BAB I PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Hukuman eksekusi mati di Indonesia bukanlah hal yang baru. Sejak Indonesia merdeka, Kejaksaan Agung sudah melakukan eksekusi mati kepada 71
terpidana mati, walaupun masih ada juga narapidana mati yang dihukum sejak 1960 sampai sekarang sehat walafiat dan belum dieksekusi Sumut Pos, Rabu 5
Juli 2006 : 2. Namun putusan hukuman mati yang diterima oleh Tibo cs Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, Marianus Riwu merupakan putusan yang
terkait dengan kasus besar kerusuhan Poso–kerusuhan yang mengakibatkan 200- an orang tewas, ratusan lainnya luka-luka, dan ratusan rumah rusak, yang dapat
memancing perhatian orang untuk mengikuti setiap perkembangannya. Ditambah pula dengan media massa nasional yang terus memberitakannya. Maka, karena
keterkaitannya dengan kasus kerusuhan Poso inilah, masalah Tibo cs dapat digolongkan sebagai masalah nasional.
Hal tersebut tampak pada perkembangan kasus mereka, banyak pihak yang pro dan kontra terhadap putusan hukuman mati terhadap ketiganya. Pihak kontra
Tibo cs gencar melakukan demonstrasi, mendesak pemerintah agar Tibo cs segera dieksekusi. Begitu juga dengan pihak – pihak yang mengatakan bahwa Tibo cs
tidak bersalah mendesak pemerintah untuk segera membebaskan Tibo cs dan menemukan dalang kerusuhan Poso yang sebenarnya. Pengamat hukum pun
saling beradu argumen. Mereka saling memberikan pandangannya terhadap masalah Tibo cs. Pemerintah bahkan menerima beberapa surat yang berasal dari
Universitas Sumatera Utara
masyarakat Indonesia maupun dari luar negeri. Tidak tanggung – tanggung, Paus Benediktus XVI juga turut mengirimi Pemerintah Indonesia agar meninjau
kembali putusan yang sudah diberikan kepada Tibo cs. Hal ini pula lah yang membuat pihak penentang penundaan eksekusi menyangka kalau penundaan
eksekusi yang beberapa kali terjadi, dikarenakan oleh adanya intervensi dari luar. Putusan eksekusi mati yang diterima Tibo cs ini sendiri tidak dapat
dielakkan lagi setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani surat penolakan grasi yang berbunyi, “Setelah mempertimbangkan secara
seksama, permohonan grasi para terpidana yang nama-namanya sebagaimana termasuk ke dalam surat-surat Ketua MA pada 6 September 2005 dinilai tidak
terdapat cukup alasan untuk memberikan grasi kepada terpidana tersebut”, pada 10 November 2005 Waspada, Jumat 11 November 2005 : 2.
Namun sebelum mendapat penolakan grasi, Tibo cs mendapat putusan eksekusi mati pada 5 April 2001 lalu dari Pengadilan Negeri Palu. Hanya, mereka
tidak langsung menerima putusan itu begitu saja. Berbagai upaya hukum mereka usahakan untuk mendapatkan keringanan hukuman. Mulai dari upaya Banding ke
Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah, upaya Kasasi serta Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, yang semuanya itu ditolak. Dan pada Jumat dini hari 22
September 2006 lalu, di sebuah tempat yang dirahasiakan, Tibo cs pun dieksekusi mati oleh regu penembak yang telah disiapkan oleh Polda Sulawesi Tengah.
Kurang dari 24 jam setelah Tibo cs dieksekusi, Poso dan Kupang-NTT bergejolak. Beberapa kelompok masyarakat memprotes eksekusi mati dengan
turun ke jalan, melakukan konvoi, dan merusak gedung – gedung pemerintah daerah setempat. Bahkan keluarga salah satu jenasah terpidana mati, Dominggus
Universitas Sumatera Utara
da Silva, menuntut agar jenasah tersebut divisum. Karena mereka menyangka Dominggus disiksa terlebih dahulu sebelum dieksekusi.
Semua perkembangan ini membuat media tidak berhenti hanya sampai eksekusi selesai dilakukan. Tetapi pertanyaan yang muncul kemudian adalah
bagaimana media – media di Indonesia memberitakan Tibo cs? Bagaimana media – media tersebut mampu menyajikan segala sisi realitas yang terjadi ke dalam
bentuk berita tanpa ada ketimpangan pemberitaan? Selayaknya media memberitakan sebuah peristiwa secara faktual. Selain itu,
media pun harus mampu memberikan proporsi yang seimbang kepada pihak – pihak yang terkait dalam peristiwa itu. Berarti media harus memiliki jurnalis –
jurnalis yang objektif dan independen. Dengan kata lain, tidak ada suatu sikap keberpihakan parsial kepada salah satu pihak di dalam pemberitaan, melainkan
harus tidak berpihak imparsial. Media, dalam hal ini wartawannya harus meninggalkan segala atribut yang mereka miliki, seperti, agama, suku bangsa,
jenis kelamin, dan lain – lain dalam melakukan peliputan berita. Agar dapat meminimalisir bias dalam penulisan realitas yang ada menjadi sebuah berita.
