Efek Ekstrak Etanol Daun Keji Beling (Strobilanthus Crispus (L.) Blume) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut Jantan (Cavia Porcellus) Terisolasi Secara Kualitatif

(1)

EFEK EKSTRAK ETANOL DAUN KEJI BELING

(

Strobilanthus crispus

(L.) Blume) TERHADAP KONTRAKSI

OTOT POLOS ILEUM MARMUT JANTAN (

Cavia porcellus

)

TERISOLASI SECARA KUALITATIF

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi

Universitas SumateraUtara

OLEH: AINI SAVITRI NIM 121524051

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

EFEK EKSTRAK ETANOL DAUN KEJI BELING

(

Strobilanthes crispus

(L.) Blume) TERHADAP KONTRAKSI

OTOT POLOS ILEUM MARMUT JANTAN (

Cavia porcellus

)

TERISOLASI SECARA KUALITATIF

SKRIPSI

OLEH:

AINI SAVITRI

NIM 121524058

PROGRAM EKSTENSI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

PENGESAHAN SKRIPSI

EFEK EKSTRAK ETANOL DAUN KEJI BELING

(

Strobilanthus crispus

(L.) Blume) TERHADAP KONTRAKSI

OTOT POLOS ILEUM MARMUT JANTAN (

Cavia porcellus

)

TERISOLASI SECARA KUALITATIF

OLEH:

AINI SAVITRI

NIM 121524058

Dipertahankan di Hadapan Panitia Penguji Skripsi Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara

Pada Tanggal: 1 Juni 2015 Disetujui Oleh:

Pembimbing I,

Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt. NIP197803142005011002

Pembimbing II,

Marianne, S.Si., M.Si., Apt. NIP 198005202005012006

Panitia Penguji,

Prof. Urip Harahap, Apt. NIP 195301011983031004

Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Sc., Apt. NIP197803142005011002

Khairunnisa, S.Si, M.Pharm, Ph.D., Apt. NIP 197802152008122001

Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt NIP 195208241983031001

Medan, Juni 2015 Fakultas Farmasi

Universitas Sumatera Utara Dekan,

Prof. Dr. Julia Reveny, M.Si., Apt. NIP 19580710198601200


(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi yang berjudul “Efek Ekstrak Etanol Daun Keji Beling (Strobilanthus crispus (L.) Blume) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut Jantan (Cavia porcellus) Terisolasi Secara Kualitatif”. Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi pada Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dekan Fakultas Farmasi Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra, Apt., yang telah memberikan fasilitas kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan pendidikan. Kepada Bapak Hari Ronaldo Tanjung, S.Si., M.Si., Apt. dan Ibu Marianne, S.Si., M.Si., Apt., yang telah membimbing penulis dengan sabar sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Kepada Bapak Prof. Urip Harahap, Apt., Ibu Khairunnisa., M.Pharm, Ph.D., Apt., Bapak Drs. Saiful Bahri, M.S., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan saran, arahan, kritik dan masukan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Kepada Bapak Drs. Maralaut Batubara, M.Phil. selaku penasehat akademik yang telah memberikan nasehat dan motivasi kepada penulis selama masa perkuliahan dan Bapak/Ibu Pembantu Dekan, Bapak dan Ibu staf pengajar Fakultas Farmasi USU atas ilmu yang telah diberikan.

Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih serta penghargaan yang tulus dan tak terhingga kepada orang tua tersayang Ayahanda Ir. Zenal Mustakin dan Ibunda Dra. Khulyati atas doa dan dukungan baik moril maupun materil, kepada kedua kakak tersayang M. Ershad Zein dan M. Reza Pahlevi, S.T


(5)

v

serta kedua adik tersayang Shofia Irdha Imani dan Dian Fairuza, sahabat seperjuangan asal Palembang, dan teman-teman Farmasi Ekstensi stambuk 2012 atas motivasi dan segala bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan khususnya di bidang Farmasi.

Medan, Juni 2015 Penulis,

Aini Savitri NIM 121524058


(6)

vi

EFEK EKSTRAK ETANOL DAUN KEJI BELING

(Strobilanthus crispus (L.) Blume) TERHADAP KONTRAKSI OTOT POLOS ILEUM MARMUT JANTAN (Cavia porcellus) TERISOLASI

SECARA KUALITATIF ABSTRAK

Tumbuhan obat banyak dipilih masyarakat dalam mengatasi beberapa penyakit. Salah satu tumbuhan tersebut adalah keji beling. Keji beling sering digunakan masyarakat untuk obat diabetes, batu ginjal, batu empedu, ambeien, tumor, kolesterol, dan sembelit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek kontraksi dari ekstrak etanol daun keji beling pada otot polos ileum marmut terisolasi.

Tahapan penelitian ini meliputi karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak etanol daun keji beling dan uji efek kontraksi menggunakan otot polos ileum marmut. Penelitian ini dilakukan secara in vitro dengan menggunakan alat organ bath. Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah kontraksi otot polos ileum marmut terisolasi. Sebelum dilakukan pengujian, ileum marmut terisolasi diekuilibrasi selama 45 menit sampai diperoleh kondisi yang stabil didalam larutan tyrode dengan suhu 37oC yang diaerasi gas karbogen. Pengujian efek kontraksi dilakukan pada ileum marmut yang diberikan konsentrasi kumulatif ekstrak etanol daun keji beling dan asetilkolin. Pengujian mekanisme efek kontraksi ekstrak etanol daun keji beling dilakukan dengan menginkubasi ileum dengan atropin 2 x 10-3 selama 10 menit kemudian diberikan konsentrasi kumulatif ekstrak etanol daun keji beling.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun keji beling memiliki efek kontraksi dan adanya korelasi positif antara peningkatan

konsentrasi ekstrak etanol daun keji beling dengan efek kontraksi ileum (r = 0,965; p < 0,05). Mekanisme kerja efek kontraksi ekstrak etanol daun keji

beling diduga tidak melalui reseptor muskarinik.


(7)

vii

THE EFFECT OF KEJI BELING (Strobilanthus crispus (L.) Blume) LEAVES ETHANOL EXTRACT ON ILEAL SMOOTH MUSCLE

CONTRACTION OF ISOLATED GUINEA PIG (Cavia porcellus) QUALITATIVELY

ABSTRACT

Medicinal plants were chosen by people in addressing some of the disease. One such plant is keji beling. Keji beling frequently used by people for diabetes medications, kidney stones, gall stones, hemorrhoids, tumors, cholesterol, and constipation. This research aims to observe the contraction effect of keji beling leaves ethanol extract on isolated guinea pig’s ileal.

Stages of the study included the characterization of crude drugs, phytochemical screening, the preparation of keji beling leaves ethanol extract and contraction effect test of isolated guinea pig’s ileal. This research was conducted using in vitro in organ bath The parameter measured in this research is the contraction of isolated guinea pig’s ileal smooth muscle. Before the test, isolated guinea pig ileum were equilibrated for 45 minutes to obtain a stable condition in Tyrode solution at 37°C aerated carbogen gas. The contraction effect test was done on guinea pig’s ileal by given the keji beling leaves ethanol extract cumulative concentrate and acethylcholin. The mechanism of action of the keji beling leaves ethanol extract contraction effect was done by incubated the ileal with atropin sulfate 2 x 10-3 for 10 minutes then subsequently given the keji beling leaves ethanol extract cumulative concentration.

The result showed that keji beling leaves ethanol extract has contraction effect. There is a positive correlation between increased concentrations keji beling leaves ethanol extract with ileal contraction effect (r = 0.965; p < 0.05) The mechanism of action of the keji beling leaves ethanol extract doesn’t go through muscarinic receptor.


(8)

viii DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 3

1.4 Tujuan Penelitian ... 4

1.5 Manfaat Penelitian ... 4

1.6 Kerangka Pikir Penelitian ... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Uraian Tumbuhan ... 6

2.1.1 Sistematika tumbuhan ... 6

2.1.2 Nama daerah ... 6


(9)

ix

2.1.4 Morfologi tumbuhan ... 7

2.1.5 Manfaat tumbuhan ... 7

2.2 Ekstraksi ... 8

2.3 Persyarafan Sistem Pencernaan ... 10

2.3.1 Sistem syaraf intrinsik-sistem syaraf enterik ... 10

2.3.2 Sistem syaraf ekstrinsik-sistem syaraf otonom ... 11

2.4 Usus Halus ... 11

2.4.1 Histologi usus halus ... 12

2.4.2 Pergerakan usus halus ... 13

2.4.3 Ileum ... 15

2.4.4 Usus marmut ... 15

2.5 Otot Polos ... 15

2.5.1 Mekanisme Kontraksi Otot ... 16

2.6 Mediator Kontraksi Otot Polos ... 16

2.6.1 Reseptor muskarinik ... 17

2.6.2 Reseptor histaminergik ... 17

2.6.3 Prostaglandin E2 (PGE2) ... 18

2.6.4 Nitrioksida (NO) ... 18

2.7 Antagonis Muskarinik ... 19

2.8 Organ Terisolasi ... 20

2.9 Konstipasi ... 21

BAB III METODE PENELITIAN... 23

3.1 Alat dan Bahan ... 23


(10)

x

3.1.2 Bahan-bahan ... 23

3.2 Hewan Percobaan ... 24

3.3 Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Tumbuhan ... 24

3.3.1 Pengumpulan bahan tumbuhan ... 24

3.3.2 Identifikasi tanaman ... 24

3.3.3 Pengolahan bahan tumbuhan ... 25

3.4 Pembuatan Larutan Pereaksi ... 25

3.4.1 Pereaksi Mayer ... 25

3.4.2 Pereaksi Dragendorf ... 25

3.4.3 Pereaksi Bourchardat ... 26

3.4.4 Pereaksi Molish ... 26

3.4.5 Pereaksi asam klorida 2 N ... 26

3.4.6 Pereaksi asam sulfat 2 N ... 26

3.4.7 Pereaksi natrium hidroksida 2 N ... 26

3.4.8 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M ... 26

3.4.9 Pereaksi besi (III) klorida 1% ... 26

3.4.10 Pereaksi Liebermann-Burchard ... 27

3.5 Karakterisasi Simplisia ... 27

3.5.1 Pemeriksaan makroskopik ... 27

3.5.2 Pemeriksaan mikroskopik ... 27

3.5.3 Pemeriksaan kadar air ... 27

3.5.4 Penetapan kadar abu total ... 28

3.5.5 Penetapan kadar abu tidak larut asam ... 28


(11)

xi

3.5.7 Penetapan kadar sari larut dalam etanol ... 29

3.6 Skrining Fitokimia ... 29

3.6.1 Pemeriksaan alkaloida ... 29

3.6.2 Pemeriksaan glikosida ... 30

3.6.3 Pemeriksaan flavonoid ... 31

3.6.4 Pemeriksaan tanin ... 31

3.6.5 Pemeriksaan saponin ... 31

3.6.6 Pemeriksaan steroida/triterpenoid ... 31

3.7 Tahapan Persiapan Percobaan ... 32

3.7.1 Pembuatan larutan ekstrak etanol daun keji beling ... 32

3.7.2 Pembuatan larutan tirode ... 33

3.7.3 Penyiapan larutan asetilkolin ... 33

3.7.4 Penyiapan larutan atropin sulfat ... 35

3.8 Tahap Pengujian ... 36

3.8.1 Preparasi organ ... 36

3.8.2 Pengujian kontraksi seri konsentrasi asetilkolin terhadap otot polos ileum ... 36

3.8.3 Pengujian efek kontraksi ekstrak etanol keji beling beling pada kontraksi otot polos ileum ... 37

3.8.4 Pengujian mekanisme aksi terhadap efek kontraksi ekstrak etanol daun keji beling pada otot polos ileum ... 38

3.9 Data dan Analisis Data ... 38

3.9.1 Data ... 38

3.9.2 Analisis data ... 39

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40


(12)

xii

4.1.1 Hasil identifikasi tumbuhan ... 40

4.1.2 Hasil karakterisasi simplisia ... 40

4.2 Skrining Fitokimia ... 42

4.3 Ekstraksi Serbuk Simplisia Daun Keji Beling ... 42

4.4 Hasil Pengujian Kontraksi Seri Konsentrasi Asetilkolin terhadap Otot Polos Ileum ... 43

4.5 Hasil Pengujian Kontraksi Ekstrak Etanol Daun Keji Beling (EEDKB) Pada Otot Polos Ileum ... 44

4.6 Hasil Pengujian Mekanisme Aksi Terhadap Efek kontraksi Ekstrak Etanol Daun Keji Beling (EEDKB) Pada Otot Polos Ileum dalam nkubasi Atropin Sulfat ... 46

