Pergeseran Konflik Pergeseran Konflik dari Antar Partai Menjadi Konflik Internal Partai di Dapil I Kabupaten Tapanuli Utara Pada Pemilu Legislatif 2014

3.2 Pergeseran Konflik

Melihat bagaimana perjalanan partai politik dari pemilu-pemilu sebelumnya hingga sekarang ini, tidak terlepas dari seringnya terjadi konflik dalam setiap pelaksanaan pemilu di Indonesia.Jika pada pemilu sebelumnya konflik terjadi antara partai politik yang saling memperebutkan kekuasaan, sekarang timbul fenomena baru yaitu konflik tidak lagi terjadi antar partai politik namun konflik telah bergeser ke dalam internal partai politik itu sendiri yang dapat mengakibatkan perpecahan dari partai politik tersebut. Pergeseran konflik dari antar partai politik menjadi konflik internal dalam partai politik disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya perubahan sistem pemilu yang berpengaruh terhadap penentuan calon terpilih, berkurangnya ideologi partai akan berdampak terhadap paradigma para calon dan juga peran partai telah merosot.

3.2.1 Dampak Perubahan Sistem Pemilu

Sistem pemilu di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam undang- undang pemilu menerapkan sistem proporsional. 38 Sistem proporsional ini sangat mempengaruhi fungsi perwakilan representatif functional di lembaga legislatif, dimana untuk mendapatkan wakil-wakil di parlemen maka suatu daerah pemilihan harus diwakili oleh beberapa orang yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Bentuk perwakilan yang ditawarkan oleh sistem proporsional pun harus 38 UU pemilu No. 8 tahun 2012, Pasal 5 ayat 1 Universitas Sumatera Utara mempertimbangkan kapasitas, kuantitas, luas wilayah dan kemajemukan di tengah masyarakat. Legitimasi dari jumlah suara hasil pemilu melalui sistem proporsional ini kemudian menjadi pertanggungjawaban setiap wakil terpilih kepada konstituen di daerah pemilihannya masing-masing. Sistem pemilu yang digunakan untuk pemilu 2014 memang tidak jauh berbeda dengan sistem pemilu yang digunakan pada tahun 2009 yaitu masih menggunakan sistem proporsional terbuka. Hal ini merupakan perubahan dari sistem pemilu yang dilaksanakan pada pemilu tahun 2004.Pemilu Legislatif 2004 yang lalu dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang No 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut menentukan 2 cara penetapan calon legislatif terpilih, yaitu berdasarkan angka Bilangan Pembagi Pemilih BPP dimana calon yang memperoleh suara melebihi atau sama dengan BPP terlebih dahulu ditetapkan sebagai calon terpilih, dan berdasarkan nomor urut dari daftar calon yang diajukan Parpol peserta Pemilu di daerah pemilihan masing-masing. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, mekanisme penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD KabupatenKota sebagaimana tertulis dalam Pasal 107 ayat 2b menyatakan bahwa Penetapan nama calon yang tidak mencapai angka BPP, penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon di daerah pemilihan yang bersangkutan. Hal Universitas Sumatera Utara iniberarti bahwa calon dengan nomor urut kecil lebih memiliki peluang untuk duduk dalam lembaga legislatif dibanding calon dengan nomor urut besar, meskipun calon dengan nomor urut kecil mendapatkan suara yang lebih sedikit dari pada calon dengan nomor urut besar. Secara umum Sistem pemilu yang digunakan pada pemilu 2004 adalah adalah sistem proporsional terbuka setengah. Sistem proporsional terbuka setengah dapat diartikan sebagai sistem pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka dan secara bebas dipilih oleh rakyat, akan tetapi dalam hal penetapan caleg terpilih didasarkan pada nomor urut terkecil bagi yang tidak mencapai angka BPP. Dengan kata lain meskipun nomor urut besar memiliki suara yang lebih banyak dari nomor urut kecil akan tetapi suaranya akan tetap di berikan kepada nomor urut yang lebih kecil. Dikatakan setengah karena dalam hal ini partai masih memegang peranan penting dalam menentukan nomor urut. Partai sebagai kendaraan