Pemberitaan Eksekusi Saddam Husein di Irak (Analisis Wacana Tentang Pemberitaan Eksekusi Saddam Husein di Irak pada Surat Kabar Kompas dan Waspada)

(1)

ANALISIS WACANA TENTANG EKSEKUSI SADDAM HUSEIN DI

IRAK PADA SURAT KABAR KOMPAS DAN SURAT KABAR

WASPADA

SKRIPSI SARJANA

DISUSUN

O

L

E

H

NAMA

:

LISTA PUSRIYANTI

NIM

: 030904054

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

MEDAN


(2)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

LEMBAR PERSETUJUAN

NAMA : LISTA PUSRIYANTI

NIM : 030904054

DEPARTEMEN : ILMU KOMUNIKASI

JUDUL SKRIPSI : Pemberitaan Eksekusi Saddam Husein di Irak

(Analisis Wacana Tentang Pemberitaan Eksekusi Saddam Husein di Irak pada Surat Kabar

Kompas dan Waspada)

Medan, September 2007

Pembimbing Ketua Departemen

(Drs. Hendra Harahap, MSi)

NIP 131 654 103 NIP 131 654 104

(Drs. Amir Purba, MA)

Dekan,

NIP 131 757 010


(3)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

LEMBAR PENGESAHAN

NAMA : LISTA PUSRIYANTI

NIM : 030904054

PROGRAM STUDI : ILMU KOMUNIKASI

JUDUL SKRIPSI : Pemberitaan Eksekusi Saddam Husein di Irak (Analisis Wacana Tentang Pemberitaan Eksekusi Saddam Husein di Irak pada Surat Kabar Kompas dan Waspada)

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan panitia penguji skripsi Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara Medan, pada:

Hari : Senin

Tanggal : 30 April 2007 Pukul : 10.00 Wib

Tempat : Ruang Sidang FISIP USU

Ketua : Dra. Mazdalifah, M.Si ( )

Anggota I : Dra. Fatma Wardy Lubis, MA ( )


(4)

ABSTRAKSI

Karya ilmiah ini merupakan sebuah penelitian yang dilakukan untuk menganalisis berita eksekusi Saddam Hussein yang terbit pada tanggal 30 Desember 2006 sampai 11Januari 2007. Adapun analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan metode Analisis Wacana dengan kerangka atau model penelitian Theo Van Leeuwen sebagai alat analisis.

Model ini digunakan terutama untuk melihat bagaimana seseorang atau kelompok (aktor) ditampilkan dalam pemberitaan, apakah sebagai pihak dominan atau marjinal. Model ini berdasarkan pada dua konsep utama dalam pembedahan teks berita yaitu eksklusi dan inklusi. Eksklusi adalah cara atau strategi yang digunakan media untuk mengeluarkan aktor dari pemberitaan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan aktor tersebut. Eksklusi dilakukan dengan cara pasivasi, nominalisasi, dan penggantian anak kalimat. Sementara inklusi adalah cara yang dipakai untuk memasukkan aktor atau pelaku ke dalam pemberitaan. Proses inklusi dilakukan dengan cara antara lain: diferensiasi-indiferensiasi, objektifikasi-abstraksi, nominasi-kategorisasi, nominasi-identifikasi, determinasi-indeterminasi, assimilasi-individualisasi, dan asosiasi-disosiasi.

Analisis ini meliputi tiga belas teks berita yaitu pemberitaan-pemberitaan eksekusi Saddam Husein mulai dari waktu kemungkinan Saddam dieksekusi, kecaman terhadap eksekusi Saddam, kemarahan salah satu kelompok di Irak atas eksekusi tersebut, video eksekusi yang illegal, pihak-pihak yang pro dan kontra atas eksekusi Saddam.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah seluruh proses eksklusi dilakukan oleh pihak AS dan pemerintahan baru Irak yang tentu saja menguntungkan pihak tersebut. Sementara pihak inklusi yang dilakukan oleh AS dan pemerintahan Irak yang kebanyakan kaum Syiah.

Selain itu dalam penelitian ini peneliti juga menemukan kesalahan tulisan yang cukup beresiko karena menyalahkan fakta. Hal ini terdapat dalam berita yang menyebutkan Saddam membunuh 148 warga Sunni, pada kenyataannya yang terbunuh adalah warga Syiah.


(5)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah dengan segala kerendahan hati penulis ucapkan puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayahnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul, Analisis Wacana tentang Eksekusi Saddam Husein di Irak Pada Surat Kabar Kompas dan Surat Kabar Waspada semoga bermanfaat bukan hanya sekedar tanggung jawab perkuliahan saja tetapi juga untuk pihak lain yang menggunakan skripsi ini sebagai referensi.

Penulis mencoba mengetahui bagaimana pemberitaan eksekusi Saddam dihadirkan pada Surat Kabar Kompas dan Surat Kabar Waspada. Skripsi ini penulis persembahkan kepada mama Rita Wati Hasibuan dan alm. Papa Muchlis yang tercinta untuk setiap nasehat dan kasih sayang yang diberikan. Selain itu terima kasih untuk adik-adikku tersayang, Dana, Rini, Putra, dan Haris selalu mendukung dan memberi semangat pada penulis.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik spiritual maupun material dari berbagai pihak, sehingga segala kesulitan dapat teratasi. Untuk itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Seluruh civitas akademika di FISIP USU, kepada Bapak Dekan, Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution MA.

2. Ketua Departemen Komunikasi, Bapak Drs. Amir Purba MA dan Sekretaris Departemen Komunikasi, Ibu Dra. Dewi Kurniati, MSi.


(6)

5. Keluarga besar di P. Sidimpuan atas doa dan dukungan yang selalu diberikan. 6. Keluarga besar Pers Mahasiswa Suara USU, semua pengurus Risna, Nanda, Mita,

Ali, Imul. Tak lupa kru perusahan Eka, Ucy, Wina, Maya, Dewi N, Chabet, dan Zona semoga tetap jaya. Rekan-rekan Suara USU, B Aci, Mona, Fajar dan semua rekan yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.

7. Kawan-kawan di Kom’03, Rika, Sri, Yoyo, Dini, Icut, Khairi (thanks for skripsinya), Adit, Dodi, Indi, Liston dan banyak lagi.

8. Sahabat dan teman tersayang Devi (thanks buat skripsinya dan dukungannya yang selalu diucapkan pada penulis), Rina dan Immi, semoga persahabatan kita tak pernah luntur.

9. Seorang Said Ossie, yang selalu mendampingi, memberi motivasi, semangat, dan menjadi inspirasi bagi penulis.

10. Setiap orang yang yang telah memberi masukan, bantuan, dan tauladan kepada penulis selama ini namun tidak tersebutkan di sini.

Tidak ada manusia yang sempurna dan kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Penulis sadar masih ada kekurangan di sana sini. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan oleh penulis.


