Roland Barthes mengembangkan dua tingkatan pertandaan triggered system yang memungkinkan untuk menghasilkan makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu
tingkat Denotasi Denotation dan Konotasi Connotation, Barthes dalam Baker:123. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan antara
penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukan pada realitas yang menghasilkan makna eksplisit, adalah makna pada apa yang tampak. Sedangkan Denotatif
merupakan tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan tinggi.
Tataran pada awal akan dimaknai secara Denotatif kemudian tanda akan dimaknai konotatif dengan menggunakan kode-kode pembacaan, dan memperoleh
pemaknaan konotasi tersebut secara mendalam digunakan mitos yang dibagi kedalam dua tahap penalaran atau system semiologikal. Pertama, tanda akan dimaknai secara
system mitos Amir, 2006 : 262.
2. 1. 9. Teori Roland Barthes
Menurut Saussure, elemen-elemen semiotika dijelaskan dalam suatu kesatuan yang dapat dipisahkan dari dua bidang, seperti hak selembar kertas, yaitu bidang
penanda signifier yang merupakan citraan atau kesan mental dari sesuatu yang bersifat verbal ataupun visual seperti tulisan, suara atau benda dan bidang petanda
signified yang merupakan konsep abstrak atau makna yang dihasilkan tanda.
Roland Barthes berpendapat bahwa bahasa adalah sebuah system tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu
Barthes, 2001:2008 dalam Alex Sobur, 2002:63. Dalam suatu naskah atau teks, terdapat lima kode yang ditinjau dan
dieksplisitkan oleh Barthes adalah Kode Hermeneutik kode teka-teki, Kode Semik makna konotatif, Kode Simbolik, Kode Proaretik logika tindakan, dan Kode
Gnomik yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu Sobur, 2006 : 65. Lima kode yang ditinjau oleh Barthes, yaitu:
1. Kode Hermeneutik atau kode teka-teki berkisar pada harapan pembaca
untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsure struktur yang utama dalam narasi
tradisional. Didalam narasi ada suatu kesinambungan anatara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaiannya didalam cerita.
2. Kode Semik atau kode konotatif banyak menawarkan banyak sisi. Dalam
proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan
konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat suatu kumpulan satuan konotasi, kita menemukan suatu tema didalam cerita. Jika sejumlah
konotasi melekat pada suatu nama tertentu, kita dapat mengenali suatu tokoh dengan atribut tertentu. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap
denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir”.
3. Kode Simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas
bersifat structural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan-baik dalam taraf bunyi
menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun pada taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses. Misalnya seorang anak belajar bahwa
ibunya dan ayahnya berbeda satu sama lain dan bahwa perbedaan ini juga membuat anak itu sama denagn satu diantara keduanya dan berbeda dari
yang lain ataupun pada taraf pemisahan dunia secara cultural dan primitive menjadi kekuatan dan nilai-nilai yang berlawanan yang secara
mitologis dapat dikodekan. Dalam suatu teks verbal, perlawanan yang bersifat simbolik seperti ini dapat dikodekan melaui istilah-istilah retoris
seperti antithesis, yang merupakan hal yang istimewa dalam system symbol Barthes.
4. Kode Proaretik atau kode tindakanlakuan dianggapnya sebagai
perlengkapan utama teks yang dibaca orang, artinya, antara lain semua teks yang bersifat naratif. Jika Aristoteres dan Todorov hanya mencari
adegan-adegan utama atau alur utama, secara teoritis Barthes melihat semua lakuan dapat dikodifikasi dari terbukanya pintu sampai petualangan
yang romantis. Pada prinsipnya ia menerapkan beberapa prinsip seleksi. Kita mngenal kode lakuan atau peristiwa karena kita dapat memahaminya.
Pada kebanyakan fiksi, kita selalu mengharap lakuan di”isi” sampai
lakuan utama menjadi perlengkapan utama suatu teks seperti pemilahan ala Todorov.
5. Kode Gnomik atau kode cultural banyak jumlahnya. Kode ini merupakan
acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan kea pa
yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau subbudaya adalah hal- hal kecil yang telah dikodifikasi yang diatsanya para penulis bertumpu.
Roland Barthes, 2003 : 65-66. Tujuan analisis Barthes ini, menurut Lechte 2001:196, bukan hanya untuk
membangun suatu system klasifikasi unsure-unsur narasi yang sangat formal, namun lebih banyak untuk menunjukkan bahwa tindakan yang paling masuk akal, rincian
yang paling menyainkan atau teka-teki yang paling menarik, merupakan produk buatan dan bukan dari yang nyata.
Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca the reader. Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda,
membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebgai system pemaknaan tataran kedua, yang
dibangun diatas sisitem lain yang telah ada sebelumnya. Sastra merupakan contoh paling jelas system pemaknaan tataran kedua yang dibangun diatas bahasa sebagai
system yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes disebt dengan konotatif yang didalam mitologiesnya secara tegas ia bedakan dari denotative atau system
pemaknaan tataran pertama. Melanjutkan studi Hjelmslev, Brathes menciptakan peta tentang bagaimana tanda bekerja Cobley Janz, 1999:
1. Signifier