politik memiliki standart tertentu dalam proses rekrutmen para calon legislatif. Namun idealnya dalam proses rekrutmen caleg, sebuah partai seharusnya wajib mempertimbangkan kualitas, sumber daya serta akuntabilitas seseorang yang ingin mencalonkan diri. Akan tetapi dengan sistem pemilu proporsional terbuka setengah, pertimbangan-pertimbangan tersebut bisa jadi terabaikan. Kendala utama dalam hal ini adalah karena mekanisme penentuan caleg terpilih didasarkan atas nomor urut terkecil . Universitas Sumatera Utara Hal ini menjadi sorotan publik tentang kualitas anggota legislatif.Kinerja para anggota legislatif yang notabene adalah mandataris dari rakyat diragukan legalitasnya.Mekanisme penetapan calon legislatif terpilih berdasarkan nomorurut sebagaimana yang dilaksanakan pada pemilu 2004 yang lalu, menuai kontroversi karena dianggap kurang demokratis. Pada pemilu 2009, Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa penetuan calon terpilih di dasarkan pada suara terbanyak, yaitu apabila jumlah suara yang diperoleh tidak memenuhi BPP maka seanjutnya di tentukan berdasarkan suara terbanyak.MK menilai kedaulatan rakyat dan keadilan akan terganggu. Jika ada dua caleg yang mendapatkan suara yang jauh berbeda ekstrem, terpaksa caleg yang mendapatkan suara terbanyak dikalahkan caleg yang mendapatkan suara kecil, tetapi nomor urut lebih kecil. MK juga menyatakan, memberi hak kepada caleg terpilih sesuai nomor urut sama artinya dengan memasung suara rakyat untuk memilih caleg sesuai pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. Dengan keputusan tersebut, maka sistem pemilu yang digunakan pada pemilu 2009 adalah sistem proporsional terbuka terbatas. Dikatakan terbatas karena yang berhak mendapatkan kursi adalah partai-partai yang mendapatkan suara mencapai angka BPP atau mendekati angka BPP melalui akumulasi suara yang didapatkan oleh para caleg dari partai tersebut di suatu daerah Universitas Sumatera Utara pemilihan,kemudian wakil rakyat akan ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak pada daftar caleg partai yang mendapatkan kursi tersebut. Sistem pemilu ini sedikit lebih demokratis dibandingkan dengan sistem pemilu pada tahun 2004.Para caleg tidak perlu berebut nomor urut melainkan terdorong meraih dukungan semaksimal mungkin. Dengan cara ini kompetisi antar caleg menjadi lebih terbuka. Bagi pemilih, selain memilih partai mereka bebas memilih caleg yang lebih disukainya.Suara pemilih jadi lebih berarti karena caleg terpilih ditentukan berdasarkan perolehan suara terbanyak. Pemilu Legislatif 2014 menjadi pertarungan terbuka yang sengit baik itu antar partai-partai politik maupun secara internal partai politik bagi calon legislatif yang telah masuk dalam daftar calon tetap di KPU. Hal ini disebabkan karena perubahan sistem pemilihan yang sebelumnya berdasarkan nomor urut menjadi mekanisme suara terbanyak sesuai dengan hasil keputusan Mahkamah Konstitusi No. 22-24PUU-VI2008 menganulir pasal 214 UU No. 102008 tentang penetapan calon terpilih ditentukan oleh batasminimal perolehan suara 30 Bilangan Pembagi Pemilih BPP, jika batasminimal tersebut tidak tercapai maka penentuan calon terpilih selanjutnyaberdasarkan nomor urut. Ketentuan klausul pasal tersebut memang masih memposisikannomor urut sebagai faktor dominan.Keuntungan besar diperoleh calonlegislatif caleg dengan nomor urut atas. Meski caleg lain dengan nomorurut bawah sudah bekerja keras, jika mereka tidak mencapai perolehansuara minimal 30 BPP, maka secara Universitas Sumatera Utara otomatis nomor urut diatasnya yangakan memperoleh limpahan suara dan kursi. Pengalaman dalam praktekpemilu sebelumnya, sangat sulit bagi seorang caleg untuk meraih batassuara tersebut.Sehingga pada posisi ini, aspek keseimbangan, keadilan danketerbukaan demokrasi telah terpasung oleh sistem nomor urut. Dominasi nomor urut pada pasal 214 sebelum dianulir oleh MK,sesungguhnya tak berbeda jauh dengan sistem proporsional terbuka pada Pemilu 2004 lalu.Hanya aspek 