Suatu hal Tertentu Adanya Objek Perjanjian Ada suatu sebab yang halal legal cause

91

3. Suatu hal Tertentu Adanya Objek Perjanjian

Suatu perjanjian harus mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang diperjanjikan, hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak jika timbul suatu perselisiha. 121 Barang yang dimaksud dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang yang sudah ada di tangan si berutang pada waktu perjanjian dibuat, tidak diharuskan oleh undang-undang. Juga jumlahnya tidak perlu disebutkan, asal saja kemudian dapat dihitung atau ditetapkan. Akibat syarat bahwa prestasi itu harus tertentu atau dapat ditentukan, gunanya adalah untuk menetapkan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika prestasi itu kabur, sehingga perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan, maka perjanjian itu dianggap batal demi hukum. 122 Persyaratan yang demikian itu sejalan dengan ketentuan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian haruslah tertentu barangnya atau sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya”.

4. Ada suatu sebab yang halal legal cause

Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi pokok perjanjian. Untuk sahnya suatu perjanjian juga harus memenuhi syarat yang dinamakan sebab atau yang diperbolehkan. Akan tetapi, yang dimaksud dengan causa yang halal dalam Pasal 1320 KUHPerdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong orang membuat orang membuat 121 R. Subekti, Op.Cit, hlm. 19 122 Abdul Kadir Muhammad, Op.Cit, hlm. 94 Universitas Sumatera Utara 92 perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Undang-undang tidak memperdulikan apa yang terjadi sebab orang yang mengadakan perjanjian, yang diperhatikan atau diawasi oleh undang-undang adalah “isi perjanjian itu” yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai, apakah dilarang oleh undang-undang atau tidak, apakah bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan atau tidak. 123 Jika perjanjian yang berisi causa yang tidak halal, maka perjanjian itu batal demi hukum. Dengan demikian, tidak ada dasar untuk menuntut pemenuhan perjanjian di muka hakim, karena sejak semula dianggap tidak pernah ada perjanjian. Demikian juga apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa causa atau sebab, ia dianggap tidak pernah ada. 124 Apabila dalam membuat perjanjian tidak terdapat suatu hal tertentu, maka dapat dikatakan bahwa objek perjanjian tidak ada. Oleh karena itu, perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan karena tidak dapat dilaksanakan karena tidak terang apa yang diperjanjikan. Sedangkan suatu perjanjian yang isinya tidak ada sebab yang diperbolehkan atau isinya melanggar ketentuan, maka perjanjian itu tidak dapat dilaksanakan karena melanggar undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan. Keempat syarat tersebut, secara garis besarnya dapat digolongkan menjadi dua syarat pokok yaitu sebagai berikut. a. Syarat Subjektif. 123 Ibid, hlm. 94. 124 Ibid, hlm. 96. Universitas Sumatera Utara 93 Syarat subjektif adalah sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan bertindak dalam bidang hukum. 125 Kedua syarat ini dikatakan subjektif karena ditujukan kepada orang atau objek yang mengadakan perjanjian. Apabila syarat subjektif ini tidak dipenuhi maka perjanjian yang bersangkutan dapat dibatalkan. Adapun yang membatalkan suatu perjanjian itu adalah hakim dengan permintaan dari orang yang berkepentingan. b. Syarat Objektif Syarat objektif adalah suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Kedua syarat ini dikatakan syarat objektif karena merupakan benda atau objek dari perjanjian. Apabila syarat ini tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum. 126 Mengenai adanya suatu perjanjian yang terdapat di luar KUHPerdata tersebut didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang menentukan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Para pihak bebas menentukan objek perjanjian, sesuai dengan undang- undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata, ditegaskan bahwa setiap perjanjian harus melaksanakan dengan iktikad baik. Sedangkan wujud dari suatu perjanjian menurut Pasal 1234 KUHPerdata dapat berupa pemberian sesuatu, perbuatan atau tidak berbuat sesuatu. 127 125 Ahmadi Miru, Op.Cit., hlm. 32. 126 Ibid. 127 Lihat Pasal 1338 Jo Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Universitas Sumatera Utara 94 Makna asas kebebasan berkontrak harus dicari dan ditentukan dalam kaitannya dengan pandangan hidup bangsa. Disepakati sejumlah asas Hukum Kontrak menurut Mariam Darus Badrulzaman sebagai berikut : 1. Asas Konsensualisme Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian. 2. Asas Kepercayaan Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, harus dapat menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak bahwa satu sama lain akan memenuhi prestasinya dikemudian hari. 3. Asas Kekuatan Mengikat Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan yang mengikat. Terikatannya para pihak pada apa yang diperjanjikan, dan juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan, dan kebebasan akan mengikat para pihak. 4. Asas Persamaan Hak Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan. 5. Asas Keseimbangan Asas ini menghendaki kedua pihak untuk memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. 6. Asas Moral Asas ini terlihat di dalam Zaakwaarneming, di mana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela moral yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata. 7. Asas Kepatutan Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Asas kepatutan berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian. Melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat. 8. Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak. 128 128 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku standar Perkembangannya di Indonesia, Alumni Bandung, 1990, hlm. 42-44. Universitas Sumatera Utara 95 Berdasarkan penjelasan di atas, jelaslah bahwa perjanjian baik dilakukan secara tertulis maupun lisan sama-sama mengikat para pihak yang membuatnya, asalkan memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata.Selanjutnya dalam hal menentukan telah terjadinya kata sepakat, para sarjana telah mengemukakan berbagai teori antara lain : 1. Teori Kehendak. Teori ini menekankan pada faktor kehendak. Menurut teori ini jika kita mengemukakan suatu penyataan yang berbeda dengan apa yang dikehendaki, maka kita tidak tertarik kepada pernyataan tersebut. 2. Teori Pernyataan Menurut teori ini, kebutuhan masyarakat menghendaki bahwa kita dapat berpegang kepada apa yang dinyatakan. Misalnya jika A menawarkan sesuatu barang kepada B dan diterima oleh B maka antara A dan B telah terjadi persetujuan tanpa menghiraukan apakah yang dinyatakan oleh A dan B itu sesuai dengan kehendaknya masing-masing pihak atau tidak. 3. Teori Kepercayaan Menurut teori ini kata sepakat terjadi jika ada pernyataan yang secara obyektif dapat dipercaya. 129 Persetujuan kehendak itu sifatnya harus bebas, artinya betul-betul atas kemauan sukarela pihak-pihak, tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun. Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang melakukan perbuatan itu tidak berada dibawah ancaman, baik dengan kekerasan maupun dengan upaya yang bersifat menakut-nakuti. Sebelum ada persetujuan biasanya pihak-pihak mengadakan perundingan, yaitu pihak yang satu memberitahukan kepada pihak yang lain tentang obyek perjanjian dan syarat-syarat, sebaliknya pihak yang lain itu menyatakan pula kehendaknya itu sehingga tercapailah persetujuan yang mantap. Demikian pula halnya dalam perjanjian penyerahan anak asuh yang dilakukan antara orang tuawali 129 R.Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Bandung : Bina Cipta, 1977, hlm. 57 Universitas Sumatera Utara 96 dengan pihak penerima anak asuh, yaitu pengasuh atau Panti Asuhan Anak Yatim Muhammadiyah Cabang Gandapura Kabupaten Bireuen.