Walaupun begitu, dalam pembentukan realitas menjadi sebuah berita itu juga akan menghasilkan beberapa bagian yang lebih ditonjolkan atau dilebih-
lebihkan maupun bagian yang lebih diminimalisir atau dihilangkan. Eriyanto 2002 : v mengatakan, berangkat dari sebuah peristiwa yang sama, media tertentu
mewartakannya dengan cara menonjolkan sisi atau aspek tertentu, sedangkan media lainnya meminimalisir, memelintir, bahkan menutup sisiaspek tersebut,
dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Hal ini bisa terjadi secara seperti tidak sengaja. Misalnya, si wartawan lebih mengutamakan keterangan dari pihak – pihak yang dianggapnya lebih
berkompeten, karena wartawan beranggapan mereka lebih dapat dipercaya. Misalnya, para pejabat. Sedangkan keterangan dari masyarakat biasa, walaupun
merupakan tokoh yang terkait dengan permasalahan yang diliput oleh wartawan, terkadang kurang, bahkan tidak dilibatkan.
Peneliti tertarik untuk meneliti pemberitaan Tibo cs ini melalui media cetak- khususnya surat kabar, karena peneliti melihat media cetak memiliki sebuah
keistimewaan yang tidak dimiliki oleh media – media lainnya radio, televisi. Seperti yang ditegaskan Onong Uchjana Effendy 2002 : 155, media cetak
memiliki sifat terekam. Berita – berita yang disiarkan oleh surat kabar tersusun dalam alinea, kalimat, dan kata – kata yang terdiri atas huruf – huruf, yang dicetak
pada kertas. Dengan demikian, setiap peristiwa atau hal yang diberitakan terekam dengan sedemikian rupa sehingga dapat dibaca setiap saat dan dapat diulangkaji,
bisa dijadikan dokumentasi dan bisa dipakai sebagai bukti untuk keperluan tertentu.
Sumut Pos dan Waspada misalnya, sehubungan dengan eksekusi mati Tibo cs, juga telah menyediakan ruangan pada media mereka untuk memberitakan
setiap perkembangan kasus tersebut. Peneliti melihat kedua harian yang sudah dikenal masyarakat Sumut ini semakin sering memberitakan Tibo cs setelah grasi
yang mereka ajukan ke presiden ditolak. Memang kedua media cetak ini tidak memberitakannya setiap hari, karena perkembangan kasus Tibo cs bukan seperti
orang yang berbalas pantun. Setiap upaya hukum yang dilakukan Tibo cs untuk meringankan hukumannya tidak langsung direspon dengan cepat oleh pengadilan.
Universitas Sumatera Utara
Perkembangannya bisa memakan waktu berminggu – minggu bahkan berbulan – bulan.
Namun, seiring dengan pelaksanaan eksekusi yang semakin dekat, intensitas pemberitaan yang dilakukan oleh kedua harian pun meningkat. Kedua harian
semakin intens memberitakan proses persiapan eksekusi yang akan dijalani ketiganya. Yang tentunya, semakin intensnya pemberitaan yang dilakukan oleh
kedua media cetak daerah ini tidak berlawanan dengan ideologi yang dianut oleh masing – masing media. Karenanya, ada perkembangan kasus yang diliput dan
ada pula yang tidak. Hal tersebut ditampilkan pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1 Perbandingan Jumlah Berita Terkait Hukuman Eksekusi Tibo Cs
pada Harian Sumut Pos dan Harian Waspada Pemberitaan pada
bulan Sumut Pos jumlah
berita Waspada jumlah
berita
November 2005 -
2 Februari 2006
1 -
Maret 2006 2
1 April 2006
- 5
Agustus 2006 6
7 September 2006
12 10
Jumlah Berita 21
25
Pada pengamatan awal, peneliti menemukan adanya corak tersendiri pada pemberitaan masing – masing harian. Sumut Pos lebih menjaga adanya
kemungkinan pelaku yang lain serta dalang kerusuhan Poso. Sebaliknya Waspada
Universitas Sumatera Utara
seperti menutup kemungkinan itu, serta mengkaitkan masalah Tibo cs ini ke masalah SARA agama.
Berdasarkan uraian latar belakang di atas lah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian. Peneliti berusaha untuk menemukan bentuk – bentuk
pemberitaan yang dilakukan oleh kedua surat kabar terhadap Tibo cs, yang memuat ideologi masing – masing, dengan cara melakukan penafsiran –
penafsiran terhadap teks berita kedua media.
I.2. PERUMUSAN MASALAH