SMPP. Tamat dari sekolah tersebut Buyung akhirnya menjadi seorang kapten dari kapal bermesin yang dibeli ayahnya secara kredit.

Orang-orang perahu biasanya tidak suka tinggal dan hidup berdampingan dengan orang-orang yang ada di darat. Mereka beranggapan orang-orang darat tersebut memiliki pola hidup yang tidak baik. Amat beserta keluarganya mencoba mendobrak tradisi itu dan mengabaikan anggapan orang-orang perahu yang tidak berlandasan tersebut. Akhirnya Amat berhasil membeli rumah di darat.

Pada akhirnya orang-orang perahu dilanda modernisasi sebagai akibat dari perkembangan zaman. Pada awalnya semua orang bergembira dengan lahirnya modernisasi tersebut. Hidup semakin enak, namun kehidupan semakin berat. Untuk mencapai hidup enak manusia butuh pengorbanan. Anehnya, semua tidak memikirkannya. Para kapitalis modern berlomba-lomba untuk memberikan kredit yang demikian gampang diperoleh, namun harus dikembalikan dengan kerja keras. Bukan hanya kerja keras, semua cara pun dihalalkan untuk bisa mengembalikan kredit tersebut.

Berbagai badan usaha pun lahir dan menjamur. Koperasi-Koperasi berdiri untuk mendapatkan kredit ringan dan menyapu habis biota laut, banyak juga terumbu karang yang rusak dan susah untuk diperbaiki lagi. Orang-orang perahu sangat prihatin dengan perihal tersebut. Mereka berusaha memperbaiki terumbu


(32)

karang yang berserakan. Meletakkan ganggang-ganggang di antara karang dan membiakkannya untuk makanan ikan. Pekerjaan mulia tersebut justru menjadi bahan ejekan orang-orang darat yang modern terhadap orang-orang perahu yang tidak mau beralih dari tata kehidupannya yang klasik. Amat, keluarganya, serta beberapa adik angkatnya berusaha keras bertahan untuk hidup sesuai apa yang diamanahkan oleh leluhur mereka.


(33)

BAB IV

KONSEP PENDIDIKAN DALAM NOVEL PINCALANG KARYA IDRIS PASARIBU

4.1 Konsep Pendidikan dalam Novel Pincalang Karya Idris Pasaribu 4.1.1 Pendidikan Formal

Pendidikan formal merupakan jalur pendidikan yang sudah ditetapkan dalam setiap negara. Pendidikan tersebut ditempuh mulai dari usia dini hingga mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi secara bertahap.

Sebuah bangsa tentunya membutuhkan sumber daya manusia yang baik dan produktif demi laju perkembangan bangsa tersebut ke arah yang lebih baik. Pendidikan formal dapat dijadikan wadah bagi masyarakat dalam suatu bangsa menuju arah kedewasaan dan berpola pikir maju.

Di dalam novel Pincalang tergambar sebuah konsep pendidikan yang bersifat formal. Pendidikan formal yang terdapat di dalam novel Pincalang dilalui oleh tokoh Buyung. Buyung memulai studinya dengan sekolah dasar (SD) di perkampungan dekat dermaga. Menempuh pendidikan formal sebelumnya adalah hal yang tidak lazim bagi orang-orang perahu. Akan tetapi adanya keinginan yang sangat kuat dari tokoh Amat di dalam cerita yang merupakan ayah dari Buyung untuk menyekolahkan Buyung, maka tokoh Buyung di dalam cerita akhirnya menempuh pendidikan formal. Pendidikan formal yang ditempuh diharapkan dapat menjadikan Buyung menjadi seorang yang lebih pintar dari ayahnya yang waktu itu tidak bisa membaca (buta huruf).


(34)

” Malam itu Amat masih tidur di atas Pincalang.Rencananya besok pagi Maryam akan mengantarkan Buyung ke sekolah. Kepala sekolah mengizinkannya karena mengerti bagaimana beratnya seorang ibu berpisah dengan anak sulungnya, walau seminggu sekali Buyung bisa ditemui.”(Hal.100)

Kutipan di atas menggambarkan konsep pendidikan yang bersifat formal. Hal tersebut ditandai dengan adanya status sosial yang mewakili sebuah lembaga pendidikan formal yaitu kepala sekolah. Kepala sekolah adalah seorang yang mengepalai sebuah lembaga pendidikan yang bersifat formal. Kepala sekolah berperan mengkordinir proses atau situasi pendidikan di dalam sebuah sekolah.

Gambaran pendidikan formal lain yang terdapat dalam novel Pincalang . Pendidikan formal bersifat berjenjang atau memiliki tingkatan-tingkatan tergambar di dalam novel Pincalang. Pendidikan formal tersebut di dalam cerita disebut dengan sekolah menengah pelayaran pertama (SMP). SMP ditempuh oleh tokoh Buyung setelah menyelesaikan sekolah dasar. Pendidikan formal ini di terdapat di dalam cerita seperti dalam kutipan berikut:

”Buyung dinyatakan lulus SMP. Setelah berdiskusi dengan ayahnya, Amat, Buyung memutuskan untuk masuk Sekolah Menengah Pelayaran Pertama (SMPP).” (Hal.139)

Kutipan di atas juga menggambarkan sebuah lembaga pendidikan yang bersifat formal yang disingkat dengan SMP (sekolah menengah pertama). SMP merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan formal setelah SD (sekolah dasar). Sekolah Menengah Pertama berperan aktif untuk mendidik siswa yang beranjak pada usia remaja.


(35)

4.1.2 Pendidikan Nonformal

Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan.

Pendidikan nonformal biasanya lebih bersifat fleksibel dibandingkan dengan pendidikan formal yang memiliki sistem atau aturan-aturan yang sudah ditetapkan secara mendasar terhadap pendidik atau pun peserta didik dalam sekolah tersebut. Pendidikan nonformal terbuka untuk semua kalangan masyarakat yang ingin menimba ilmu karena prosesnya yang berlangsung di luar sistem persekolahan.

Pendidikan non formal juga tergambar dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu. Pendidikan nonformal tersebut disebut dengan Pemberantasan Buta Huruf. Pendidikan tersebut dialami oleh anggota masyarakat yang pada usia yang sudah tergolong tua dan belum bisa membaca. Pemberantasan buta huruf seringkali diterapkan di daerah pedesaan yang jumlah angka penduduk yang berpendidikan sangat minim. Hal tersebut tentunya akan sangat membantu masyarakat yang masih buta huruf. Pendidikan nonformal seperti yang terdapat di dalam cerita tentunya dapat meningkatkan sumber daya anusia di dalam sebuah negara mengalami peningkatan yang berdampak positif bagi kehidupan masyarakat di dalam negara tersebut.


