Perilaku Konsumen INTERPRETASI DATA

51 Maraknya gaya hidup konsumerisme hedonistik menimbulkan tekanan bagi banyak orang untuk mengubah dan mengupayakan sekuat tenaga bagi tercapainya pemenuhan standar nilai kehidupan baru yang harus serba berkelas, bergengsi dalam pengertian penampilan fisik dan pemilikan terhadap hal-hal yang sifatnya materialistis. Iklim kehidupan yang kian impersonal menggusur kebutuhan empati dan afeksi menjadi sekedar komoditas yang bisa dibeli dengan uang atau digantikan dengan barang yang terukur nilai tukarnya. Rasa terasing alienasi akibat ritme hidup dan ritme kerja yang serba cepat, juga rasa cemas yang menggangu zona internal psikologis sebagai efek komplikatif dari beban hidup, ketatnya persaingan untuk merebut terbatasnya kesempatan, deraan trauma masa lalu yang dibayangi lumuran sugesti negatif akibat rasa khawatir yang terus dipelihara sebagai spirit untuk bertahan hidup, secara serempak memberikan andil bagi suburnya wabah shopaholic dalam kehidupan sebagian orang yang tidak mampu dan sempat menyadari situasi serta kondisi kehidupan aktualnya.

5.2 Perilaku Konsumen

Rupanya perilaku konsumen juga mempunyai dua buah teori. Nah, sebelum membaca tentang teori perilaku konsumen, apa sih perilaku konsumen itu? Perilaku konsumen adalah proses pengambilan keputusan oleh masing-masing individu untuk evaluasi, pendapatan, penggunaan atau mengatur barang dan jasa. Teori perilaku konsumen disebut juga sebagi teori nilai guna yang dibagi menjadi 2, yaitu: 52 1. Teori Nilai Guna Kardinal Bertitik tolak pada anggapan bahwa kepuasan setiap konsumen dapat diukur dengan apapun sama seperti dalam hukum Gossen, artinya tinggi rendahnya nilai suatu barang tergantung pada tiap penilaian. 2. Teori Nilai Guna Ordinal Pengukuran kepuasan setiap konsumen diurutkan dalam tingkatan-tingkatan tertentu misalnya tinggi, sedang, rendah.