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 50

5.1 Kesimpulan ... 50

5.2 Saran ... 50

DAFTAR PUSTAKA ... 51


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Obat-obat yang merangsang dan menghambat reseptor

kolinergik dengan masing-masing reseptornya... 19

Tabel 3.1 Pemberian asetilkolin secara kumulatif pada organ bath

volume 40 ml ... 37 Tabel 3.2 Pemberian konsentrasi ekstrak etanol daun keji beling secara kumulatif pada organ bath volume 40 ml ... 38 Tabel 4.1 Hasil karakteristik simpisia daun keji beling ... 41 Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak etanol daun keji beling ... 42 Tabel 4.3 Persentase kontraksi setelah pemberian seri konsentrasi EEDKB diinkubasi dengan atropin selama 10 menit dan tanpa inkubasi ... 44


(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1.1 Kerangka pikir penelitian ... 5 Gambar 4.1 Grafik % kontraksi otot polos organ ileum terisolasi yang

dikontraksi dengan pemberian seri konsentrasi asetilkolin (10-8 – 3 x 10-3 M) ... 43 Gambar 4.2 Grafik % kontraksi setelah pemberian seri konsentrasi

ekstrak etanol daun keji beling (EEDKB) pada otot polos ileum terisolasi ... 45 Gambar 4.3 Grafik % kontraksi setelah pemberian seri konsentrasi asetilkolin dan ekstrak etanol daun keji beling (EEDKB) pada otot polos ileum terisolasi ... 46 Gambar 4.4 Grafik % kontraksi setelah pemberian seri konsentrasi

ekstrak etanol daun keji beling (EEDKB) yang diinkubasi dengan atropin selama 10 menit dan tanpa ... 47


(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Hasil identifikasi tumbuhan ... 55 Lampiran 2. Rekomendasi persetujuan etik penelitian ... 56 Lampiran 3. Gambar tumbuhan keji beling (Strobilanthus crispus

L. (Blume)) ... 57 Lampiran 4. Karakteristik daun keji beling ... 58 Lampiran 5. Hasil pemeriksaan mikrokopik serbuk simplisia daun keji beling ... 59 Lampiran 6. Bagan pembuatan, skrining fitokimia dan karakteristik serbuk simplisia ... 60 Lampiran 7. Bagan pembuatan, skrining fitokimia dan karakterisasi ekstrak ... 61 Lampiran 8. Bagan kerja pengukuran kontraksi ileum marmut terisolasi 62 Lampiran 9. Perhitungan kadar air simplisia daun keji beling ... 63 Lampiran 10. Perhitungan kadar abu total simplisia daun keji beling ... 64 Lampiran 11. Perhitungan kadar abu tidak larut asam simplisia daun keji beling ... 65 Lampiran 12. Perhitungan kadar sari larut air simplisia daun keji beling 66 Lampiran 13. Perhitungan kadar sari larut etanol simplisia daun keji beling ... 67 Lampiran 14. Data pengujian kontraksi seri konsentrasi asetilkolin terhadap otot polos ileum ... 68 Lampiran 15. Data pengujian efek kontraksi ekstrak etanol daun keji

beling pada kontraksi ileum ... 73 Lampiran 16. Data efek kontraksi ekstrak etanol daun keji beling

terhadap kontraksi otot polos ileum dengan inkubasi atropin sulfat selama 10 menit ... 74 Lampiran 17. Data AUC efek kontraksi ekstrak etanol daun keji beling


(16)

xvi

Lampiran 18. Data AUC efek kontraksi ekstrak etanol daun keji beling terhadap kontraksi otot polos ileum menggunakan atropin

atropin sulfat selama 10 menit ... 76

Lampiran 19. Hasil uji korelasi efek kontraksi ekstrak etanol daun keji beling pada kontraksi ileum ... 77

Lampiran 20. Hasil uji-t independen nilai % kontraksi ekstrak etanol daun keji beling 6 mg/ml dengan nilai % kontraksi asetilkolin 1 x 10-4 M ... 78

Lampiran 21. Hasil uji-t independen nilai %kontraksi ekstrak etanol daun keji beling terhadap kontraksi otot polos ileum dengan dan tanpa inkubasi larutan atropin sulfat ... 80

Lampiran 22. Hasil uji-t independen nilai AUC dari %kontraksi ekstrak etanol daun keji beling dengan dan tanpa inkubasi atropin sulfat ... 88

Lampiran 23. Gambar preparasi organ ileum marmut ... 90

Lampiran 24. Gambar alat organ bath ... 93


(17)

vi

EFEK EKSTRAK ETANOL DAUN KEJI BELING

(Strobilanthus crispus (L.) Blume) TERHADAP KONTRAKSI OTOT POLOS ILEUM MARMUT JANTAN (Cavia porcellus) TERISOLASI

SECARA KUALITATIF ABSTRAK

Tumbuhan obat banyak dipilih masyarakat dalam mengatasi beberapa penyakit. Salah satu tumbuhan tersebut adalah keji beling. Keji beling sering digunakan masyarakat untuk obat diabetes, batu ginjal, batu empedu, ambeien, tumor, kolesterol, dan sembelit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek kontraksi dari ekstrak etanol daun keji beling pada otot polos ileum marmut terisolasi.

Tahapan penelitian ini meliputi karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak etanol daun keji beling dan uji efek kontraksi menggunakan otot polos ileum marmut. Penelitian ini dilakukan secara in vitro dengan menggunakan alat organ bath. Parameter yang diukur dalam penelitian ini adalah kontraksi otot polos ileum marmut terisolasi. Sebelum dilakukan pengujian, ileum marmut terisolasi diekuilibrasi selama 45 menit sampai diperoleh kondisi yang stabil didalam larutan tyrode dengan suhu 37oC yang diaerasi gas karbogen. Pengujian efek kontraksi dilakukan pada ileum marmut yang diberikan konsentrasi kumulatif ekstrak etanol daun keji beling dan asetilkolin. Pengujian mekanisme efek kontraksi ekstrak etanol daun keji beling dilakukan dengan menginkubasi ileum dengan atropin 2 x 10-3 selama 10 menit kemudian diberikan konsentrasi kumulatif ekstrak etanol daun keji beling.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak etanol daun keji beling memiliki efek kontraksi dan adanya korelasi positif antara peningkatan

konsentrasi ekstrak etanol daun keji beling dengan efek kontraksi ileum (r = 0,965; p < 0,05). Mekanisme kerja efek kontraksi ekstrak etanol daun keji

beling diduga tidak melalui reseptor muskarinik.


(18)

vii

THE EFFECT OF KEJI BELING (Strobilanthus crispus (L.) Blume) LEAVES ETHANOL EXTRACT ON ILEAL SMOOTH MUSCLE

CONTRACTION OF ISOLATED GUINEA PIG (Cavia porcellus) QUALITATIVELY

ABSTRACT

Medicinal plants were chosen by people in addressing some of the disease. One such plant is keji beling. Keji beling frequently used by people for diabetes medications, kidney stones, gall stones, hemorrhoids, tumors, cholesterol, and constipation. This research aims to observe the contraction effect of keji beling leaves ethanol extract on isolated guinea pig’s ileal.

Stages of the study included the characterization of crude drugs, phytochemical screening, the preparation of keji beling leaves ethanol extract and contraction effect test of isolated guinea pig’s ileal. This research was conducted using in vitro in organ bath The parameter measured in this research is the contraction of isolated guinea pig’s ileal smooth muscle. Before the test, isolated guinea pig ileum were equilibrated for 45 minutes to obtain a stable condition in Tyrode solution at 37°C aerated carbogen gas. The contraction effect test was done on guinea pig’s ileal by given the keji beling leaves ethanol extract cumulative concentrate and acethylcholin. The mechanism of action of the keji beling leaves ethanol extract contraction effect was done by incubated the ileal with atropin sulfate 2 x 10-3 for 10 minutes then subsequently given the keji beling leaves ethanol extract cumulative concentration.

The result showed that keji beling leaves ethanol extract has contraction effect. There is a positive correlation between increased concentrations keji beling leaves ethanol extract with ileal contraction effect (r = 0.965; p < 0.05) The mechanism of action of the keji beling leaves ethanol extract doesn’t go through muscarinic receptor.


(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini masyarakat Indonesia terutama yang di perkotaan mengalami pergeseran pola konsumsi pangan. Seiring dengan kemajuan zaman dan perbaikan sosial ekonomi masyarakat, maka terjadi pula perubahan kebiasaan makan yang cenderung kebarat-baratan (western style diet). Makanan jadi dan makanan siap saji telah menjadi kegemaran di masyarakat. Masyarakat umumnya belum tahu atau kurang menyadari bahwa makanan jadi telah kehilangan banyak komponen-komponen essensial makanan, khususnya serat. Asupan serat yang terlampau rendah dalam kurun waktu lama akan mempengaruhi kesehatan seperti konstipasi, kegemukan, dan serangan penyakit degeneratif (Soelistijani, 2002).

Konstipasi merupakan suatu gejala proses defekasi yang bermasalah dapat berupa defekasi tidak lancar dan tidak teratur, mengedan serta defekasi keras dan tidak tuntas (Tjay dan Rahardja, 2007). Semakin lama tinja tertahan dalam usus, konsistensinya semakin keras sehingga susah dikeluarkan. Hal tersebut berpangkal pada kelemahan tonus otot dinding usus akibat penuaan yaitu kegiatan fisik yang mulai berkurang, serta kurangnya asupan serat dan cairan (Arisman, 2007).

Konstipasi sering terjadi pada anak, prevalensi konstipasi di Hongkong pada anak usia 4 sampai 17 tahun adalah 22,6%, sedangkan untuk usia di bawah 4 tahun sebesar 16% (Lee, et al., 2008). Pada lansia yang berusia di atas usia 65 tahun di Inggris sekitar 30-40% orang mengeluh konstipasi, 30% penduduk yang


(20)

2

berusia diatas usia 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar. Sekitar 20% populasi yang berusia di atas 65 tahun di Australia, mengeluh menderita konstipasi (Siswono, 2003).

Penelitian kepada 60 penderita konstipasi yang berobat ke RSUPH Adam Malik Medan menunjukan bahwa gejala konstipasi yang timbul pada pasien dengan konsumsi tinggi serat sebanyak 7 orang atau 11,7%, konsumsi yang baik serat dengan 33 orang atau 55%, dan konsumsi yang kurang serat dengan 20 orang atau 33,3%. Hal ini menunjukkan semakin tinggi konsumsi serat maka prevalensi kejadian konstipasi semakin rendah (Wanda, 2012).

