Untuk cara yang keempat, UU Perkawinan memberikan ruang yang dapat digunakan sebagai sarana untuk melegalkan perkawinan tersebut. Pasal 56 UU
Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan
warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan, bagi warganegara Indonesia tidak
melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini. Selanjutnya disebutkan bahwaa dalam waktu 1 tahun setelah suami dan isteri tersebut kembali ke wilayah Indonesia,
surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.
Namun, menurut Prof. Wahyono Darmabrata, perkawinan yang demikian tetap saja tidak sah sepanjang belum memenuhi ketentuan yang diatur oleh agama. Artinya,
tetap perkawinan yang berlaku bagi warga negara Indonesia harus memperhatikan kedua aspek, yaitu aspek Undang-undang dan aspek hukum agama.
2.1.7.1. Pandangan masing-masing agama terhadap pernikahan beda agama.
1. Agama Islam Dalam agama Islam, terdapat dua aliran yang memberikan pandangan mengenai
hal ini. Aliran yang pertama menyatakan bahwa dimungkinkan adanya perkawinan beda agama. Hanya saja hal ini dapat dilakukan jika pihak pria beragama Islam,
sementara pihak perempuan beragama non-islam Al Maidah5:5. Jika kemudian kondisinya sebaliknya, maka menurut aliran ini, perkawinan beda agama tidak dapat
dilakukan Al Baqarah2:221. Di sisi yang lain, aliran yang satunya lagi menyatakan bahwa dalam agama Islam, apapun kondisinya, perkawinan beda agama
tidak dapat dilakukan Al-Baqarah [2]:221. 2. Agama Katolik
Bagi agama Katholik, pada prinsipnya perkawinan beda agama katolik tidaklah dapat dilakukan, Hal ini dikarenakan karena agama Katholik memandang perkawinan
sebagai sakramen. Namun kemudian pada tiap gereja katolik pasti ada proses dispensasi yang memungkinkan terjadinya perkawinan beda agama.
Menurut hukum gereja katholik, perkawinan antara seorang katholik dengan islam bukanlah sebuah sakramen, walaupun dapat diakui dan diberkati oleh
pemimpin gereja sebagai perkawinan yang sah. Hal ini dapat membuat keluarga dan umat katholik kecewa mengahadapi perkawinan campur semacam itu. Dan bila yang
beragama islam adalah pihak wanita, perkawinan semacam itupun tidak pernah diaukui sebagai perkawinan sah oleh hukum islam.
Menurut hukum islam seorang islam hanya dapat menikah secara sah apabila ia menikah secara islam . Padahal menurut hukum gereja katholik seorang katholik pun
hanya dapat menikah secara sah apabila ia menikah secara katholik. Kedua agama juga menolak bahwa kawin campur antara seorang katholik diteguhkan dua kali
secara islam secara katholik. Akibatnya perkawinan campuran seorang islam dengan seorang katholik tidak pernah dapat memuaskan kedua pihak. Perkawinan secara sipil
pun bukan pemecahan yang memuaskan sebab perkawinan sipil tidak diakui sebagai perkawinan sah oleh kedua agama. Purwahadi, 1994: 96-98.
2.1.8. Semiotika Komunikasi