5.2.1 Budaya Konsumen

Budaya Konsumen dapat diartikan sebagai budaya-budaya yang dilakukan oleh seorang konsumen. Adapun budaya konsumen menggunakan image, tanda-tanda dan benda-benda, simbolik yang mengumpulkan mimpi-mimpi, keinginan dan fantasi yang menegaskan keauntentikan romantik dan pemenuhan emosional dalam hal menyenangkan diri sendiri bukan orang lain; secara narsistik. Budaya konsumen biasanya dilakukan oleh kelompok menengah, hal ini dikarenakan mereka lebih memiliki banyak waktu luang dan mereka juga memiliki cukup uang untuk mengisi waktu luangan, seperti berfoya-foya. Gaya hidup adalah bentuk khusus pengelompokan status modern, gaya hidup biasanya diasumsikan berdasarkan organisasi sosial konsumsi dan menekankan 53 keterkaitan pandangan-pandangan normatif, daripada oraganisasi sosial produksi yang secara klasik menjadi basis struktur kelas. Konsumsi dalam arti luas mengacu pada seluruh tipe aktivitas sosial yang orang lakukan sehingga bisa kita pakai untuk mencirikan dan mengenali mereka, selain apa yang mungkin “lakukan” untuk hidup. Konsumsi memiliki jangkauan lebih luas dibandingkan struktur sosial produksi. Untuk satu hal, ia melibatkan mereka yang tidak bekerja, seperti para pemuda, orang tua, pengangguran, dan juga paling penting adalah para perempuan yang dalam ekonomi modern umumnya tidak di harapkan menjadi produsen ekonomi. Konsumsi seperti yang di pahami ini perlu memasukkan pola-pola waktu luang masyarakat, yang di cirikan sebagai ekspektasi baru untuk pengendalian dan penggunaan waktu dengan cara-cara yang bermakna secara pribadi. Bocock menandaskan bahwa “konsumsi adalah suatu proses perubahan yang secara historis di konstruksi secara sosial. Konsumsi telah menjadi fokus utama kehidupan sosial dan nilai-nilai cultural mendasari gagasan lebih umum dari budaya konsumen. Perubahan sosial di eropa modern awal sangat tergantung dan terlihat pada sejumlah perubahan yang terjadi secara bersamaan seperti perkembangan pasar internasional, pertumbuhan dalam perdagangan benda-benda seni dan barang-barang mewah, dan pertumbuhan kelas sosial urban yang baru menggantikan struktur sosial feudal. Perubahan tersebutdisebabkan oleh cara-cara baru dalam produksi dan tidak bisa dipisahkan dari disintegrasi budaya religious continental yang menjadi wilayah- wilayah ekonomi baru, selain itu juga bergantung pada perkembangan sikap positif dalam menilai barang-barang yang menjadi tren. 54 McKendrick menulis mengenai inggris abad ke-18 yang menjadi saksi lahirnya suatu masyarakat konsumen dan memfasilitasi suatu revolusi konsumen, dalam proses mengatasi hambatan-hambatan yang “menuntut perubahan sikap dan pemikiran, perubahan dalam kemakmuran dan standar kehidupan, perubahan dalam tekhnik komersial dan keahlian-keahlian promosi, atau bahkan terkadang perubahan hukum itu sendiri”. Inggris memunculkan presden dalam revolusi ini, karena di sana ada penyebaran yang relative sempit struktur sosial kontemporer. Pabrik-pebrik baru yang menghasilkan barang-barang konsumsi pada mulanya menjadikan kalangan elit sebagai sasaran, dan dukungan mereka amat penting bagi kreasi fashion popular, tetapi keuntungan yang sangat besar yang diperoleh sesudah itu adalah dengan memasarkan dan mendistribusikan tiruan-tiruan barang tersebut kepada khalayak umum. McKendrick menyebutkan metode-metode baru pameran display, manipulasi fashion melalui keusangan arti fisial artificial obsolescence, pembangunan tempat-tempat dan agen-agen baru penjualan dan bagaimana “memanipulasi persaingan sosial membuat manusia memburu kemewahan luxxuris padahal mereka sebelumnya membeli kepantasan decencies, padahal mereka sebelumnya telah membeli kebutuhan atau necessities. Permainan dan perayaan- perayaan komunal pada awal masa eropa modern berangsur-angsur ditinggalkan dengan tersedianya secara komersial, musik, dansa, olah raga, dan sebagainya. Pada awal abad ke-18 budaya dan sportsedikit demi sedikit mulai beralih dari yang sebelumnya cenderung elitis dan privasi menjadi sesuatu yang sngat umum. Suatu 55 proses komersialisasi waktu luang terus menerus tumbuh pada abad ke-19, yang sangat penting sekali untuk ditekankan pada aspek domestic dari periklanan barang konsumsi sebagaimana dicontohkan Plums tentang komersialisasi anak-anak sebagai objek waktu luang dan kemewahan yang baru untuk kegemara orang tua yang merupakan bagian penting dari munculnya budaya konsumen. Pemikiran ulang dinamika modernisasi melibatkan pergeseran dari pandangan pentingnya penekanan bahwa modernitas melibatkan “pergantian dunia modern awal dan eropa abad pertengahan yang didominasi pandangan mengenai takdir Tuhan oleh perkembangan kemajuan dunia pengetahuan dan sain mengenai pengungkapan rahasia alam dan eksplorasi rasional. Logika moderitas adalah fashion bukanlah eksploitasi irasional melainkan merupakan suatu pencarian eksistensial untuk berbeda dalam budaya sekuler secara mendalam. Konsumerisme telah menjadi pusat dari perkembangan sosial modernitas dan merupakan inovasi yang lebih mutakhir. Kekuatan gagasan mengenai budaya konsumen tergantung pada kemungkinan pemasaran masa beriring dengan periklanan masa. Pemasaran konsumen pada abad ke 18 harus mengabaikan perbedaan status yang telah terbangun dan justru akan memperkecil perbedaan sosial. Melengkapi dan mengintensifkan proses yang sama, pemasaran pada masa akhir abad ke 19 “mengikis” daerah perdalaman yang memiliki pasokan-pasokan yang dapat dimanfaatkan seperti pembangunan jaringan, kereta api yang cepat dan efisien , peningkatan angkatan darat dan laut. Pasar dari masyarakat konsumen