(36)

”Ya, Ogek. Aku akan belajar pada mereka,”jawab Maryam. Tetangga juga senang ada orang Pincalang yang mau menetap di daratan dan membaur dengan mereka. Kepala sekolah yang mereka hormati meminta kaum ibu agar mengajak Maryam mengaji dan ikut dalam berbagai kegiatan. Maryam dan Amat mendaftarkan dirinya untuk ikut pendidikan Pemberantasan Buta Huruf.” (Hal. 114)

Pemberantasan buta huruf dalam kutipan di atas merupakan pendidikan yang bersifat nonformal yang berada di luar sisitem persekolahan. Pemberantasan Buta Huruf dilakukan pada masyarakat umum yang belum sempat menduduki bangku sekolah formal. Kegiatan ini sangat berdampak bagi perkembangan sumber daya manusia yang tidak terbatas pada kalangan atau pun usia tertentu saja. Akan tetapi merangkul berbagai kalangan dan usia.

Kutipan berikut juga menggambarkan pendidikan nonformal yang terdapat dalam novel Pincalang:

”Amat menjelaskan semuanya. Dia sudah membeli rumah dengan cicilan. Menyekolahkan anak-anaknya agar menjadi orang pintar dengan tidak akan meninggalkan ajaran agama. Bahkan di darat banyak ustadz yang lebih pintar, mereka juga berhaji ke Tanah Suci. Dia dan istrinya sudah beberapa kali mengikuti pengajian dan ceramah agama yang jauh lebih berilmu ketimbang belajar sendiri dengan orangtua.” (Hal.116)

Pengajian merupakan pendidikan nonformal yang dapat diikuti oleh masyarakat luas. Pengajian dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan masyarakat luas guna membahas dan mempelajari hal-hal yang dapat mengubah pola pikir, serta pandangan masyarakat mengenai banyak hal dalam kehidupan. Pengajian biasanya lebih membahas kepada hal-hal yang bersifat religius yaitu membahas hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan Tuhan pencipta alam semesta.


(37)

4.1.3 Pendidikan Informal

Pendidikan informal adalah jalur pendidika berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan informal diakui sama denga denga

Pendidikan informal diperoleh setiap manusia di dalam proses kehidupannya masing-masing. Seperti halnya yang dialami oleh tokoh Amat di dalam cerita. Amat belajar mebaca Al-Qur’an dari ibunya di atas Pincalang. Kegiatan belajar tersebut dilakukan oleh Amat secara mandiri di dalam keluarganya. Kegiatan belajar secara mandiri yang tergolong dalam kategori pendidikan informal dapat dilihat dalam kutipan berikut:

”Sejak berusia lima tahun, Amat ikut dengan ayahnya mengelilingi lautan buas dan ganas. Di atas Pincalang itu dia dilahirkan ibunya, begitu juga dua adiknya. Di atas Pincalang itu dia belajar mengaji. Belajar shalat dari ibunya, juga dari ustadz yang diundang naik ke atas Pincalang bila mereka bersandar di pelabuhan kecil atau di kampung-kampung di pantai.” (Hal. 21)

Mengelilingi lautan luas hampir di sepanjang usianya dilakukan oleh tokoh Amat dalam kutipan di atas. Pendidikan informal yang dilakukan beliau dalam cerita seperti yang tergambar di atas adalah belajar mengaji, belajar solat, dan dari ustad yang diundang ke Pincalang. Dari hal tersebut Amat pasti memperoleh pembelajaran mengenai bagaimana bersikap, memiliki keterampilan dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari sehingga pendidikan yang


(38)

bersifat informal tersebut mampu mempengaruhi pola kehidupan, serta memberi nilai bagi personalnya.

”Ayah amat mengajarkan bagaimana cara memakai kukuran kaki itu. Amat dan dua orang suruhannya, Sangkot dan Lokot, mempelajarinya dengan cepat. Bahkan mereka seperti mendapatkan mainan baru dan berlomba-lomba minta bergantian. Mereka juga diperingatkan agar berhati-hati. Harus kuat memegang tempurung kelapa, jangan sampai meleset karena bisa mengenai tangan dan terluka.” (Hal. 103)

Kukuran kaki merupakan alat untuk memegukur kelapa dengan cara tradisional. Cara kerja alat ini tergolong sangat klasik, akan tetapi untuk mempergunakannya juga harus melalui proses belajar. Pembelajaran mengenai bagaimana menggunakan kukuran kaki tersebut diajarkan ayah Amat kepada dua orang tokoh lainnya dalam cerita yaitu Sangkot dan Lokot.


(39)

4.2 Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel Pincalang Karya Idris Pasaribu 4.2.1 Nilai Pedidikan Lingkungan

Nilai pendidikan lingkungan adalah segala sesuatu yang mendidik manusia di dalam masyarakat yang berkonteks pada lingkungan hidup. Pendidikan lingkungan diharapakan dapat mewujudkan kesadaran bagi komponen masyarakat untuk selalu dan terus menerus menjaga dan melestarikan lingkungan tempat mereka melangsungkan kehidupan.

Novel Pincalang karya Idris Pasaribu mengusung nilai-nilai yang dapat dijadikan pembelajaran bagi kehidupan masyarakat. Berkenaan dengan lingkungan hidup, orang-orang perahu yang digambarakan Idris Pasaribu di dalam novelnya adalah orang-orang yang senantiasa berjuang untuk mempertahankan keasrian lingkungan hidup serta biota laut sebagai sumber kehidupan mereka. Nilai pendidikan yang berkenaan dengan lingkungan terlihat dari kutipan berikut:

”Amat berdo’a semoga Buyung tidak melihat fatamorgana di tengah laut. Fatamorgana selalu terjadi di laut lepas. Mata sering tertipu, walau laut tak pernah mau menipu. Laut selalu jujur. Tidak seperti hutan. Di dalam hutan, bahaya selalu mengancam diam-diam. Tiba-tiba harimau atau beruang sudah datang menerkam atau ular mematuk secara senbunyi-sembunyi.

Laut? Tidak!

Laut selalu memberikan aba-aba lebih dahulu sebelum memulai aksinya. Awan menggumpal dan angin mendesau terlebih dahulu. Manusia saja yang selalu salah mengerti. Memperkirakan angin kencang akan datang dalam dua jam kemudian, ternyata dalam setengah jam angin sudah menderu-deru.” (Hal. 10)

Kutipan di atas mengungkapkan tentang sikap laut yang jujur. Laut mengandung filosofi kehidupan yang dapat dijadikan bahan perenungan dan pembelajaran bagi masyarakat. Sikap jujur tentunya harus dimiliki oleh setiap


(40)

individu demi kelancaran proses kehidupan. Sikap jujur dapat membuat seseorang menjadi sangat dihargai di dalam masyarakat.