30 BPP saja yangmenjadi warna baru.Meski demikian, secara politis, yang diutamakanadalah nomor urut.Sebab perolehan angka 30 BPP bagi caleg di internalparpol merupakan faktor yang sedemikian sulit setelah perolehan kursiparpol sebesar 50 BPP.Di satu sisi, banyaknya parpol kontestan pemilu dan melimpahnyacaleg di masing-masing parpol kian membingungkan masyarakat pemilih.Preverensi pemilih yang diprediksi akan terpecah-belah oleh kehadiranparpol baru, akan diperparah oleh prediksi besarnya kesalahan memilihkarena kesulitan membedakan kertas suara untuk anggota DPR RI danDPRD.Di sisi lain, rendahnyaaspirasi rakyat pemilih terhadap parpol dan calegnya. Sehingga pendulang suara yang awalnya diharapkan dapat mengangkat perolehan suara parpol dan caleg kini kian menipis. Perubahan sistem pemilihan tersebut menuai pro dan kontra dari kalangan partai itu sendiri maupun dari pihak lain. Sistem suara terbanyak mengundang banyaknya pendapat baik dari sisi positif maupun negatif.Dari sisi positif, sistem tersebut dianggap lebih meneguhkan kedaulatan hak demokratis agar rakyat Universitas Sumatera Utara memilih calon langsung yang dikehendaki untuk dapat mewakilinya dirinya dan tidak mengandalkan elitis. Kemudian dari sisi negatif, sistem tersebut mengakibatkan peran partai menurun dan juga merusak proses kaderisasi partai karena dinilai tidak adanya kualifikasi caleg berdasarkan kredibilitas calon tersebut. Menanggapi hal sistem pemilu yang dilaksanakan pada pemilu legislatif 2014, Maruli Panjaitan, S.Pd yang merupakan calon dari partai PDIP nomor urut 7 memberi komentar: “..nomor urut bukan prioritas, sekarang suara terbanyaklah yang menetukan. Siapa yang mempunyai suara paling banyak maka dialah yang menjadi pemenang. Sistemnya seperti itu, jadi tidak ada alasan lagi bahwa nomor urut menjadi faktor utama dalam penentuan siapa pemenang.” 39 Memang dalam penentuan calon terpilih di dasarkan pada suara terbanyak, hal ini lebih demokratis karena rakyat dapat memilih sendiri siapa calon yang dianggap dapat mewakilinya di bandingkan dari sistem nomor urut, namun dalam persaingan yang lebih terbuka tersebut akan sangat rawan terjadinya konflik sesama calon dari partai karena calon akan lebih mengutamakan popularitasnya dan melakukan segala cara untuk dapat menang dalam pemilu. Pemilu 2014 mengundang maraknya konflik, jika pada pemilu sebelumnya konflik terjadi antar partai politik untuk memperebutkan suara, namun saat ini 39 Wawancara peneliti dengan informan calon legislatif partai PDIP Dapil I pada hari rabu 03 April 2014, pukul 10.20 Universitas Sumatera Utara telah meluas dan bergeser ke dalam konflik internal partai politik.Kondisi ini disebabkan oleh pertarungan dan perebutan suara antar calon legislatif dalam satu partai.Sebab mekanisme penetapan calon terpilih ditentukan oleh jumlah suara terbanyak yang diperoleh oleh masing-masing calon legislatif tanpa melihat nomor urut yang biasanya mencerminkan kapabilitas dan kapasitas kader parpol. Dalam hal ini, pertarungan antar calon legislatif dalam sebuah partai politik menjadi lebih kompetitif dan berusaha untuk mendulang suara sebanyak- banyaknya.Calon dengan nomor urut kecil yang mempunyai kualitas, integritas dan mutu belum tentu bisa menang dalam pemilu legislatif, namun calon dengan nomor urut besar yang mempunyai popularitas dapat menang apabila mempunyai suara lebih banyak saat pemilu. Karena peluang setiap calon legislatif untuk menang adalah sama sehingga kondisi seperti ini sangat rentan terjadinya konflik, bukan lagi antar partai politik melainkan telah bergeser menjadi konflik antar sesama calon legislatif dalam satu partai. Dilihat dari perspektif konflik, pemilu legislatif 2014 merupakan sebuah suasana dan arena konflik kepentingan yang ingin berebut kekuasaan.Masing- masing individu yang bertarung dalam pesta demokrasi itu berusaha untuk menyingkirkan lawan-lawannya tak terkecuali sesama partai. Banyak kasus yang terekam oleh media bahwa masing-masing calon