(7)

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERSEMBAHAN

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

BAB I Pendahuluan ... 1

1. 1. Latar Belakang ... 1

1. 2. Perumusan Masalah ... 8

1. 3. Pembatasan Masalah ... 8

1. 4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9

I. 4. 1. Tujuan Penelitian ... 9

I. 4. 2. Manfaat Penelitian ... 9

BAB II URAIAN TEORITIS ... 10

2.1. The Media War Against Iraq ... 10

2. 2. The Media War Against Bush ... 14

2. 3. Perang Melawan Terorisme ... 15

2. 4. Terorisme Internasional ... 21

2. 5. Teroris, Media, dan Pemerintah ... 26

2. 6. Netralitas Wartawan Peliput Perang ... 35

2. 7. Liputan Perang di Media di Indonesia ... 39

2. 8. Ideologi oleh Marx dan Engels ... 41

2. 9. Ideologi Media Massa ... 43

2. 10. Pendekatan Hegemoni Gramsci ... 45

BAB 3 METODOLOGI ... 49

3.1. Metodologi Penelitian... 49

3. 1. 1. Tipe Penelitian ... 49

3. 1. 2. Subjek Penelitian ... 64

3. 1. 3. Kerangka Konsep ... 67

3. 1. 4. Model Teoritis ... 67

3. 1. 5. Defenisi Operasional ... 68

3.2. Metode Pengumpulan Data ... 69

3. 2. 1. Populasi dan Sampel ... 69

3. 2. 2.Unit dan Level Analisis ... 70


(8)

BAB IV Pembahasan ... 71

4.1. Data dan Analisis Berita Surat Kabar Kompas ... 73

4.2. Data dan Analisis Berita Surat Kabar Waspada ... 90

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 111

5. 1. Kesimpulan ... 111

5. 2. Saran ... 113

DAFTAR PUSTAKA ... 114 DAFTAR RIWAYAT HIDUP


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 4. 1. Berita Eksekusi Saddam pada surat kabar Kompas

... 73 Tabel 4. 2. Berita Eksekusi Saddam pada surat kabar Waspada

... 90 Tabel 4. 3. Ringkasan hasil penelitian analisis wacana berita Eksekusi

Saddam pada surat kabar Kompas

... 106 Tabel 4. 4. Ringkasan hasil penelitian analisis wacana berita Eksekusi

Saddam pada surat kabar Waspada

... 108


(10)

ABSTRAKSI

Karya ilmiah ini merupakan sebuah penelitian yang dilakukan untuk menganalisis berita eksekusi Saddam Hussein yang terbit pada tanggal 30 Desember 2006 sampai 11Januari 2007. Adapun analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan metode Analisis Wacana dengan kerangka atau model penelitian Theo Van Leeuwen sebagai alat analisis.

Model ini digunakan terutama untuk melihat bagaimana seseorang atau kelompok (aktor) ditampilkan dalam pemberitaan, apakah sebagai pihak dominan atau marjinal. Model ini berdasarkan pada dua konsep utama dalam pembedahan teks berita yaitu eksklusi dan inklusi. Eksklusi adalah cara atau strategi yang digunakan media untuk mengeluarkan aktor dari pemberitaan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan aktor tersebut. Eksklusi dilakukan dengan cara pasivasi, nominalisasi, dan penggantian anak kalimat. Sementara inklusi adalah cara yang dipakai untuk memasukkan aktor atau pelaku ke dalam pemberitaan. Proses inklusi dilakukan dengan cara antara lain: diferensiasi-indiferensiasi, objektifikasi-abstraksi, nominasi-kategorisasi, nominasi-identifikasi, determinasi-indeterminasi, assimilasi-individualisasi, dan asosiasi-disosiasi.

Analisis ini meliputi tiga belas teks berita yaitu pemberitaan-pemberitaan eksekusi Saddam Husein mulai dari waktu kemungkinan Saddam dieksekusi, kecaman terhadap eksekusi Saddam, kemarahan salah satu kelompok di Irak atas eksekusi tersebut, video eksekusi yang illegal, pihak-pihak yang pro dan kontra atas eksekusi Saddam.

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah seluruh proses eksklusi dilakukan oleh pihak AS dan pemerintahan baru Irak yang tentu saja menguntungkan pihak tersebut. Sementara pihak inklusi yang dilakukan oleh AS dan pemerintahan Irak yang kebanyakan kaum Syiah.

Selain itu dalam penelitian ini peneliti juga menemukan kesalahan tulisan yang cukup beresiko karena menyalahkan fakta. Hal ini terdapat dalam berita yang menyebutkan Saddam membunuh 148 warga Sunni, pada kenyataannya yang terbunuh adalah warga Syiah.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Irak terletak di sebelah Barat Daya Asia. Dahulu Irak dikenal dengan sebutan Mesopotamia kuno yang artinya daerah yang terletak antara dua sungai. Kawasan Irak menyimpan pelbagai masa gemilang dan sampai sekarang terus disenandungkan oleh para budayawan, seniman, dan ilmuan; mulai dari peradaban kuno Mesopotamia, Babilonia dengan taman gantungnya, dan Bagdad sebagai kota seribu satu malam Harun ar-Rasyid. Irak berpotensi menjadi sebuah negara terkaya di dunia, karena cadangan minyak bumi (nomor dua terbesar di dunia) dan gas alamnya yang melimpah (Al-Mudarris: 13; 2004)

Pada tahun 2003 transformasi politik yang terbesar di Amerika ialah invasi AS ke Irak dan aksi pendudukan yang dilakukannya atas negara itu. Setelah berbulan-bulan melakukan perang propaganda yang luas terhadap Saddam, akhirnya pada tanggal 20 Maret 2003, AS menyerang Irak. Dalam kurun waktu 21 hari, pasukan AS berhasil menaklukkan Baghdad. Serangan AS dan Inggris ke Irak tidak mendapatkan restu dari Dewan Keamanan PBB, meski Washington dan London telah melakukan berbagai tekanan terhadap lembaga tersebut.

AS di bawah kepemimpinan George W. Bush telah menumbangkan rezim Irak dan menduduki sebuah negara anggota PBB. Aksi sepihak AS tersebut, merupakan tantangan terbesar yang dihadapi PBB untuk mempertahankan piagam organisasi dunia ini. Paruh kedua tahun 2003 merupakan ajang perang seru yang dihadapi pasukan


(12)

Amerika di Irak. Dalam tempo ini lebih dari 400 tentara Amerika dan Inggris tewas di negeri 1001 malam itu. Penangkapan Saddam pada penghujung tahun 2003, tidak berhasil meredam aksi gerilya terhadap pasukan pendudukan di Irak.

Akibat kinerja Gedung Putih dan Pentagon dalam masalah Irak, popularitas George W. Bush yang setelah peristiwa 11 september 2001 pernah menembus level 85 persen, turun secara drastis sampai di bawah level 50 persen, apalagi setelah terungkapnya fakta bahwa Irak tidak memiliki senjata pemusnah massal. Padahal Bush dan para penasihatnya menjadikan isu senjata pemusnah massal di Irak sebagai alasan utama perang. Meningkatnya angka kematian tentara Amerika dan bertambahnya biaya perang merupakan satu lagi penyebab menurunnya popularitas Bush di penghujung tahun 2003. (www.voaindonesia.com)

Pemerintah Amerika Serikat (AS) tak pernah segembira ini saat mendengar kabar eksekusi mati manusia. Begitu Saddam meninggal tercekik di tiang gantungan, lalu dimakamkan di Ouja desa kelahirannya, Washington langsung melontarkan pujian, menyebut peristiwa itu sebagai tonggak bagi pemulihan Irak.