”Hanya manusia laut yang berpengalaman yang mengerti apa keinginan laut. Keinginan alam lepas. (Hal. 10)

Pengalaman memiliki peran yang sangat penting dalam mendidik manusia menjadi lebih dewasa. Pengalaman adalah media pembelajaran yang cukup efektif bagi masyrakat dalam menjalani kehidupan

”Amat belajar menaik-turunkan layar. Belajar mengemudi. Belajar merasakan angin, dan belajar mencium bau karang dari haluan, lambung, dan buritan. Amat pernah mendengar orang-orang berceloteh di warung-warung jika mereka merapat di pantai saat menjual kopra atau ikan asin atau arang. Kata mereka, para nakhoda kapal besar berlayar di atas peta, bukan di atas laut. Kapalnya berlayar di atas laut, tapi nakhodanya berlayar di atas peta. Pilot pesawat terbang di atas peta, hanya pesawatnya yang terbang di udara. Bagaimana dengan Pincalang yang tidak memiliki kompas, peta, dan alat navigasi lainnya ? dia berlayar dengan tanda-tanda alam yang diberikan Tuhan. (Hal. 21)

Kutipan di atas mengandung nilai pendidikan bahwa alam memiliki petunjuk yang dibutuhkan oleh manusia dalam menjalani aktifitasnya. Melalui tanda-tanda yang diberikan alam manusia mampu mengarungi samudera. Tanda-tanda alam tersebut menjadi penunjuk jalan bagi manusia yang berlayar di samudera. Untuk mampu mengenali tanda-tanda yang dimunculkan alam manusia harus mampu memikirkan dan memahami gejala alam tersebut sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kehidupan seperti pada kehidupan orang-orang perahu yang menjadikan tanda-tanda alam yang diberikan Tuhan sebagi peta petunjuk arah pelayaran.

”Amat memutuskan untuk menyelam ke dasar laut dan dilihatnya perputaran arus yang deras dibawahnya. Karang-karang yang kokoh tak berwarna hijau lagi. Dia ingat apa yang dikatakan oleh ayahnya,”kalau


(41)

warna hijau meilit karang, itu adalah makanan ikan. Jika lumut-lumut berwarna hijau itu hilang, harus ditanam lagi.” (Hal. 30)

Kutipan di atas mengajarkan kepada manusia untuk mencintai lingkungan hidup, menanami kembali tumbuhan yang telah habis demi kelestariannya. Ke-lestarian tumbuhan di lingkungan hidup tentunya akan sangat berdampak pada kelangsungan hidup manusia. Sumber daya alam dalam ruang lingkup yang lebih besar haruslah selalu dijaga dari kepunahan agar dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam jangka panjang. Lingkungan hidup yang lestari tentunya akan menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat sekitarnya.

”Amat segera pulang ke Pincalangnya bersama Maryam yang sedang menyusui si Buyung. Harapan mereka besok pagi cerah dan mereka bisa berlayar dengan tenang. Amat sangat yakin besok cuaca bersahabat. Dalam pelayaran malam, bintang-bintang itu menjadi petunjuk jalan. Menjadi navigasi dan navigasi apakah angin akan datang atau hujan akan deras dan sebagainya. Bintang, bulan, dan langit menjadi tumpuan harapan. Jika siang, petunjuk bisa dilihat dari awan atau angin. Semuanya tergantung kejelian. Pelajaran yang tak pernah diajari di bangku sekolah. (Hal. 94)

Kutipan di atas menggambarkan kejelian orang-orang perahu dalam mempelajari alam. Lingkungan tempat mereka berada dan melangsungkan kehidupan dijadikannya sebagai tempat belajar yang akan memberi pengetahuan mereka tentang banyak hal terutama mengenai ciptaan Tuhan yang menyimpan banyak rahasia. Dengan kejeliannya memahami lingkungan, orang-orang perahu mampu memeroleh sesuatu yang tidak akan pernah mereka peroleh dari bangku sekolah. Itulah pemebelajaran yang mereka peroleh langsung dari alam. Alam adalah guru bagi manusia.


(42)

4.2.2 Nilai Pendidikan Keluarga

Keluarga merupakan tempat pertama bagi manusia melakukan pembelajaran mengenai kehidupan. Hubungan antara satu dengan yang lainnya di dalam keluarga haruslah terjalin dengan sangat baik guna mewujudkan suasana yang harmonis di dalamnya. Nilai-nilai pendidikan keluarga perlu diketahui sebagai pembelajaran dan pedoman bagi masyarakat di dalam berkeluarga.

”Semalam suntuk Amat tak tertidur. Selain menjaga Pincalang, dia juga harus awas menjaga gubuk. Di sana tidur istri dan ketiga anaknya. Sesekali bajak laut juga datang merompak gubuk-gubuk. Mereka menguras ikan asin yang sudah kering, kopra dan arang, lalu mereka larikan jauh ke tempat lain. Orang-orang siam selalu melakukan hal itu. Bukan hanya merompak, juga memerkosa perempuan yang ada di dalamnya, setelah suami mereka diikat atau disiksa. Pemerkosaan bukan hanya oleh seorang, tapi bisa bergantian digilir beberapa lelaki. Syahwat para pelaut memang tinggi, apalagi jika berbulan-bulan tak bertemu pasangan. Buas seperti ganasnya ombak.” (Hal.20)

Kutipan di atas menggambarkan tentang besarnya kecintaan seorang ayah bernama Amat terhadap istri dan anak-anaknya. Orang-orang yang Ia cintai tersebut senantiasa Ia jaga meski harus berkorban dengan tidak tidur. Amat tidak ingin diganggu perompak.

Seorang ayah tentunya bertanggung jawab penuh bagi keselamatan keluarga yang telah dibinanya. Tanggung jawab tersebut diwujudkan oleh seorang Amat dengan pengawasan yang optimal terhadap keluarganya. Kutipan tersebut juga mengandung nilai pendidikan tentang bentuk sebuah tanggung jawab yang harus disanggupi oleh manusia terhadap keluarganya di dalam kehidupan.

”Aku belum punya pilihan apak, terserah apak sajalah”. Ayah Amat mengatakan dia melihat seorang perempuan muda yang cantik, pandai mengaji, rajin bekerja dan pintar mengurus adik-adiknya. Ayah si perempuan memiliki Jongkong satu buah dan Pincalang satu buah.


(43)

Jongkong merupakan kapal yang mirip Pincalang, hanya saja ukurannya lebih besar dan buritannya tidak sama dengan haluan, tidak lancip.

”Bagaimana menurutmu ?”

”kalau apak bilang demikian, ya....aku mengikut, ” jawab Amat.”

Patuh terhadap kedua orang tua tergambar dalam kutipan di atas. Memiliki seorang anak yang mampu menuruti keinginan orang tuanya memiliki kebanggaan tersendiri bagi orang tua. Setiap orang tua tetunya akan sangat memahami tentang pilihan yang baik untuk anaknya. Pertimbangan orang tua kerap selalu lebih baik daripada pertimbangan seorang anak. Patuh kepada orang tua adalah sikap yang patut untuk ditiru oleh siapa saja.