legislatif beserta massa pendukungnya dalam satu partai saling ejek. Ini mengindikasikan adanya konflik di internal partai itu.Mekanisme pemilihan langsung ini telah menggeser konflik pada ranah internal.Hasilnya adalah adanya perpecahan partai politik. Universitas Sumatera Utara Melihat konstelasi demikian, konflik semakin diperparah dengan perebutan massa masing-masing calon legislatif tidak hanya antar partai, tetapi juga internal partai. Sebagai contoh dari hasil pengamatan penulis, di beberapa daerah di Kecamatan Tarutung terjadi ketegangan antara calon legislatif yang sedang berkampanye dengan calon legislatif lain dari partai yang sama. Maraknya Money Politik yang dilakukan secara tumpang tindih kepada masyarakat untuk mendapatkan suara mengidentifikasi bahwa pertarungan dilakukan dengan segala cara untuk meraup massa sebanyak-banyaknya.Konflik juga biasanya terjadi antara caleg yang benar-benar dari kader partai dengan caleg dari non partai yang hanya menggunakan partai sebagai batu loncatan untuk memperoleh kekuasaan. Terkait rentannya konflik dalam internal partai politik, hal tersebut menjadi fenomena yang timbul dalam dalam pertarungan antar calon pada pemilu legislatif di Dapil I bahkan di Dapil lainnya di Kabupaten Tapanuli Utara. Menanggapi hal tersebut, Josua Lumbantobing salah seorang calon anggota legislatif dari Partai Golkar memberikan tanggapan demikian: “…Pergantian sistem pemilihan yang didasarkan pada suara terbanyak membuat persaingan antar calon semakin sengit bahkan sesama calon internal sekalipun. Karena peluang menang adalah sama, tidak didasarkan pada nomor urut lagi. Namun yang menjadi perhatian adalah timbulnya gesekan-gesekan yang akan menimbulkan benturan antar calon yang disebabkan para calon akan berusaha menggunakan segala cara untuk bisa menang bahkan para calon akan saling menjatuhkan.” 40 40 Wawancara peneliti dengan informan calon legislatif partai golkar Dapil I pada hari Jumat 04 April 2014, pukul 09.30 Universitas Sumatera Utara Dalam hal ini setiap calon legislatif menganggap peluang yang sama untuk dapat menang dalam pemilihan yang membuat pertarungan dan kompetisi antarcaleg dalam satu partai juga akan jauh lebih sengit dibanding sebelumnya. Perubahan aturan main berimplikasi diantaranya adalah fenomena munculnya kompetisi para caleg baik itu dalam partai yang sama. Dampak dari perubahan sistem tersebut juga berdampak pada besarnya biaya kampanye yang dikeluarkan, bukan parpol peserta pemilu yang mengeluarkan biaya tersebut melainkan puluhan calon dari setiap partai yang berkompetisi di satu dapil. Hal ini mengindikasi bahwa para calon rela mengeluarkan biaya yang sebanyak- banyaknya dalam hal proses kampanye dan bahkan jual beli suara money politik antara calon dengan masyarakat sering terjadi. Selain itu, penetapan calon terpilih yang didasarkan pada suara terbanyak cenderung menghasilkan kualitas calon yang kurang berkompeten karena menganggap dirinya terpilih bukan karena partai melainkan karena popularitas atau usahanya sendiri. Dengan banyaknya caleg dan terbatasnya kursi, maka dampaknya masyarakat jadi resah dan bingung karena tarik-menarik antarcaleg, bahkan bisa bertengkar antarcaleg dari partai politik yang sama sehingga menimbulkan konflik. Artinya jika dalam satu dapil memiliki jumlah kursi yang banyak untuk diperebutkan maka peluang terjadinya politik uang di dapil tersebut semakin besar karena jual beli suara akan sangat besar terjadi. Universitas Sumatera Utara Perubahan sistem pemilu yang didasarkan pada suara terbanyak pada pemilu legislatif 2014 lalu banyak mengundang konflik di antaranya persaingan para calon dalam satu partai seperti yang diamati oleh penulis di dapil I Kabupaten Tapanuli Utara. Maraknya moneypolitikyang dilakukan para calon mengindikasi bahwa para calon akan berusaha melakukan segala cara dan lebih mengandalkan figure dalam mensosialisasikan dirinya kepada konstituen dalam upaya mendulang suara sebanyak-banyaknya. Sistem pemilihan umum