Tonggak pemulihan? Kematian ”jagal dari Tikrit” dan rencana Presiden AS, George W Bush, untuk meningkatkan jumlah tentaranya di Irak justru akan meningkatkan suhu kekerasan di negeri itu. Apalagi, kematian Saddam begitu provokatif: Digantung pada saat Muslim di Irak merayakan Idul Adha.

Sidang-sidang Saddam saja sudah terbukti membuat Irak kian membara. Kepastian hukuman mati untuknya pun memperburuk situasi. Jumlah korban sipil pada empat bulan terakhir mencapai separuh dari jumlah total korban pada 2006. Korban


(13)

sampai pada Desember 2006 mencapai 1.930 orang, atau tiga setengah kali lipat jumlah korban pada Januari 2006.

Rencana Bush untuk meningkatkan kekuatan militernya di Irak tak memicu harapan baru apapun. Agresi sejak Maret 2003 di Irak membuktikan kekuatan pasukan tak ada artinya. Hasil penelitian Lancet di negeri itu menunjukkan korban agresi, hingga Juli 2006, mencapai 655 ribu orang. Pasukan AS dan sekutunya pun tak berdaya apa-apa. Justru 3.000 orang serdadu AS turut tewas di Irak.

Pasukan AS dan sekutunya–yang tak pernah mendapat mandat sah dari manapun–telah kalah di Irak. Eropa cenderung berubah sikap. Sebagian negara lain pengirim pasukan malah sudah menarik diri. Tinggal pemerintah AS yang masih menunjukkan ego tak mau menerima kekalahan. (Republika: 3 Januari 2007)

Dunia seperti terluka, murung, kecewa, terguncang, gusar, dan tercekam atas hukuman gantung terhadap mantan Presiden Irak Saddam Hussein. Semasa berkuasa, Saddam memang dikenal kejam, dan karena itu banyak dikecam. Namun, dunia tidak bisa menerima pula kalau tokoh berusia 69 tahun itu akhirnya dihukum secara keji dan mengerikan.

Momentum pelaksanaan hukuman mati itu sendiri tidak tepat, mengundang kecaman karena dilakukan di tengah perayaan Idul Adha hari Sabtu 31 Desember. Kekhusyukan, sukacita, dan makna pengampunan atas perayaan itu ternoda. Golongan Sunni Irak, yang menjadi basis sosial Saddam, benar-benar terpukul dan terhina.

Saddam yang gagah perkasa selama berkuasa tahun 1979-2003 tiba-tiba tidak berdaya, dihuku m di tiang gantung atas tuduhan melakukan kejahatan kemanusiaan,


(14)

antara lain memerintahkan pembantaian 148 warga Syiah tahun 1982. Tokoh yang mengimpikan kembalinya kejayaan dan keagungan Babilonia itu juga dituduh bertindak represif, yang menewaskan ribuan warga Kurdi dan oposisi.

Sekalipun hukuman mati bagi Saddam sudah diramalkan, reaksi orang tetap saja terkejut dan terguncang. Bagaimanapun Saddam pernah menjadi pemimpin bangsa Irak. Terlepas dari segala kesalahannya, hukuman atas Saddam terasa tragis karena Amerika Serikat dianggap berada di balik proses pengadilan penuh kontroversial atas mantan penguasa Irak itu.

Sejak awal invasi AS Maret 2003, Saddam memang dijadikan sasaran utama. Invasi AS tidak hanya menjatuhkan Saddam dan membuat Irak porak poranda, tetapi juga mendorong negeri itu ke dalam bahaya perang saudara antara kaum Syiah dan Sunni.

Kejatuhan Saddam maupun ancaman perang saudara Irak terasa semakin tragis karena alasan AS untuk menyerang negeri itu terbukti tidak benar (Mahmud: 60; 2007). Pemerintahan Presiden AS George Walker Bush menyatakan, Saddam terbukti tidak terkait dengan serangan fantastis teroris 11 September 2001 di AS. Juga tidak terbukti Irak memiliki program senjata nuklir tetapi ia malah dihukum mati. Padahal, hukuman mati bertentangan dengan prinsip Hak Azasi Manusia. Bukankah Amerika Serikat menganggap dirinya selain kampiun demokrasi juga kampiun HAM? (Kompas, 3 Januari 2007)

Eksekusi hukuman gantung yang diterima Saddam tidak terlalu digembar-gemborkan dalam pemberitaan media. Media bukanlah sekadar saluran yang bebas, ia


(15)

juga subjek yang mengkonstruksikan realitas. Lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Seperti dikatakan Tonny Bennet, media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefenisikan realitas sesuai dengan kepentingannya.Titik penting dalam memahami media menurut paradigma kritis adalah bagaimana media melakukan politik pemaknaan. Makna, tidaklah secara sederhana dapat dianggap, reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan sosial (social struggle), perjuangan dalam memenangkan wacana. Oleh karena itu, pemaknaan yang berbeda merupakan arena pertarungan dimana memasukkan bahasa di dalamnya. (Eriyanto, 2001: 36). Adalah ideologi wartawan, kondisi serta konteks politik, sosial, dan ekonomi sangat mempengaruhi ketika dilakukan penafsiran.

Media bukan entitas murni dalam menjalankan tugasnya, dia tidak dapat bersifat objektif karena masing-masing media. Dalam hal ini keseluruhan pihak yang ada di dalamnya, seperti wartawan, redaksi, pemilik modal, tidak dapat terlepas dari subjektifitasnya.

Saddam Hussein Abd al-Majid al-Tikritصدام حسينعبد المجيد

Saddām Husayn Aabdu-Al-majīd al-tikrītī) ;

tampil sebaga tertangkap oleh pasukan koalisi saat Arab, nama Saddam berarti orang yang keras kepala atau dia yang menantang (di Irak nama ini juga digunakan sebagai istilah untHussein (juga dibaca Husayn dan Hussain) adalah nama kecil ayahnya, Abd al-Majid adalah nama kakeknya, dan at-Tikriti berarti ia dilahirkan dan dibesarkan di (atau dekat) biasa dipanggil Saddam Hussein, atau hanya Saddam untuk lebih singkatnya.


(16)

Kekuasaannya berakhir setelah dipimpin menganjurkan Saddam memainkan peranan penting dalam berkuasa di negara itu.

Sebagai presiden, Saddam menciptakan pemerintahan ya mempertahankan kekuasaannya melalui mengancam, khususnya gerakan yang muncul dari kelompok-kelompok etnis atau keagamaan yang memperjuangan ia dianggap sebagai pahlawan yang populer di antara banyak bangsa Arab karena berani menantang memandang Saddam dengan perasaan curiga, khususnya setelah

Saddam ditangkap oleh pasukan-pasukan AS pada

Pada melaksanakan vonis yang telah dijatuhkan. Pada dieksekusi. Dua minggu kemudian, tepatnya pada pembantunya yait


(17)

Barzan yang merupakan saudara tiri Saddam dan berbadan gem dari badannya saat menjalani eksekusi itu.