ini adalah suatu entitas yang abstrak yang melebihi pasar khusus para pedagang kecil. Potensi 56 abstrak dari kegemaran konsumen terbentuk melalui pembangunan pusat-pusat kota sebagi pusat-pusat hiburan yang berlebihan-fantasi taman kenikmatan abad ke 18 diubah kembali menjadi dunia ilusi yang lebih wah. Pada era budaya konsumen ditandai dan dilembagakan denganlahirnya pusat-pusat perbelanjaan. Istana yang selalu berlimpah barang ini menawarkan kebebasan baru dan kesempatan untuk kegemaran. Dalam anonimitas impersonal para pembelaja sama sekali bebas untuk mengembara seperti dan sebagaimana yang mereka harapkan serta memanfaatkan fasilitas-fasilitas tanpa batas untuk memenuhi cita rasa pribadi dan merancang program-program perjalanan pribadi. Pusat-pusat perbelanjaan merupakan unsur yang paling nyata dalam tranformasi pusat-pusat metropoloitan, yang menawarkan kesempatan baru bagi para pelanggan manapun baik secara langsung maupun melalui kiriman untuk menjarah benda-benda duniawi. Selanjutnya, toko-toko yang juga bagian dari hiruk pikuk metropolitan yang melalui impian, imajinasi, imperialis, menganggap dunia diluar moderitas diciptakan untuk dieksploitasi. Bentuk sosial baru dari gaya hidup diwarnai oleh beberapa narasi yang lebih luas mengenai bentuk-bentuk budaya konsumerisme. Pemasaran massa seperti halnya bentuk-bentuk lain dari demokrasi massa, menwarkan ilusi-ilusi partisipasi yang sama, dan bahkan sekalipun kejayaan kebudayaan nasional kehilangan kekuatan subtantifnya. Dalam kombinasinya, narasi-narasi tersebut memperkuat dan mengembangkan arti fisialitas pemasaran umum. Sehingga dapat dengan mudah di ambil alih oleh beberapa bentuk teori kritis mengenai konsumerisme. 57 Kritik moral terhadap konsumerisme seperti yang diperkenalkan sebagai atau kebutuhan yang “tidak autentik”. Pada saat yang sama diakui adanya kebutuhan dan ambivalensi kutural yang lebih luas mengenai perubahan sosial konsumerisme. Implikasi konsumerisme dengan menegaskan bahawa sebagai mana gaya hidup memamerkan sensibilitas normative maka mereka akan mengekspresikan respon yang sangat berbeda terhadap nilai-nilai konsumerisme. Asumsi bahwa perempuan merupakan pelanggan utama budaya konsumen, boleh jadi sudah ketinggalan jaman pada tahun-tahun terakhir, tetapi secra tradional sebenarnya berakar pada pembedaan antara produksi dan konsumsi. Pembedaan antara ruang-ruang tersebut secra fisik ditandai oleh perbedaan antara rumah dan pekerjaan, suatu pembedaan yang semakin jelas dengan adnya pembangunan pemukiman pinggiran kota karena pemisahan yang tegas antara sektor pekerjaan dan rumah tangga. Ada hubungan simbiosis antara karakter feminim perkotaan dan titik berat feminine terhadap konsumerisme sutau kesaling ketergantungan komplementer dan juga diungkapkan dalam aspek kedua perkembangan budaya konsumen. Pemukiman daerah pinggiran kota adalah bentuk fisik yang sempurna bagi warga konsumerisme masa. Secara individu berbeda atau setengah terpisah, mereka menganjurkan investasi swasta untuk meraih kehormatan walaupun sebenarnya menjamin penyimpangan hukum yang mencolok bell, 1958. Denagn kemudahan akses mereka untuk msuk kelokasi-lokasi hiburan konsumen yang spektakuler, mereka memenuhi janji akses demokratis dan saat yang sama memperkuat serangkaian mitos mengenai bahaya kepadatan kota yang kontras dengan keleluasaan privasi di perumahan pinggiran kota. 58 Pemasaran konsumen terutama sering kali diarahkan pada para pelanggan perempuan dan sekalipun begitu belum tepat mengatakan bahwa perempuan telah atau saat ini tengah berada dibarisan terdepan inovasi gaya hidup. Kendala sosial tradisional dan alamiah dalam hal perdangan adalah diacuhkannya rayuan terhadap pelanggan perorangan. Karakteristik lahirnya budaya konsumen mengabaikan hal yang bersamaan dengan perkembangan industry waktu luang kecuali konteks waktu luang sebagai salah satu benda dalam budaya konsumen. Komersialisasi waktu luang merupakan pergeseran dari bentuk-bentuk permainan dan perayaan komunal menjadi jenis-jenis hiburan komersial yang di sediakan para pengusaha, yang merupakan tahapan penting dalam perkembangan budaya kelas menengah yang unik. Hal yang penting bahwa usaha-usaha komersial yang baru di bidang hiburan terutama akan di tujukan kepada para khalayak kelas menengah karena memiliki sumber budaya untuk menyediakan waktu dan uang untuk menikmati hiburan-hiburan tersebut. Dan tentu saja hiburan yang telah terlembaga sebagai bentuk budaya. Penting juga mengakui bahwa dunia kelas pekerja industry perkotaan yang baru juga memiliki karakter yang khas dengan tersedianya hiburan waktu luang dari sejak awal. Peningkatan secara cepat kota-kota pantai inggris dan spa-spa tertentu yang digunakan sebagai tempat peristirahatan untuk hari raya selama lebih 200 tahun terakhir. Sejarah sosial dan budaya perkembangan investasi waktu luang pada abad ke- 20 sebagian besar di tandai dengan pembukaan industry-industri baru hiburan massa. Industry waktu luang ini jelaslah penting artinya bagi setiap penjelasan mengenai gaya hidup tidak hanya karena ia mengisi sebagian waktu luang para khalayak, tapi 59 juga karena bidang ini memperkejakan sejumlah besar orang dalam produksi dan presentasi dan mereka membutuhkan investasi modal yang besar untuk mempertahankan pasar mereka. Industri waktu luang sama saja dengan bentuk- bentuk benda konsumsi lainnya karena mereka memainkan karakteristik structural yang sama seperti yang telah kita catat sebelumnya dalam hal persyaratan standarisasi metropolitan yang dilengkapi dengan konsumsi terprivatisasi pasar domestik.