”Di atas Pincalang sudah dipersiapkan beras, garam dan kebutuhan dapur lainnya seperti anglo, kayu bakar dan arang, periuk dan kuali, serta panci. Setelah berada di atas Pincalang. Salah seorang dari tetua kampung sengaja memotong tali Pincalang yang tertambat, lalu setelah jangkar diangkat, Pincalang di dorong ke tengah laut. Beberapa orang laki-laki ikut naik ke atas Pincalang. Setelah layar kecil diangkat naik ke tiang, laki-laki yang ikut ke atas Pincalang langsung melompat ke laut, pertanda melepas pelayaran perdana suami-istri mengarungi lautan. Inilah filosofi hidup keluarga; mengarungi samudera luas dengan berbagai rintangan dan cobaan. Hujan. Angin. Petir. Badai. Ombak. Jika takut menerjang ombak, maka jangan lepaskan jangkar untuk berlayar.” (Hal. 24)

Kutipan di atas mengandung nilai pendidikan mengenai cobaan dalam kehidupan. Hujan, angin, petir, dan ombak dianalogikan pengarang sebagai sesuatu hal yang tidak mudah untuk diarungi dan hadapi oleh manusia. Dibutuhkan keteguhan hati dan penempatan sikap yang tepat terhadap kehidupan dan alam. Jangan pernah takut menghadapi cobaan kehidupan, karena orang-orang yang takut pada cobaan tersebut sebaiknya tidak usah meneruskan hidupnya. Hal itulah yang dimaksudkan oleh dari kedua kalimat terkahir ”jika takut menerjang ombak, maka jangan lepaskan jangkar untuk berlayar”. Dalam konteks ini dapat


(44)

dilihat bahwa perjalanan kehidupan digambarkan sebagai perjalanan sebuah kapal yang akan mengarungi samudera. Jika takut mengarungi samudera, maka jangan lepaskan jangkar. Dalam artian, tidak melepaskan jangkar berarti sebuah kapal hanya akan tertambat di dermaga (diam di tempat) dan tidak melakukan perjalanan. Dalam kehidupan yang sebenarnya orang-orang yang berhenti atau memilih untuk terus melakukan perjalanan hidup adalah orang-orang yang tidak terdidik dan tidak lagi memiliki mimpi dan harapan untuk mencapai tujuan dari kehidupan itu sendiri. Sangat jelas dari hal di atas pengarang ingin menyampaikan nilai-nilai yang mendidik mengenai pandangannya terhadap kehidupan yang dapat mengubah dan dan memperbaiki sikap manusia ataupun masyarakat pembaca.

”Di belakangnya, Maryam mengikutinya. Untuk pertama kali. Amat menjadi imam bagi istrinya dan Maryam menjadi makmum bagi suaminya. Amat menutupnya dengan salam.Berdua mereka memanjatkan doa. Maryam menyalami Amat dengan takzim. Mencium jemari tangannya yang kelam. Shalat di tepi pantai dengan hembusan angin yang lembut biasa dilakukan para nelayan. Dikelilingi oleh laut biru dan hijaunya pepohonan serta debur riak –riak ombak yang menghempaskan diri ke pasir landai. Amat tersenyum menerima salam Maryam, istrinya. Dipeluknya Maryam dan diciumnya kedua pipinya.” (Hal. 32)

Kutipan di atas menggambarkan nilai pendidikan tentang sikap hormat seorang istri terhadap suami serta kasih sayang di antara keduanya yang diwujudkan dalam bentuk sikap sederhana yang memberi pengaruh positif di dalam kebersamaan keluarga tersebut. Cinta dan kasih sayang di antara keluarga terutama antara suami dan istri adalah hal yang harus diperbaharui setiap hari agar tidak muncul kejenuhan yang dapat berakibat buruk bagi hubungan antara suami dan istri dalam keluarga tersebut. Salah satu caranya adalah seperti yang dilakukan oleh tokoh Amat dan Maryam pada kutipan di atas, Maryam mencium


(45)

tangan suaminya setelah melaksanakan ibadah solat, hal itu mengindikasikan sikap hormatnya yang tulus terhadap suaminya Amat. Amat memeluk dan mencium kedua pipi Maryam, hal tersebut dapat diartikan sebagai ungkapan bangga dan bahagia seorang suami terhadap istrinya.

”Minum, Gek. Ada pula goreng pisang. Pasti enak.” kata Maryam

lembut. ”Kalau tangan kamu yang membuatnya pasti

enak.” ”Dari mana tahu kalau belum dicicipi ?”

” Kamu pasti mengerjakannnya dengan sepenuh hatimu.” ( Hal. 73)

Kutipan di atas mengajarkan tentang sesuatu yang dilakukan dengan sepenuh hati akan mendapatkan hasil akhir yang baik dan memuaskan. Begitu pula sebaliknya, hal-hal yang dikerjakan dengan setengah hati akan mendapatkan hasil yang kurang memuaskan pula. Kutipan di atas mengajarkan kepada masyarakat untuk selalu melakukan segala sesuatu dengan sepenuh hati agar mendapatkan hasil yang baik.

”Asal bumbunya cukup, pasti enak. Kamu harus belajar masak yang enak agar suamimu kelak tidak meninggalkanmu. Anak-anakmu juga merasakan betapa nikmatnya masakan seorang ibu,” nasihat ibu mertua Maryam sembari mengaduk-aduk gulai asam padeh di belanga.” ( Hal. 81) Kutipan di atas mengajarkan bahwa keterampilan memasak yang baik harus dimiliki oleh seorang istri, agar suaminya tidak berpaling darinya. Hal-hal sederhana seperti keterampilan memasak ternyata memiliki posisi penting dalam hubungan suami-istri. Hal itu tidak bisa diabaikan begitu saja, tentunya harus menjadi perhatian bagi seorang istri. Keterampilan memasak akan memberi sumbangsih yang cukup baik dalam menjaga keharmonisan kehidupan keluarga.


(46)

”Kau harus rajin belajar, Yung. Jangan bodoh seperti aku. Kalau kau pintar, kau akan jadi orang kaya dan senang,” nasihat Amat.” ( Hal. 107 )

Kutipan di atas mengandung nasihat dari seorang ayah kepada anaknya dalam sebuah keluarga untuk menjadi seorang yang pintar. Kepintaran tentunya akan banyak menjawab beragam tantangan kehidupan anak di masa yang akan datang. Salah satunya seperti terhindarnya dari kasus pembodohan. Dengan rajin belajar serta menjadi pintar dapat menghindarkan kita dari problematika kehidupan yang berhubungan dengan pembodohan yang merugikan diri kita sendiri serta keluarga.

Nasihat yang baik tentunya juga terus-menerus diberikan oleh kedua orang tua kepada anaknya sebagai bahan pembelajaran bagi anak yang terkadang masih buta dengan persoalan masa depan. Nasihat yang baik seperti kutipan di atas akan mendukung perkembangan pola pemikiran anak untuk dapat melakukan hal-hal yang berguna untuk masa depannya agar lebih baik dan sesuai dengan yang diharapakan oleh orang tua.