Saddam disingkirkan oleh tahun pada menara kembar WTC runtuh akibat ditabrak dua pesawat, sementara sebuah pesawat lain menerjang Departemen Pertahan Amerika Serikat di Afganistan jatuh, pun demikian dengan Saddam Hussein di Irak. Keduanya dianggap sebagai sponsor

Saddam yang bersembunyi di bungker bawah tanah ditangkap pasukan gabungan Amerika Serikat pada berganti. Pemerintahan interim (sementara) dipimpi dari s

Setelah melakukan mogok makan pada pengadilan yang digelar pada keterlibatannya dalam kasus pembunuhan warga Syiah tersebut. Secara empiris, peneliti melihat adanya bias pemberitaan yang tidak objektif, melakukan delegitimasi atau legitimasi pada objek berita, serta pemakaian kata-kata yang merugikan objek berita.


(18)

Dari permasalahannya itulah, peneliti merasa tertarik untuk meneliti bagaimana posisi serta ideologi media dalam merepresentasikan kasus eksekusi Saddam Husein lewat pemberitaannya di Surat Kabar Harian KOMPAS dan WASPADA. Dalam penelitian ini, peneliti memilih Surat Kabar KOMPAS dan WASPADA sebagai bahan penelitian dengan pertimbangan kemapanan secara ekonomis dan jangkauan sirkulasi surat kabar tersebut. Seperti yang telah kita ketahui, Surat Kabar Harian KOMPAS termasuk surat kabar berskala nasional sedangkan Surat Kabar Harian WASPADA termasuk koran lokal di Medan

1.2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan yang menjadi permasalahan adalah sebagai berikut: “ Bagaimana Pemberitaaan kasus eksekusi Saddam Husein di Irak dalam surat kabar harian KOMPAS dan WASPADA?”

1.3. PEMBATASAN MASALAH

Untuk menghindari ruang lingkup penelitian yang terlalu luas, maka peneliti merasa perlu untuk membuat pembatasan masalah agar menjadi lebih jelas. Pembatasan masalah tersebut sebagai berikut:

a. Penelitian ini hanya dilakukan pada harian KOMPAS dan WASPADA. b. Penelitian dilakukan pada pemberitaan mengenai eksekusi Saddam di Irak. c. Penelitian dilakukan pada berita-berita terbitan 30 Desember 2006-11 Januari

2007 yang memuat tema berita yang sama pada kedua surat kabar tersebut dalam kurun waktu tidak lebih dari tiga hari.


(19)

1.4. TUJUAN dan MANFAAT PENELITIAN

1.4.1 Tujuan Penelitian

a. Untuk melihat bagaimana wacana tentang eksekusi Saddam Hussein dihadirkan dalam media massa, khususnya surat kabar Harian KOMPAS dan WASPADA.

b. Untuk mengetahui ideologi apa yang bermain di balik konstruksi berita serta bagaimana posisi kedua surat kabar.

c. Untuk mengetahui makna yang tersirat/laten yang tidak tampak secara nyata dalam pemberitaan kasus Eksekusi Saddam Husein.

d. Untuk melihat perbandingan pola pemberitaan kasus Eksekusi Saddam Hussein di Harian KOMPAS dan WASPADA.

1.4.2 Manfaat penelitian

a. Secara akademis, penelitian diharapkan dapat memperkaya khazanah penelitian komunikasi khususnya penelitian tentang analisis wacana.

b. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan analisis wacana, wawasan serta pengalaman ilmu peneliti khususnya di bidang jurnalistik.

c. Secara praktis, penelitian ini dapat menjadi bahan masukan demi pertimbangan serta peningkatan kualitas isi berita.


(20)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1The Media War Against Iraq (Perang Media Melawan Irak)

Media tidak pernah sangat berpengaruh seperti ini dalam memprovokasi peperangan melawan masyarakat yang tidak bersalah. Media dan pemerintah seolah menghalalkan perang. Sejak 1991, media kampanye dibentuk dan mengatur psikologi peperangan melawan masyarakat Irak.

Manusia adalah satu-satunya spesies yang mampu mengatur dan membuat perang dengan membinasakan manusia lain, dengan pertimbangan yang sangat tidak cerdas dan diragukan. Perang yang kerap kali terjadi sebenarnya tidak terlalu perlu. Manusia mengembangkan senjata pemusnah massal, yang dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan sumber daya alam yang begitu hebat hanya untuk bisa mempertahankan diri. Manusia lain yang memprotes peperangan dianggap tidak setia oleh media dan pemerintah.

Manusia mengembangkan suatu sistem komunikasi massa untuk menghasilkan informasi atau berita. Namun hanya sedikit yang bertanggung jawab atas sistem komunikasi itu, peperangan dimuliakan oleh kaum elit. Bahkan kaum ini juga yang mengendalikan pemerintah. Korban yang berjatuhan baik masyarakat sipil ataupun militer tidak pernah ditampilkan di layar televisi. Peperangan di Irak tidak perlu diabadikan oleh kaum elit bahkan menutupinya. (Ghali 2004)

Perang teluk di Irak pada tahun 1991, memakan korban masyarakat sipil dan kehancuran wilayah itu sendiri. Perang media pertama dimulai seolah peperangan itu


(21)

hanya sebuah permainan elektronik di layar televisi yang menyebar ke seluruh dunia. Tidak pernah disiarkan korban yang berjatuhan. Juga tidak pernah disiarkan bentuk senjata perang yang digunakan (AS) Amerika Serikat untuk menghancurkan Irak. Adalah beberapa senjata dan peledak yang dilarang oleh PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa). Pada kenyataannya beribu-ribu rakyat Irak yang tak bersalah dan juga tentaranya terbunuh dalam perang tersebut. Amerika Serikat tidak memperkenankan media manapun untuk menyaksikan peperangan kecuali berita-berita yang mendukung langkah-langkah Amerika Serikat (Al Mudarris:150; 2004)

Peperangan di Irak tidak akan pernah diakhiri. Amerika dan Inggris masih melanjutkan peperangan yang tidak diumumkan pada dunia. PBB akan membayar kerugian material yang telah merenggut nyawa tiga perempat dari satu juta anak-anak Irak. Prof.Joy Gordon Fairfaid menyebut kerugian material itu sebagai ”senjata pemusnah massal” yang telah dirancang untuk mengisolasi Irak dari jalur perdagangan dunia luar dan menghancurkan infrastruktur di Irak. Setelah 13 tahun mengalami kerugian besar dan kehancuran oleh bom yang meledak setiap minggunya. Infrasruktur, ekonomi dan standar hidup dihancukan oleh AS dan Inggris. (Joy Gordon, Harper’s magazine; 2002).

Mainstrem media adalah media yang secara cepat memindahkan penderitaan

rakyat Irak dari pendengar barat. Media menganggap Irak hanya seorang Saddam dan tidak ada yang memperhatikannya. Lebih dari 10 tahun, AS telah sigap mengejar suatu kebijakan yang membinasakan sistem perawatan air di Irak, menghancurkan pengetahuan dan hidup rakyat Irak. PBB telah memperkirakan bahwa lebih dari 500.000 anak-anak di Irak meninggal dunia sebagai kerugian perang dan 5000 anak akan meninggal setiap bulannya karena alasan ini (J.Nagy; The Secret Behind the Sanction;


(22)

2001). Mainstrem media memberikan bahwa semua itu adalah kesalahan Saddam dan Al Jazeera.