Saat ini, masyarakat semakin luas menggunakan tumbuhan obat dalam mengatasi masalah kesehatannya daripada menggunakan obat-obatan modern. Masyarakat telah mengenal dan menggunakan obat-obatan alamiah yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, hewan, dan mineral. Mereka meramu dan meraciknya sendiri atas dasar pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun oleh generasi sebelumnya (Dalimartha, 2007).

Keji beling telah lama diketahui sebagai tanaman tradisional. Keji beling banyak digunakan untuk pengobatan beberapa jenis penyakit antara lain batu ginjal, batu empedu, diabetes, ambeien, kolesterol, sembelit, dll. Unsur-unsur yang terkandung dalam tanaman keji beling yang bersifat diuretik dapat menghancurkan gumpalan kolesterol dan memperlancar sekresi gula dalam darah, serta membantu memperlancar proses pembuangan tinja yang keras sehingga bisa berfungsi sebagai pencahar (Chusnia, 2010).

Berdasarkan uraian tersebut, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut bagaimana pengaruh ekstrak etanol daun keji beling (Strobilanthus crispus)


(21)

3

terhadap kontraksi otot polos ileum tikus terisolasi serta mekanisme kerjanya yang dilakukan secara kualitatif pada marmut jantan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diambil perumusan masalah sebagai berikut:

a. apakah ekstrak etanol daun keji beling dapat meningkatkan kontraksi otot polos ileum marmut jantan terisolasi secara kualitatif?

b. apakah mekanisme kerja ekstrak etanol daun keji beling mempunyai pola yang sama dengan asetilkolin sebagai kolinergik melalui reseptor muskarinik?

1.3 Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah di atas maka dibuat hipotesis analisis sebagai berikut:

a. ekstrak etanol daun keji beling meningkatkan kontraksi otot polos ileum marmut terisolasi.

b. mekanisme kerja ekstrak daun keji beling sebagai kolinergik melalui reseptor muskarinik mempunyai pola yang sama dengan asetilkolin.


(22)

4 1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah dan hipotesis di atas maka tujuan penelitian ini antara lain:

a. untuk mengetahui efek kontraksi ekstrak etanol daun keji beling dengan meningkatkan kontraksi usus ileum marmut terisolasi secara kualitatif.

b. untuk mengetahui mekanisme efek kontraksi ekstrak etanol daun keji beling pada otot polos marmut terisolasi.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah untuk memperoleh bukti ilmiah tentang efek kontraksi ekstrak etanol daun keji beling terhadap otot polos ileum marmut terisolasi dan mekanisme kerjanya.

1.4 Kerangka Pikir Penelitian

Pada penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Sebagai variabel bebas yaitu serbuk simplisia daun keji beling dan ekstrak etanol daun keji beling dan sebagai variabel terikat adalah karakteristik simplisia daun keji beling dan kontraksi otot polos ileum marmut terisolasi seperti yang di tunjukkan pada Gambar 1.1.


(23)

5

Variabel bebas Variabel terikat Parameter

Gambar 1.1 Kerangka Pikir Penelitian Serbuk

simplisia

Karakteristik Simplisia

-Makroskopik

-Mikroskopik

-Penetapan Kadar Air

-Penetapan Kadar Sari Larut Air

-Penetapan Kadar Sari Larut Etanol

-Penetapan Kadar Abu Total

-Penetapan Kadar Abu Tidak Larut Asam

Golongan senyawa kimia

Kontraksi otot polos ileum marmut terisolasi Ekstrak etanol

daun keji beling konsentrasi 1-8 mg/ml

Nilai tegangan kontraksi otot polos ileum marmut

-Alkaloid

-Flavonoid

-Saponin

-Tanin

-Glikosida


(24)

6 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan

Uraian tumbuhan meliputi sistematika tumbuhan, nama daerah, nama asing, morfologi tumbuhan dan manfaat tumbuhan.

2.1.1 Sistematika tumbuhan

Sistematika tumbuhan keji beling adalah sebagai berikut (Jayusman dan Sulaksana, 2005):

Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Solanales Famili : Acanthaceae Genus : Strobilanthes

Spesies : Strobilanthes crispus Bl 2.1.2 Nama daerah

Nama daerah dari tumbuhan ini adalah ngokilo, enyoh kilo, keci beling (Jawa) dan picah beling (Jakarta) (Jayusman dan Sulaksana, 2005).

2.1.3 Kandungan kimia tumbuhan

Kandungan kimia pada tanaman Keji Beling antara lain mineral (potasium, kalsium, sodium, besi dan fosfor), vitamin larut air (C, B1 dan B2), vitamin E, katechin, alkaloid, kafein, tannin, kumarin, flavonoid dan sterol (Al-Henhena et al, 2011)


(25)

7 2.1.4 Morfologi tumbuhan

Tanaman keji beling dibagi menjadi bagian akar, batang, daun dan bunga. Karekteristik bentuk bagian tanaman keji beling tersebut sebagai berikut: akarnya berbentuk tunggang (tap root) yaitu akar utama. Umumnya, akar tunggang merupakan pengembangan radikula lembaga yang tumbuh tegak kebawah dan bercabang. Akar berwarna putih kekuningan, fungsi akar untuk memperkuat berdirinya tanaman serta menyerap air dan unsur hara dari media tanam atau tanah. Keji beling merupakan jenis tanaman berbatang basah dan sepintas menyerupai rumput berbatang tegak. Batang berbentuk bulat, beruas dan berdiameter antara 0,2-0,7 cm. Kulit batang berwarna ungu dengan bintik-bintik hijau pada waktu muda dan berubah menjadi coklat setelah tua. Batang bercabang dan berbulu halus. Daun berbentuk bulat telur. Pada bagian tepi daun bergerigi dengan jarak sekitar 1 cm dan berbulu halus sampai-sampai hampir tidak terlihat oleh mata telanjang. Panjang helaian daun (tanpa tangkai) berkisar 5-8 cm dan lebar 2-5 cm. Daun berwarna hijau dengan bunga dalam bulir pendek berbentuk kepala, berbulu seperti bulu domba dengan 2 daun pelindung (Jayusman dan Sulaksana, 2005).

2.1.5 Manfaat tumbuhan

Keji beling digunakan sebagai obat diabetes, batu ginjal, batu empedu, ambeien, tumor, kolesterol, sembelit, digigit ular berbisa dan keracunan makanan (Jayusman dan Sulaksana, 2005).


(26)

8 2.2 Ekstraksi

Ekstraksi adalah suatu cara untuk menarik satu atau lebih zat dari bahan asal dengan menggunakan pelarut. Umumnya zat berkhasiat tersebut dapat ditarik, namun khasiatnya tidak berubah. Tujuan utama ekstraksi adalah mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan dari zat-zat yang tidk dibutuhkan, agar lebih mudah digunakan (kemudahan diabsorpsi, rasa dan pemakaian) dan disimpan dibandingkan simplisia asal dan tujuan pengobatannya terjamin. Hasil ekstraksi disebut dengan eksrak yaitu sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan (Ditjen POM, 1995).

Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:

a. Cara dingin i. Maserasi

Maserasi adalah cara penarikan simplisia dengan merendam simplisia tersebut dalam cairan penyari dengan beberapa kali pengocokkan atau pengadukkan pada temperatur kamar sedangkan remaserasi merupakan pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama dan seterusnya (Ditjen POM, 2000)


(27)

9 ii. Perkolasi

Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar (Ditjen POM, 2000)

b. Cara panas i. Refluks

Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).

ii. Sokletasi

Sokletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet, dimana pelarut akan terdestilasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi dan merendam sampel dalam tabung soklet, kemudian setelah pelarut mencapai tinggi tertentu maka akan turun ke labu destilasi setelah melewati pipa sifon, demikian berulang-ulang (Ditjen POM, 2000).

Keuntungan dari metode ini adalah ekstraksi simplisia dapat dilakukan dengan sempurna dan pelarut yang digunakan lebih sedikit dibandingkan metode lainnya (Voight, 1995).

iii.Digesti

Digesti adalah maserasi dengan pengadukan kontinu pada temperatur yang lebih tinggi dari temperatur ruangan yaitu secara umum dilakukan pada temperatur 40-50o V (Ditjen POM, 2000).


(28)

10 iv.Infus

Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisa nabati dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit (Ditjen POM, 1979). v. Dekok

Dekok adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada waktu yang lebih lama ±30 menit dengan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).

2.3 Persyarafan Sistem Pencernaan

Ada dua sistem syaraf yang memegang peranan penting dalam fungsi saluran pencernaan , yaitu sistem syaraf intrinsik yang terdiri atas sistem syaraf enterik, dan sistem syaraf ekstrinsik yang terdiri atas sistem syaraf otonom parasimpatis dan simpatis.

2.3.1 Sistem syaraf intrinsik - Sistem syaraf enterik

Sistem syaraf ini terbentang didalam dinding saluran pencernaan mulai dari esofagus sampai ke anus. Sistem syaraf enterik terdiri atas dua pleksus, yaitu:

a. Pleksus mienterikus (pleksus Auerbach)

Pleksus ini terbentang di antara lapisan otot longitudinal dari lapisan otot sirkuler. Fungsinya mengontrol fungsi motorik saluran pencernaan.

b. Pleksus submukosa atau pleksus Meissner

Pleksus ini terbentang di dalam lapisan submukosa. Fungsinya terutama untuk mengontrol kecepatan sekresi saluran pencernaan. Disamping itu, pleksus submukosa sangat berperan dalam mengendalikan aktivitas otot polos submukosa yang bila berkontraksi akan menimbulkan lipatan-lipatan


(29)

11

pada mukosa saluran pencernaan serta meningkatkan absorpsi dan aliran darah di sekitarnya (Herman, 2004).

2.3.2 Sistem syaraf ekstrinsik – sistem syaraf otonom Sistem syaraf ekstrinsik terbagi menjadi dua, yaitu: a. Sistem syaraf parasimpatis

Neuron pascaganglion (postganglionnic neuron) sistem parasimpatis terletak di dalam kedua pleksus sistem syaraf enterik, yaitu pleksus mienterikus dan pleksus submukosa. Ujung serat syaraf parasimpatis menyekresikan asetilkolin sebagai neurotransmitternya. Stimulasi parasimpatis pada umumnya menyebabkan peningkatan aktivitas sistem syaraf enterik yang selanjutnya meningkatkan aktivitas saluran pencernaan.

b. Sistem syaraf simpatis

Ujung serat syaraf simpatis menyekresikan neurotransmitter norepinefrin. Sistem syaraf ini merangsang sistem pencernaan melalui dua cara, yaitu: (1) secara langsung pada otot polos saluran pencernaan dan (2) secara tidak langsung, yaitu melalui neuron sistem syaraf enterik.

2.4 Usus Halus

Usus halus adalah tempat berlangsungnya sebagian besar pencernaan dan penyerapan. Usus halus adalah suatu saluran dengan panjang sekitar (6,3 m (21 kaki) dengan diameter kecil 2,5 cm (1 inci)). Usus ini berada dalam keadaan bergelung di dalam rongga abdomen dan terentang dari lambung sampai usus


(30)

12

besar. Usus halus dibagi menjadi tiga segmen, yaitu duodenum 20 cm (8 inci), jejunum 2,5 m (8 kaki) dan ileum 3,6 m (12 kaki) (Sherwood, 2001).