proporsional dengan tata cara penetapan calon terpilih berdasarkan urutan suara terbanyak menimbulkan berbagai bentuk penyimpangan, baik berupa pelanggaran undang-undang maupun penyimpangan terhadap sistem proporsional. Hal ini terjadi karena sistem ini diterapkan dalam masyarakat yang partai politiknya dirasuki pragmatisme dan para pemilihnya tidak percaya kepada janji politisi, dalam proses pencalonan yang dilakukan partai politik, partai cenderung lebih memilih calon yang mempunyai popularitas yang dapat mendongkrak suara partai dan elektabilitas partai saja, selain itu maraknya politik uang yang di lakukan para calon untuk jual beli suara. Pergeseran konflik menjadi konflik internal partai disebabkan adanya perubahan atas sistem pemilihan dari sistem proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka, dengan penentuan calon terilih dari nomor urut menjadi suara terbanyak.Kondisi tersebut membuat persaingan antar calon semakin bebas dan terbuka dan disinyalir semakin maraknya politik uang, biaya kampanye yang Universitas Sumatera Utara tinggi dan menjadikan kader partai yang tidak memiliki ideologi dan tidak peduli terhadap visi dan misi partai karena lebih mengutamakan kepentingan untuk menang dalam pemilu. Hal tersebut akan memicu konflik antara calon dalam satu partai. Dilihat dari pemilu-pemilu sebelumnya, banyak kalangan menilai bahwa pemilu legislatif 2014 merupakan paling buruk karena banyaknya kecurangan- kecurangan yang menimbulkan konflik antar caleg dan juga praktek politik uang yang dilakukan oleh para caleg semakin marak. Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Perludem Titi Anggraini, berpendapat bahwa di dunia ini tak ada sistem yang terbaik, yang ada adalah sistem yang cocok bagi sebuah negara itu.Dikatakan bangsa ini belum siap dengan sistem terbuka sebab kaderisasi partai tidak berjalan baik dan perekrutan caleg secara instan.Akhirnya saat pemilu terjadi kanibalisme antarinternal partai. 41 Sehingga dapat ditarik kesimpulan sederhana, bahwa sistem pemilu proporsional terbuka dengan mekanisme suara terbayak menimbulkan lebih banyak konflik daripada sistem nomor urut walaupun kedua sistem tersebut mempunyai sisi positif dan negatif.Namun, pengalaman membuktikan sistem proporsional tertutup jauh lebih baik, jauh lebih demokratis.Ini bukan hanya karena pertimbangan pragmatis, tapi juga idealisme, yakni nilai-nilai demokrasi yang hendak dicapai.Sistem nomor urut memperkuat kepartaian, memperkuat kaderisasi, mencegah korupsi dan kolusi yang lebih masif yang langsung 41 Media Kompas online. Diakses pada tanggal 10 Mei 2014, pukul 16.25 Universitas Sumatera Utara merugikan rakyat, dan membuat demokrasi lebih berkualitas.Yang paling penting bagi rakyat adalah dalam penyusunan nomor urut caleg, faktor kapabilitas dan integritas caleg benar-benar menjadi pertimbangan utama. 3.2.2 Krisis Ideologi Partai Politik Ideologi merupakan hal wajib bagi partaipolitik, dengan ideologinya sebuah partai politik akan terlihat bentuknya. Bentuk disini adalahkemana arah partai politik ini akan memainkan fungsinya, apa yang akan disosialisaskan kemasyarakat, sikap dan orientasi politik seperti apa yang akan dibentuk, masyarakat seperti apayang menjadi basis perjuangan partai, dengan nilai-nilai seperti apa perjuangan itu akan dilakukan bentuk masyarakat seperti apa yang akan dibentuk dan lain sebagainya. Dengan dasar ideologilahpartai itu akan begerak melalui program kebijakan partai yang kemudian akan menjadi programkerja nyata yang bisa dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat Di dalam masyarakat yang demokratis, perbedaan pendapat dan persaingan merupakan hal yang wajar.Perbedaan pendapat dan persaingan itu sering kali mengakibatkan konflik, bahkan mengakibatkan terjadi perpecahan.Perpecahan dalam partai politik dapat disebabkan oleh yaitu perbedaan ideologi dari para anggotanya, perbedaan pelaksanaan kebijakan dan juga persaingan kepemimpinan dalam partai. Ideologi ibaratnya adalah