Pada tgl 11 September 2001, administrasi AS mendapat kesempatan emas yang disebut Condoleezza Rice suatu kebijakan serangan pencegahan terhadap negara-negara kulit hitam. Tujuannya adalah untuk mendominasi kekuatan militer dan mengendalikan sumber daya dunia itu untuk AS dan kaum elit barat. Afganistan dan Irak ditetapkan sebagai target dan kemudian dilakukan agresi oleh Amerika.

Pada kasus Irak, tidak ada mata rantai yang menghubungkan perang Irak dengan peristiwa 11 September dan saluran teroris manapun. Karena Irak adalah jantung kekayaan dunia Arab dan nasionalisme Arab. Kedua hal ini menurut Wolfowitz harus dikendalikan.

Perang di media dimulai sebelum perang nyata terjadi. Virginia Tilley mengatakan di Fox News, ada golongan pria intelektual yang menyediakan kekuatan yang tidak dapat dipertanyakan. Seperti Bernard Lewis, Jerry Falwell, dan Christopher Hitchen. Pasti telah mengemukakan psikologi sosial kekerasan tidak bisa dipisahkan dari ilmu agama Islam dan pikiran Arab. Air mata patriotik dirayakan militer AS dan mungkin sebagai kekuatan emas yang menentang keganasan orang Arab.

Irak adalah target yang mudah, sebab pendapat publik telah berkurang dan siap untuk lebih peka. Kebohongan dibuat dan informasi tumpang tindih kemudian berkampanye melawan Irak setelah lari dari perang melawan Afganistan. Kebanyakan orang di dunia kecuali AS sedang melawan perang. Perasaan penolakan perang ada 92-94% oleh Spayol, Turki dan Bulgaria. Bagaimanapun sangatlah penting untuk menjelaskan salah persepsi dari media kampanye yang sudah disebarluaskan sehingga membentuk pendapat umum di AS.


(23)

Wartawan mainstrem media penuh kesetiaan. Jika ada perasaan menolak perang maka akan dihukum karena tidak cinta tanah air. Wartawan menjadi agen propaganda melangkah melewati di sepanjang tangga kejujuran.

Perang di Irak tidak perlu membinasakan masyarakat dan negara itu sendiri. Semua alasan untuk perang sudah diketahui tidaklah benar dan semuanya palsu. Seperti negara barat dan AS khususnya, mereka berhak untuk mempertahankan diri. Begitu juga Israel yang berhak mempertahankan dirinya melawan Palestina yang tidak bersalah dan terus menerus menerornya. Namun hak itu tidak diberikan pada Irak.

Rasisme adalah juga media dan perkakas perang bagi pemerintah. Irak disebut sebagai penipu dan negara teroris Islam dengan mengenyampingkan fakta bahwa tidak ada hubungan Irak dengan terorisme yang ada di AS atau di Eropa. Karena rasis juga adalah salah satu alasan AS dan Inggris untuk memerangi Irak.

Pengingkaran media juga adalah bentuk lain dari perang. Hanya satu wartawan jujur, Seymour Hersch yang membongkar penyalahgunaan dan penyiksaan narapidana Irak oleh tentara AS ketika perang di Irak. Fasisme berkembang seiring teknologi. Penyensoran berita dan propaganda perang menjadi tren di Holywood.

Presiden AS meminta maaf atas penderitaan dan teror angkatan perangnya kepada masyarakat Irak dengan tidak sungguh-sungguh dan terkesan lucu. Permintaan maaf itu tidak dapat mengubah apa yang sudah terjadi terhadap rakyat Irak. Jika Bush memang tulus meminta maaf ia harus menarik semua pasukannya dan mengganti semua kerugian yang diderita rakyat Irak. Telah banyak darah rakyat Irak tertumpahkan. (Ghal


(24)

2.2The Media War Against Bush (Perang Media Melawan Bush)

Sebagai seorang Presiden, Bush telah berperang melawan teroris, demokratis, dan media besar sedang berperang melawan Presiden Bush. Kasus terakhir yang tepat adalah Presiden Bush tidak cepat memberi referensi pada Intel bahwa Irak sedang mencari Uranium di Niger. Administrasi Bush menyatakan tidak ada bukti yang kuat untuk melontarkan pertanyaan khusus itu. Inggris tidak sependapat karena Inggris mengaku telah melihat bahwa bukti itu benar.

Setelah peristiwa 11 September, Presiden Bush mengatakan terorisme akan muncul secara samar-samar di hadapannya. Presiden Bush menamakannya Irak, Iran dan Korea Utara sebagai negara yang paling berbahaya, ”poros setan” (axis of evil) (Mahmud: 31; 2007). Karena ketiganya sedang mengembangkan program senjata pemusnah massal.

Ada alasan politis mengapa Bush mengupayakan perang yang penuh resiko. Karena ia merasa sangat berbahaya ketika berhadapan dengan teroris yang memiliki senjata pemusnah massal. Senjata yang mampu meledakkan New York atau daerah lain di Amerika maka Bush membasminya.

Saddam Husein adalah teroris paling berbahaya menurut Bill Clinton dan administrasinya. Pada tahun 1998, Clinton mengatakan bahwa Saddam memiliki dan sedang mengembangkan senjata pemusnah massal dan akan digunakan pada suatu hari nanti.

Tidak ada orang maupun media yang menuduh Clinton memanipulasi data Intel. Juga tidak ada media yang berani menuduh Clinton merekayasa data untuk perang melawan Serbia. Ketika perang usai tidak pernah ditemukan bukti yang jelas atas kekejaman yang dilakukannya. Departemen AS juga menaruh Irak dalam daftar negara


(25)

terjahat yang telah mensponsori terorisme selama bertahun-tahun, bahkan sebelum Bush menjadi presiden.

Ungkapan pasukan Intel yang paling jelas adalah bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal. Hal itu terlihat pada Web CIA dan disebarkan pada bulan Oktober 2002. Pasukan Intel juga menuduh Irak masih melanjutkan program senjata pemusnal massal yang menggunakan bahan kimia dan kemungkinan terdapat nuklir pada senjata itu. Setelah meningg alkan senjata biologis.

Sejauh ini pengaruh media sedang bekerja. Popularitas Bush menurun drastis sebesar 21 poin dari 74% menjadi 53% pada bulan April akibat perang di Irak. Sebanyak 89% persatuan wartawan memilih Bill Clinton sebagai lawannya daripada Bush. (Ruddy; 2003)

2.3 Perang Melawan Terorisme (War Against Terorism)

Peristiwa peledakan gedung World Trade Centre (WTC) di New York, 11 September 2001, telah menjadikan terorisme dari isu lunak (soft issues) menjadi isu strategis (strategic issue). Peristiwa tersebut benar-benar dijadikan alat legitimasi dan justifikasi bagi Amerika untuk menekan dan menghancurkan gerakan terorisme. Hal ini membawa kemenangan diplomatik Amerika, dimana Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi no. 1373 yang mendasari perang global melawan terorisme.