B. Hak dan Kewajiban dalam Perjanjian

Hukum, hak dan kewajiban mempunyai hubungan yang sangat erat dalam lalu lintas hubungan hukum dalam masyarakat. Hukum itu memberikan perlindungan pada kepentingan manusia dan membagi hak dan kewajiban. Hak merupakan kenikmatan dan keleluasaan, sementara itu kewajiban merupakan beban. Hak dan kewajiban dapat timbul dari adanya suatu perjanjian yang dibuat para pihak ataupun yang telah ditentukan oleh undang-undang. Suatu perjanjian merupakan hasil kesepakatan antara para pihak yang berkepentingan untuk melakukan suatu hubungan hukum. Hubungan hukum dalam suatu perjanjian tercermin dari klausul-klausul atau pasal-pasal yang tertuang dalam suatu perjanjian yang dibuat secara sah, dengan memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Jadi suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak, akan menimbulkan suatu perikatan, yang mana perikatan merupakan isi dari suatu perjanjian. Perikatan yang telah dilaksanakan para pihak dalan suatu perjanjian, memberikan tuntutan pemenuhan hak dan kewajiban terhadap pelaksanakan isi dari perjanjian. Apabila dikaitkan dengan Perjanjian Penyerahan Anak Asuh yang dilakukan antara orang tuawali dengan pihak penerima anak asuh, yaitu pengasuh atau Panti Universitas Sumatera Utara 97 Asuhan Anak Yatim Muhammadiyah Cabang Gandapura Kabupaten Bireuen juga terdapat adanya hak dan kewajiban bagi para pihak. Pihak orang tua wali dalam hal ini menyerahkan anak dimaksud untuk mengikuti atau menerima pembinaan dari pihak panti asuhan, sedangkan pihak Panti Asuhan menerima anak dan melaksanakan tahapan pembinaan sampai anak dimaksud sepenuhnya mengikuti tahapan pembinaan yang diselenggarakan oleh pihak panti asuhan anak yatim. Adanya hak dan kewajiban dari para pihak dalam perjanjian tersebut dimuat dalam perjanjian, maka dapat diketahui bahwa dalam perjanjian penyerahan anak asuh tersebut dimuat dalam klausul atau pasal-pasal dalam perjanjian dan juga dalam pernyataan yang dibuat oleh pihak orang tua wali. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa adanya hak dan kewajiban dalam perjanjian penyerahan anak asuh timbul setelah adanya penandatangan perjanjian dan surat pernyataan yang dilakukan oleh pihak orang tuawali dengan pihak Panti Asuhan Anak Yatim Muhammadiyah Cabang Gandapura Kabupaten Bireuen.