2.4.1 Histologi usus halus

Menurut Herman (2004), pada umumnya dinding usus halus terdiri atas empat lapisan (Gambar 2.1), yaitu:

a. Lapisan mukosa

Lapisan mukos merupakan lapisan terdalam dari dinding saluran pencernaan. Lapisan ini berbentuk membran (selaput) mukosa dan dibentuk oleh tiga komponen, yaitu lapisan epitel, lamina propria dan lapisan muskularis mukosa.

b. Lapisan submukosa

Lapisan submukosa terdiri atas jaringan penyambung areolar yang mengikatkan lapisan mukosa ke lapisan muskularis. Lapisan ini sangat kaya dengan pembuluh darah dan mengandung jaringan syaraf yang disebut pleksus submukosa atau disebut juga pleksus Meissner.

c. Lapisan muskularis

Lapisan muskularis di dinding saluran pencernaan selain dari yang telah disebutkan diatas adalah berupa otot polos yang terdiri atas dua lapis. Lapisan sebelah dalam adalah lapisan sirkuler yang bila berkontraksi menyebabkan pengecilan diameter lumen saluran pencernaan. Lapisan sebelah luar adalah lapisan longitudinal yang bila berkontraksi menyebabkan pemendekan saluran pencernaan.


(31)

13

Gambar 2.1 Lapisan usus halus (Virtual Medical Centre, 2006) d. Lapisan serosa

Lapisan serosa adalah lapisan terluar dari dinding saluran pencernaan. Lapisan ini berupa suatu mebran yang terdiri atas jaringan penyambung dan sel-sel epitel. Pada lapisan ini terdapat pembuluh darah dan syaraf yang berukuran lebih besar yang berjalan di antara jaringan penyambung dan jaringan lemak (adipose tissue) yang terdapat didaerah ini. Lapisan serosa yang terletak di bawah diafragma (sekat rongga badan) ikut membentuk dan merupakan bagian dari peritonium secara keseluruhan dan disebut peritoneum viseral.

2.4.2 Pergerakan usus halus

Peregerakan usus halus, dapat dibagi menjadi dua, yaitu kontraksi pencampur dan kontraksi pendorong (Herman, 2004).


(32)

14 a. Gerakan pencampur (segmentasi)

Gerakan segmentasi berbeda-beda sifat dan bentuk gerakannya di setiap bagian saluran pencernaan, walaupun perbedaannya hanya sedikit. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa gerakan segmentasi pada umumnya berupa kontraksi lokal yang muncul selama beberapa detik di setiap beberapa sentimeter dinding usus. Begitu suatu seri kontriksi lokal ini hilang, maka muncul lagi seri seri kontriksi yang baru dilokasi yang berbeda. Dengan demikian, isi usus seperti dipotong-potong oleh gerakan

kontriksi ini. Pergerakan segmentasi usus halus ditunjukkan pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Pergerakan segmentasi usus halus (Guyton, 1987) b. Gerakan pendorong

Gerakan pendorong adalah gerakan dinding saluran pencernaan untuk mendorong makanan bergerak maju menuju anal. Dalam keadaan normal, gerakan penodorong berjalan dengan kecepatan yang cukup untuk


(33)

15

memungkinkan terjadinya proses digesti (pencernaan) makanan dan proses absorpsi hasil digesti.

2.4.3 Ileum

Ileum merupakan 3/5 bagian usus halus. Disinilah proses absorpsi yang besar terjadi, pada bagian ini sari-sari makanan hasil proses pencernaan diserap. Asam amino dan glukosa, vitamin, garam mineral akan diangkut oleh kapiler darah, sedangkan asam lemak dan gliserol akan diangkut oleh pembuluh getah bening usus menuju ke pembuluh balik besar bawah selangka (Irianto, 2004) 2.4.4 Usus marmut

Bagian pertama adalah duodenum dengan bentuknya seperti lengkungan S dan mempunyai pankreas pada lengkungan kedua. Bagian ini mempunyai panjang sekitar 1 sampai 3 inci. Selanjutnya pada jejunum panjangnya sekitar 8 inci. Dilanjutkan dengan ileum dengan panjang sekitar 3-5 inci. Setelah ileum berakhir pada caecum dimana merupakan pintu masuk dari colon. Caecum merupakan organ seperti kantong besar yang mempunyai panjang sekitar 1 sampai 6 inci (Potter, et al., 1956)

2.5 Otot Polos

Otot polos terdiri dari sel-sel otot polos. Sel otot ini bentuknya seperti gelendong di bagian tengah terbesar dan kedua ujungnya meruncing. Otot polos memiliki serat yang arahnya searah dengan panjang sel disebut miofibril. Seratp miofibril terdiri dari miofilamen dan masing-masing miofilamen terdiri dari protein otot yaitu aktin dan miosin.


(34)

16

Sel otot polos dilapisi oleh selaput yang disebut sarkolema dan protoplasmanya disebut sarkoplasma. Otot polos memiliki inti, letaknya ditengah dengan miofibril yang homogen, panjangnya 15-500 mikron dengan diameter 20 mikron. Otot polos merupakan otot tak sadar, karena bekerja diluar kesadaran kita dan dipengaruhi oleh susunan saraf otonom (Irianto, 2004).

2.5.1 Mekanisme Kontraksi Otot

Pada umumnya suatu neuron akan mengalami perubahan permeabilitas membran terhadap elektrolit tertentu akibat suatu rangsangan mekanik, kimiawi atau listrik pada neuron tersebut. Demikian pula neuron kolinergik akan mengalami perubahan polarisasi akibat perubahan permeabilitas membran terhadap ion Na+, K+, atau Cl. Potensial istirahat suatu neuron = -70 Mv. Pada suatu perangsangan yang menyebabkan depolarisasi, maka potensial mambran naik menjadi + 20 mV. Depolarisasi ini merambat dari badan sel ke tepi sepanjang akson (propagasi) dengan kecepatan tertentu dan setelah tiba diujung akson akan merangsang pembebasan ACh. ACh yang bebas di celah sinaps, lalu berikatan dengan reseptor kolinergik pada prinsipnya juga melanjutkan aliran listrik ke arah distal. Pengaktifan reseptor juga akan merubah pemeabilitas membran terhadap ion Ca++ di samping mengaktifkan beberapa second messengers dari neuron pascasinaps atau sel efektor, seperti diaktifkannya sistem actin-miosin pada sel otot oleh sambungan saraf-otot sehingga otot berkontraksi (Munaf, 1994).


(35)

17 2.6 Mediator Kontraksi Otot Polos

Kontraksi otot polos dapat di mediasi oleh beberapa jalur, seperti reseptor muskarinik, reseptor histaminergik, nitrioksida (NO), prostaglandin E2 (PGE2), cGMP.

2.6.1 Reseptor muskarinik

Reseptor muskarinik terdistribusi luas diseluruh tubuh dan mendukung berbagai fungsi vital, di otak, sistem saraf otonom terutama saraf parasimpatis. Reseptor muskarinik merupakan reseptor yang terhubung dengan protein G, terdiri dari 5 subtipe yaitu: M1, M2, M3, M4 dan M5. Resptor M1, M3 dan M5 terhubung dengan protein Gq. Sedangkan reseptor M2 dan M4 terhubung dengan protein Gi dan dengan suatu kanal ion. Respons yang timbul dari aktivasi reeptor muskarinik oleh ACh dapat berbeda, tergantung pada subtipe reseptor dan lokasinya (Rahardjo, 2009).

Reseptor M1 ditemukan dalam sistem saraf pusat (SSP), sistem saraf perofer dan sel perietal lambung. Reseptor ini memperantarai efek eksitatori sehingga mampu meningkatkan eksitasi sistem saraf pusat (SSP) dan sekresi lambung. Reseptor M2 terdapat di organ jantung. Reseptor M3 seperti M1 berefek eksitatori, terdapat pada beberapa organ antara lain otot polos sistem pencernaan dan mata, endotelium pembuluh darah, kelenjar eksokrin. Aktivasi pada reseptor ini akan menstimulasi sekresi produk kelenjar eksokrin (keringat, saliva), kontraksi otot saluran pencernaan dan pernapasan, pelepasan NO (nitric oxide) yang menghasilkan relaksasi otot pembuluh darah (Nugroho, 2012; Brunton, et al., 2011; Setiawati dan Gan, 2007).


(36)

18 2.6.2 Reseptor histaminergik

Histamin adalah pembawa pesan (messenger) bahan kimia yang memperantarai beragam respon seluler, termasuk alergik dan reaksi inflamasi, sekresi asam lambung dan neurotransmisi pada bagian otak. Histamin pada dasarnya muncul dalam semua jaringan, tetapi tidak didistribusikan secara rata, dengan jumlah yang tinggi ditemukan dalam paru, kulit, dan saluran cerna. Histamin yang dilepaskan sebagai respons terhadap berbagai rangsangan mengeluarkan efeknya dengan cara berikatan kepada satu atau lebih dari empat tipe reseptor—reseptor H1, H2, H3 dan H4. Beberapa efek farmakologik histamin diperantarai oleh kedua reseptor H1 dan H2, sedangkan lainnya diperantarai hanya oleh satu kelas. Sebagai contoh, reseptor H1 penting dalam kontraksi otot polos dan peningkatan permeabilitas kapiler. Reseptor H2 memperantarai sekresi asam lambung (Mycek et al., 2001).

2.6.3 Prostaglandin E2 (PGE2)

Prostaglandin adalah turunan asam lemak komposisi 20 karbon yang dapat ditemukan di semua jaringan dan organ.prostaglandin disintesis dalam sel dari prekusor asam lemak esensial, termasuk salah satunya adalah asam arakhidonat dengan melibatkan enzim siklooksigenase (COX) (Calder, 2009).

Prostaglandin E2 (PGE2) adalah salah satu prostanoid terpenting yang ditemukan di saluran pencernaan. Karena pada kenyataannya PDE2 mengatur banyak fungsi fisiologis saluran pencernaan seperti proteksi mukosa, menghambat sekresi lambung dan motilitas. Pada saluran pencernaan, PGE2 dan PGF2α

berperan mengkontraksikan otot longitudinal pada usus. Pemberian PDE2 dan PGF dapat menyebabkan kejang kolik (Katzung, 1998).


(37)

19 2.6.4 Nitrit oksida (NO)

Nitrit Oksida berasal dari sintesis konversi enzim dari L-Arginine menjadi L-Citrulline oleh nitrit oxide synthase (NOS). Elektron yang tidak berikatan menyebabkan NO merupakan radikal bebas yang sangat reaktif dan dapat menyebabkan kerusakan protein, karbohidrat, nukleotida dan lipid bersama-sama dengan mediator inflamasi yang lain yang menyebabkan kerusakan sel. NO berpotensi merelaksasi arteri dan vena otot polos dan secara kuat menghambat agregasi dan adhesi. Asupan NO berperan sebagai agen vasodilator dan mungkin berguna untuk terapi. NO juga berperan pada regulasi jaringan pada proses fisiologi namun jika berlebihan dapat menyebabkan toksisitas. NO mengaktifkan guanilil siklase yang membentuk guanosin monofosfat siklik (cyclic guanosine monophosphate/cGMP) dari guanosine trifosfat. cGMP menghasilkan relaksasi otot polos melalui reduksi konsentrasi Ca2+ intraseluler (Mycek et al., 2001).

2.7 Antagonis Muskarinik

Obat ini beraksi secara selektif menghambat aktvitas saraf parasimpatik, sehingga disebut juga parasimpatolitik. Efek dari obat antagonis muskarinik adalah berlawanan dengan efek agonis muskarinik. Efek antagonis muskarinik pada organ usus yaitu penurunan motilitas. Contoh antagonis muskarinik dari senyawa alami adalah atropin (Atropa belladona) dan hyosin (Datura stramonium) (Nugroho, 2012). Hambatan oleh atropin bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlah berlebihan atau pemberian antikolinesterase (Zunilda, 2007).


