58
membeli bahan baku sendiri dan memproduksi celana kolor, celemek, seprei, sarung bantal, dan lainnya.
Pada tanggal 24 Januari 2013 ketika penulis berkunjung lagi ke Tingkir Lor, usaha konveksi Ibu M usropah sudah semakin merosot.
Beliau sudah sangat jarang membeli bahan baku. Karena sudah semakin sulit dan dan kalaupun ada harganya mahal. Ditambah pula kondisi
internal, yangmana anak-anaknya harus menikah dan tinggal terpisah dari beliau. Ibu Musropah kehilangan tenaga kerja.
Dengan berbekal modal simbolik suaminya sebagai seorang tokoh agama di Tingkir Lor, ibu M usropah mendapatkan peluang untuk
menjual produk dari rekan-rekan pengusahanya yang masih eksis. Kebetulan juga rumah bu M usropah lebih dekat ke jalan raya, sehingga
memungkinkan beliau untuk menjual produk-produk tersebut. Beliau hanya menjual produk seprei milik mbak UL, Celana milik pak Abidin.
Dari hasil penjualan beliau mendapatkan keuntungan meskipun hanya seribu atau dua ribu kata bu M usropah. Jadi, untuk tetap bertahan
hidup, beliau sudah beralih profesi sebagai pedagang.
3. Pak abidin aktor yang pantang menyerah, memegang kuat
H abitusnya sebagai penjahit Bagi pak Abidin pengalaman jatuh bangun dalam usaha
konveksi menjadi sejarah hidup yang berharga. Pak Abidin yang eksis sejak tahun 1987 namun mengalami kejatuhan pada tahun 2003 hingga
2009. Selama 6 tahun kejatuhannya, pak Abidin migran ke Arab, menjadi sopir di sana, untuk menafkahi keluarganya. Hal ini diceritakan
oleh pak Abidin kepada penulis demikian :
sebetulnya kalo mulai bikin konveksi itu udah mulai tahun 87. Tapi kemaren sempat berhenti hampir 6 tahunan
heheheh sambil ketawa. Saya sempat berhenti itu mulai 2003 sampai 2009 ya..jadi kebetulan anak saya yang pertama
dan kedua kuliah, yang ketiga SM A, kemudian kondisi persaingan bisnis yang ngga sehat, terus turun. Karena saya
perlu biaya, terus saya lari jadi buruh ke Saudi. Buruh nyopir di sana ya hampir 6 tahun. Terus pulang, terus skolahnya
udah selesai semua, terus mulai bikin lagi.
59
Pak Abidin hanya sempat menamatkan pendidikan formal pada tingkat Sekolah Dasar. Sejak kelas 4 SD, beliau sudah belajar menjahit
dari neneknya dan juga ibunya. Setelah lulus SD, pak Abidin mulai ngikut orang menjadi buruh jahit. Setelah menikah beliau mendapat
kesempatan bekerja sekaligus belajar di taylor. Pada tahun 1987 beliau bersama istri mulai membuka usaha. Istri pak Shodiq juga adalah
masyarakat Tingkir Lor juga yang menguasai ketrampilan menjahit secara otodidak. M enurut pak Abidin dan istrinya, pada tahun 1980-an
harga kain jauh lebih murah dibandingkan sekarang. Namun usahanya mengalami kejatuhan selama 6 tahun yakni pada tahun 2003 hingga
2009. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, pak Abidin rela menjadi buruh migran ke tanah Arab.
M elalui usahanya pada babak pertama pak Abidin dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga memasuki perguruan tinggi dan
juga dapat membeli sebuah mobil. Namun ketika 2 orang anaknya kuliah, dalam perjalanan membutuhkan biaya yang banyak. M odal
mereka digunakan untuk biaya kuliah anak. Itupun belum mencukupi, sehingga pak Abidin harus migrasi ke Saudi menjadi sopir.
Saat migrasi ke Arab, Pak Abidin berusaha menabung pendapatannya sedikit untuk menjadi modal usaha konveksi yang akan
dibukanya kembali. Pak Abidin percaya bahwa konveksi merupakan bagian yang tidak menyatu dengan kehidupannya.
Pak Abidin memulai babak ke-2 usahanya pada tahun 2010 dan masih eksis hingga kini. Usahanya bias dimulai lagi karena ada peluang
mendapatkan bahan baku dari garmen di Ungaran. Setelah usahanya mati suri sekitar 6 tahun, di tahun 2010 pak Abidin memulai kembali
usahanya. Beliau memperoleh jaringan dengan pengepul Ungaran sebagai pemasok kain limbah. Pak Abidin sendiri bertindak sebagai
pengepul bagi rekan-rekan pengusaha yang membutuhkan bahan baku. Pak Abidin bisa kembali eksis karena ditunjang daya inovasi yang
dimiliki pak Abidin dan istrinya. Beliau menceritakan kepada penulis proses awal memulai usaha babak kedua, demikian :
Dulu saya ke Arab Saudi. Begitu pulang anak saya yang pertama minta kawin, yang namanya orang kawin butuh
biaya. Padahal waktu itu saya ngga ada dana sama sekali. Yah
60 sambil berdoa, sambil berusaha, Alhamdulillah dengan tidak
sengaja juga, istri saya beli kain kaos 4 kilo, rencananya mau ditawarkan ke tetangga, ternyata mereka ngga mau. Jadi coba
dibikin sendiri, ternyata kok malah bisa dikatakan bikin 4 kilo selesai dijual lakunya bisa beli 10 kilo, kok uang masih
sisa. Habis itu malah nyari kain itu lagi. Saya bikin celana legin pake bahan kaos itu. Kalo di konveksi sini kami yang
pertama membuat legin itu. Kalo di luar sana yah udah ada. Bareng-bareng kebutuhan saya kok aneh, sepertinya rejek
kok di soi dengan cara yang tidak terduga itu. Jadi yang memotivasi saya ya kebutuhan anak untuk menikah itu.
Akhirnya anak saya yang kedua ta suruh menikah juga biar hemat.
4. M bak Ul aktor yang ulet dan cerdas dalam menggunakan modal