C. Pengertian Klausul Eksonerasi dan Pengaturannya

Pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum pemenuhan syarat subjektif untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas pemenuhan syarat objektif. Namun, adakalanya “kedudukan” dari Universitas Sumatera Utara 98 kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang “tidak terlalu menguntungkan” bagi salah satu pihak. Berkembangnya klausula dan perjanjian baku erat hubungannya dan dipacu oleh gejala perkembangan di bidang ekonomi yang bersifat massal serta percepatan di bidang proses distribusi dan produksi, termasuk meningkatnya tuntutan akan pemberian jasa yang profesional. 130 Penggunaan klausula baku diperkirakan juga karena dipengaruhi oleh banyaknya perusahaan yang melakukan nasionalisasi. Penggunaan klausula baku dan perjanjian baku memiliki beberapa keuntungan praktis, seperti mengurangi perundingan yang bertele-tele, terlupanya mengatur beberapa hal tertentu dan penghematan biaya. Dalam praktek klausul-klausul yang berat sebelah dalam perjanjian baku tersebut biasanya mempunyai wujud sebagai berikut: a. Dicetak dengan menggunakan bentuk huruf yang kecil; b. Bahasa yang sulit dipahami artinya; c. Tulisan yang kurang jelas dan susah dibaca; d. Kalimat yang disusun secara kompleks dan rumit; e. Bentuk perjanjian dan klausulanya tidak berwujud seperti suatu perjanjian tersamar pada umumnya. f. Kalimat-kalimatnya ditempatkan pada tempat-tempat yang kemungkinan besar tidak dibacakan oleh salah satu pihak. Misalnya, jika klausul eksemsi di dalam kotak barang yang dibeli. 131 130 Herlien Budiono, Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan, Bandung :Citra Aditya Bakti, 2007, hlm 134. 131 Munir Fuady, Hukum kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 76 Universitas Sumatera Utara 99 Hampir sebagian besar transaksi bisnis saat ini dilakukan dengan menggunakan klausula baku, baik itu ter-jadi pada negara maju ataupun terjadi di negara berkembang seperti halnya di Indonesia. Bahkan karena begitu banyak digunakannya klausula baku tersebut mendorong seorang penulis berkebangsaan Amerika bernama Slawson melaporkan bahwa: “Standard form contracts probably account for more than ninety percent of all the contracts now made. Most person have difficult remembering the last time they contracted other than by standard form”. 132 Secara resmi definisi dari klausula baku yang dapat dijadikan acuan adalah definisi yang diberikan oleh UUPK, yaitu: “setiap peraturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen danatau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen”. 133 Hondius sebagaimana dikutip Salim mengemukakan bahwa syarat-syarat baku adalah “syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tentu, tanpa membicarakan isinya lebih dahulu”. 134 Inti dari perjanjian baku menurut Hondius tersebut adalah bahwa isi 132 Mariam Darus Badrulzaman, ”Perlindungan terhadap Konsumen Dilihat Dari Sudut Perjanjian Baku Standard,” Makalah disampaikan pada Simposium Aspek-aspek Hukum Masalah Perlindungan Konsumen, diselenggarakan oleh Badan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 16-18 Oktober 1980, hlm. 4. 133 Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen 134 Salim HS., Op.Cit., hlm146. Universitas Sumatera Utara 100 perjanjian itu tanpa dibicarakan dengan pihak lainnya, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. 