LATAR BELAKANG MASALAH PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Emotional intelligence EI memiliki peranan yang penting dalam kehidupan manusia. Penelitian mengenai EI telah banyak dilakukan pada berbagai bidang psikologi seperti organisasi, klinis, kesehatan, pendidikan, dan sosial. Selain itu, penelitian ini juga telah dilakukan pada berbagai kalangan usia mulai dari anak-anak hingga dewasa. Salah satu tahapan terpenting dalam kehidupan manusia adalah masa remaja, yaitu tahap perkembangan ketika seseorang berusaha untuk mencari jati dirinya dan ingin mencoba-coba sesuatu yang baru. Masa remaja yang termasuk tahap ke lima dalam teori perkembangan Erikson merupakan masa yang labil dalam kehidupan seseorang Papalia, Olds Feldman, 2007. EI juga memiliki peranan yang penting pada masa ini. Penelitian EI yang dilakukan oleh Parker, Taylor, Eastabrook, Schell, dan Wood dalam Petrides, 2011 dalam bidang kesehatan menunjukkan bahwa EI berkorelasi negatif dengan prilaku adiktif seperti bermain internet dan berjudi. EI juga berkorelasi negatif dengan ketergantungan alkohol Austin, Saklofske, Egan, 2005, dalam Petrides 2011 serta penggunaan obat ekstasi Craig, Fisk, Montgomery, Murphy, Wareing, 2010, dalam Petrides 2011. Penelitian dalam bidang klinis yang dilakukan oleh Mikolajczak, Petrides, dan Hurry 2009 menemukan bahwa ada kaitan antara EI dengan prilaku membahayakan diri sendiri self-harm pada remaja. Remaja yang memiliki skor EI yang sangat rendah berkemungkinan memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri Universitas Sumatera Utara ataupun mengalami gangguan psikologis tertentu. Petrides, Frederickson, dan Furnham 2004 melakukan penelitian EI pada remaja dalam konteks pendidikan, yang menunjukkan bahwa pelajar dengan skor EI yang tinggi memiliki tingkat absen ilegal yang rendah dan jarang dikeluarkan dari sekolah yang disebabkan oleh pelanggaran aturan dibandingkan dengan pelajar dengan skor EI yang rendah. Skor EI juga berkorelasi negatif dengan prilaku agresif dan menyimpang pada pelajar. Penelitian Mavroveli Sanchez-Ruiz menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang terlalu signifikan antara EI dengan pencapaian akademik pelajar, kecuali pada grup spesifik anak-anak yang berkebutuhan khusus dalam Petrides, 2011. Di Indonesia, masalah penyimpangan prilaku pada remaja juga semakin mencemaskan. Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Taufik Yudi Mulyanto mengatakan bahwa tingkat penyimpangan prilaku remaja telah di luar batas pelajar Prihananto, 2013. Pada tahun 2010, data dari Badan Pusat Statistik BPS, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas, dan United Nations Fund for Population Activities UNFPA menyatakan bahwa setengah dari 63 juta jiwa remaja berusia 10 sampai 24 tahun rentan terhadap prilaku yang tidak sehat Separuh dari 63 Juta, 2010. Selain itu jika dilihat dari sisi klinis remaja, pakar kesehatan jiwa, Albert Maramis juga menyampaikan bahwa bunuh diri di kalangan anak remaja juga semakin meningkat Aditya, 2014. Pemaparan di atas menunjukkan pentingnya EI agar dapat mengurangi prilaku yang menyimpang pada remaja serta sebagai upaya pencegahan terhadap hal yang tidak diinginkan. Pelatihan peningkatan EI pada remaja yang memiliki skor EI sangat rendah perlu dilakukan sebagai salah satu bentuk pencegahan Universitas Sumatera Utara penyimpangan prilaku yang dilakukan remaja. Namun, alat ukur di Indonesia yang sudah terstandarisasi untuk mengukur skor EI pada remaja masih minim. Penelitian mengenai kaitan EI dengan bidang lainnya cukup banyak dilakukan di Indonesia, tetapi alat ukur EI yang dikonstruk maupun diadaptasi belum memiliki kajian psikometri yang mendalam. Selain itu, landasan teori alat ukur EI yang digunakan oleh peneliti di Indonesia sebagian besar menggunakan teori yang dicetuskan oleh Daniel Goleman. Goleman merupakan orang pertama yang mempopulerkan istilah EI setelah konstrak EI pertama kali diusulkan oleh Salovey dan Mayer pada tahun 1990. Buku yang dipublikasikan oleh Goleman pada tahun 1995 berjudul Emotional Intelligence – Why it can mattter more than IQ, menjadi bestseller di berbagai negara, bahkan menjadi artikel sampul di majalah Time Gibbs, 1995, dalam Mayer, Salovey, Caruso, 2008. Meskipun demikian, Goleman mendapat kritikan dari berbagai pihak atas pernyataan yang dibuat, bahwa EI lebih penting daripada IQ. Klaim ini dianggap tidak memiliki dasar penelitian ilmiah yang jelas, karena kesimpulan tersebut ditarik berdasarkan cerita anekdotal yang disampaikan dalam bukunya atau hanya berupa perkiraan saja Lee, 2010. Oleh karena itu, peneliti bermaksud mengadaptasi alat ukur EI yang bukan berdasarkan pada teori Goleman. Setelah dipublikasikannya buku tersebut, berbagai model alat ukur EI pun mulai muncul seperti EQi Emotional Quotioent Inventory, SEIS Schutte Emotional Intelligence Scale, MEIS Multifactor Emotional Intelligence Scale, MSCEIT Mayer-Salovey-Caruso Emotional Intelligence Test dan lain Universitas Sumatera Utara sebagainya. Namun, masalah yang kemudian muncul yaitu alat tes ini memiliki metode pengukuran yang berbeda. Sebagian peneliti mengembangkan metode self-report questionnaires, sedangkan yang lain mengembangkan metode maximum-performance test. Perbedaan ini merupakan masalah yang serius karena pendekatan pengukuran yang berbeda memiliki kecenderungan tinggi memproduksi hasil yang berbeda. Oleh karena itu, Petrides dan Furnham membagi EI menjadi dua yaitu ability EI, yang menggunakan metode maximum- performance test, dan trait EI, yang menggunakan metode kuesioner self-report dalam Petrides, 2011. Ability EI didefinisikan sebagai kemampuan untuk merasakan dan mengekspresikan emosi, mengasimilasikan emosi dalam pikiran, memahami dan mengetahui penyebab suatu emosi, serta meregulasi emosi dalam diri dan dengan orang lain Mayer Salovey, 1997. Metode maximum-performance test yang digunakan dalam pengukuran ability EI merupakan tes yang memiliki jawaban benar dan salah. Kritik terhadap metode ini yaitu pada saat proses penilaian alat tes ability EI, aitem yang dibuat tidak dapat benar-benar dinilai dengan kriteria yang objektif. Prosedur penilaian alternatif seperti konsensus ataupun professional judgement juga tidak menjamin seberapa objektif penilaian tersebut, karena jawaban yang benar sangat berkaitan dengan norma ataupun kultur yang melatarbelakangi responden. Selain itu, Wilhelm dalam Petrides, 2011 juga mengkritik bahwa prosedur pengukuran ability EI menghasilkan skor yang asing bagi kemampuan kognitif, juga tidak memiliki makna psikologis psychologically meaningless. Universitas Sumatera Utara Menurut Petrides 2011, teori trait EI disebut juga trait emotional self- efficacy mampu mengukur subjektivitas yang melekat pada pengalaman emosional seseorang. Trait EI didefinisikan sebagai kumpulan persepsi diri yang lokasinya terletak pada level yang lebih rendah dari hirarki kepribadian Petrides, Pita, Kokkinaki, 2007. Alat ukur yang dikonstruk oleh Petrides Petrides Furnham, 2003 adalah The TEIQue Trait Emotional Intelligence Questionnaire dengan berdasarkan pada 15 faset. Petrides, Pita Kokkinaki 2007 telah mengklaim bahwa trait EI termasuk dalam personality trait, sehingga sama sekali tidak berhubungan dengan kemampuan kognitif lagi. Penelitian mengenai trait EI pada sampel anak-anak, remaja, dan dewasa, menunjukkan bahwa hasil skor pada trait EI dapat memprediksi prilaku prososial dan antisosial individu, gaya mengatasi masalah yang adaptif dan pengaruh yang menyebabkan depresi adaptive coping styles and depressive affect, kepemimpinan, regulasi emosi, dan pengambilan keputusan yang efektif. Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti menyimpulkan bahwa alat tes trait EI memiliki kaitan yang lebih erat dengan psikologi, yaitu mengukur pengalaman emosional seseorang secara subjektif, dan bukan berdasarkan pada kecerdasan kognitif seseorang seperti yang diukur dalam ability EI. Ability EI juga lebih sulit diadaptasikan ke Indonesia karena tidak ada jawaban yang tepat untuk budaya yang berbeda. Oleh karena itu, peneliti akan mengadaptasi alat ukur The TEIQue ke dalam bahasa Indonesia dan mengkaji karakteristik psikometrinya. The TEIQue memiliki beberapa versi seperti, The TEIQue full form, TEIQue-SF short form, yang digunakan untuk sampel berusia 17 tahun ke atas, Universitas Sumatera Utara TEIQue 360, yang diisi oleh rekan ataupun orang dekat individu yang bersangkutan, TEIQue-AF adolescent form, TEIQue-ASF adolescent short form, untuk sampel berusia 13-17 tahun, dan TEIQue-CF child form untuk anak-anak berusia 8-12 tahun. Sesuai dengan latar belakang masalah pada pemaparan sebelumnya, bahwa prilaku remaja di Indonesia sudah semakin mencemaskan dan rentan terhadap prilaku tidak sehat, maka diperlukan alat tes EI untuk mengukur skor EI pada remaja, agar nantinya dapat dilakukan pelatihan peningkatan EI pada remaja dengan skor sangat rendah sebagai salah satu bentuk pencegahan terhadap prilaku tidak sehat. Peneliti memilih untuk mengadapatasi The TEIQue-ASF yang memang dikhususkan untuk mengukur skor EI remaja berusia 13-17 tahun. TEIQue-ASF dalam bahasa Indonesia akan diuji properti psikometrinya, seperti validitas dan reliabitas alat tes tersebut. Alat tes TEIQue-ASF versi bahasa Indonesia ini akan diujicobakan pada 500 sampel yang berusia 13-17 tahun yang berdomisili di kota Medan.

B. RUMUSAN MASALAH