4.2.3 Nilai Pendidikan Sosial

Manusia sebagai makhluk sosial memiliki sikap ketergantungan antara manusia yang satu dengan yang lainnya di dalam masyarakat. Manusai tidak dapat hidup sendiri tanpa keterlibatan manusia lain dalam kehidupannya. Interaksi di dalam kehidupan bermasyarakat haruslah berjalan dengan baik demi tujuan kehidupan yang harmonis dan terjaga dari hala-hal yang dapat merusak ketentraman dan kesejahteraan masyarakat.


(47)

Pincalang karya Idris Pasaribu tergolong novel yang kaya akan nilai sosial. Di dalam novel Pincalang tergambar kehidupan orang-orang perahu yang memiliki sikap tolong-menolong, kompak, dan memiliki solidaritas yang tinggi di antara sesamanya.

”Keduanya disambut oleh orang-orang yang sudah lebih dahulu berlindung di pulau itu. Mereka berteduh di gubuk tanpa dinding. Di gubuk itu ada tungku dan beberapa potong kayu kering. Biasanya di setiap pulau ada gubuk yang dibangun oleh mereka, dipelihara oleh mereka. Siapa pun mereka selalu menitipkan beberapa potong kayu kering di tempat berlindung. Itu sudah adatnya, adat yang tidak tertulis. Selalu ditaati dan diikuti. Kalau tak mau kualat.” (Hal. 13)

Kutipan di atas mengandung nilai pendidikan tentang kepedulian sosial yang dimiliki oleh orang-orang perahu. Membuat tempat berteduh untuk dimiliki bersama serta dirawat bersama adalah sebuah kerjasama sosial demi kepentingan bersama yang sangat bernilai. Dari kutipan di atas dapat kita lihat tentang tingginya rasa kebersamaan dan kepedulian sosial di antara orang-orang perahu. Hal tersebut menggambarkan masyarakat yang memegang teguh rasa kebersamaan yang akan sangat berguna untuk selalu diterapkan di dalam berkehidupan bermasyarakat.

”Salah seorang di antara mereka membawa ceret dari Pincalangnya dan air bersih serta bubuk teh dan gula. Biasanya oleh orang yang pertama tiba. Kemudian mereka menunggu Pincalang mana yang akan datang berlindung dan mereka memberikan perlindungan. Seperti sebuah perjanjian tak tertulis. Kenyataannya demikianlah adatnya.” (Hal. 13)

Kutipan di atas menggambarkan sebuah sisi humanisme yang tinggi yang dimiliki oleh orang-orang perahu. Mereka mempersiapkan segala sesuatunya pada sebuah pulau untuk keperluan orang-orang perahu lainnya yang akan mendarat di pulau tersebut. Memberikan perlindungan atau pertolongan kepada orang lain


(48)

adalah perbuatan yang sangat mulia yang dapat dilakukan oleh manusia di dalam masyarakat. Manusia tidak bisa hidup sendiri. Manusia memiliki ketergantungan terhadap manusia lain. Dengan tolong-menolong atau saling menjaga dan melindungi di dalam masyarakat akan memupuk rasa persatuan sosial yang berguna bagi kelanjutan dan perkembangan kehidupan. Masyarakat yang seperti ini dapat dijadikan cerminan dan contoh yang baik bagi masyarakat lainnya.

”Maryam datang membawa sepiring nasi, dilumuri kecap kental dan sepotong ikan asin yang dibakar. Sembari menyantap hidangannya, Amat tak melepas kemudinya. Dengan udara cerah seperti itu, matanya boleh awas ke haluan nun di sana. Tak lama kemudian hidangan yang sama diberikan kepada Buyung dan ia memakannya dengan lahap. Kalau Amat mendapatkan segelas kopi, Buyung mendapat segelas teh manis panas. Di tengah laut itu mereka berpapasan dengan empat Pincalang lainnya. Mereka saling melambai, walau susuah mengenal wajah mereka dari kejauhan. Lambaian menjadi pengganti sapaan yang hangat, ucapan selamat mengarungi laut lepas yang ganas dan buas.” (Hal. 16)

Kutipan di atas menggambarkan tentang kebersamaan yang hangat di kalangan orang-orang perahu. Saling menyapa akan menumbuhkan keakraban di antara masyarakat. Masyarakat yang akrab tentunya akan menemukan keindahan kehidupan dari cara tersebut. Nilai estetis dari kehidupan itu sendiri juga akan dapat dimiliki oleh masyarakat yang akrab seperti yang tergambar dalam kutipan di atas.

”Mari kita kuburkan mereka dengan layak. Mereka adalah manusia ciptaan Tuhan juga. Kuburkan saja, walau kita tidak mengetahui apa agamanya. Kita hanya mampu mendoakan mereka dengan kepercayaan kita,” lagi-lagi si pemegang kemudi meminta dengan santun dan penuh wibawa.” (Hal. 42)

Orang-orang perahu dalam kutipan di atas menguburkan dan mendoakan mayat bajak laut yang sebelumnya ingin memebunuh dan merampas harta mereka. Rasa kemanusiaan mereka tidak terbatas pada orang-orang tertentu saja, sikap ini


(49)

tentunya adalah sikap yang sangat mulia yang digambarkan oleh masyarakat Pincalang atau orang-orang perahu. Tidak semua manusia mampu memperlakukan musuhnya dengan sikap yang baik. Akan tetapi hal tersebut mampu dilakukan oleh orang-orang perahu. Hal ini tentunya dapat menjadi contoh yang baik di bagi masyarakat lainnya untuk mencapai kulitas sosial masyarakat yang tinggi.

”Mentari pagi mulai mengintip dari ujung laut sebelah timur. Cahayanya kuning keemasan, bercampur sedikit merah. Cahayanya membias di permukaan laut yang tenang, seakan tidak memiliki ombak dan gelombang. Perlahan mentari melepaskan diri dari balik gunung di ujung sana. Bias-bias warna merah sudah senyap. Cahaya kuning emas mendominasi, berpendar-pendar di atas permukaan laut. Satu-satu terbangun dari tidurnya setelah matahari mengelus-elus mata mereka. Silau. ” Silahkan Minum kopi, ” Amat menyapa mereka yang sudah terbangun.” (Hal. 62) Melayani sesama tergambar dalam kutipan di atas yang dilakukan oleh seorang Amat terhadap orang-orang perahu lainnya. Saling melayani akan menumbuhkan rasa kebersamaan yang bermanfaat di dalam masyarakat. Sikap tersebut dapat mengubah perbedaan yang ada menjadi hal yang positif dan bermanfaat bagi sesama. Melayani juga merupakan wujud dari kepedulian sosial yang harus dimiliki oleh setiap masyarakat.