Seiring perjalanan waktu, sikap go it alone actions dan a la carte diplomacy dalam rangka mengamankan kepentingan Amerika, mendorong Amerika melakukan review and adjustment dalam kebijakan politik luar negerinya, terutama di bidang


(26)

menonjolnya unilaterilisme dalam sistem internasional, sebagaimana terlihat dari penerapan doktrin Amerika tentang pre-emptive war. Kebijakan Amerika tersebut tentu saja mendapat kritikan tajam dan membuat negara-negara lainnya menjadi tidak sepaham lagi dengan tindakan yang telah dilakukan oleh Amerika dalam memerangi terorisme.

Pemerintahan Bush mengatakan bahwa tragedi 11 September adalah poin yang mengubah pikirannya tentang Irak. Irak dilukiskan sebagai sesuatu yang paling berbahaya bagi keamanan nasional AS. Alasan-alasan yang dikemukakan pemerintahan Bush berkaiatan dengan perangnya terhadap Irak telah berubah dari isu terorisme menjadi isu senjata pemusnah massal hingga alasan mengurangi penderitaan rakyat Irak. Ada lima alasan rasional yang dikemukan oleh penasihat senior (Cheney, Rumsfeld dan Wolfowiz) dan presiden Bush antara lain:

1. Untuk membersihkan kekacauan yang ditinggalkan pemerintahan Bush yang pertama ketika tahun 1991. Pemerintahan tersebut membiarkan Saddam Husein mengkonsolidasi kekuatan dan membunuh orang-orang yang melawan kediktatorannya setelaha perang Irak-Amerika pertama.

2. Untuk memperbaiki posisi stsrategis Israel dengan menyingkirkan seluruh permusuhan militer.

3. Menciptakan sebuah demokrasi Arab yang bisa dijadikan teladan bagi Negara-negara Arab lain yang saat ini terancam perselisihan internal terutama Mesir dan Arab Saudi

4. Mengizinkan penarikan mundur pasukan Amerika Serikat dari Arab Saudi (setelah 12 tahun berada di sana) dimana mereka dikerahkan untuk menghadapi


(27)

militer Irak yang merupakan sumber ancaman Anti Amerika terhadap rezim pemerintahan di Arab.

5. Menciptakan sumber minyak lain bagi pasar Amerika dan mengurangi ketergantungan akan pasukan minyak dari Arab Saudi yang suatu saat nanti mungkin akan mengalami keterpurukan.

Keputusan untuk menggempur Irak sebagian besar dilakukan secara unilateral (sepihak) adalah keliru dan menelan biaya yang cukup besar. (Clarke; Agains All Enemies; 258)

Peristiwa peledakan bom London, dimanfaatkan dengan baik oleh Presiden Amerika, George W Bush, untuk melanjutkan kebijakan perangnya melawan teroris. Propaganda Amerika yang dilakukan selama ini telah berhasil mempengaruhi opini masyarakat internasional, tentang bahaya ancaman terorisme bagi keamanan dunia internasional sebagai tragedi kemanusian. Kegigihan Bush dalam mempertahankan kebijakannnya melawan terorisme, terlihat dari pernyataannya pascapeledakan bom London. “Perang terhadap terorisme akan berlanjut. Kami tidak akan menyerah kepada terorisme. Kami mencari mereka dan mengadili mereka”. Namun, pernyataan tersebut bukanlah hal yang baru, bahkan Bush dituduh membonceng setiap kejadian teror untuk kepentingan politik Amerika semata. Seperti yang dikemukakan oleh Noam Chomsky dalam bukunya Pirates and Emperors: Internasional Terorism in the Real World. Bahwa, Amerika menggunakan isu terorisme sebagai instrumen kebijakan politik luar negerinya. Sehingga, menjadi alat pembenaran bagi Amerika untuk memerangi negara atau kelompok yang berseberangan dengan kebijakan yang ditempuh oleh Washington.


(28)

Disamping itu, reaksi pun bermunculan dari negara-negara yang sudah mendapat maupun merasa terancam akan aksi para teroris. Berbagai kepala negara dunia mengutuk tindakan oknum yang mengatasnamakan kelompok tertentu sebagai pelaku dari tindakan teror tersebut. Pengakuan kelompok Al-Qaeda Eropa yang bertanggungjawab terhadap peristiwa tersebut, nampaknya ditanggapi dengan hati-hati oleh para pemimpin Inggris. Perdana Menteri Inggris Tony Blair dan Menlu Jack Stan, dalam memberikan keterangan tidak mengdiskreditkan dan mengkaitkan kelompok atau agama tertentu dibalik peristiwa tersebut. Namun demikian, Pemerintah Inggris tetap mengambil langkah politik, mengejar pelaku pemboman untuk membuktikan siapa yang harus bertanggungjawab dibalik tindakan teror tersebut.

Melihat kondisi internasional sekarang ini, yang ditandai semakin maraknya tindakan teror, membuat banyak negara melakukan perubahan kebijakan nasional melalui strategi pembentukan hukum baru maupun undang-undang anti terorisme untuk melindungi warga negaranya dari ancaman teroris. Namun, banyak pula dari penguasa memanfaatkan isu tersebut sebagai alat pembenaran untuk menghabisi lawan-lawan politiknya dengan dalih terorisme. Sehingga, pendefinisian tentang terorisme itu sendiri menjadi kabur.

Di sisi lain tindakan penguasa tersebut didukung pihak Barat terutama Amerika, sebagai perwujudan dari kepentingan politik globalnya untuk mempertahankan hegemoninya. Seperti yang dikatakan Richard Falk, seorang professor hubungan internasional. Kebijakan luar negeri Amerika menampilkan secara ekslusif kebenaran menurut mereka, gambaran legal dan moral sepihak, sehingga nilai-nilai Barat seolah paling agung dan ketika merasakan ancaman, mereka tergambarkan sangat lemah, menderita, yang akhirnya menjadi pembenaran bagi kekerasan tanpa batas.


(29)

Masalah terorisme, akan menjadi persoalan yang sensitif karena akan menimbulkan prasangka atau stereotipe dari tindakan teror tersebut. Terorisme dari sebagian kalangan dianggap merupakan strategi perlawanan akibat dari ketidakadilan dalam masalah sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum dari pihak penguasa. Jadi, tindakan tersebut sebagai wujud protes dan ketidakpuasan dari perilaku penguasa yang tertindas.

Media massa punya andil besar dalam mempopulerkan isu terorisme, dalam teori komunikasi, terdapat istilah yang sangat popular. “Siapa yang menguasai informasi dialah yang akan menguasai dunia”. Berdasarkan konsep tersebut, media massa saat ini mempunyai posisi yang sangat penting bagi semua pihak, karena posisinya mampu memberikan informasi kepada masyarakat yang membutuhkannya. Sehingga, dijadikan alat propaganda yang efektif, mengingat dampak yang ditimbulkan dari propaganda tersebut memiliki jangkauan yang luas dalam membentuk opini publik. Akibatnya, munculnya semacam fenomena, ‘Journalism stereotype’ yang sudah lebih dulu punya asumsi dan abstraksi dalam membingkai (framing) isu atau fakta dengan bingkai (frame) yang dipenuhi prasangka, sehingga informasi tersebut cenderung bias dan

bahkan tak jarang keliru dalam memahami terorisme.