darah dan jiwa dari sebuah partai politik.Sejarah terbentuknya partai politik itu sendiri merupakan cerminan dari pengelompokkan Universitas Sumatera Utara orang yang diikat oleh kesamaan idedan bagaimana ide digunakan untuk memberi warna dalam setiap kebijakan politik. Ideologi merupakan paradigma dan cara berpikir yang memberikan karakter pada sebuah partai. Ideologi memberikan makna penting, karena akan menjadi basis peta konseptual yang dibutuhkan baik oleh pemimpin, aktifis, maupun pemilih untuk mengintepretasikan kampanye dan isu-isu politik. Dengan ideologi juga, setiap parpol bisa menarik dukungan politik dan meyakinkan pemilih akan kapasitas politiknya, serta sekaligus untuk menjaga basis dukungannya. Setelah runtuhnya masa orde baru tersebut, kehidupan kepartaian diIndonesia semakin berwarna. Hal ini ditandai dengan maraknya partai yangmuncul dan turut bersaing untuk merebut hati masyarakat dan tentu saja tujuanutamanya adalah untuk memperoleh kekuasaan melalui pemilu. Tak dapat dipungkiri bahwa setiap partai yang hidup dan berkembang di Indonesia saat ini mewakili ideologi serta pandangan politiknya masing-masing.Itulah yang menjadi dasar arah pergerakan serta landasan partai. Ideologi inilah yang diusung serta diperjuangkan dalam rangka memperoleh kekuasaan untuk menerapkan kebijakan-kebijakannya. Kita meyakini bahwa pada dasarnya semua partai politik dibangun denganharapan mampu membawa keadilan serta kesejahteraan bagi masyarakat.Dengan jalan yang konstitusional yaitu pemilu. Semua itu harus diperj uangkan dengansungguh-sungguh serta kerja yang ekstra keras.Dan yang lebih penting,perjuangan tersebut harus didasarkan pada ideologi yang dibawa, agar Universitas Sumatera Utara rasamemiliki serta keterikatan setiap anggota terhadap partainya tidak perludipertanyakan lagi. Apabila partai tidak memeliki platform yang jelas, maka akanmengakibatkan tidak adanya ikatan ideologis di antara anggota partai. Ketika terjadi perpecahan yang bersifat personal atau kelompok, dengan mudah hal itu memecah belah partai.Yang terlihat pada saat ini hanya perang antar partai politik yang saling jegal-menjegal berusaha menjatuhkan satu sama lain. Hal ini yang membuatgelisah banyak orang saat ini yang melihat partai hanya sebagai alat untuk memupuk kekuasaan tanpa adanya kewajiban untuk mendidik anggotanya agarlebih paham tentang keadaan dan cita-citanya.Padahal parpol berkewajibanmendidik kadernya untuk dapat memahami tentang perjuangan yang harus dilakukan.Yang menjadi permasalahannya adalah banyaknya ideologi partai yangtidak jelas atau bahkan tidak mempunyai ideologi sehingga target perjuangannya tidak jelas. Krisis identitas dan tak memiliki ideologi sebagaimana disebutkan di ataslah gambaran dari parpol di Indonesia dewasa ini. Krisis identitas dan tak adanyaideologi ini membuat arah partai tak jelas dan sulit membedakan partai satudengan yang lain. Para tokoh dan elite parpol pun tak mampu memberikan contohpanutan yang baik bagi kader dan masyarakat.Mereka justru sibuk berkelahi danberebut kekuasaan ketimbang mengembangkan konsep pemikiran alternatif mengenai bagaimana memperjuangkan bangsa ini agar dapat berkembang lebihbaik, dan bagaimana mengatasi persoalan-persoalan bangsa. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas dapat ditarik sebuahkesimpulan sederhana.Saat ini, fenomena yang muncul di banyak partaipolitik adalah berlomba-lombanya mereka untuk menginklusifkan diri danmewadahi semua basis pemilih, sedangkan ideologi tidak lagi menjadi variabelutama dalam pembuatan keputusan di internal partai. Politik tanpa ideologi hanya membentuk kegagapan bagi kadernya saatmemegang kekuasaan.Sehingga wajarlah bila partai politik perlu menanamkanideologi politik kepada para kadernya. Harapannya, para kader berideologi akanmelahirkan sosok yang punya cita-cita politik. Sehingga ideologi dapat dijadikanlandasan dan arah kebijakan politik sewaktu memegang kekuasaan.Cita-citapolitik dari parpol pada dasarnya adalah membangun