”Tidak dengan Amat. Tubuhnya kelihatan kokoh dengan bisepnya yang menonjol dan tatapan matanya yang tajam penuh wibawa. Cepat mengambil keputusan dan tak mau surut jika sudah mengambil keputusan. Sekali layar terkembang, pantang lari dari gelombang, begitulah sosoknya. Sikapnya yang suka menolong dan teguh pendirian itu membuat banyak orang-orang Pincalang menyeganinya”. (Hal. 72)

Kutipan di atas mengajarkan tentang nilai keteguhan pendirian dalam menghadapi segala tantangan hidup. Manusia dalam masyarakat yang berpendirian teguh dalam menjalani hidup tidak akan pernah lari dari permasalahan kehidupan. Semakin banyak permasalahan akan berdampak pada


(50)

kualitas pribadi individu tersebut yang akan semakin meningkat. Suka menolong juga tergambar dalam kutipan di atas. Suka menolong merupakan sikap sosial yang mencerminkan kepedulian antara sesama masyrakat. Manusia yang memiliki sikap demikian tentunya akan selalu mendapat tempat yang baik serta penilaian yang baik di mata masyarakat.

” Ayah Amat tampak tak terlalu percaya. Dia minta agar ibu Amat ikut mendampingi mereka. Besok dia akan menyusul naik perahu. Amat menyetujui. Malam itu mereka melanjutkan pelayaran ke pulaunya. Perasaan ayah Amat tak tenang. Di benaknya pasti ada sesuatu. Jika tiada berada, tak mungkin tempua bersarang rendah.” (Hal. 108)

Kutipan di atas mengandung nilai pendidikan yang disampaikan melalui sebuah pribahasa yang megandung arti jika ada sesuatu hal yang tidak lazim terjadi berarti hal tersebut mengindikasikan sesuatu hal yang tidak lazim pula. Ada sesuatu yang harus kita telusuri di balik ketidaklaziman tersebut. Atas dasar hal itu, manusia dalam masyarakat tentunya harus peka serta memahami segala gejala yang ada disekitarnya. Dengan bersikap demikian manusia dapat mempersiapkan segala sesuatunya untuk menghadapi dinamika kehidupan yang sangat beragam.

”Maryam senang mendengarkan. Dia membayangkan hidup di darat. Dalam bayangannya, mereka hidup seperti orang-orang darek. Punya sepeda dan tidak takut lagi diterpa hujan, gelombang, dan angin kencang. Dipeluknya suaminya itu dan diciumnya. Itu membuat hati Amat menjadi senang. Banyak orang Pincalang tak mampu hidup berdampingan dengan orang-orang yang bermukim di darat karena berbagai alasan. Orang di darat itu jahat, jangan didekati. Orang darat itu kerjanya menipu saja. Amat justru berpikiran lain. Dia harus mencobanya dulu.” (Hal. 109) Kutipan di atas mengajarkan kepada masyarakat untuk tidak berhenti melakukan sesuatu karena alasan kekahwatiran akan berdampak buruk bagi kehidupannya. Tokoh Amat dalam kutipan di atas menunjukan sikap beraninya


(51)

mencoba sesutau yang belum pernah ia coba sebelumnya. Untuk dapat melakukan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik, di dalam kehidupan manusia memang harus memiliki keberanian dalam menghadapi suatu hal yang tergolong baru dalam kehidupannya. Sikap berani tentunya adalah sebuah jalmencobaan yang dapat ditempuh masyarakat yang ingin mengubah nasibnya menuju kehidupan yang lebih bermartabat.

”Amat selalu melihat kapal terbang di langit tinggi. Dari pantat kapal terbang keluar asap putih. Alangkah senangnya orang-orang yang bisa terbang. Selain kapal terbang, Amat juga pernah melihat kapal laut besar nun jauh di ujung pulaunya. Dia juga mendengar ada kapal yang bisa menyelam, seperti manusi saat menombak ikan.” (Hal. 110)

Kutipan di atas mengandung nilai keindahan dalam menggapai cita-cita atau impian. Masyarakat dalam kehidupan tentunya memiliki harapan-harapan tertentu terhadap masa depannya. Akan tetapi tidak semua orang mampu atau bahkan memiliki keinginan yang direalisasikannya dengan perbuatannya dalam kehidupan untuk menggapai harapan-harapan tersebut. Ada orang yang pada akhirnya mengabaikan harapan-harapan yang ada di dalam pikirannya tentang sebuah cita-cita. Masyarakat yang demikian adalah orang-orang ynag tidak menyadari akan keindahan menggapai impian. Kutipan di atas tentunya mengajarkan kepada masyarakat tentang nilai keindahan dalam bercita-cita serta nilai keindahan dalam menjaga dan mencapai sebuah impian.

”Bagi ayah Amat yang terpenting adalah mencari uang banyak. Beli Pincalang yang banyak. Bila sudah punya dua atau tiga Pincalang, tinggal duduk tenang dan uang datang sendiri. Tapi, tidak bagi Amat. Dia harus


(52)

punya rumah di darat dan punya otoprah. Anaknya harus jadi orang pintar.”

(Hal. 111)

Kutipan di atas mengajarkan nilai mengenai keluasan tujuan hidup yang tidak hanya terbatas pada memiliki uang banyak saja. Ada tujuan-tujuan hidup lainnya yang lebih mulia dari pada hanya sekedar memiliki uang banyak yang dapat memenuhi kebutuhan hidup yaitu dengan bersekolah dan menjadi orang pintar.

”Kepada kedua orang suruhannya, Sangkot dan Lokot, yang sudah diangkat menjadi adiknya, Amat tetap mengajarkan bagaimana bekerja keras untuk meniti hidup.” (Hal. 122)

Nilai mengenai kerja keras dalam kehidupan jelas tergambar dalam kutipan di atas. Kerja keras adalah pilihan yang harus dipilih oleh manusia dalam masyarakat jika ingin menjadi seseorang yang berhasil dalam mencapai tujuan-tujuan dalam kehidupannya. Kerja keras dapat menyelesaikan banyak tanggung jawab yang dibebankan terhadap manusia dalam kehidupan.

”Mengikuti kehendak alam saja bukan sesuatu yang buruk. Akan lebih baik jika segala sesuatunya dipelajari lebih dalam, kata pak haji pada Amat waktu itu.” (Hal. 124)

Kutipan di atas mengandung nilai tentang totalitas. Segala sesuatu yang benar-benar dipahami secara mendalam dapat mengurangi risiko yang tidak baik dalam pelaksanaan hal tersebut.


(53)

”Hanya dengan sekolah dan kerja keras, nasib bisa berubah menjadi lebih baik. Tuhan tidak akan memberi rezeki kepada orang-orang bodoh dan pemalas. Ingat ceramah guru ngajimu,” Amat menyemangati.” (Hal.141).

Kutipan di atas mengandung nilai tentang pendidikan serta kerja keras. Pendidikan dan kerja keras adalah jalan yang dapat ditempuh masyarakat dalam kehidupan jika ingin merubah nasibnya. Pendidikan dan kerja keras adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan, pendidikan tanpa kerja keras akan menuai hasil yang kurang maksimal, begitu juga sebaliknya, kerja keras tanpa pendidikan akan menurunkan standar tentang hal-hal yang dapat diperoleh dari kerja keras tersebut. ”Sopan santun dan tata krama lebih kuat dari bentakan. Percayalah !.” (Hal.167)

Kutipan di atas mengindikasikan tentang betapa tingginya nilai serta kedudukan dari tata krama serta sopan santun di dalam kehidupan. Segala aktifitas kehidupan manusia dalam masyarakat akan lebih baik jika dalam pelaksanaannya mengedepankan kedua hal tersebut di atas.