5.2.2 Dampak dari Budaya Konsumen

Dampak dari budaya konsumen ini adalah : 1. Hedonisme atau memuja kesenangan sesaat 2. Konsumerisme 3. Kapitalisme Contoh dampak dari budaya konsumen, misalnya senang dengan budaya-budaya atau kegiatan yang tidak memiliki banyak manfaat, seperti nonton film di bioskop, asyik nonton televisi dan mengalihkan pekerjaan-pekerjaan yang lebih penting, membeli tas-tas yang memiliki merk-merk tertentu.

5.2.3 Macam-macam Perilaku Konsumen

Selain teori, perilaku konsumen juga dibagi menjadi 2, yaitu : 1. Perilaku Rasional 60 Artinya, konsumen mampu memilih barang yang hendak dikonsumsi secara matang dalam penggunaan dan harga serta terkadang kualitaskeawetan barang. 2. Perilaku Irrasional Artinya, konsumen tidak mampu memilih barang yang henda dikonsumsi dan membeli barang akibat pengaruh dari luar atau hanya untuk prestise sehingga konsumen irrasional juga terkadang diartikan bagi beberapa orang sebagai shopaholic.

5.2.4 Perilaku Konsumsi Perempuan

Perilaku konsumsi manusia mengalami pergeseran lagi hingga sampai pada zaman modern dan postmodern seperti yang terjadi saat ini. Konsumsi telah menjadi suatu budaya dalam masyarakat modern, kegiatan itu dilakukan tidak lagi hanya pada pemenuhan kebutuhan-kebutuan dasar dan fungsional manusia. Masyarakat modern tidak dapat melepaskan diri dari informasi-informasi yang berurusan dengan kegiatan konsumsi. Fenomena seperti itu selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari masyarakat di sepanjang jalan, tempat-tempat public, dan lain-lain melalui beragam media seperti televisi, poster-poster, majalah maupun koran-koran harian yang selalu memuat informasi dan iklan-iklan suatu produk. Perkembangan tersebut dinilai sebagai pertanda positif bagi peningkatan taraf hidup masyarakat karena peningkatan kegiatan konsumsi dipandang sebagai efek dari naiknya penghasilan dan taraf hidup masyarakat. Di sisi lain, justru dipandang sebagai kemunduran rasionalitas 61 masyarakat, karena sering terjadi ketidaksignifikanan korelasi antara kegiatan konsumsi dengan penghasilan. Saat ini, budaya kapitalisme dan hedonisme dengan berbagai ragam bentuknya telah menggejala begitu derasnya. Salah satunya adalah budaya konsumerisme yang tidak lain adalah perpanjangan tangan dari budaya kapitalistik yang terlihat secara mencolok dengan tegaknya pusat-pusat perbelanjaan, mal-mal, menjangkitnya trend mode atau fashion, menjamurnya kafe-kafe, kontestasi idol dan sederet ikon modernitas lainnya. Ikon-ikon modernitas tersebut lebih banyak didomisili oleh kehadiran perempuan-perempuan muda yang cantik dan feminim meskipun tidak sedikit pula ikon budaya modern direpresentasikan dengan model pria yang gagah dengan kesan macho. Perempuan lebih rentan menjadi maniak belanja atau berperilaku konsumtif. Perempuan juga sering tidak dapat menahan diri ketika melihat barang-barang dengan trend baru yang fashionable , sehingga wanita sering disebut makhluk shopaholic. Perilaku konsumtif pada mayoritas perempuan merupakan bentukan lingkungan globalisasi. Perilaku konsumtif juga dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya karena faktor atau pengaruh dari lingkungan seperti lingkungan keluarga, lingkungan tempat ia bekerja, sekolah atau lingkungan peer groupnya, kendali diri yang rendah, konsep diri dan faktor situasional. Selain itu kesalahan persepsi kaum perempuan terhadap kebebasan yang diberikan kepada mereka saat ini juga turut memberi pengaruh terhadap perilaku konsumtif mereka. Atas prinsip kebebasan 62 tersebut