135 Jadi klausula baku berarti satu atau lebih klausula yang diformulasikan secara tertulis sebelum terjadinya perjanjian yang sama jenisnya dengan maksud untuk menentukan isi dari perjanjian yang terjadi diantara para pihak dan cukup satu klausula tertulis saja, sudah dapat dikatakan sebagai klausula baku. Menurut doktrin, sebenarnya yang dianggap sebagai klausula baku adalah sejumlah klausula yang telah disusun secara mendetail dan seksama oleh salah satu pihak. Oleh karena itu, klausula baku dan perjanjian baku dikatakan mempunyai sifat konfeksi confectie karakter, dalam pengertian klausula dan perjanjian tidak disusun secara individual untuk pihak tertentu. Sifat tersebut termanifestasikan lebih lanjut pada kenyataan bahwa pada perjanjian baku hampir tidak memungkinkan pihak-pihak untuk menambahkan atau mengubah klausula-klausulanya. Klausula eksonerasi dan perjanjian baku pada umumnya di dalam literatur setidaknya memenuhi tiga syarat yaitu, klausula itu harus tertulis, klausula tersebut telah disusun terlebih dahulu dan perjanjian baku yang memuat perjanjian baku akan digunakan terhadap pihak lawannya yang berjumlah relatif banyak, adanya peraturan pelaksana yang rinci. Ciri-ciri perjanjian baku menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah sebagai berikut: 135 Ibid., hlm 146 Universitas Sumatera Utara 101 a. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh kreditur yang posisinya relatif lebih kuat daripada kedudukan debitur. b. Debitur sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian itu. c. Terdorong oleh kebutuhannya debitur terpaksa menerima perjanjian itu. d. Bentuknya tertulis. e. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual. 136 Atas dasar ciri-ciri yang dikemukakan tersebut, seakan-akan suatu perjanjian baku itu sudah pasti mengandung muatan yang negatif dan merugikan pihak yang kedudukannya lebih lemah. Sebenarnya tidaklah demikian halnya karena mungkin sekali perjanjian baku cukup seimbang di dalam pengaturan mengenai hak dan kewajiban para pihak. Pada umumnya klausula baku di dalam suatu perjanjian baku atau akta standar tidak atau jarang dibaca. Apabila dibaca sering kali juga tidak seluruhnya dimengerti artinya oleh mereka yang membacanya. Gejala ini juga dikenal dengan istilah “masalah klausula yang tidak diketahui dan tidak dimengerti” het euvel der orgeweten en onbegrepen bedingen. 137 Masalahnya adalah apakah seseorang terikat pada perjanjian baku tersebut yang isinya tidak dibaca dan tidak dimengerti atau dibaca tetapi tidak dimengerti, walaupun ia menyatakan telah menyetujuinya. Pasal 1320 KUHPerdata mensyaratkan di dalam salah satu syarat untuk sahnya perjanjian adalah adanya kata sepakat. Doktrin menyelesaikan masalah ini dengan menggunakan ajaran penundukan kehendak yang umum de leer van de algemenewilsonderwerping. 136 Mariam Darus Badrulzaman, Asas Kebebasan Berkontrak Dan Kaitannya Dengan PerjanjianBaku Standart dalam Media Notariat Nomor 28-29, Tahun VIII, Juli-Oktobert 1993, hlm 45. 137 Herlien Budiono, Op.Cit, hlm 137. Universitas Sumatera Utara 102 Pada umumnya pernyataan seseorang adalah sama dengan kehendaknya. Menurut ajaran ini, seseorang yang menyetujui sesuatu akan menyatakan apa yang dikehendakinya. Oleh karena itu secara formil ia terikat kepada klausula baku yang tercantum di dalam perjanjian baku yang telah disetujuinya tersebut. Ajaran ini mengambil pijakannya bahwa pihak konsumen yang menyetujui klausula bakuperjanjian baku, memang tidak mengenal seluruh klausula tersebut, tetapi ia menganggap telah menghendaki ketentuan baku tersebut dan oleh karena itu ia terikat. Pernyataan verklaring yang diberikan dianggap sesuai dengan kehendak wil yang sebenarnya. Pengikut ajaran tersebut berpendapat bahwa tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi pada seluruh lalu lintas hukum apabila orang tidak terikat walaupun telah menandatangani perjanjian baku tersebut. Jurisprudensi pada umumnya telah menerima ajaran tersebut. Beberapa ahli hukum menggunakan teori kepercayaan vertrouwenstheorie sebagai dasar keterikatan kontraktualnya, yang berarti bahwa pernyataan yang diberikan seseorang menimbulkan kepercayaan bahwa pernyataan yang diberikan tersebut benar adalah kehendaknya. Jadi ajaran “penundukan kehendak yang umum” mengandung otonomi yang terlalu luas pada faktor pernyataan, dimana di dalam praktek tidaklah rasional. Seringkali orang menyetujui perjanjian