4.2.4 Nilai Pendidikan Religius

Nilai pendidikan religius berkenaan dengan nilai-nilai yang terjalin dalam hubungan manusia dengan Tuhan sebagai penciptanya. Manusi sebagai makhluk ciptaan Tuhan memiliki tanggung jawab terhadap sang penciptanya atas kehidupannya. Manusia harus mampu menjalankan kehidupan yang berjalan sesuai dengan aturan dalam agama yang dianutnya. Nilai-Nilai pendikan religius


(54)

mengarahkan manusia untuk selalu memperbaiki hubungannya dengan sang pencipta.

”Sayup-sayup, Buyung dan Amat mendengar Maryam mengaji di perut Pincalang. Lantunan ayat-ayat suci terdengar merambat merdu ke atas geladak. Maryam memang seorang yang tak pernah lupa mengaji dan mengajari anak-anaknya mengaji. Itu pula sebabnya kenapa ayah Amat meminangnya untuk dinikahkan dengan Amat. Setelah akad nikah, Maryam pun berpindah dari Pincalang orangtuanyake Pincalang milik Amat.” (Hal. 16)

Kutipan di atas menggambarkan tentang kesolehaan seorang Maryam yang selalu mengerjakan rajin mengaji. Mengaji atau membaca Al-Qur’an adalah kegiatan bernilai ibadah yang sangat bermanfaat bagi kehidupan umat Islam. Mengaji dan mengajarkan Al-Qur’an adalah sebuah pekerjaan mulia dalam agama tersebut. Membaca Al-Quran juga merupakan kegiatan yang dapat menentramkan batin manusia. Islam mengajarkan untuk banyak-banyak membaca Al-Quran dan mengamalkannya di dalam kehidupan sehari-hari untuk mendapatkan kehidupan dunia yang tentram.

”Beberapa buah lampu teplok sudah menyala. Gubuk itu sudah diterangi cahaya. Langit kembali menghitam walau magrib belum tiba. Penerangan lampu memang dibutuhkan. Langit tiba-tiba kembali marah, menggelegar. Kilat saling mendahului menyambar-nyambar bumi. Lamat-lamat terdengar mulut Amat berkomat-kamit membaca doa ketika petir menggelegar, doa yang ia ingat ketika mengaji semasa kecil,” subhanalladzi yusabbihur ra’du bihamdihi wal malaikatu min khifatihi...” maha suci Allah yang kilat itu bertasbih memuji-Nya dan malaikat karena takut pada-Nya.” (Hal. 18)

Tuhan pencipta alam semesta adalah Tuhan yang mengatur segala seseuatu yang terjadi di alam semesta ini. Segala sesuatu yang terjadi adalah atas dasar kehendaknya. Manusia dianjurkan untuk selalu berdoa dalam banyak keadaan seperti yang dilakukan oleh tokoh Amat dalam kutipan di atas. Berdoa akan


(55)

mendekatkan seorang hamba kepada penciptanya sekaligus dapat menghilangkan rasa takut terhadap gejala atau peristiwa tersebut.

”Iya Gek. Setelah aku melaksanakan shalat zuhur,” jawab Maryam sembari membersihkan piring dan rantang mereka di air laut sebelum disabun. Ikan-ikan kecil datang mengerubungi sisa-sisa nasi yang dibuang itu.

Amat menatap matahari. Ya...sudah saatnya melakasanakan shalat zuhur. Amat mengambil air wudhu di tepian laut. Dia naik ke atas sebidang batu di tepi pantai dan mengankat takbir melaksanakan shalat

. Allahu akbar... ” (Hal. 31)

Kutipan di atas menggmbarkaan nilai tentang keikhlasan seorang hamba untuk melaksanakan kewajibannya terhadap sang pencipta. Hal tersebut ditandai dengan menyegerakan pelaksanaannya setelah masuk waktunya seperti sholat yang dikerjakan oleh seorang Amat. Orang yang berlama-lama atau sengaja melama-lamakan pelaksanaan ibadah sholat padahal waktunya sudah masuk, menandakan seseorang itu kurang ikhlas dalam melaksanakan ibadahnya. Ikhlas dalam beribadah adalah hal yang sangat penting diterapkan dalam kehidupan masyarakat agar manusia dalam kehidupan benar-benar mendapat ganjaran berupa kebaikan atau pahala dari Tuhan.

”Sebuah kapal kayu berukuran sedikit lebih besar dari kapal perompak sebelumnya melaju dengan cepat menuju pulau. Beberapa orang berdiri di haluan dan seperti melihat mereka menggunakan teropong. Kapal melaju cepat tanpa kain layar, baik di tengah dan haluan.

”Itu perompak yang lebih besar. Mereka naik kapal mesin,” Kata si pemegang kemudi.

”Apa yang kita lakukan?” tanya Amat waspada. Dia tak habis pikir, hari ini sudah dua kali ikut berperang melawan perompak yang suka

menzhalimi para nelayan. Ini pertempuran yang benar-benar melelahkan. Amat yakin ini adalah jihad fisabilillah karena membela nyawa dan harta dari penjahat.” (Hal. 50)


(56)

Kutipan di atas menggambarkan tentang pembelaan seorang manusia terhadap apa yang telah dititipkan Tuhan kepadanya. Melindungi nyawa dan harta adalah sebuah kewajiban bagi manusia yang biasa disebut dengan jihad di dalam agama Islam. Manusia yang mampu menjalankan jihad dengan baik memiliki kedudukan yang mulia di mata Tuhannya. Tidak semua orang mampu melaksanakan hal tersebut dengan baik. Jihad memerlukan iman, keteguhan hati, keberanian, serta cinta yang besar dalam menjalankannya. Pembelaan yang memrlukan iman, keteguhan hati, keberanian, serta cinta yang besar tersebut mampu dijlankan oleh seorang tokoh Amat dalam kutipan di atas.

”Agama manapun tidak melarang kita bersih, Pak. Tidak melarang badan kita wangi.” (Hal. 117)

Kebersihan dalam Islam merupakan sebahagian dari iman. Orang-orang yang tidak mampu hidup bersih mengindikasikan kondisi keimananya yang kurang baik. Agama Islam menganjurkan penganutnya untuk hidup bersih untuk terhindar dari penyakit yang dapat merugikan kesehatan umatnya.

”Ceramah dalam pengajian itu membuat kedua pasang orangtua Maryam tercengang. Begitu banyak ilmu yang mereka peroleh tentang agama, tentang kehidupan bermasyarakat, tentang banyak hal.

Mengaji itu bukan hanya membuka Al-Quran, menujuknya dengan sebuah ujung lidi. Medengarkan ceramah termasuk juga mengaji. Banyak hal dalam kehidupan yang harus dikaji, kata ustadz panjang lebar.