sebuah struktur negara untuk menggerakkan dan menciptakan kebaikan bersama.Jika dalam benak kaderterdapat cita-cita politik maka kekuasaan tidak lebih hanya sebagai alat semata.Karena perwujudan cita-cita politik yang dijadikan tujuan utamanya. Sehingga jika menjadi penguasa maka akan mempunyai kerangka yang mendasar danterarah untuk menciptakan kebaikan bersama. Ideologi lebih terkesampingkan oleh peran ketokohan figur, ketokohankemudian yang menjadi pertimbangan masyarakat umum ketika menentukan pilihanya bukanpada ideologi apa yang dipeganganya hal ini merupakan konsekuensi dari pemilihan langsung.Ketokohanlah yang kemudian menjadi incaran atau yang dikejar ideologi melalui partai politikdengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan dari kekuasaan politik.Politik Universitas Sumatera Utara pencitraanlahkemudian yang menonjol dalam tarik menarik mencari dukungan dalam pemilu.Dengan peranmedia yang begitu besar baik media cetak maupun elektonik. Di satu sisi masyarakat lebihmudah mengenali sang kandidat melalui apa yang dilihat melalui media, tetapi disisi yang lainmasyarakat luas mudah terkecoh dengan pencitraan yang mereka bangun. Kondisi sepertiinilah yang kemudian sering menyebabkan kekecewaan di masyarakat dikemudian hari.

3.2.3 Peran Partai Politik dan Proses Kampanye

Salah satu instrumen paling penting dalam pemilu adalah dengan adanya peserta pemilu,yaitu partai politik.Partai politiklah yang berkompetisi baik partai politik itu sendiri ataupun anggotapartai yang mencalonkan menjadi anggota legislatif.Pemilumerupakan arena bagi partai politik dalam bersaing dengan partai politik lainya untuk mendapatkankekuasaan yang sah sesuai dengan undang- undang yang berlaku. Sejarah perkembangan partai politik di Indonesia sangat mewarnaiperkembangan demokrasi di Indonesia. Hal ini sangat mudah dipahami,karena partai politik merupakan gambaran wajah peran rakyat dalampercaturan politik nasional atau dengan kata lain merupakan cerminantingkat partisipasi politik masyarakat.Dalam kedudukannya sebagai pilar demokrasi, peran partai politik dalam sistem perpolitikan nasional merupakan wadah seleksi kepemimpinan nasional dan daerah. Universitas Sumatera Utara Partai politik di Indonesia sebagai infrastruktur dalam sistem politik bisa dikatakan telah mengalami kegagalan dalam perkembangannya menuju kedewasaan.Kegagalan menuju kedewasaan ini dicerminkan dari posisi parpol yang seharusnya sebagai bagian terpenting dari sistem politik, ternyata hingga kini tidak lebih hanya menjadi kendaraan bagi kepentingan pribadi atau kelompok.Memang dalam sejumlah definisi teoretis dijelaskan bahwa parpol merupakan wadah untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Hal ini berdampak pada mudahnya terjadi berbagai konflik internal.Tidak jelasnya jenjang pengkaderan, tidak jelasnya indikator prestasi yang ujung- ujungnya bermuara pada ketidakjelasan kelayakan kader sebagai wakil parpol, pada banyak kasus menjadi pemicu konflik. Akibatnya, proses perekrutan para calon anggota legislatif yang akan mewakili partai menjadi sangat kabur. Pertarungan dan kompetisi antarcaleg dalam satu partai juga akan jauh lebih sengit dibanding sebelumnya. Sistem suara terbanyak juga dinilai akan mengurangi peran partai. Ini menjadi insentif bagi para caleg untuk menggunakan model kampanye yang bersifat partikularistik dan berdasar pada ketokohan personal.Total perolehan suara dari sebuah partai di sebuah daerah pemilihan berasal dari jumlah yang hanya memilih partai ditambah yang hanya memilih calon, dan ditambah yang memperoleh suara partai dan calon sekaligus. Bila partai lemah tapi calon kuat, maka akhirnya perolehan akhir suara partai akan kuat juga, dan demikian juga sebaliknya. Universitas Sumatera Utara Disini jelas terlihat bagaimana peran partai dalam proses perekrutan calon untuk pemilu legislatif. Sistem pemilu yang dilaksanakan saat ini yaitu yang didasarkan pada suara terbanyak tentu akan mendorong para caleg untuk lebih