Prosedur Adaptasi Tes ADAPTASI ALAT TES 1. Definisi Adaptasi Alat Tes

B. ADAPTASI ALAT TES 1. Definisi Adaptasi Alat Tes

Pada umumnya adaptasi tes dan penerjemahkan tes dianggap sebagai hal yang sama, tetapi sebenarnya kedua istilah tersebut memiliki makna yang berbeda. Kata “menerjemahkan” lebih kepada upaya linguistik untuk mengganti bahasa suatu teks dengan bahasa yang lain. Sedangkan adaptasi tes merupakan serangkaian aktivitas yang tidak sekedar menerjemahkan saja, tetapi juga mempersiapkan suatu alat tes untuk dapat digunakan dalam bahasa dan budaya yang berbeda. Dengan kata lain, aktivitas dalam adapatasi lebih dari sekedar “mengalihbahasakan saja”. Hal ini diungkapkan oleh Hambleton dan Kanjee pada tahun 1995 dalam ulasan yang dibuat oleh Purwono dalam Supraktinya Susana, 2010. Serangkaian aktivitas tersebut dimulai sejak ditentukannya suatu tes benar-benar mengukur konstruk yang sama pada bahasa dan budaya berbeda penelaahan koeksistensi konstruk, melakukan tahap alih bahasa, tahap empirik, hingga tahap validasi dan standarisasi kembali alat tes tersebut.