Sebagai salah satu kasus menonjol di dunia pers akibat dari propaganda yang dilakukan media, terjadi pengadilan oleh media massa (trial by the press) terhadap pelaku yang diduga bertanggung jawab terhadap tindakan teror. Hal ini disebabkan adanya kepentingan ideologis-politik kelompok tertentu, media seringkali melakukan pengadilan terhadap seseorang dengan jalan pembunuhan karakter seseorang (character assassinations). Di mana, asas praduga tak bersalah (presumption of innocent) menjadi


(30)

end justifies the means) untuk membungkam lawan-lawan politiknya yang dianggap

berseberangan. Akibatnya pelaku teror yang dicurigai menjadi korban rekayasa, konspirasi, disinformasi, dan mispersepsi.

Kasus Peledakan bom WTC, tanpa melewati pengadilan, Amerika menuduh Osama bin Laden dengan Al-Qaedanya bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut. Dengan propaganda tak henti-hentinya, diperkuat sorotan media massa, membuat mata warga dunia pun menatap tajam eksistensi dan aktivitas kelompok-kelompok Islam. Media massa secara gencar melakukan reportase jurnalistik tantang aktivitas gerakan Islam. Kesan yang dimunculkan dalam media internasional adalah militansi dan ekstremitas. Akibatnya, muncul Islam phobia di tengah masyarakat dunia. Sehingga, masyarakat merasa alergi bahkan takut, ketika berinteraksi dengan wacana Islam ideologi. Ketika, masyarakat merasa takut terhadap Islam, maka secara otomatis masyarakat berupaya untuk tidak mengidentifikasikan diri sebagai muslim. Hal semacam ini akan melahirkan sikap apriori terhadap konsepsi politik Islam dan menciptakan masyarakat yang termarjinalisasi dan teralienasi secara politis.

Tidak sedikit media massa secara sadar atau tidak sudah tergiring genderang perang propaganda yang ditabuh Amerika. Kasus yang terjadi pada surat kabar New York Time dan majalah Time, dalam pemberitaan masalah terorisme menunjukkan bias.

Jadi, adagium the new source of power is information in the hand of many (bahwa sumber kekuatan baru adalah informasi yang ada di tangan banyak orang). Nampaknya menjadi kenyataan, media massa telah mampu membentuk opini publik dan tidak dapat dibendung. Sehingga, bias yang tersembunyi dan disengaja (hidden and intended bias) sulit dihindari, karena media juga membawa misi dari kelompok kepentingan tertentu


(31)

yang beroperasi di balik media, baik dari para elite politik, bisnis atau bahkan elit media itu sendiri.(Haditz:1-20; 2006)

2.4Terorisme Internasional

Wacana tentang terorisme tidak bisa dilepaskan dari awal mula kampanye perang melawan terorisme oleh Amerika Serikat. Serangan 11 September 2001 menjadi tonggak penting bagi pemerintahan sayap kanan konservatif George W Bush untuk mengabsahkan "perang melawan terorisme", yang ujung-ujungnya adalah pembasmian terhadap aktivitas-aktivitas bersenjata kelompok Al Qaedah dan teman-temannya, termasuk negara-negara yang dianggap mensponsori terorisme, yaitu Irak di bawah pemerintahan Saddam Hussein dan Afghanistan di bawah pemerintahan Talib.

Pada tahun 2001 Amerika mendeklarasikan kampanye perang melawan terorisme. Kampanye "perang melawan terorisme" oleh Amerika Serikat adalah produk ideologi sayap kanan. Harap dicatat bahwa dalam selubung ideologi, sebagaimana ditemukan oleh Karl Manheim, selalu ada ketidakpercayaan dan ketakutan terhadap pihak lain (the others).

Kampanye itu masih dibubuhi dengan atribut yang efektif: terorisme internasional sebagai ancaman global. Sebetulnya, sulit untuk menjustifikasi terminologi terorisme internasional sebagai ancaman global. Sebab, data-data bahkan data dari Departemen Pertahanan AS sendiri menunjukkan bahwa insiden-insiden teror pada skala domestik sebenarnya jauh lebih banyak dibandingkan insiden teror berskala internasional. Lalu, mengapa terorisme internasional menjadi ancaman? Jawaban cukup jujur sebenarnya sudah diberikan oleh Kementerian Luar Negeri AS dalam laporannya,


(32)

"Karena, terorisme internasional membawa dampak langsung terhadap Amerika Serikat." (Laporan Kementerian Luar Negeri AS, Review of Terrorism).

Lima tahun setelah perang melawan terorisme dikumandangkan, kampanye itu kini makin kuat menjadi "perang global melawan terorisme". Namun, lima tahun sejak saat itu, jawaban atas pertanyaan mendasar masih tetap belum tersedia secara memuaskan. Pertanyaan mengenai siapakah dan apakah terorisme itu, masih tetap menjadi sesuatu hal yang kabur.

Terorisme lebih banyak dikaitkan dengan kelompok-kelompok radikal Islam. Bahkan, Bush dalam pidatonya di Mongolia bulan lalu tegas-tegas menyamakan radikalisme Islam dengan komunisme.

Salah satu kesepakatan terminologi yang sangat ambigu adalah pernyataan bahwa: kekerasan tidak selalu identik dengan terorisme, sedangkan terorisme selalu mengandung unsur-unsur kekerasan. Terminologi ini sesungguhnya adalah suatu makna yang mengambang (floating meaning) dan karena itu juga belum memberikan batas-batas klasifikasi yang tegas antara teroris dan kelompok teroris di satu pihak dengan pelaku kekerasan dan kelompok bermodus kekerasan di pihak lain. Akibatnya, terorisme dengan mudah dijadikan atribut oleh siapa saja yang menjadi lawan terhadap kekerasan.

Pidato Bush di Mongolia itu adalah ungkapan paling tegas bahwa hal yang paling mendasari segala kebijakan dan tindakan Amerika Serikat mengenai terorisme internasional adalah ideologi hegemonik.

Berakhirnya ideologi seperti yang dikemukakan oleh Daniel Bell rupanya belum sepenuhnya benar. Sebaliknya, kini muncul kemasan baru ideologi dalam wajah terorisme. Repotnya lagi, wacana terorisme sebagai sesuatu yang nyaris identik dengan


(33)

kelompok Islam seolah menjadi narasi yang membingkai konstruksi pemikiran di era akhir abad ideologi ini.

Data-data kuantitatif, seperti yang juga dimiliki oleh Departemen Pertahanan AS dan Departemen Luar Negeri AS, menunjukkan hal yang sangat jauh berbeda. Kelompok-kelompok perjuangan yang menempuh modus kekerasan pada kenyataannya tersebar dan tumbuh di mana pun di dunia ini.

