Perkembangan Kondisi Perbankan Indonesia

4.3. Perkembangan Kondisi Perbankan Indonesia

Krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998 juga berdampak negatif terhadap perbankan. Melemahnya nilai tukar rupiah mengakibatkan kesulitan likuiditas yang besar pada perbankan. Situasi tersebut kemudian diperberat oleh lemahnya kondisi internal perbankan akibat lemahnya manajemen kredit, moral hazard, tidak transparan dan pengawasan Bank Indonesia yang kurang baik. Sejak selesainya program restrukturisasi perbankan pada tahun 1999, kondisi perbankan menunjukkan perkembangan yang semakin membaik dan cenderung stabil. Hal ini dapat dilihat dari pelaksanaan intermediasi maupun dari kondisi ketahanan. Dari aspek intermediasi, pencapaian tersebut tercermin dari pertumbuhan kredit yang sangat baik seiring dengan pulihnya perekonomian pasca krisis tahun 1998. Dari aspek ketahanan terlihat dari tetap stabilnya kondisi perbankan yang tercermin dari tingginya modal dan NPL yang rendah. Ini semua tidak terlepas dari berbagai langkah kebijakan yang ditempuh pemerintah dan Bank Indonesia untuk restrukturisasi dan peningkatan ketahanan sistem perbankan di Indonesia. Pelayanan perbankan kepada masyarakat semakin luas dengan bertambahnya jumlah bank dan kantor bank. Semakin berkembangnya perekonomian diberbagai daerah dan tingginya persaingan untuk menarik nasabah mendorong bank untuk lebih meningkatkan pelayanannya. Salah satu cara adalah dengan membuka kantor cabang atau kantor pelayanan. Namun perkembangan ini tidak akan terlepas dari kebijakan PAKTO 1988 yang memberi kemudahan bagi bank – bank untuk memperluas pelayanannya. Krisis keuangan global yang melanda negara – negara di dunia pada tahun 2008 juga tidak terlalu mempengaruhi intermediasi dan ketahanan perbankan secara umum di Indonesia. Hal ini terjadi karena likuiditas yang ada di Indonesia tidak Universitas Sumatera Utara terlalu bergantung pada likuiditas dari luar negeri sehingga dampak sistemik ke dalam negeri tidak terlalu terasa. Hanya saja pada saat tahun 2008, terjadi sedikit peningkatan kredit macet pada sektor – sektor yang berhubungan dengan luar negeri seperti ekspor dan impor. Namun pada saat itu langsung di antisipasi oleh pihak Bank Indonesia sehingga tidak sempat terjadi dampak yang terlalu besar pada perekonomian Indonesia secara umumnya. Perbankan menyumbang 4 dalam produk domestik bruto dalam gambar 4.1. Pada periode 2001 – 2008 pertumbuhan sektor perbankan cenderung berfluktuasi, yaitu dari 7,03 pada tahun 2001 menjadi 1,55 pada tahun 2006 dan naik lagi menjadi 7.41 pada tahun 2008. rata – rata pertumbuhan di sektor perbankan umumnya lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kecuali tahun 2002, 2005, 2006. pada tahun 2006 sektor perbankan mengalami pertumbuhan yang paling rendah selama periode 2001 – 2008 yaitu hanya sebesar 1.55 . Hal ini disebabkan karena dampak dari kebijakan pemerintah dengan menaikkan suku bunga BI lebih dari 500 basis poin dari 7.40 menjadi 12.75 selama tahun 2005. dampaknya terasa pada tahun 2006 karena bank kelebihan likuidasi dan harus membayar beban bunga, sementara pendapatan bunga yang diterima berkurang karena tingginya SBI. Untuk meningkatkan kinerja sektor riil yang terpuruk karena meningkatnya harga BBM, selama tahun 2006 pemerintah menurunkan suku bunga BI sebanyak 7 kali sebesar 300 basis poin dari 12.75 menjadi 9.75 . Penurunan suku bunga yang signifikan ini diperkirakan akan mempengaruhi pertumbuhan di sektor perbankan sejalan dengan peningkatan aktifitas sektor riil pada tahun berikutnya. Hal ini tercermin dari pertumbuhan perbankan Indonesia pada tahun 2007 dengan cepat mencapai 7.99, meskipun kemudian sedikit menurun pada tahun 2008. penurunan pertumbuhan perbankan di Indonesia pada tahun 2008 diduga dipengaruhi oleh krisis Universitas Sumatera Utara keuangan global sejak september 2008. namun demikian penurunan pertumbuhan perbankan di Indonesia masih cukup rendah dibandingkan negara – negara lain. Kondisi perbankan di Indonesia sangat rentan terhadap krisis dan kondisi keuangan global. Terbukti pada tahun 1997 kondisi perbankan sempat terpuruk yang mengakibatkan likuidasi beberapa bank akibat kredit macet karena sektor riil tidak berjalan dengan baik. Berkurangnya kepercayaan masyarakat pada bank mengakibatkan penarikan dana secara besar – besaran dan memberikan dampak negatif terhadap likuiditas bank. Hal ini membawa permasalahan solvabilitas pada bank dimana bank harus membayar bunga lebih tinggi untuk mendapatkan dana. Perbaikan kinerja perbankan yang semakin baik tidak terlepas dari stabilitas ekonomi makor dan moneter seperti menurunnya suku bunga SBI, inflasi dan rupiah. Stabilitas sistem perbankan dan stabilitas moneter merupakan dua aspek yang saling terkait dan menentukan satu sama lain. Dengan demikian apabila kondisi moneter cenderung stabil maka semakin kecil pula resiko pasar yang dihadapi perbankan sehingga akan mendukung terjadinya stabilitas sistem perbankan. Sebaliknya, dalam hal tekanan inflasi dan pelemahan nilai tukar sehingga memerlukan pengetatan moneter dengan kenikan suku bunga yang tinggi, maka resiko pasar yang dihadapi perbankan juga akan semakin besar sehingga akan berpengaruh negatif terhadap stabilitas sistem perbankan.

4.4. Perkembangan Suku Bunga Deposito