perempuan merasa bebas menentukan pilihan apapun terhadap karir dan apa yang ingin dikonsumsinya. Hal di atas bertolak belakang ketika Indonesia menghadapi kekejaman para penjajah dimana wanita kembali digambarkan sebagai sosok yang tidak diperhitungkan dan dianggap remeh. Misalnya, penyiksaan yang dialami wanita pribumi. Tampak para wanita tidak luput dari penindasan serdadu-serdadu Jepang. Mereka dipaksa menyerahkan perhiasan sebagai modal Jepang melakukan perang, dipaksa menumbuk padi untuk kemudian diserahkan kepada Jepang, memasak untuk keperluan tentara Jepang, bekerja paksa di pabrik pembuatan sake, menyapu jalan dan yang paling parah adalah penipuan Jepang dengan iming-iming akan disekolahkan yang ternyata diculik dan disekap guna memenuhi kebutuhan seks para tentara Jepang Nurdiyansah. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia : Ada di Mana? Jurnal Perempuan : YJP. Fashion menjadi daya tarik bagi perempuan pada umumnya, karena fashion berhubungan dengan penampilan dan mode. Sesuai dengan pendapat Hurlock 1996 yang mengatakan bahwa perempuan menyadari penampilan fisik yang menarik sangat membantu statusnya dalam bidang bisnis maupun dalam perkawinan. Karena itu tidak mengherankan jika bagi beberapa perempuan, fashion menjadi sangat penting bagi penampilan mereka. Fashion bagi perempuan memiliki banyak dimensi fungsi yaitu antara lain sebagai daya tarik, komunikasi, ekspresi individualistik, nilai sosial dan status, nilai ekonomi, simbol politis, kondisi magis-religius dan rekreasi. 63 Fashion lekat kaitannya dengan benda-benda yang memanjakan bagian-bagian tubuh wanita mulai dari ujung rambut sampai kaki. Misalnya, sepatu atau sandal yang sebenarnya benda sepele, tetapi menjadi sesuatu yang istimewa dan membutuhkan perhatian lebih. Sepatu atau sandal mempunyai sejarah tersendiri, salah satunya pada zaman Tokugawa di Jepang 1600-1867 yang secara khusus menegaskan bahwa setiap kelas sosial hendaknya membuat sandalnya masing-masing Roach dan Eicher, 1979. Di Indonesia pun juga memiliki sejarah yang istimewa terhadap sebuah sepatu pada tahun 1950-an ketika Bung Hatta menginginkan sepatu merek Bally. Bally adalah sebuah merek sepatu yang bermutu tinggi dan tidak murah. Bung Hatta, Wakil Presiden pertama RI, berminat pada sepatu itu. Ia kemudian menyimpan guntingan iklan yang memuat alamat penjualnya, lalu berusaha menabung agar bisa membeli sepatu idaman tersebut. Namun uang tabungan tampaknya tidak pernah mencukupi karena selalu terambil untuk keperluan rumah tangga atau untuk membantu kerabat dan handai taulan yang datang untuk meminta pertolongan. Hingga akhir hayatnya, sepatu Bally idaman Bung Hatta tidak pernah terbeli karena tabungannya tak pernah mencukupi. Hal yang sangat mengharukan adalah bahwa guntingan iklan sepatu Bally itu hingga Bung Hatta wafat masih tersimpan dan menjadi saksi keinginan sederhana dari seorang Bung Hatta. Dari masa ke masa beragam jenis dan merek sepatu mulai memadati pasaran global, terutama jenis sepatu wanita. Kemunculan sepatu dengan merek-merek tertentu semakin bertebaran di mana-mana di mal-mal, outlet-outlet di sepanjang jalan utama, bahkan tidak sedikit pula toko online yang menawarkannya yang 64 menggoda kaum wanita untuk mengkonsumsinya. Hal itu tidak lagi hanya dapat ditemui di perkotaan atau di daerah pusat tempat-tempat publik seperti Jakarta tetapi sudah merambah di segala penjuru. Konsumsi sepatu sebagai salah satu gaya hidup memberi kode semiotik untuk menampilkan image dan identitas.

5.3 Gaya Hidup