mendongkrak popularitasnya mengingat pemilu tidak lagi di dasarkan pada nomor urut. Misalnya seorang caleg dari Partai A tidak hanya akan berkompetisi dengan caleg-caleg partai lain, tetapi otomatis juga bersaing keras dengan temannya sendiri sesama caleg separtai. Karena nomor urut tak menentukan, mereka berlomba memermak citra dan popularitas. Eksesnya konflik antarsesama caleg dari partai yang sama dimungkinkan makin mengeras. Dalam hal ini partai sebagai fungsi pendidikan politik tidak berjalan lancar.Pendidikan politik perlu diberikan kepada seluruh calon legislatif, anggota, kader, dan pengurus partai.Pendidikan politik merupakan strategi untuk membumikan ideologi partai.Sehingga kepentingan partai berdasarkan visi-misi menjadi prioritas elite dalam menentukan kebijakan partai. Dengan kata lain, pendidikan politik adalah cara partai untuk mengikis ego atau kepentingan sesaat elite. Masalahnya, pendidikan politik belum dilihat sebagai strategi atau program penting bagi parpol. Chandra Simanjuntak, seorang warga di Kompleks Mesjid Kecamatan Tarutung memberi tanggapan terkait peran partai politik saat ini: “Partai politik sekarang ini hanya sebagai media saja, dalam menetapkan calon, partai tidak lagi melihat dari kemampuan calon itu, tapi siapa calon itu sendiri, popularitasnya, karena semakin banyak suara calon semakin banyak juga suara partai. Universitas Sumatera Utara Peran partai minim dalam melakukan seleksi calon yang betul- betul mampu karena partai lebih mengutamakan eksistensi partai saja.” 42 Partai sebagai wadah dalam perekrutan kepemimpinan dinilai sangat minim dalam hal merekrut dan menetapkan calon karena partai akan berusaha menetapkan calon yang mempunyai popularitas yang tinggi sehingga dinilai dapat meningkatkan elektabilitas partai. Setiap calon legislatif akan bekerja keras, dan kemudian diharapkan akan memperbesar perolehan suara partai. Kondisi tersebut akan cenderung menimbulkan konlik sesama calon dalam satu partai, calon yang secara kualitatif lebih berpengalaman dan berkompeten akan bersaing dan bisa saja di kalahkan oleh calon yang lebih punya popularitas yang tinggi. Proses kampanye juga akan turut membawa konflik di internal partai, jika sebelumnya proses kampanye dilakukan oleh partai secara terbuka namun saat ini proses kampanye lebih condong kepada calon legislatif itu sendiri. Kampanye lebih banyak menonjolkan figur calon dan janji pribadikelompok kepada masyarakat, bukan pada perjuangan visi dan misi Partai.Calon rata-rata menempuh jalan pendekatan pragmatis, bukan pendekatan ideologis maupun pendidikan politik kepada para pemilih.Potensi ini menjadi pemicu terpecahnya perjuangan partai. Di satu sisi calon yang dapat membawa hal baru yang positif ke dalam masyarakat saat berkampanye akan berpeluang untuk di pilih oleh rakyat, di sisi lain para calon legislatif tidak menutup kemungkinan akan berusaha untuk 42 Wawancara peneliti dengan informan, pada hari selasa 02 April 2014, pukul 09.20 Universitas Sumatera Utara menjatuhkan calon yang lain untuk berusaha mempertahankan eksistensinya dalam masyarakat terutama dalam mendulang suara. Kondisi ini memaksa setiap caleg bekerja lebih keras untuk mendapat suara sebanyak-banyaknya tanpa harus menunggu kerja partai karena dalam hal ini sistem suara terbanyak memberikan optimisme kepada setiap caleg karena memeliki peluang yang sama untuk menang, selain itu dalam penetapan calon terpilih partai tidak lagi punya otoritas dalam menetapkan calon terpilih.Fenomena yang muncul adalah kuatnya pertarungan individu dengan mengusung kepentingan lokal yang terkait dengan daerah pemilihannya. Para caleg berupaya untuk membangun citra di depan masyarakat untuk menarik simpati pemilih. Dan isu yang dibangun lebih kepada kepentingan pribadi caleg ketimbang menyampaikan visi, misi dan arah perjuangan partai, hal ini menandakan peran partai semakin meredup, fungsi partai semakin tidak terlihat. BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan