45
tentang nama-nama unit usaha di Tingkir Lor dan alamat masing- masing. Penulis menyerahkan surat izin penelitian kepada petugas
kelurahan sambil menyatakan maksud penelitian.
Penulis harus menelan kekecawaan karena dengan tegas petugas kelurahan menolak surat tersebut. M enurut mereka penulis
harus meminta izin dulu ke KESBANGLINMAS di Pemerintah Kotamadya
Salatiga. Dengan
mendapatkan persetujuan
KESBALINM AS, penulis baru bisa masuk ke kantor kelurahan. Begitu rumitnya dan berbelit-belit prosedur formal yang harus dilakukan.
Akhirnya penulis mengatakan kepada petugas kelurahan, bahwa penulis tidak lagi mencari data di kelurahan, tetapi penulis hendak
permisi jalan-jalan ke unit usaha sambil menggali data. Petugas kelurahan kalau begitu bisa saja, penulis dipersilahkan untuk menggali
data secara informal di cengek atau Tingkir Lor.
Keputusan ini juga sulit bagi penulis, karena harus menggali data lapangan tanpa bantuan data tertulis sedikitpun, minimal yang
menerangkan nama dan alamat usaha. Tapi inilah keputusan penulis untuk menjalankan penelitian secara informal. Sekali lagi penulis tidak
mau mundur dan memanfaatkan peluang penelitian informal ini dengan baik.
3. Bertanya pada pedagang makanan
Sebelum melanjutkan penelitian penulis mampir di warung bakso dengan tujuan menggali informasi tentang usaha konveksi di
Tingkir Lor dan juga mengganjal perut yang lapar. Sambil makan penulis bercerita dengan penjual bakso sambil bertanya tentang usaha
konveksi di tempat ini. dari penjual bakso, penulis mengetahui beberapa nama pengusaha seperti mbak Nur dan pak Imrori yang
kebetulan posisi rumah mereka dekat dengan warung bakso tersebut.
4. Berkeliling dengan motor
Karena sudah agak sore, penulis memutuskan untuk berkeliling dengan motor di sekitar Tingkir Lor, sambil menghitung unit usaha
46
konveksi menurut papan nama atau peralatan konveksi yang tersedia. Dengan menggunakan motor, penulis bisa menjangkau daerah Tingkir
Lor sampai ke sudut-sudutnya. Hasil hitungan penulis jumlah unit konveksi sebanyak 15 unit usaha. Namun banyak unit usaha yang tidak
menjalankan produksi saat itu, mungkin karena sudah sore atau mungkin usahanya sepi, semakin menggelitik rasa ingin tahu penulis.
Strategi mendapatkan informasi
Pertemuan pertama sangat mengesankan: untuk menjembatani hubungan antara penulis dan informan
Pada kunjungan pertama penulis di sebuah unit usaha yang nampak dari luar ruang pasokan bahan baku sekaligus tempat
produksinya cukup besar. Pemikiran awal penulis, tempat usaha yang besar mengindikasikan sebuah usaha yang sudah maju. Tetapi
nampaknya proses produksi tidak berjalan, para karyawan sedang duduk-duduk sambil bersenda gurau. Situasi yang menyenangkan ini,
penulis pikirkan sebagai situasi yang baik untuk memulai penelitian.
Dengan penuh senyum pula penulis masuk ke unit produksi tersebut seakan terlibat dalam senda gurau mereka, sambil memberikan
salam penulis datang memperkenalkan diri sebagai masishwa yang sedang melakukan penelitian. Penulis kemudian menyatakan ingin
mendengarkan kisah tentang unit konveksi tersebut.
M bak Nunik anak dari pemilik konveksi yang sudah almarhumah 6 bulan yang lalu menjawab beberapa hal yang saya
tanyakan dari cerita kami. M bak Nunik bercerita tentang keluarganya juga. Penulis hanya menyimak dengan baik cerita mbak nunik sebagai
bentuk menyediakan diri untuk berempati dengan cerita itu. Beberapa saat kemudian ketika seorang kakaknya pulang mbak Nunik
memperkenalkan penulis kepada kakaknya. Kebetulan kakaknya datang dengan membawa anak, jadilah percakapan kami banyak tentang
anaknya. Saya menghabiskan siang higga sore hari di unit usaha mbak Nunik anak pak M at Shodiq. M ungkin belum banyak data terkait yang
penulis dapatkan, tetapi penulis sudah bisa terlibat dalam kesedihan dan
47
kegembiraan mereka, penulis merasa diterima bukan sebagai orang asing dalam keluarga mereka siang ini.
Demikian pula kunjungan pertama yang penulis lakukan di unit usaha milik Ibu Imrori dan suaminya. Penulis lebih banyak mengajak
mereka bercerita tentang 3 anak perempuan yang mereka banggakan. Tentang perkembangan kehidupan mereka, hingga kebutuhan
pendidikan mereka. Penulis juga menceritakan tentang anak-anak penulis. Sehingga nampak keakraban antara saya dan ibu Imrori. Sangat
sedikit memang percakapan tentang usaha konveksi di pertemuan pertama penulis, tetapi membuka diri untuk saling mengenal, itu yang
terpenting untuk mendapatkan informasi yang mendalam dan jujur.
Pertemuan pertama di unit usaha milik pak Abidin dan istrinya, penulis juga tidak terlalu banyak bercerita tentang konveksi, karena
mereka sedang sibuk bekerja. Penulis banyak bertanya tentang cucu mereka yang lucu. Ternyata itu cucu dari putri sulung mereka. Lalu
mengalirlah cerita tentang kedua putri mereka yang dulu dinikahkan secara bersama untuk penghematan biaya, karena pak Abidin hendak
membuka kembali usahanya yang sempat berhenti dari tahun 2006 hingga 2010. Pertemuan pertama ini dipenuhi tawa mereka, ketika
mengetahui penulis ibu dari 4 orang anak. Penulis sengaja membuka diri untuk diketahui mereka, sehingga tak ada keraguan untuk memulai
percakapan yang lebih mendalam di lain waktu. M elalui pak Abidin penulis mendapatkan informasi tentang mbak Ul adik pak Abidin
pemilik usaha Ribel.
Strategi mendengarkan cerita informan yang sudah sepuh
Untuk informan yang sudah sepuh, strategi mendengarkan mereka bercerita akan membuat mereka semakin bersemangat untuk
mengeluarkan semua cerita yang dimiliki. Peneliti hanya perlu menyediakan satu atau dua pertanyaan terbuka, informan akan
menceritakan sejumlah informasi menarik bagi kita.Peneliti harus menunjukan sikap ketertarikan terhadap cerita mereka dengan
mendengarkan denga baik. Terkait kemampuan menunjukkan sikap ketertarikan memang pada dasarnya peneliti sangat senang
mendengarkan pengalaman–pengalam kehidupan seseorang.
48
Hasilnya dengan seorang informan saja penulis menghabiskan waktu 2 hingga 3 jam untuk mendengarkan cerita mereka. W aktu yang
panjang itu, pak M at shodiq misalnya banyak menceritakan pengalaman saat membuka konveksii dulu, hingga pengalaman masa mudanya juga
beliau ceritakan.
Terhadap persoalan bahasa, informan bercerita dengan bahasa yang tercampur antara bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Penulis
kadang bisa mengartikan bahasa Jawa dalam konteks cerita itu, karena ada bahasa Indonesia juga yang digunakan informan. kalau ada yang
tidak dimengerti, penulis akan menanyakan yang teman atau kenalan yang memahami bahasa Jawa.
M endekati beberapa pengusaha dengan membeli produk
M embeli produk merupakan strategi efektif untuk melakukan percakapan dengan informan, karena mereka terfokus pada aktivitas
produksi dan pemasaran di rumah mereka. Dengan membeli produk, peneliti terlibat dalam fokus informan, bahkan juga menjadi fokus
informan. Pada momen inilah peneliti mendapatkan perhatian informan. hal ini terjadi pada unit Ibu Imrori dan suaminya, unit usaha
pak Abidin dan unit usaha ibu Musropah.
M endalami percakapan dengan membawa teman berbelanja
Untuk melakukan pembicaran lebih mendalam peneliti membawa teman-teman seangkatan untuk berbelanja. Hal ini sekali lagi
menjadi strategi peneliti untuk masuk ke dalam proses pemasaran yang menjadi fokus aktivitas informan. Terlibat dalam proses yang sama
dengan informan akan menjadi hasil amatan yang menarik pula tentang pemasaran yang sedang dilakukan oleh informan.
Di sela-sela kesibukan teman-teman seangkatan berbelanja, peneliti melakukan percakapan dengan pemilik usaha. Percakapan ini
dilakukan dengan sepenuh hati oleh informan. strategi ini penulis lakukan pada unit usaha mbak Ul dan pak Abidin.
49
Strategi ini penulis lakukan berulang kali, karena ternyata efektif penulis dapat telibat dalam proses dan mendapatkan fokus
perhatian informan. M embawa teman seangkatan berbelanja penulis lakukan 2 kali. M embawa konsumen lainnya 2 kali. Keempat momen
itu, tetapi penulis gunakan untuk membangun percakapan dengan informan.
M elakukan Triagulasi M etode dan informan untuk menguji kebenaran data
Untuk mengkonfirmasi kebenaran data, penulis melakukan triagulasi yakni dengan mempercakapkan data tersebut dengan
informan lainnya. Konfirmasi data ini dilakukan penulis tanpa harus diketahui informan sebagai sebuah konfirmasi. Karena kalau itu sudah
diketahui, informan akan cenderung tidak spontan dalam menjawab pertanyaan peneliti. Konfirmasi ini juga dilakukan tanpa diketahui oleh
informan sebelumnya. Semua ini dilakukan untuk menjaga validitas data.
Peneliti juga melakukan triagulasi metode, yakni dengan menggunakan metode wawancara, pengamatan dan dokumentasi untuk
menggali data. M isalkan ketika awalnya informan mengatakan usaha mereka berjalan biasa-biasa saja tidak mengalami krisis, penulis
mengkonfirmasi data itu dengan menggunakan metode observasi. Ternyata hasil amatan penulis terhadap produk celana yang dihasilkan
bahan kainnya semakin menipis. Kualitas kain juga semakin menurun. Penulis kemudian mengambil waktu lain untuk wawancara lanjutan
dengan informan untuk mengkonfirmasi kembali keadaan usaha mereka. M etode dokumentasi peneliti lakukan untuk mengecek data-
data yang sempat diceritakan informan dibandingkan dengan hasil penelitian sebelumnya serta berita-berita koran tentang konveksi di
Tingkir Lor.
Secara lengkap penulis mengutip Creswel dalam penggunaan ketiga metode ini untuk triagulasi demikian:
1. Observasi: pengamatan yang didalamnya peneliti langsung
turun lapangan untuk mengamati perilaku dan aktivitas
50
individu-individu di lokasi penelitian Creswel : 2010. Dalam penelitian ini peneliti akan langsung turun mengamati aktivitas
produksi hingga pemasaran yang dilakukan oleh industri konveksi di Tingkir Lor. Peneliti akan mencatat keseluruhan
hasil amatan dalam buku harian penelitian.
2. W awancara: Peneliti akan melakukan face to face interview
wawancara berhadap-hadapan dengan partisipan dengan menyiapkan pertanyaan-pertanyaan terbuka Creswell, 2010
3. Dokumentasi:
Selama proses
penelitian, peneliti
juga mengumpulkan dokumen-dokumen tertentu. Dokumen ini bisa
berupa dokumen publik seperti Koran, makalauh, laporan, dan yang lainnya ataupun dokumen privat seperti buku harian,
diary, surat, email dan yang lainnya Creswell, 2010. Dalam penelitian ini peneliti akan mengumpulkan dokumen dari
internet maupun yang ada di kantor kelurahan juga kecamatan.
Data yang Diperoleh
Tabel 3.1 Data Informan
No Nama
Infor- man
Pekerjaan sekarang
usia Peker-
jaan awal
Pnddk thn
awal usa-
ha
Thn kri-
sis
Omzet aset
1. Mat
Shodiq Pengusaha
75 sopir,
pelaut. PGA
1975 2004
Rumah, tanah
kering 3 Ha, sawah
10.000 M
2. I bu
Musro- pah
Pengusaha 60
ibu rumah
tangga
- 1985
2004 Pendidikan
anaknya 3.
Pak Abidin
Pengusaha
50
Pengus aha,
sopir di Arab
SD kelas
4 1987,
2010 2000
Mobil, motor
51
No Nama
Infor- man
Pekerjaan sekarang
usia Peker-
jaan awal
Pnddk thn
awal usa-
ha
Thn kri-
sis
Omzet aset
4. Mas
Susilo Suami
mbak Nur- Pengusaha
40 sales
S1 1990
2000 Mobil
dan motor
40 jtbln 5.
bu I mrori
Pengusaha
49
Buruh jahit
-
1990 2004
Pendidikan anak
6. Pak
I mrori Suami
bu I mrori
53
Tokoh agama
ulama Pesan-
tren 1990
2004 Pendidikan
anak 7.
Pak Budi
Mertua Susilo
Ayah mbak Nur-Guru
75
Guru PGSL
P 8.
Mbak UL
Pengusaha 42
Suami pega-
wai Dama-
tex Lulus
SMP 1990
2004 200 jtbln
Mobil, Motor,
pendidikan anak
Asal M ula lahirnya industri konveksi di Tingkir Lor
Industri tekstil Damatex layaknya ibu kandung bagi industri kecil konveksi di Tingkir Lor, karena perannya melahirkan industri
kecil konveksi Tingkir Lor dengan menghadirkan peluang, membekali mereka dengan ketrampilan juga tekhnologi. Peluang mendapatkan
kain limbah dari Damatex sebagai sang ibu, menjadi titik awal lahirnya industri kecil pengolahan kain limbah. Tidak sampai di situ, Damatex
sebagai sang ibu juga membekali 12 penjahit asal Tingkir lor dengan ketrampilan jahit-menjahit, yang dikemudian hari menjadi cikal bakal
pengusaha kecil konveksi di Tingkir Lor. Damatex bahkan memodali pengusaha kecil dengan mesin jahit dan peralatan lainnya.
Demikianlah wujud pengabdian Damatex bagi masyarakat dengan menghadirkan sebuah kehidupan baru bagi masyarakat Tingkir lor.
Untuk memberi sebuah kehidupan baru bagi masyarakat, Damatex membangun Jaringan langsung yang mutualis antara industri
tekstil Damatex dan masyarakat Tingkir Lor sekitar tahun 1960-an. Damatex memberi peluang usaha baru sebagai strategi nafkah
52
penghidupan masyarakat Tingkir Lor, untuk membebaskan mereka dari lilitan kemiskinan akibat keterbatasan akses. Peluang usaha baru itu
diberikan melalui jaringan langsung yang mutualis. Dalam jaringan langsung ini, Damatex bertemu langsung dengan masyarakat sebagai
konsumen untuk menjajakan dagangan mereka berupa kain limbah, tanpa melalui perantara. Jaringan ini dilakukan dengan sengaja oleh
Damatex yang ingin mendapatkan sedikit nilai ekonomi dari kain limbah produksi yang sudah tidak bisa diekspor lagi, sedangkan
masyarakat Tingkir lor bisa memperoleh kain limbah dengan harga murah. Jadi, terbentuklah jaringan langsung yang saling mengun-
tungkan antara industri tekstil dan masyarakat Tingkir lor, yang jika digambarkan demikian:
Damatex memilih Tingkir Lor sebagai sasaran suplai kain limbah karena keberadaannya sebagai daerah Belanda atau Belakang
Damatex. Sebagai daerah yang berada di sekitar Damatex, Tingkir Lor menjadi daerah yang sangat mungkin mengalami imbas dari
perkembangan industri Damatex berupa limbah. Hal ini terdeteksi pada tahun 2006 hingga 2007, bahwa sungai Cengek di Tingkir Lor
mengandung racun limbah Damatex. Demikianlah Damatex telah memilih daerah Tingkir Lor sebagai saasaran suplai kain limbah.
Industri kecil konveksi di Tingkir Lor dimulai pada tahun 1960- an, seiring kehadiran Damatex di Salatiga pada tahun 1961. Jika
diperkirakan menurut kesaksian pengusaha tertua pak M at Shodiq dengan usaha yang tertua pula yang masih eksis hingga saat ini,
memulai usaha keluarganya di tahun 1975 ketika sudah memiliki 3 anak. Beliau memberikan kesaksian kepada penulis bahwa istrinya
belajar konveksi sejak masih lajang, dari ibunya yang juga menekuni konveksi. Jika pak M at Shodiq dan istrinya memulai usaha setelah
memiliki 3 anak, maka itu berarti paling minimal istri pak M at Shodiq belajar konveksi dari ibunya kurang lebih 6 tahun lalu sebelum mereka
Pengusaha IK konveksi konsum en : Pengusaha IK
konveksi di Tingkir Lor
53
memulai usaha. Ditambah lagi beliau menceritakan di tahun 1967 beliau dan istrinya sudah mulai berpikir untuk meninggalkan PNS,
karena gaji tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka. Jadi berdasarkan cerita ini, maka konveksi di Tingkir Lor memang memulai
aktivitasnya sekitar tahun 1960-an.
Industri kecil konveksi di Tingkir lor dimulai dengan adanya peluang memperoleh limbah industri tekstil dari Damatex. Damatex
yang berproduksi sejak tahun 1961, menyisakan limbah dari produksinya ataupun kain yang tidak layak diekspor. Limbah-limbah
tersebut kemudian dijual kepada masyarakat sekitar Damatex yang terkenal dengan sebutan masyarakat Belanda
3
dengan harga yang murah, dengan tujuan agar pabrik tetap mendapatkan sedikit
keuntungan dari limbah tersebut. Tingkir lor termasuk salah satu tempat berlangsungnya aktivitas penjualan kain limbah tersebut.
4
Aktivitas penjualan kain limbah itu merajut jalinan relasi yang mutualis antara Damatex dan masyarakat sekitarnya khususnya Tingkir
lor. Ketika limbah kain bisa terjual di masyarakat, pihak Damatex mendapatkan kembali nilai ekonomi dari limbah yang sebelumnya
tidak berharga lagi, karena tidak bisa diekspor. Pihak lainnya yakni masyarakat sekitar pabrik termasuk Tingkir lor berpeluang memperoleh
limbah kain dalam harga murah. Hal ini diceritakan oleh Pak M at Shodiq juga ibu M usropah demikian : Awalnya dua minggu sekali ada
mobil Damatex masuk membawa limbah kain. Kain-kain yang dibawa masuk ke Tingkir Lor itu, adalah limbah sisa produksi industry tekstil
damatex. M asing-masing rumah bisa membeli kain sekitar 10 kilogram.
5
Jadi ada relasi yang saling menguntungkan yang lahir dari masyarakat Tingkir lor mendapatkan peluang untuk memperoleh limbah kain yang
kemudian dijadikan bahan baku bagi usaha konveksi mereka.
3
Belanda merupakan singkatan dari Belakang Damatex, digunakan untuk menyebutkan masyarakat yang tinggal di belakang Damatex.
4
Pada tahun 1995, penulis pernah berkunjung ke karang alit, salah satu tempat penjualan limbah kain dengan harga murah. Jadi memang terjadi aktivitas penjualan
limbah produksi di sekitar wilayah pabrik Damatex.
5
Menurut hasil wawancara dengan pak Mat Shodiq dan I bu Musropah
54
Damatex semakin memperkuat peluang yang ada dengan memberi akses ketrampilan dan tekhnologi kepada masyarakat Tingkir
lor sekitar tahun 1960-an. Saat itu, Tingkir lor dijadikan daerah binaan Damatex dengan melatih sekitar 12 penjahit dan memberikan bantuan
peralatan berupa mesin jahit kepada mereka. Hal ini merupakan wujud tanggung-jawab sosial Damatex terhadap lingkungan sekitarnya.
6
Peluang ini direspons oleh masyarakat Tingkir lor dengan antusias, hingga menjadikan konveksi sebagai strategi nafkah
kehidupan mereka. Pak Imrori menceritakan bahwa awalnya di tahun 1970-an, semua rumah tangga mengambil limbah kain dari Damatex
sekitar 10 kg setiap minggunya. Kain itu dijahit menjadi produk dan selanjutnya dijual di pasar. Hasil penjualan digunakan untuk membiayai
kehidupan sehari-hari rumah tangga mereka. Sejak itu mereka semakin merasakan adanya manfaat ekonomi dari usaha konveksi mereka.
Ketika usaha konveksi mulai memberi manfaat secara ekonomi bagi masyarakat Tingkir lor, hampir semua warga Tingkir lor terjun
menjadi pengusaha konveksi dengan jumlah produksi yang terus naik, berakibat pada semakin tinggi pula kebutuhan terhadap limbah.
Sementara itu sumber lain menyebutkan bahwa saat itu, bukan hanya Tingkir lor saja yang disuplai tetapi, keseluruhan daerah Tingkir,
Karang jati, Kali bening.
7
Akhirnya suplai bahan baku tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan bahan baku produksi di Tingkir lor. Aktivitas
penjualan secara langsung dari Damatex kepada konsumen tidak lancar lagi, padahal masyarakat Tingkir Lor sudah tumbuh menjadi pengusaha
kecil konveksi yang membutuhkan suplai bahan baku dengan memadai dan kontinyu. Untuk mendapatkan lagi suplai bahan baku dengan
memadai mereka harus berjuang dengan mengerahkan semua energi yang mereka miliki.
Perjuangan yang mereka lakukan untuk mempertahankan Damatex sebagai sumber limbah yang tetap, sambil mencari peluang
6
Upaya menggerakan perekonomian daerah melalui program fasilitasi percepatan pemberdayaan ekonomi daerh FPPED untuk industri konveksi di Tingkir lor, kota
Salatiga, Kantor Bank BI Semarang tahun 2008.
7
Upaya menggerakan perekonomian daerah melalui program fasilitasi percepatan pemberdayaan ekonomi daerah FPPED untuk industri konveksi di Tingkir lor, kota
Salatiga, Kantor Bank BI Semarang tahun 2008.
55
sumber limbah di tempat yang lain. Damatex masih menjadi harapan utama masyarakat tingkir lor, sebagai sumber bahan baku utama di
tahun 1970-an hingga akhir tahun 1980-an. Beberapa pengusaha asal Tingkir lor yakni pak M at Shodiq, pak M arijan
8
dan bu Norma dengan berbekal sedikit modal, tekad yang kuat serta kemampuan membangun
jaringan, menerobos masuk sampai ke aras manajemen pabrik Damatex. Hasilnya Pak M at Shodiq menjadi pengepul limbah kain di Tingkir lor
di tahun 1977. Saat itu Pak M at Shodiq menampung suplai limbah kain Damatex sebanyak 4 ton setiap minggunya, berarti dalam sebulan ada
16 ton limbah yang ditampung pak Shodiq untuk pengusaha kecil di Tingkir lor.
9
Profil Pengusaha I KRT di Tingkir Lor yang menjadi informan peneliti. 1.
Pak M at Shodiq aktor yang gigih dalam berjuang
Pak Shodiq dan almarhum istrinya nekad keluar dari profesi mereka sebagai sopir dan guru, untuk terjun ke dunia usaha konveksi.
M enurut beliau dengan anak 5 orang yang diberikan kepada mereka, nampanya menjad PNS tidak bisa menjamin masa depan anak-anak
kami, sehinga dengan peluang ada untuk mendapatkan bahan baku kain limbah dari damatex, mereka mengambil sikap untuk berhenti dari
profesi sebelumya pada 1975 dan terjun ke usaha konveksi.
Tindakannya terjun ke usaha konveksi diawali dengan peristiwa keterputusan hubungan antara Damatex dengan masyarakat Tingkir Lor
karena kain limbah yang terbatas. Damatex ternyata tidak sanggup untuk mengsuplai bahan baku secara langsug ke Tingkir Lor, sehingga
beberapa saat suplainya macet. Hal ini membuat pak Shodiq berjuang untuk mendapatkan peluang lewat peran Satpam yang adalah warga
Belanda untuk membangun kembali jaringan dengan pidak Damatex.
8
Informasi tentang pak Marijan tidak diperoleh penulis, tetapi namanya diceritakan oleh ibu I mrori kepada penulis. I bu Imrori dulunya pernah menjadi buruh jahit Mbah
Marijan.
9
Penulis sudah berusaha berkali-kali menjumpai ibu Norma, tetapi sangat sulit bertemu, penulis hanya sempat bercerita dengan karyawan yang sedang menjaga unit
produksi bu Norma.
56
M enghidupkan kembali jaringan Damatex dengan masyarakat Tingkir Lor ternyata bukan hal mudah yang dilakoni pak M at Shodiq.
Lewat informasi peluang yang diperoleh dari seorang satpam, pak shodiq kemudian melakukan pendekatan dengan orang gudang setelah
itu beliau masuk sampai ke aras manajemen pabrik. Beliau kemudian mendapatkan peran sebagai pengepul Damatex untuk Tingkir lor. Sejak
saat itu Damatex selalu menyuplai bahan baku lewat pak M at shodiq sebesar 4 Ton setiap minggunya.
Pak Shodiq dengan cara pandang yang proaktif tidak hanya membangun jaringan suplai dengan Damatex tetapi juga dengan
penyuplai dari indutri tekstil Solo. Sudah sejak tahun 1980 pak Shodiq mengkuatirkan tentang kemungkinan macetnya suplai kain limbah
dari Damatex untuk usaha konveksi mereka. Sehingga dengan informasi yang beliau dapatkan tentang industri tekstil di Solo dan berbekal
pengalaman membangun jaringan dengan Damatex, beliau kemudian menghadap manajemen di Solo dan mendapatkan peluang untuk
menjadi pengepul di Tingkir Lor.
Pada tahun 1970-an hingga 1990-an, pak M at shodiq dapat memenuhi kebutuhan subsisten keluarganya dan berinvestasi dari hasil
usaha konveksinya. Dari hasil usaha konveksi pak M at Shodiq dapat menafkahi keluarganya. Anak-anaknya yang berjumlah 5 orang, 4
orang dapat disekolahkan hingga sarjana. Sedangkan yang seorang lagi yang bernama mbak Anik, sampai pada kelas 5 SD. Dia kemudian
memilih untuk membantu ibunya di konveksi. Sekarang ini ketika ibunya meninggal, mbak Anik yang dipercayakan ayahnya untuk
mengelola konveksi keluarga mereka. Pak Shodiq juga memiliki investasi berupa tanah pekarangan beserta rumah, tanah kering 3 Ha
dan sawah 10.000 M eter.
Namun usaha Pak Shodiq mengalami penurunan sekitar tahun 2004. Penurunan tersebut dikarenakan akses ke pabrik Damatex sudah
terbatas. Limbah kain yang diperoleh dari pabrik Damatex semakin sedikit untuk pemakaian sendiri saja tidak cukup, sehingga tidak bisa
lagi mendapatkan keuntungan dari penjualan kain kepada orang sekampungnya. Dalam kondisi yang demikian pada 2 tahun terakhir ibu
57
harus dirawat di rumah sakit, sehingga biaya habis terserap untuk perawatan tersebut.
Untuk mempertahankan usahanya tetap eksis, pak shodiq akan menjual asetnya. Kutipan penggalan wawancara penulis dengan pak
shodiq demikian:
Saya mau bangkit lagi, dengan cara menjual tanah kering beserta rumah 3 Ha harus cash. Ada yang 5000M, 4000M, saya
tawarkan. Ada juga sawah beberapa Hektar. Mana yang payu lebih dulu, saya jual. Untuk modal bisa kulakan lagi. Semua
itu dulunya saya beli dari hasil usaha konveksi saya bersama almarhum ibu.
Hingga kini Usaha konveksi keluarga pak M at Shodiq masih tetap produksi meskipun mengalami perlambatan. M ereka berproduksi
dengan menggunakan bahan baku sisa yang di stoknya selama ini. M enurut beliau sudah 6 bulan, tidak kulakan bahan baku sama sekali.
Kalau dulu semua kebutuhan hidupnya digantungkan pada usaha konveksi, sekarang supaya tetap bisa makan pak M at Shodiq
mengambil hasil sawah yang dulu dibeli dari hasil konveksi.
10
2. I bu M usropah aktor yang menggunakan modal simbolik