Kedua ibu Maryam tertarik.” (Hal. 120)

Kutipan di atas mengajarkan kepada kita bahwa konsep mengenai hal mengaji tidak boleh kita persempit dengan mengartikannya sebagai sebuah kegiatan membaca Al-Quran saja. Alam semesta yang diciptakan Tuhan mengandung banyak persoalan yang harus dipecahkan oleh manusia dengan cara


(1)

mengkajinya. Manusia dituntut untuk mempergunakan akal pikirannya dalam memecahkan persoalan-persoalan kehidupan yang ada.

”Tuhan tidak pernah memberi rejeki kepada mereka yang tak mau berusaha dan bekerja keras.” (Hal. 122)

Kutipan di atas mengandung nilai pendidikan mengenai sebuah konsep rezeki. Orang-orang yang tidak mau berusaha tidak akan mendapatkan apa yang diinginkannya dalam kehidupan, sebaliknya, orang-orang yang gigih dalam berupaya untuk memperoleh rezeki yang banyak akan mendapatkan rezeki yang setimpal dengan usahanya tersebut. Dalam Islam konsep mengenai rezeki sangat jelas diberitahukan oleh Allah SWT. Kutipan di atas memuat nilai pendidikan mengenai konsep rezeki tersebut.

”Pincalangnya akan terus merenangi laut tepian, kapalnya akan mengarungi laut luas dan lepas. Tiga setengah tahun, angsuran kapalnya harus lunas. Setelah itu kapalnya akan menjadi milik pribadi, bukan setengah miliki pemerintah atau bank lagi. Jika selesai mengangsur, Amat berniat akan menambah kapalnya satu lagi. Tanah di tepian pantai yang sudah dia beli akan dijadikan gudang penampungan barang beliannya. Amat menengadahkan kedua tangannya dan mengucap syukur kepada sang khalik, Rabb sekalian alam, pencipta yang sempurna.” (Hal. 158) Kutipan di atas menggambarkan sebuah sikap syukur seorang hamba terhadap sang pencipta. Mampu bersyukur akan sangat baik bagi perkembangan usaha yang dilakukan oleh manusia dalam kehidupan. Orang-orang yang bersyukur akan selalu mampu merasa cukup dengan apa yang ia peroleh dari usahanya.

”Dua botol besar Vigour dibawa naik bersama beberapa ekor ikan bakar beserta sambalnya. Amat bermaksud dibelikan bandrek agar tubuh hangat, malah yang dibeli minuman keras. Di mana-mana orang para pelayar suka minuman beralkohol, bisik hatinya. Untuk sekadar menghangatkan


(2)

tubuhnya, Amat tergiur juga untuk memminum seteguk dua teguk. Tapi niat itu diurungkannya.”( Hal.175).

Sikap taqwa dimiliki oleh tokoh Amat. Amat mampu menghindari dirinya dari perbuatan yang dilarang oleh agamanya yaitu mengkonsumsi minuman keras. Mengonsumsi minuman keras berdampak tidak baik bagi kesehatan tubuh manusia.


(3)

BAB V KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan

Setelah dilakukan penelitian terhadap novel Pincalang karya Idris Pasaribu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Konsep pendidikan yang terbangun dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu terdiri dari tiga konsep yaitu:

a.Konsep pendidikan formal b.Konsep pendidikan nonformal c.Konsep pendidikan informal

2. Nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Pincalang karya Idris Pasaribu adalah sebagai berikut:

a. nilai pendidikan alam, yaitu segala pembelajaran yang diperoleh oleh orang-orang perahu di dalam novel Pincalang yang berkonteks pada hubungan mereka dengan lingkungan hidupnya di dalam karya. Di dalam hal tersebut tergambar bagaimana orang-orang perahu mampu membaca tanda-tanda alam dari lingkungan tempat mereka melangsungkan hidup.

b. Memiliki kepedulian yang tinggi terhadap kelestarian lingkungan hidup seperti menanami kembali pohon bakau yang ditebang serta menjaga biota laut dari kepunahan.

c. Nilai pendidikan yang berkonteks pada hubungan manusia di dalam keluarga. Orang-orang perahu mampu menggambarkan hubungan yang sangat baik antara seorang suami dan istri, serta hubungan dengan anak-anak mereka


(4)

terjalin dengan sangat harmonis dengan rasa kecintaan dan rasa saling menjaga yang kuat diantara mereka. Ketiga, nilai pendidikan sosial.

d. Orang-orang perahu melangsungkan kehidupannya di dalam masyarakat dengan penuh kepedulian diantara sesama mereka yang diwujudkan dalam bentuk tolong- menolong dan bekerjasama dalam menghadapi bahaya yang kadang-kadang melanda mereka.

d. Nilai pendidikan religius, orang-orang perahu yang tergambar dalam novel Pincalang memiliki ketaatan yang snagat kuat dalam menjalankan perintah agama, terlihat dari tokoh yang dimunculkan Idris Pasaribu di dalam karya tersebut. Amat, Maryam, dan anaknya Buyung adalah orang-orang yang sangat rajin mengerjakan shalat di awal waktu. Maryam juga merupakan seorang istri yang soleha bagi Amat yang tak pernah lupa mengaji dan mengajarkan anak-anak-mereka mengaji. Mengaji adalah perbuatan yang sanagt dianjurkan oleh agama Islam dan bernilai ibadah bagi yang melakukannya.


(5)

Daftar Pustaka

Aminnudin. 1987. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru Algensindo

Damono, Sapardi Djoko.1984. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas.Jakarta Pusat: Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Kebudayaan.

Endraswara, Swardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Caps Escarpti, Robert. 1958. Sosiologi Sastra. presses universitaires de france Ekazai. 2013.

Jabrohim, dkk.(Ed). 2001. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita 2013

Graha Widya.

Loker Seni. 2011. Penegertian Novel Menurut Para

Ahli

Mohammad, Goenawan. 1993. Kesusastraan dan Kekuasaan. Jakarta: Pustaka Firdaus

Nasution, Ikhwanuddin. 2009. Sastra dan Globalisasi: Tantangan Bagi Estetika dalam Dunia Kritik Sastra di Indonesia. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Nurgiyantoro, Burhan. 1998. Teori Pengkajian Sastra. Bulaksumur. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Nasum, Ferdy. 2011. “Blog Dunia Pendidikan”.


(6)

Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media

Pasaribu, Idris. 2012. Pincalang. Jakarta: Salsabila

Ratna, Nyoman Kuta. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yoyakarta: Pustaka Pelajar.

Rokhman, Arif dkk. 2003. Sastra Interdisipliner. Yogyakarta: Qalam

Soekanto, Soerjono. 2006. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Semi, Atar. 1998. Kritik sastra. Bandung: Angkasa.

Tantawi, Isma. 2013. Terampil Berbahasa Indonesia. Bandung: Citapustaka Media Perintis

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya

Uzey. 2009. Pengertian Nilai

Tanpa Nama. 2013. Penegertian dan Definisi. Pendidikan.