(38)

20

Pada reseptor muskarinik terdapat lima subtipe reseptor (M1, M2, M3, M4, M5) dengan respon yang berbeda pada tiap jaringan tubuh manusia. Semua subtipe reseptor muskarinik dapat diblok oleh atropin (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Subtipe reseptor muskarinik dengan antagonisnya Subtipe Antagonis Jaringan Transduser Efektor M1 Atropin,

Pirenzefin

Ganglion otonom

Gq Fosfolipase C (meningkatkan Ca2+ sitosol)

M2 Atropin, AFDX 384

Miokardium, otot polos

G1, Go Mengaktivasi saluran K+, inhibisi adenilil siklase

M3 Atropin Otot polos,

kelenjar sekretori

Gq Fosfolipase C (meningkatkan Ca2+ sitosol)

M4 Atropin, AFDX 384

G1, Go inhibisi adenilil siklase

M5 Atropin Gq Fosfolipase C

(meningkatkan Ca2+ sitosol)

(Harahap, dkk., 2015) 2.8 Organ Terisolasi

Organ terisolasi adalah suatu metode percobaan in vitro. Pada prinsipnya penelitian ini menggunakan organ yang direndam dalam larutan fisiologis yang sesuai, temperatur diatur atau dikondisikan pada kondisi yang sama dari mana organ tersebut berasal serta pengaturan aliran oksigen. Percobaan organ terisolasi ini menggunakan alat organ bath (Perry, 1970).

Percobaan dengan organ terisolasi mempunyai keuntungan tidak dipengaruhi oleh faktor farmakokinetika, dengan demikian obat yang digunakan relatif lebih sedikit dosisnya dibandingkan in vivo. Percobaan dengan organ terisolasi lebih ditekankan untuk mengobservasi mekanisme pada sel target sebagai tempat kerja. Hasil yang didapat dari percobaan organ terisolasi adalah


(39)

21

respon kontraktilitas terhadap rangsangan yang diberikan. Respon kontraktilitas dapat direkam dan dapat diukur untuk selanjutnya dapat dibuat kurva dosis respon. Untuk mendapatkan hasil percobaan yang akurat, maka diperlukan persiapan yang baik dan seluruh percobaan harus betul-betul terkontrol. Hewan percobaan yang digunakan dibunuh tanpa anastesi sehingga tidak mempengaruhi kontraktilitasnya. Organ yang diambil segera dimasukkan ke dalam cairan fisiologis dan dikontrol oksigenasinya dan dihubungkan ke transducer dan diteruskan ke alat pencatat misalnya, kymograph atau maclab computer (Syamsudin dan Darmono, 2011).

2.9 Konstipasi

Konstipasi atau sembelit merupakan suatu keadaan yang dapat dialami oleh siapa saja tanpa mengenal usia. Seseorang dapat dikatakan mengalami konstipasi jika terjadi penurunan frekuensi buang air besar yang biasanya ditandai dengan buang air besar yang susah dan feses yang keras. Konstipasi terjadi akibat perlambatan gerakan feses melalui usus sehingga feses terakumulasi pada usus bagian bawah. Tingkat keparahan konstipasi berbeda-beda pada setiap orang. Pada umumnya penderita hanya mengalami konstipasi dalam jangka waktu yang singkat, sementara pada penderita lainnya dapat menjadi kronis (jangka lama) yang kemudian menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman sehingga mempengaruhi kualitas hidup penderita (BPOM, 2013).

Konstipasi muncul akibat dua jenis gangguan motilitas usus. Gangguan pertama adalah koloninersia atau slow-transit constipation yang mengacu pada lambatnya perpindahan feses dari proksimal menuju kolon distal dan rektum.


(40)

22

Terdapat dua mekanisme yang menyebabkan lambatnya transit kolon, yaitu penurunan kontraksi peristaltik dan aktivitas motorik yang tidak terkoordinasi dalam kolon distal. Gangguan kedua adalah pelvic floor dysfungtion, kondisi ini menyebabkan ketidakmampuan rektum untuk mengosongkan isi kolon. Kombinasi dari kedua gangguan tersebut juga dapat terjadi pada konstipasi dimana penderita mengalami kelambatan transit dan ketidakmampuan pada saat pengosongan (Lin,2006).


(41)

23 BAB III

METODE PENELITIAN

Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode eksperimental. Prosedur yang dilakukan meliputi pembuatan simplisia, skrining fitokimia simplisia, karakterisasi simplisia, tahapan persiapan bahan pengujian dan tahapan pengujian kontraksi ileum menggunakan alat organ bath.

3.1 Alat dan Bahan 3.1.1 Alat-alat

Alat- alat yang digunakan pada penelitian ini adalah mortir dan stamfer, blender, alat-alat gelas laboratorium, tanur, mikroskop, micropipet (Socorex, Swiss), amplifier (ADinstrumental), transducer (ADinstrumental), recorder (ADinstrumental), lemari pengering, oven listrik, rotary evaporator (Heidolph WB 2000), neraca analitik (vibra), vortex (Boeco Germany), timbangan hewan, jarum suntik, alat-alat bedah, organ bath volume 40 ml (Panlab).

3.1.2 Bahan-Bahan

Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun keji beling (Strobilanthus crispus (L.) Blume.). Bahan-bahan kimia yang digunakan adalah akuades, etanol 96%, air suling, toluena, gas karbogen mengandung 95% oksigen dan 5% karbondioksida (Tri Gases, Medan), dimetil sulfoksida (DMSO) (Merck), atropin sulfat (Sigma Aldrich, USA), larutan tirode (larutan fisiologis) yaitu larutan yang mengandung NaCl, KCl, MgSO4.7H2O, NaH2PO4, NaHCO3,


(42)

24

Glukosa, CaCl2. Bahan pembanding yang digunakan adalah asetilkolin klorida (Sigma Aldrich, USA).

3.2 Hewan Percobaan

Hewan yang digunakan pada penelitian ini adalah marmut (Cavia porcellus) jantan, berat badan 300-500 g dengan usia 2-4 bulan dan kondisi sehat. Hewan diaklimatisasi selama 1 (satu) minggu dengan tujuan untuk menyeragamkan makanan dan hidupnya dengan kondisi yang serba sama sehingga dianggap memenuhi syarat untuk penelitian. Sebelum digunakan pada tahap penelitian, hewan percobaan dipuasakan selama 24 jam agar usus yang digunakan dalam keadaan kosong.

3.3 Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Tumbuhan 3.3.1 Pengumpulan bahan tumbuhan

Pengambilan bahan tumbuhan dilakukan secara purposive yaitu tanpa membandingkan dengan daerah lain. Sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah daun keji beling (Strobilanthus crispus (L.) Blume). Diperoleh dari jalan Harmonika No 102, Kecamatan Medan baru, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara. Daun yang diambil sebagai sampel adalah keseluruhan dari daun tumbuhan yang masih dalam keadaan baik.

3.3.2 Identifikasi tanaman

Identifikasi tumbuhan daun keji beling dilakukan di Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor, Indonesia.


(43)

25 3.3.3 Pengolahan bahan tumbuhan

Tumbuhan yang digunakan pada penelitian ini adalah daun keji beling yang masih segar. Daun dibersihkan dari pengotoran dengan air bersih, kemudian ditiriskan untuk menghilangkan airnya. Selanjutnya ditimbang berat basah dengan berat 5 kg, lalu dikeringkan dengan cara dimasukkan ke dalam lemari pengering dengan suhu ±40oC selama 3-4 hari. Sampel dianggap kering bila sudah rapuh (dapat dipatahkan), kemudian disortasi kering dan berat kering simplisia ditimbang, lalu simplisia diblender sampai menjadi serbuk, ditimbang beratnya. Selanjutnya serbuk simplisia disimpan dalam kantung plastik dengan silika gel dan dimasukkan dalam lemari pengering untuk mencegah pengaruh lembab dan pengotoran lain. Diperoleh berat kering 855 gram.

3.4 Pembuatan Larutan Pereaksi 3.4.1 Pereaksi Mayer

Sebanyak 1,4 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 60 ml, pada wadah lain ditimbang sebanyak 5 g kalium iodida lalu dilarutkan dalam 10 ml air suling, kedua larutan dicampurkan dan ditambahkan air suling hingga diperoleh larutan 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.4.2 Pereaksi Dragendorf

Sebanyak 0,8 g bismut (III) nitrat ditimbang, dilarutkan dalam 20 ml asam nitrat pekat, pada wadah lain ditimbang sebanyak 27,2 g kalium iodida, dilarutkan dalam 50 ml air suling, kemudian kedua larutan dicampurkan dan didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan yang jernih diambil dan diencerkan dengan air suling hingga volume larutan 100 ml (Ditjen POM, 1995).


(44)

26 3.4.3 Pereaksi Bourchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida ditimbang, dilarutkan dalam air suling secukupnya, lalu ditambahkan 2 g iodium kemudian ditambahkan air suling hingga diperoleh larutan 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.4.4 Pereaksi Molish

Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga

diperoleh larutan 100 ml (Ditjen POM, 1995). 3.4.5 Pereaksi asam klorida 2 N

Sebanyak 17 ml larutan asam klorida pekat ditambahkan air suling hingga diperoleh larutan 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.4.6 Pereaksi asam sulfat 2 N

Sebanyak 5,4 ml larutan asam sulfat pekat ditambahkan air suling sampai 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.4.7 Pereaksi natrium hidroksida 2 N

Sebanyak 8 g kristal natrium hidroksida dilarutkan dengan air suling sebanyak 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.4.8 Pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling bebas karbon dioksida sebanyak 100 ml (Ditjen POM, 1995).

3.4.9 Pereaksi besi (III) klorida 1%

Sebanyak 1 g besi (III) klorida ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air secukupnya hingga diperoleh larutan 100 ml (Ditjen POM, 1995).


(45)

27 3.4.10 Pereaksi Liebermann-Burchard

Sebanyak 5 bagian volume asam sulfat pekat dicampurkan dengan 50 bagian volume etanol 90%. Kemudian ditambahkan dengan hati-hati 5 bagian volume asam asetat anhidrida ke dalam campuran tersebut dan dinginkan (Ditjen POM, 1995).

3.5 Karakterisasi Simplisia

Karakteristik simplisia meliputi pemeriksaan makroskopik dan mikroskopik, penetapan kadar air, penetapan kadar abu total, penetapan kadar abu tidak larut asam, penetapan kadar sari larut air dan penetapan kadar sari larut etanol.

3.5.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan dengan cara mengamati warna, bentuk, ukuran dan tekstur dari simplisia.

3.5.2 Pemeriksaan mikroskopik

Pemeriksaan mikroskopik terhadap simplisia dilakukan dengan cara menaburkan serbuk simplisia diatas kaca objek yang telah diteteskan dengan larutan kloralhidrat dan ditutup dengan kaca penutup kemudian diamati di bawah mikroskop.

3.5.3 Penetapan kadar air

Penetapan kadar air dilakukan dengan metode azeotropi (destilasi toluena). Alat meliputi labu alas 500 ml, alat penampung, tabung penerima 5 ml berskala 0,05 ml, pendingin, tabung penyambung, pemanas.


(46)

28

suling, kemudian didestilasai selama 2 jam, toluen didinginkan selama 30 menit dan volume air pada tabung penerima dibaca. Selanjutnya ke dalam labu dimasukkan 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama, lalu dipanaskan hati-hati selama 15 menit. Setelah toluena mendidih kecepatan tetesan diatur 2 tetes tiap detik hingga sebagian air tersuling, kemudian kecepatan penyulingan dinaikkan hingga 4 tetes tiap detik. Setelah semua air tersuling, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluena. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin sampai suhu kamar. Setelah air dan toluena memisah sempurna, dibaca volume air dengan 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1992).

3.5.4 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk yang telah digerus dan ditimbang seksama, dimasukkan ke dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus porselen dipijarkan perlahan-lahan pada suhu 600oC sampai arang habis, kemudian dinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan diudara (WHO, 1992). 3.5.5 Penetapan kadar abu tidak larut asam

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total dididihkan dengan 25 ml asam klorida 2 N selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring dengan kertas saring, dipijarkan hingga bobot tetap kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (WHO, 1992).


(47)

29 3.5.6 Pemeriksaan kadar sari larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air sampai 1 liter) dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam dan disaring. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara dan sisa dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC sampai diperoleh bobot tetap. Kadar sari larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM, 1995). 3.5.7 Pemeriksaan kadar sari larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk yang telah dikeringkan di udara dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% dalam labu bersumbat sambil sesekali dikocok selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam. Kemudian disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam cawan dangkal berdasar rata yang telah ditara dan dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar sari yang larut dalam etanol dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara (Ditjen POM, 1995).

3.6 Skrining Fitokimia 3.6.1 Pemeriksaan alkaloida

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan dan disaring. Filtrat dipakai untuk uji alkaloida sebagai berikut :


(48)

30

a. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Mayer akan terbentuk endapan berwarna putih atau kuning.

b. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Bouchardat, akan terbentuk endapan berwarna coklat sampai kehitaman.

c. Filtrat sebanyak 3 tetes ditambah dengan 2 tetes larutan pereaksi Dragendorff, akan terbentuk endapan merah atau jingga.

Alkaloida positif jika terjadi endapan atau kekeruhan paling sedikit dua dari tiga percobaan diatas (Ditjen POM, 1995).

3.6.2 Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 g serbuk simplisia ditimbang kemudian disari dengan 30 ml campuran etanol 95% dengan air (7:3) dan 10 ml asam klorida 2 N, direfluks selama 1 jam, didinginkan dan disaring. Diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M, dikocok, didiamkan 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran isopropanol dan kloroform (2:3), dilakukan berulang sebanyak 3 kali. Sari air dikumpulkan dan ditambahkan natrium sulfat anhidrat, disaring dan diuapkan pada temperatur tidak lebih dari 500C. Sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Larutan sisa digunakan untuk percobaan berikut: 0,1 ml larutan percobaan dimasukkan dalam tabung reaksi dan diuapkan diatas penangas air. Pada sisa ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes pereaksi Molish. Kemudian secara perlahan-lahan ditambahkan 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Terbentuknya cincin berwarna ungu pada batas kedua cairan menunjukkan glikosida (Ditjen POM, 1995).


(49)

31 3.6.3 Pemeriksaan flavonoida

Sebanyak 10 g serbuk simplisia ditambahkan 100 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, kedalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoida positif jika terjadi warna merah atau kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966). 3.6.4 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia disari dengan 10 ml air suling lalu disaring, filtratnya diencerkan dengan air sampai tidak berwarna. Larutan diambil 2 ml dan ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%. Jika terjadi warna biru, atau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Ditjen POM, 1995).

3.6.5 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g serbuk simplisia dimasukkan dalam tabung reaksi, ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik, jika terbentuk buih yang mantap setinggi 1 sampai 10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Ditjen POM, 1995).

3.6.6 Pemeriksaan steroida/triterpenoida

Sebanyak 1 g serbuk simplisia dimaserasi dengan 20 ml n-heksan selama 2 jam, disaring, filtrat diuapkan dalam cawan penguap, dan pada sisanya ditambahkan 20 tetes asam asetat anhidrida dan 1 tetes asam sulfat pekat (pereaksi Liebermann-Burchard). Timbulnya warna biru atau biru hijau menunjukkan adanya steroida, sedangkan warna merah muda atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid (Harborne, 1987).


(50)

32 3.7 Tahapan Persiapan Percobaan

3.7.1 Pembuatan larutan ekstrak etanol daun keji beling

Sejumlah 1600 mg ekstrak etanol daun keji beling (EEDKB) dilarutkan dengan 1 ml DMSO (Dimethil sulfoxida), kemudian dicukupkan dengan larutan tirode hingga 5 ml. Diperoleh konsentrasi ekstrak 320 mg/ml (larutan stock). DMSO merupakan pelarut yang inert, non toksis dan dapat melarutkan hampir seluruh senyawa dan merupakan pelarut yang semipolar, namun masih dapat bercampur dengan media tirode (Velasco, et al., 2003; Bertoluzza, et al., 1979; Brown, et al., 1963). Batas penggunaan jumlah pelarut DMSO yang ditambahkan kedalam organ bath (40 ml) adalah sebesar 400 µL atau 1% v/v (Husori, 2011). Dari larutan stock dipipet berturut-turut ekstrak etanol daun keji beling:

a. Dipipet 125 µL ekstrak daun keji beling kedalam organ bath sehingga konsentrasi ekstrak dalam organ bath didapat 1 mg/ml.

b. Dipipet 125 µL ekstrak daun keji beling kedalam organ bath sehingga konsentrasi ekstrak dalam organ bath didapat 2 mg/ml.

c. Dipipet 125 µL ekstrak daun keji beling ke dalam organ bath sehingga konsentrasi ekstrak dalam organ bath didapat 3 mg.ml.

d. Dipipet 125 µL ekstrak daun keji beling ke dalam organ bath sehingga konsentrasi ekstrak dalam organ bath didapat 4 mg/ml.

e. Dipipet 125 µL ekstrak daun keji beling ke dalam organ bath sehingga konsentrasi ekstrak dalam organ bath didapat 5 mg/ml.

f. Dipipet 125 µL ekstrak daun keji beling ke dalam organ bath sehingga konsentrasi ekstrak dalam organ bath didapat 6 mg/ml.


(51)

33

g. Dipipet 125 µL ekstrak daun keji beling ke dalam organ bath sehingga konsentrasi ekstrak dalam organ bath didapat 7 mg/ml.

h. Dipipet 125 µL ekstrak daun keji beling ke dalam organ bath sehingga konsentrasi ekstrak dalam organ bath didapat 8 mg/ml.

3.7.2 Pembuatan larutan tirode

Larutan buffer fisiologis yang digunakan adalah larutan tirode. Untuk membuat 1 liter larutan tirode ditimbang:

NaCl : 8,00 gram

KCl : 0,20 gram

MgCl2 : 0,10 gram

NaH2PO4 : 0,05 gram NaHCO3 : 1,00 gram D-Glukosa : 1,00 gram CaCl2 : 0,20 gram

Bahan (NaCl, KCl, MgCl2, NaH2PO3, CaCl2) dilarutkan terpisah dengan akuades sampai larut. NaHCO3 dan D-Glukosa ditambahkan terakhir setelah semua bahan tercampur.

Setelah semua bahan tercampur, larutan di aerasi dengan karbogen (O2 95%, CO2 5%) agar tidak terjadi pengendapan garam kalsium yang ditandai dengan kekeruhan. Selanjutnya larutan diatur pada pH 7,4. Larutan tirode dapat bertahan selama 24 jam (Tyrode, 1910).

3.7.3 Penyiapan larutan asetilkolin

Dalam penelitian ini asetilkolin klorida digunakan sebagai agonis kolinergik. Senyawa ini dapat menyebabkan kontraksi otot polos pada usus halus.


(52)

34

Dibuat larutan induk dengan cara melarutkan asetilkolin ke dalam aqua destilata sehingga didapat konsentrasi 2 x 10-1 M. Kemudian dibuat larutan yang lebih encer sampai kadar 2 x 10-6 M dengan faktor pengenceran 5 kali.

a. Pembuatan larutan baku asetilkolin klorida

Timbang seksama asetilkolin klorida (BM 181,60 g/mol) seberat 181,60 mg kemudian dilarutkan dalam 5,0 ml aquadest. Diperoleh larutan asetilkolin klorida 2 x 10-1 M.

b. Pembuatan seri konsentrasi asetilkolin klorida i. Asetilkolin klorida 2 x 10-2 M

Dipipet 500 µL larutan baku asetilkolin 2 x 10-1 M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 4500 µL aquadest. Vortex selama 3 menit. ii. Asetilkolin klorida 2 x 10-3 M

Dipipet 500 µL larutan baku asetilkolin 2 x 10-2 M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 4500 µL aquadest. Vortex selama 3 menit.

iii. Asetilkolin klorida 2 x 10-4 M

Dipipet 500 µL larutan baku asetilkolin 2 x 10-3 M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 4500 µL aquadest. Vortex selama 3 menit. iv. Asetilkolin klorida 2 x 10-5

Dipipet 500 µL larutan baku asetilkolin 2 x 10-4 M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 4500 µL aquadest. Vortex selama 3 menit. v. Asetilkolin klorida 2 x 10-6

Dipipet 500 µL larutan baku asetilkolin 2 x 10-5 M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 4500 µL aquadest. Vortex selama 3 menit.


(53)

35 3.7.4 Penyiapan larutan atropin sulfat

Dalam penelitian ini atropin sulfat digunakan sebagai antagonis kolinergik. Senyawa ini dapat menghambat kontraksi otot polos pada usus halus. Dibuat larutan induk dengan cara melarutkan atropin sulfat ke dalam aqua destilata sehingga didapat konsentrasi 2 x 10-1 M. Kemudian dibuat larutan yang lebih encer sampai kadar 2 x 10-6 M dengan faktor pengenceran 5 kali.

a. Pembuatan larutan baku atropin sulfat

Timbang seksama atropin sulfat (BM 694,84 g/mol) seberat 694,84 mg kemudian dilarutkan dalam 5,0 ml aquadest. Diperoleh larutan asetilkolin klorida 2 x 10-1 M.

b. Pembuatan seri konsentrasi atropin sulfat i. Atropin sulfat 2 x 10-2 M

Dipipet 500 µL larutan baku Atropin sulfat 2 x 10-1 M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 4500 µL aquadest. Vortex selama 3 menit. ii. Atropin sulfat 2 x 10-3 M

Dipipet 500 µL larutan baku Atropin sulfat 2 x 10-2 M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 4500 µL aquadest. Vortex selama 3 menit. iii. Atropin sulfat 2 x 10-4 M

Dipipet 500 µL larutan baku Atropin sulfat 2 x 10-3 M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 4500 µL aquadest. Vortex selama 3 menit. iv. Atropin sulfat 2 x 10-5 M

Dipipet 500 µL larutan baku Atropin sulfat 2 x 10-4M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 4500 µL aquadest. Vortex selama 3 menit.


(54)

36 v. Atropin sulfat 2 x 10-6 M

Dipipet 500 µL larutan baku Atropin sulfat 2 x 10-5M. masukkan kedalam tabung reaksi, tambahkan 4500 µL aquadest. Vortex selama 3 menit.

3.8 Tahapan Pengujian 3.8.1 Preparasi organ

Pada penelitian ini digunakan usus halus terpisah marmut yang sebelumnya telah di puasakan selama 24 jam. Marmut dikorbankan dengan cara dislokasi tulang belakang kepala (cervix), untuk menghindari pengaruh dari obat-obatan bila digunakan anastesi umum. Dilakukan pembedahan pada bagian abdomen, kulit bagian abdomen dipotong dengan menggunakan gunting. Usus dibersihkan dari lapisan mesenteric yang melindunginya. Saat jaringan sudah rileks, dipotong segmen usus bagian bawah yang mendekati caecum sepanjang 2-3 cm. Dengan menggunakan jarum kedua ujung potongan usus diikat dengan benang pada arah yang berlawanan. Benang bagian bawah usus diikatkan pada batang penahan jaringan dan benang bagian atas usus dihubungkan ke transduser daya. Jaringan usus halus dimasukkan kedalam organ bath yang berisi larutan tirode, dengan suhu larutan dipertahankan 37oC sambil di aerasi dengan karbogen secara terus menerus. Jaringan yang telah terisolasi diinkubasi selama 30 menit dengan pergantian larutan tirode setiap 10 menit. Dibiarkan beberapa saat sampai kondisi ritmik yang optimal (Vogel, et al., 2002).

3.8.2 Pengujian kontraksi seri konsentrasi asetilkolin terhadap otot polos ileum

Pengujian terhadap agonis muskarinik dilakukan untuk melihat perbandingan pola kontraksi dengan ekstrak. Pengukuran dilakukan secara


(55)

37

bertingkat dengan pemberian kumulatif asetilkolin sehingga diperoleh konsentrasi di dalam organ bath 10-8 sampai 3 x 10-3 M (Tabel 3.1). Ileum marmut yang telah diekuilibrasi selama 45 menit (dengan pergantian larutan tirode tiap 15 menit) diberikan larutan asetilkolin klorida dengan konsentrasi didalam organ bath 10-8 sampai 10-3 M (otot polos ileum tikus menunjukkan respon kontraksi maksimum). Tabel 3.1 Pemberian asetilkolin secara kumulatif pada organ bath volume 40ml

Konsentrasi larutan baku asetilkolin (M)

Volume yang ditambahkan ke dalam

organ bath (µl)

Konsentrasi asetilkolin dalam organ bath (M)

2 x 10-6 200 1 x 10-8

2 x 10-6 400 3 x 10-8

2 x 10-5 140 1 x 10-7

2 x 10-5 400 3 x 10-7

2 x 10-4 140 1 x 10-6

2 x 10-4 400 3 x 10-6

2 x 10-3 140 1 x 10-5

2 x 10-3 400 3 x 10-5

2 x 10-2 140 1 x 10-4

2 x 10-2 400 3 x 10-4

2 x 10-1 140 1 x 10-3

2 x 10-1 400 3 x 10-3

3.8.3 Pengujian efek kontraksi ekstrak etanol keji beling pada kontraksi otot polos ileum

Pengujian aktivitas ekstrak etanol daun keji beling terhadap peningkatan kontraksi ileum marmut dilakukan dengan penambahan ekstrak etanol daun keji beling konsentrasi berturut yaitu dengan pemberian 1 – 8 mg/ml ekstrak etanol


(56)

38

daun keji beling ke dalam organ bath (Tabel 3.2). Ileum marmut yang telah diekulibrasi selama 45 menit (dengan pergantian larutan tirode tiap 15 menit) diberikan ekstrak etanol daun keji beling didalam organ bath.

Tabel 3.2 Pemberian konsentrasi ekstrak etanol daun keji beling secara kumulatif pada organ bath volume 40 ml.

Konsentrasi larutan baku EEDKB (mg/ml)

Volume yang ditambahkan ke dalam

organ bath (µl)

Konsentrasi EEDKB sulfat dalam organ bath

(mg/ml)

320 125 1

320 125 2

320 125 3

320 125 4

320 125 5

320 125 6

320 125 7

320 125 8

3.8.4 Pengujian mekanisme aksi terhadap efek kontraksi ekstrak etanol daun keji beling pada otot polos ileum

Ileum marmut dikondisikan dengan larutan tirode dalam organ bath yang terhubung pada transduser isometrik. Dilakukan inkubasi selama 10 menit dengan pemberian atropin sulfat 2 x 10-3 M yang diperoleh dengan cara menambahkan 352 µl larutan atropin sulfat 2 x 10-3 M ke dalam organ bath. Ileum kemudian dikontraksi dengan pemberian seri konsentrasi ekstrak etanol daun keji beling 1-8 mg/ml.


(57)

39 3.9 Data dan Analisis Data

3.9.1 Data

Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data kontraksi otot polos ileum pada komputer (program komputer : LabChart® 7.02). Data yang diperoleh dalam persentase (%) respons terhadap respons maksimum yang dicapai. Selanjutnya, dibuat grafik hubungan antara konsentrasi terhadap % respon.

3.9.2 Analisis data

Nilai EC80 (konsentrasi agonis yang dapat menghasilkan respon sebesar 80% dari respons maksimum) agonis reseptor, dihitung berdasarkan grafik hubungan konsentrasi terhadap %respon. EC80 dihitung berdasarkan persamaan dibawah ini:

Keterangan:

�����80 =�

80−�1

�2−�1 × (�2− �1)�+�1

X1 : Log. konsentrasi dengan respons tepat di bawah 80% X2 : Log. konsentrasi dengan respons tepat di atas 80% Y1 : %respons tepat di bawah 80%

Y2 : %respons tepat di atas 80%

Selanjutnya, data disajikan dalam bentuk tabel dan nilai rata-rata ± SEM (Standar Error Mean) (Husori, 2011). Data %kontraksi dianalisis secara statistik dengan menggunakan uji Independent-Samples T Test. Sebelum pengujian tersebut terlebih dahulu dilakukan uji normalitas Kolmogrov-Smirnov.


(58)

40 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pemeriksaan Bahan Tumbuhan

4.1.1 Hasil identifikasi tanaman

Hasil identifikasi yang dilakukan di Herbarium Bogoriense. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor terhadap sampel tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah keji beling (Strobilanthus crispus (L.) Blume) suku Acanthaceae. Hasil identifikasi dapat dilihat pada lampiran 1 halaman 55.

4.1.2 Hasil karakterisasi simplisia

Standarisasi suatu simplisia dilakukan sebagai pemenuhan terhadap persyaratan sebagai bahan obat dan menjadi penetapan nilai untuk berbagai parameter produk (Ditjen POM, 2000).

Hasil pemeriksaan karakteristik simplisia daun keji beling secara makroskopik adalah daun berwarna hijau tua, helai daun berbentuk lanset melonjong atau hampir jorong, pinggir daun bergerigi, panjang helai daun 9 cm sampai 18 cm, lebar helai daun 3 cm sampai 8 cm. Kedua permukaannya kasar. Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia daun keji beling dapat dilihat pada Lampiran 4 halaman 58.

Hasil pemeriksaan mikroskopik simplisia daun kejii beling terlihat adanya fragmen pengenal berupa sel-sel litosis dan sistolit. Fragmen permukaan bawah daun dengan stomata tipe bidiastik, rambut penutup dan rambut kelenjar. Hasil pemeriksaan mikroskopik simplisia daun keji beling dapat dilihat pada Lampiran 5 halaman 59.


(59)

41

Tabel 4.1 Hasil karakteristik simplisia daun keji beling.

No Pemeriksaan Karakteristik Kadar (%) Standar MMI edisi I

1 Kadar air 5,96% -

2 Kadar abu total 10,41% < 16%

3 Kadar abu tidak larut asam 2,07% < 4%

4 Kadar sari larut dalam air 18,04% > 16% 5 Kadar sari larut dalam etanol 5,72% > 4%

Monografi dari simplisia daun keji beling tertera di buku Materia Medika Indonesia (MMI) Edisi I kecuali untuk parameter kadar air. Hasil penetapan kadar air simplisia daun keji beling adalah 5,96% telah memenuhi standarisasi kadar air simplisia secara umum yaitu tidak lebih dari 10% (Ditjen POM, 1995). Kelebihan air dalam simplisia menyebabkan pertumbuhan mikroba, jamur atau serangga, serta mendorong kerusakan bahan aktif yang terkandung didalamnya karena dapat terurai (hidrolisis) (WHO, 1998).

Berdasarkan hasil dari penetapan kadar simplisia daun keji beling pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa kadar abu total, kadar abu tidak larut asam, kadar sari larut dalam air, kadar sari larut dalam etanol dari simplisia daun keji beling telah memenuhi persyaratan menurut Materia Medika Indonesia Edisi I. Perhitungan hasil karakterisasi simplisia daun keji beling dapat dilihat pada Lampiran 9 halaman 63-67.

4.2 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui golongan metabolit sekunder yang mempunyai aktivitas biologi yang terdapat dalam simplisia dan ekstrak etanol daun keji beling. Skrining fitokimia yang dilakukan adalah pemeriksaan golongan senyawa alkaloid, flavonoid, tanin, glikosida, saponin dan


(60)

42

steroid/triterpenoid. Hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak dari daun keji beling dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia simplisia dan ekstrak etanol daun keji beling

No Pemeriksaan Kandungan Hasil

Simplisia Ekstrak

1 Alkaloid + +

2 Flavonoid + +

3 Tanin + +

4 Glikosida + +

5 Saponin + +

6 Steroid/triterpenoid + +

Keterangan: (+) : ada (-) : tidak ada

Berdasarkan hasil skrining diketahui bahwa simplisia dan ekstrak etanol daun keji beling mengandung alkaloid, flavonoid, tanin, glikosida, saponin dan steroid/triterpenoid.

4.3 Ekstraksi Serbuk Simplisia Daun Keji Beling

Pembuatan ekstrak dilakukan dengan metode perkolasi menggunakan pelarut etanol 96%. Serbuk kering simplisia daun keji beling yang diperoleh sebanyak 855 gram setelah perkolasi dan dipekatkan dengan menggunakan rotary evaporator diperoleh ekstrak kental sebanyak 156,8 gram.

4.4. Hasil Pengujian Kontraksi Seri konsentrasi Asetilkolin Terhadap Otot Polos Ileum

Pengujian kontraksi otot polos ileum terisolasi dengan penambahan konsentrasi bertingkat asetilkolin (10-8 M sampai 3 x 10-3 M) dilakukan untuk mendapatkan effective concentration (EC80) asetilkolin yang selanjutnya akan digunakan untuk pengujian efek kontraksi ekstrak etanol keji beling sebagai pembanding. Hasil pengujian ini diamati melalui perubahan % respon kontraksi


(61)

43

otot polos ileum terisolasi terhadap peningkatan konsentrasi asetilkolin (10-8 M sampai 3 x 10-3 M) (Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Grafik %kontraksi otot polos organ ileum terisolasi yang dikontraksi dengan pemberian seri konsentrasi asetilkolin (10-8 – 3 x 10-3 M). Data yang disajikan adalah nilai rata-rata ± SEM, n = 3.

Penambahan seri konsentrasi asetilkolin menyebabkan terjadinya kontraksi pada otot polos ileum terisolasi. Kontraksi otot polos ileum meningkat dengan meningkatnya konsentrasi asetilkolin. Respon kontraksi maksimal otot polos ileum diperoleh pada konsentrasi asetilkolin 2 x 10-2 M, karena peningkatan konsentrasi asetilkolin yang lebih tinggi tidak lagi menunjukkan peningkatan kontraksi. Jumlah reseptor membatasi efek yang ditimbulkan, sehingga walaupun konsentrasi ditingkatkan, respon tidak bertambah. Respon terhadap dosis obat yang rendah biasanya meningkat sebanding langsung dengan dosis. Namun, dengan meningkatnya dosis peningkatan respon menurun. Pada akhirnya tercapailah dosis yang tidak dapat meningkatkan respon lagi (Bourne dan Zastrow, 2001). Hasil pengujian kontraksi otot polos ileum marmut dengan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110

-8,0 -7,5 -7,0 -6,5 -6,0 -5,5 -5,0 -4,5 -4,0 -3,5 -3,0 -2,5

% K on tr ak si

Log konsentrasi (M) ACh


(62)

44

penambahan seri konsentrasi asetilkolin dapat dilihat pada Lampiran 14 halaman 63.

Asetilkolin bekerja pada reseptor ACh (reseptor asetilkolin – muskarinik = kolinoseptor) pada sel-sel pascasinaptik di sel-sel efektor (otot polos, otot jantung dan kelenjar). Asetilkolin menstimulasi sekresi kelenjar dan menyebabkan kontraksi otot polos melalui aktivasi reseptor M3. Pemberian obat agonis muskarinik akan merangsang sekresi kelenjar terutama kelenjar ludah dan lambung, serta meningkatkan aktifitas motorik saluran cerna dan merelaksasi sfinkter. Keadaan ini disebabkan oleh depolarisasi dan Ca++ pada otot polos saluran cerna (Munaf, 1994).

4.5 Hasil Pengujian Kontraksi Ekstrak Daun Etanol Keji Beling (EEDKB) Pada Otot Polos Ileum

Pengujian efek kontraksi EEDKB terhadap otot polos ileum terisolasi dengan cara mengkontraksi otot polos ileum melalui pengamatan terhadap %respon kontraksi otot polos ileum terhadap penambahan seri konsentrasi ekstrak 1-8 mg/mL pada organ ileum. Pemberian seri konsentrasi EEDKB menghasilkan efek kontraksi (Gambar 4.2).

Berdasarkan uji korelasi diperoleh hubungan antara konsentrasi EEDKB

dengan besarnya efek kontraksi otot polos ileum terisolasi yang bermakna (r = 0,965; p < 0,05). Hal ini menunjukkan bahwa sebanyak 96,5% peningkatan

persentase efek relaksasi dipengaruhi oleh peningkatan ekstrak. Berdasarkan hal tersebut maka efek kontraksi yang terjadi meningkat sejalan dengan peningkatan konsentrasi.


(63)

45

Gambar 4.2 Grafik %kontraksi setelah pemberian seri konsentrasi ekstrak etanol daun keji beling (EEDKB) pada otot polos ileum terisolasi. Data yang di sajikan adalah nilai rata-rata ±SEM, n = 8.

Berdasarkan afinitasnya pada Gambar 4.3 menunjukkan bahwa ikatan yang terjadi antara asetilkolin dengan reseptor jauh lebih kuat dibandingkan dengan ikatan yang terjadi pada EEDKB. Hal ini dikarenakan EEDKB belum menjadi senyawa murni yang masih banyak mengandung komponen-komponen kimia campuran sedangkan asetilkolin merupakan senyawa murni dimana kerjanya mirip dengan ACh endogen.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110

0 1 2 3 4 5 6 7 8

%

K

on

tr

ak

si

Dosis Ekstrak (mg/ml)


(64)

46

Gambar 4.3 Grafik kekuatan kontraksi setelah pemberian seri konsentrasi (A) asetilkolin (1=10-8; 2=3x10-8; 3=10-7; 4=3x10-7; 5=10-6; 6=3x10-6; 7=10-5; 8=3x10-5 M) dan (B) ekstrak etanol daun keji beling (EEKB) (1=1; 2=2; 3=3; 4=4; 5=5; 6=6; 7=7; 8=8 mg/ml) pada otot polos ileum terisolasi. Data yang di sajikan adalah nilai rata-rata ± SEM, n = 8.

Berdasarkan hasil analisis kekuatan kontraksi menunjukkan tidak terdapat perbedaan persentase efek kontraksi yang signifikan antara asetilkolin dan ekstrak (p > 0,05; uji t-independent).

4.6 Hasil Pengujian Mekanisme Aksi Terhadap Efek Kontraksi Ekstrak Etanol Daun Keji Beling (EEDKB) Pada Otot Polos Ileum dalam inkubasi Atropin Sulfat

Pengujian mekanisme efek kontraksi pada otot polos ileum terisolasi diamati dengan pengujian yang diawali dengan inkubasi ileum dengan antagonis muskarinik yaitu atropin sulfat 2 x 10-3 selama 10 menit. Efek kontraksi yang dihasilkan kemudian dibandingkan dengan efek kontraksi EEDKB yang dilakukan tanpa inkubasi dengan atropin.

0 1 2 3

0 1 2 3 4 5 6 7 8

K ekuat an kon tr ak si ( cm ) Konsentrasi EEDKB ACh A B


(65)

47

Pengujian mekanisme efek kontraksi EEDKB dengan inkubasi atropin dan tanpa inkubasi terdapat perbedaan persentase efek kontraksi. Pada konsentrasi 1 – 2 mg/mL menunjukkan bahwa persentase efek kontraksi yang signifikan (p < 0,05) antara perlakuan dengan inkubasi awal dengan larutan atropin dan tanpa inkubasi awal pada organ ileum. Sedangkan pada konsentrasi 3-8 mg/mL, perlakuan dengan inkubasi awal dan tanpa inkubasi tidak terdapat perbedaan efek kontraksi yang signifikan (p > 0,05; uji t-independen)(Gambar 4.4).

Gambar 4.4 Grafik %kontraksi setelah pemberian seri konsentrasi ekstrak etanol daun keji beling (EEDKB) yang diinkubasi dengan atropin selama 10 menit dan tanpa inkubasi. Data dianalisis menggunakan uji-t independen. Data yang disajikan adalah nilai rata-rata ±SEM, n= 6.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110

0 1 2 3 4 5 6 7 8

%

K

on

tr

ak

si

Dosis Ekstrak (mg/ml)

EEDKB


(66)

48

Tabel 4.3 Persentase kontraksi setelah pemberian seri konsentrasi EEDKB yang diinkubasi dengan atropin 2 x 10-3 selama 10 menit dan tanpa inkubasi

Perlakuan AUC

Ekstrak 131,773583 ± 6,878%

Atropin+Ekstrak 126,167200 ± 3,15489

Hasil analisis dengan perbandingan AUC inkubasi awal larutan atropin (126,167200 ± 3,15489) lebih kecil dibandingkan dengan tanpa inkubasi awal larutan atropin (131,773583 ± 6,878%) pada organ ileum dengan seri konsentrasi ekstrak 1-8 mg/ml menunjukkan tidak terdapat perbedaan persentase efek kontraksi yang signifikan (p > 0,05) (Tabel 4.3). Hasil tersebut menunjukkan bahwa efek kontraksi ekstrak etanol daun keji beling diduga tidak melalui jalur mekanisme yang sama dengan mekanisme kerja atropin yaitu reseptor muskarinik. Mekanisme yang seharusnya terjadi adalah reaksi antagonisme kompetitif reversibel dimana antagonisme terjadi antara agonis dan antagonis yang berkompetisi untuk menduduki reseptor yang sama karena kedua obat berkombinasi dengan reseptor secara reversibel sehingga banyaknya reseptor yang diikat oleh tiap obat setiap saat berikatan erat dengan konsentrasi dan afinitas obat kepada reseptor (Rahardjo, 2009). Pada hasil grafik dengan inkubasi atropin persentase efek kontraksi lebih rendah dibandingkan grafik tanpa inkubasi (Gambar 4.4). Ini menunjukkan bahwa esktrak tidak menduduki tempat yang sama pada reseptor muskarinik. Dengan demikian, dapat diindikasikan efek kontraksi yang dihasilkan ekstrak konsentrasi 1-8 mg/ml pada organ ileum tidak melalui jalur reseptor muskarinik. Selain reseptor muskarinik, kontraksi otot polos ileum juga dapat di mediasi oleh reseptor histaminergik, nitrioksida (NO), prostaglandin E2 (PGE2), cGMP (Husori, et al., 2012). Sehingga perlu dilakukan penelitian kontraksi EEDKB lebih lanjut melalui mekanisme lainnya.


(1)

91

Tests of Normality

Perlakuan

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

% Kontraksi ACh .232 8 .200* .850 8 .094

Ekstrak .201 8 .200* .899 8 .283

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Group Statistics

Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

% Kontraksi ACh 8 .481250 .4070254 .1439052

Ekstrak 8 .731250 .6181409 .2185458

Independent Samples Test Levene's

Test for Equality of

Variances t-test for Equality of Means

95% Confidence Interval of the Difference

F Sig. T Df Sig. (2-tailed) Mean Difference Std. Error

Difference Lower Upper AUC Equal

variances assumed

2.629 .127 -.955 14 .356 -.2500000 .2616696 -.8112255 .3112255

Equal variances not assumed


(2)

92

Lampiran 24. Gambar preparasi organ ileum marmut

A B

C Keterangan:

A = pemotongan abdomen marmut B = organ ileum marmut

C = proses pengikatan organ ileum marmut terisolasi

ileum

ileum


(3)

93

Lampiran 25. Gambar alat organ bath

A


(4)

94

Lampiran 25. (Lanjutan)

C

D Keterangan:

A = empat set organ bath volume 50,0 ml C = transduser isometrik


(5)

95

Lampiran 26. Gambar pola kontraksi ileum marmut terisolasi

Gambar a. Pola kontraksi otot polos organ ileum terisolasi yang dikontraksi dengan pemberian seri konsentrasi asetilkolin (10-8 – 3 x 10-3 M).

Gambar b. Pola kontraksi setelah pemberian seri konsentrasi ekstrak etanol daun keji beling pada otot polos ileum terisolasi.


(6)

96

Lampiran 26. (Lanjutan)

Gambar c. Pola kontraksi setelah pemberian seri konsentrasi ekstrak etanol daun keji beling yang diinkubasi dengan atropin 2 x 10-3 selama 10 menit.


Dokumen yang terkait

Efek Ekstrak Etanol Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L.) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut Jantan (Cavia Porcellus) Terisolasi

6 112 90

Efek Relaksasi Ekstrak Etanol Daun Pugun Tanoh (Curanga fel-terrae (Lour.) Merr.) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut (Cavia porcellus) Terisolasi Secara In Vitro

8 98 122

Efek Ekstrak Etanol Daun Keji Beling (Strobilanthus Crispus (L.) Blume) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut Jantan (Cavia Porcellus) Terisolasi Secara Kualitatif

0 0 16

Efek Ekstrak Etanol Daun Keji Beling (Strobilanthus Crispus (L.) Blume) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut Jantan (Cavia Porcellus) Terisolasi Secara Kualitatif

0 0 2

Efek Ekstrak Etanol Daun Keji Beling (Strobilanthus Crispus (L.) Blume) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut Jantan (Cavia Porcellus) Terisolasi Secara Kualitatif

0 0 5

Efek Ekstrak Etanol Daun Keji Beling (Strobilanthus Crispus (L.) Blume) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut Jantan (Cavia Porcellus) Terisolasi Secara Kualitatif

0 5 17

Efek Ekstrak Etanol Daun Keji Beling (Strobilanthus Crispus (L.) Blume) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut Jantan (Cavia Porcellus) Terisolasi Secara Kualitatif

0 0 4

Efek Ekstrak Etanol Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L.) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut Jantan (Cavia Porcellus) Terisolasi

0 0 15

Efek Ekstrak Etanol Daun Belimbing Wuluh (Averrhoa Bilimbi L.) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut Jantan (Cavia Porcellus) Terisolasi

0 0 2

Efek Ekstrak Etanol Daun Keji Beling (Strobilanthus Crispus (L.) Blume) Terhadap Kontraksi Otot Polos Ileum Marmut Jantan (Cavia Porcellus) Terisolasi Secara Kualitatif

0 0 41