2. Prosedur Adaptasi Tes

Purwono dalam Supraktinya Susana 2010 memaparkan bahwa langkah- langkah adaptasi tes ada 4, yaitu penelaahan koeksistensi konstruk, tahap alih bahasa, tahap empirik memastikan kesetaraan psikometrik, dan tahap validasi dan standarisasi kembali alat ukur. Berikut ini akan dipaparkan penjelasan dari langkah-langkah tersebut: Universitas Sumatera Utara a. Penelaahan koeksistensi konstruk yang diukur Penelaahan konstruk merupakan tahap pertama dalam langkah adaptasi, yaitu dengan cara memahami sosial budaya tempat adaptasi tes akan dilakukan. Proses penelaahan konstruk sangat penting karena budaya sangat mempengaruhi munculnya suatu prilaku, sehingga harus diperhatikan dalam pengadaptasian tes. Benson, dalam ulasan yang dibuat oleh Purwono, menjelaskan secara spesifik bahwa konstruk dapat direpresentasikan dalam domain teoritik dan domain empiris dalam Supraktinya Susana, 2010. Domain teoritik yaitu hasil evolusi teori-teori ilmiah pada suatu konstruk, sedangkan domain empirik merupakan serangkaian variabel yang teramati untuk mengukur suatu konstruk. Masalah inti yang dapat muncul dalam adaptasi tes yaitu konstruk pada dua atau lebih lingkungan budaya yang berbeda memiliki domain teoritik yang sama, tetapi domain empiriknya berbeda. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan berikut dirumuskan sebagai bentuk operasionalisasi penelaahan koeksistensi suatu konstruk : 1 Apakah konstruktrait yang diukur oleh tes yang akan diadaptasikan juga dikenal di lingkungan sosial budaya target? 2 Bila konstruk tersebut juga terdapat dalam lingkungan sosial budaya target, apakah konstruk tersebut mencakup indikator prilaku yang sama dengan indikator prilaku di lingkungan sosial budaya asal tes tersebut dikembangkan? 3 Apakah respon terhadap pertanyaan-pertanyaan yang sama juga akan menghasilkan konstruk yang sama? Universitas Sumatera Utara b. Tahap alih bahasa Alat ukur akan diterjemahkan ke bahasa tujuan dengan memperhatikan lingkungan sosial budaya setempat sehingga alat ukur tersebut dapat mudah dimengerti. Menerjemahkan di sini bukanlah menerjemahkan kata demi kata, Bassnet dalam Supraktinya Susana, 2010 mengutip pendapat Etienne Dolet dalam bukunya yang berjudul How to translate Well from One Language into Another, yang mengungkapkan 5 prinsip penerjemahan: 1 Makna teks asli harus dimengerti sepenuhnya oleh penerjemah. 2 Pengetahuan yang memadai pada bahasa teks asli dan bahasa tujuan harus dimiliki oleh penerjemah. 3 Teks tidak boleh diterjemahkan kata demi kata. 4 Penerjemah harus menggunakan bentuk bahasa yang dapat dipahami dengan mudah. 5 Kata maupun kalimat yang dipilih dan disusun harus memiliki makna yang tepat dengan teks aslinya. Selain itu, Besnet juga mengutip pendapat Alexander Fraser Tytler dalam Supraktinya Susana, 2010 yang juga mengungkapkan prinsip penerjemahan berikut: 1 Gagasan pada naskah asli harus diberikan oleh penerjemah dalam bentuk transkripsi lengkap. 2 Hasil terjemahan harus memiliki karaktergaya penulisan yang sama seperti teks aslinya. Universitas Sumatera Utara 3 Naskah asli dan terjemahan harus mengandung komposisi yang sama. Salah satu persyaratan penerjemahan yang tercantum dalam langkah-langkah adaptasi yang dipaparkan oleh International Test Commission ITC dalam buku Hambleton dalam Supratiknya Susana, 2010 terdapat pada pedoman guideline D1 yang berisi: 1 Penerjemah harus berkompeten dan berpengalaman dalam bahasa asli dan bahasa tujuan, salah satu syarat penting yaitu penerjemah harus memiliki sertifikasi dan sudah berpengalaman. 2 Materi tes yang akan diadaptasi harus dipahami secara mendalam oleh penerjemah. 3 Pengetahuan dasar mengenai pengembangan instrumen dan penulisan aitem harus dimiliki oleh penerjemah. 4 Proses adatasi tes sebaiknya dilakukan oleh tim yang terdiri dari beberapa orang, termasuk penerjemah. 5 Untuk menjamin hasil terjemahan, sebaiknya dibentuk tim dengan anggota- anggota yang menguasasi kedua bahasa tersebut. Tahapan terakhir proses penerjemahan yaitu memeriksa efektivitas hasil terjemahan. Dua rancangan yang sering digunakan dalam penerjemahan tes adalah forward translation dan back translation. Pada forward translation, penerjemah menerjemahkan alat ukur secara linguistik, kemudian penerjemah lain memeriksa ketepatan terjemahan dan merevisinya jika ada kekurangan. Rancangan yang lebih popular dalam penelitian lintas budaya adalah back translation, yaitu teks yang sudah diterjemahan ke bahasa target akan diterjemahkan kembali oleh penerjemah Universitas Sumatera Utara lain ke dalam bahasa aslinya, kemudian dilakukan pemeriksaan kesetaraan antara bahasa asli dengan bahasa terjemahan yang diterjemahkan kembali ke bahasa aslinya. c. Tahap empirik – memastikan kesetaraan psikometrik Tujuan utama dalam mengadaptasi tes yaitu mendapatkan alat ukur dengan bahasa yang berbeda tetapi tetap ekuivalen secara psikometrik dengan bahasa aslinya. Hambleton, Swaminathan, Rogers dalam ulasan yang dipaparkan oleh Purwono mengungkapkan bahwa aitem dalam alat ukur dianggap ekuivalen bila individu yang berasal dari kelompok yang berbeda tetapi memiliki kemampuan yang sama, juga memiliki kemungkinan yang sama untuk menjawab suatu aitem dengan benar walaupun menggunakan versi bahasa yang berbeda dalam Supraktinya Susana, 2010. Ekuivalensi alat tes dapat dilihat melalui Differential Item Functioning DIF pada aitem dalam suatu alat tes. Contoh prosedur untuk mengidentifikasikan DIF yaitu prosedur General Linear Model GLM, prosedur Mantel-Haenszel MH, logistic regression, dan prosedur berbasis Structural Equation Modeling SEM dengan menggunakan confirmatory factor analysis CFA. d. Tahap revalidasi dan restandarisasi Alat tes yang telah diterjemahkan harus divalidasi kembali oleh pihak pengembang dan pengguna tes. Hal ini disebabkan karena suatu tes belum tentu tepat digunakan untuk tujuan yang berbeda, dan juga tes yang tepat untuk digunakan di suatu lingkungan sosial budaya belum tentu tepat di lingkungan lainnya. Selain itu, standar yang digunakan juga harus distandarisasi kembali Universitas Sumatera Utara berdasarkan norma baru yang berasal dari populasi di mana tes akan digunakan, bukan menggunakan norma yang dikumpulkan oleh negara tempat tes versi asli dikembangkan. Penelitian ini tidak melaksanakan semua prosedur adaptasi alat ukur dikarenakan keterbatasan waktu dan tenaga peneliti. Prosedur yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini hanya sampai pada tahap empirik untuk memeriksa kesetaraan psikometrik alat tes TEIQue-ASF versi bahasa Indonesia. Analisis tersebut akan dilakukan dengan metode CFA yang akan dibahas lebih lanjut di bab III.

C. PROPERTI PSIKOMETRI