baku tanpa mengerti dan memahami isinya. Van der Werf yang dikutip Herlien Budiyono di dalam disertasinya Gebondenheid aan Standaardvoorwarden, Standaardvoorwarden in het Universitas Sumatera Utara 103 Rechtsverkeer met Particuliere en Professionele Contracttanten, berpendapat bahwa: 138 Apabila klausula tersebut tidak mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan kedua belah pihak, konsumen tidak terikat terhadap klausula baku karena sudah sepatutnya merupakan harapan konsumen bahwa klausula- klausula tersebut tidak akan merugikan dirinya. Tidak terikatnya konsumen bergantung pada suatu keadaan tertentu yang berarti tidak adanya ukuran atau ketentuan yang pasti, tetapi harus diputuskan secara kasus demi kasus dengan pertimbangan-pertimbangannya untuk masing-masing kasus. Dengan demikian terikat atau tidaknya seseorang pada klausula dan perjanjian baku menjadi relative gerelativeerd. Van der Werf mengusulkan suatu ajaran “penundukan kehendak yang relatif” relatieve wilsonderwerping. Menurut ajaran ini pada dasarnya teori kehendak wilstheorie dianut, tetapi hanya berlaku apabila adanya faktor kepercayaan vertrouwen yang termotivikasi dengan iktikad baik yang harus sesuai dengan kepentingan lalu lintas hukum. Masih menurut van der Werf, keadaan yang dipertimbangkan agar dapat menentukan apakah konsumen akan terikat pada klausulaperjanjian baku, diantaranya adalah : a. Sifat dari perjanjian tersebut, apakah pihak pengguna adalah swastaawam atau professional, apakah perjanjianklausula baku tersebut sederhana atau kompleks. b. Cara terjadinya perjanjian tersebut, apakah dengan lisan, tertulis, colportage penjualan secara door to door, penjualan dengan metode agresif, apakah pelaku usaha jujur dan terbuka, apakah syarat bakunya sudah umum digunakan atau tidak. Adanya pertimbangan-pertimbangan tersebut berarti ajaran penundukan kehendak secara umum menjadi relatif atau terbatas berlakunya. Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan bahwa “Persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang- 138 Ibid., hlm 140. Universitas Sumatera Utara 104 undang”. Ketentuan tersebut berhubungan dengan bunyi ketentuan di dalam Pasal 1347 KUHPerdata yang menyatakan, “Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam persetujuan meskipun tidak dengan tegas dinyatakan”. Pasal 1346 KUHPerdata mengatur mengenai cara menafsirkan klausula yang meragukan, dimana klausula tersebut harus ditafsirkan menurut apa yang menjadi kebiasaan dalam negeri atau di tempat, dimana persetujuan tersebut telah dibuat. Demikian pula ketentuan Pasal 1473 KUHPerdata yang bunyinya “Si penjual diwajibkan menyatakan dengan tegas untuk apa ia mengikatkan dirinya, segala janji yang tidak terang dan dapat diberikan berbagai pengertian, harus ditafsirkan untuk kerugiannya”. 139 Dari uraian di atas, jelaslah bahwa hakikat perjanjian baku merupakan perjanjian yang telah distandarisasi isinya oleh pihak yang ekonomi kuat, sedangkan pihak lainnya hanya diminta untuk menerima atau menolak isinya. Apabila debitur menerima isi perjanjian tersebut, ia menandatangani perjanjian tersebut, tetapi apabila ia menolak, perjanjian itu dianggap tidak ada karena debitur tidak menandatangani perjanjian tersebut. Hal ini juga berlaku pada perjanjian penyerahan anak asuh kepada ynag sebagaimana dikemukakan sebelumnya selain dilakukan dengan suatu bentuk perjanjian yang memuat klausul eksonerasi juga disertai adanya pernyataan dari pihak yang menyerahkan anak dimaksud. 139 Lihat lebih lanjut Pasal 1346 dan Pasal 1473 KUH Perdata. Universitas Sumatera Utara 105 Berdasarkan uraian di atas jelaslah bahwa unsur-unsur kontrak baku, yaitu 1 diatur oleh kreditor atau ekonomi kuat; 2 dalam bentuk sebuah formulir; dan 3 adanya klausul eksonerasipengecualian.Untuk lebih jelasnya, diuraikan pula dengan singkat mengenai karakteristik yang terdapat pada klausula baku sebagai berikut:

1. Bentuk Perjanjian Tertulis

Dokumen yang terkait

Gambaran Status Gizi Anak di Panti Asuhan Yayasan Terima Kasih Abadi Kecamatan Medan Barat Tahun 2010

7 80 57

PEMBELAJARAN HADIS ARBA‘ῙN DALAM MEMBENTUK AKHLAK ANAK ASUH DI PANTI ASUHAN YATIM (PAY) MUHAMMADIYAH Pembelajaran Hadis Arba‘in Dalam Membentuk Akhlak Anak Asuh Di Panti Asuhan Yatim (PAY) Muhammadiyah Andong Boyolali Tahun 2016.

0 3 13

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA ANAK YATIM DI PANTI ASUHAN YATIM MUHAMMADIYAH PURWOREJO Kesejahteraan Subjektif Pada Anak Yatim Di Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Purworejo.

0 3 15

KESEJAHTERAAN SUBJEKTIF PADA ANAK YATIM DI PANTI ASUHAN YATIM MUHAMMADIYAH PURWOREJO Kesejahteraan Subjektif Pada Anak Yatim Di Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Purworejo.

0 2 15

PENDAHULUAN Kesejahteraan Subjektif Pada Anak Yatim Di Panti Asuhan Yatim Muhammadiyah Purworejo.

0 2 8

PERAN PANTI ASUHAN YATIM CABANG MUHAMMADIYAH JUWIRING KLATEN DALAM MEMBENTUK KEMANDIRIAN Peran panti asuhan yatim cabang muhammadiyah juwiring klaten dalam membentuk kemandirian anak asuh tahun 2014.

0 0 15

PERAN PANTI ASUHAN YATIM CABANG MUHAMMADIYAH JUWIRING KLATEN DALAM MEMBENTUK KEMANDIRIAN ANAK Peran panti asuhan yatim cabang muhammadiyah juwiring klaten dalam membentuk kemandirian anak asuh tahun 2014.

2 24 17

BAB II PELAKSANAAN PENYERAHAN ANAK ASUH PADA PANTI ASUHAN ANAK YATIM MUHAMMADIYAH CABANG GANDAPURA BIREUEN A. Pengertian Anak dan Anak Asuh - Analisis Pencantuman Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Penyerahan Anak Asuh Kepada Panti Asuhan (Suatu Penelit

1 5 51

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Analisis Pencantuman Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Penyerahan Anak Asuh Kepada Panti Asuhan (Suatu Penelitian pada Panti Asuhan Anak Yatim Muhammadiyah Cabang Gandapura Kabupaten Bireuen, Aceh)

0 0 24

Analisis Pencantuman Klausula Eksonerasi Dalam Perjanjian Penyerahan Anak Asuh Kepada Panti Asuhan (Suatu Penelitian pada Panti Asuhan Anak Yatim Muhammadiyah Cabang Gandapura Kabupaten Bireuen, Aceh)

0 0 15