Di seluruh wilayah di dunia ini total ada 967 kelompok yang menggunakan cara-cara teror dan kekerasan untuk mencapai tujuan. Menarik untuk diamati bahwa Timur Tengah (dengan Al Qaedah sebagai tokoh utamanya) hanya "memiliki" 192 kelompok, dan Asia Tenggara (basis utama Jemaah Islamiyah) menjadi sarang hanya bagi 43 kelompok. Untuk memerangi terorisme dalam arti kata sebagai "kelompok kekerasan", tindakan-tindakan pre-emptive Amerika seharusnya juga difokuskan pada Amerika Latin, Afrika dan Asia Selatan.

Serangan kekerasan oleh kelompok-kelompok yang bermotif agama (di dalamnya bisa dimasukkan Al Qaedah atau pun Tentara Republik Irlandia ) adalah 1925 kasus. Jumlah itu kurang dari 10 persen dari seluruh kasus serangan kekerasan oleh berbagai kelompok paham lainnya. Jumlah insiden kekerasan justru paling banyak dilakukan oleh kelompok nasionalis/separatis (3.966) dan disusul kelompok komunis/sosialis (3.179).

Osama Bin Ladin beserta ribuan muslim pengikutnya direkrut oleh Amerika untuk mengobarkan "perang menumpas terorisme" melawan Rusia di Afghanistan. Sayangnya, tentara Rusia tidak bisa dikalahkan. Namun kemudian, Amerika dan sekutunya memutuskan untuk menumpas Osamah bin Ladin dan Al Qaedah. Ribuan pengikut Ladin tewas, tetapi tokoh ini masih dicari-cari oleh AS.


(34)

Lebih mengkhawatirkan lagi, 15.000 pejuang Ladin telah kembali ke Arab Saudi. Mereka menjadi ancaman serius bagi kepentingan strategis AS di Teluk. Kedua belah pihak kemudian mengekspor "perang" ini dalam skala internasional. Abu Muzab al-Zarqawi dalam pernyataan terbarunya mengemukakan, serangan kekerasan akan dilakukan di mana saja terhadap kepentingan AS. Sementara Bush sendiri sudah sedari awal menandaskan, ''you're with us or against us'' (Kalau tidak bersama kami, anda adalah musuh kami).

Secara teoritik, formulasi wacana itu disebut sebagai political discourse (diskursus politik). Diskursus dalam pengertian ini adalah sistem "praktik-praktik bermakna dan praktik-praktik pemaknaan" yang membentuk identitas subjek dan objek.

Diskursus selalu mencakup tiga elemen penting. Yakni, konstruksi antagonisme, dikotomi antara "pihak dalam" (insiders) dan "pihak luar" (outsiders), serta logika nodal points. Nodal points ini berfungsi untuk strukturisasi elemen-elemen ke dalam sistem makna. Nodal points menjadi signifiers (penanda) utama atau points reference (de capiton menurut Lacan) yang menyatukan sistem makna atau "rantai

signifikasi". Sebagai contoh, dalam wacana komunis di Eropa Timur, kata kebebasan, negara, dan demokrasi mendapat makna baru di sekitar kata "komunisme''. Dalam hal ini, komunisme berfungsi sebagai nodal point.

Begitu pula halnya dalam fenomena terorisme. Kata "terorisme" dan "perang melawan terorisme" menjadi nodal point atau titik awal referensi bagi makna kekerasan, pengeboman, radikalisme dan Islam. Diskursus politik terorisme kini makin jelas membentuk identitas subjek-objek, yakni Amerika Serikat dan sekutu sebagai subjek melawan Al Qaedah dan sekutunya sebagai objek.


(35)

Ideologi sebagai proses signifikasi berlangsung melalui dua tahap. Yakni, narrativization dan proses pengolahan (encoding-decoding) akal sehat publik, dengan

tujuan mengonstruksi makna khusus. Media massa berperan sangat besar dalam proses pengolahan akal sehat publik ini. Karena pada dasarnya, tujuan dari serangan teror adalah publisitas. Tidak heran apabila Margaret Thatcher, saat menjabat sebagai perdana menteri Inggris, mengatakan bahwa media massa adalah oksigen bagi terorisme.

Definisi terhadap terorisme yang berkembang saat ini bersumber dari definisi resmi AS. Menurut definisi Deplu AS, teroris mencerminkan suatu kelompok minoritas yang terdiri atas individu-individu yang sering kali fanatik di dalam kelompok-kelompok itu (kelompok-kelompok etnis, agama dan nasional).

Penyebutan kata teroris selalu dimunculkan oleh pihak berkuasa (pemerintahan) terhadap lawannya. Misalnya, Israel menyebut tindak kekerasan Palestina sebagai terorisme dan pelakunya sebagai teroris, Amerika Serikat menyebut Abu Musab al-Zarqawi sebagai teroris dan menolak menggunakan kata insurgency (perlawanan). Pada galibnya, kedua kelompok yang bertikai itu sama-sama menggunakan kekerasan dan senjata. Jadi sebenarnya, terorisme negara adalah satu-satunya jawaban bagi terorisme.

Terorisme internasional dengan demikian hanya menjadi nodal point bagi kepentingan pihak berkuasa (AS) terhadap pihak lainnya. Bukan tidak mungkin, apabila kepentingan nuklir AS mulai terganggu dengan kemampuan nuklir Iran dan Korea Utara, maka ''arena tinju'' terorisme internasional akan bergeser di wilayah terorisme nuklir. (Permadi; 2001)


(36)

2.5 TERORIS, MEDIA dan PEMERINTAH

Perspektif, Kecenderungan dan Pilihan untuk Menentukan Kebijakan

Teroris, pemerintah dan media melihat fungsi, peranan dan tanggung jawab media ketika menangani masalah teroris dari perspektif yang berbeda. Media dikenal sebagai kekuatan kontroversi antara teroris dan pemerintah. Media mempengaruhi pendapat umum yang berdampak pada tindakan pemerintah dan kelompok teroris. Dari perspektif teroris, liputan media adalah suatu ukuran suksesnya tindakan atau kampanye teroris. Pemerintah dapat menggunakan media dalam usaha membangun pendapat dunia melawan negara atau kelompok yang menggunakan taktik teroris.

Margaret Thatcher mengiaskan bahwa publikasi seperti oksigen terorisme dengan point bahwa persepsi publik adalah suatu target utama teroris dan media adalah pusat pembentukan dan pergerakannya.

Apa yang Diinginkan Teroris Dari Media

1. Teroris membutuhkan publikasi, umumnya publikasi dibayar namun jika ada aksi teroris publikasi “lari mendekat” tanpa dibayar.

Beberapa publikasi yang meliputi aksi teroris harus bersiaga pada dunia jika ada suatu masalah tidak dapat dijauhkan bahkan harus didekati. Dari perspektif teroris, wawancara yang tidak diedit pada tokoh utama seperti ‘hadiah yang berharga’. Contohnya pada bulan Mei tahun 1997, CNN mewawancarai tokoh Arab Saudi, perekrut teroris dan pemberi modal Usama bin Laden. Untuk jaringan berita, akses kepada teroris menjadi hangat dibicarakan.

2. Teroris mencari suatu pemahaman yang baik tentang kasus teroris yang bukan mereka lakukan.


(37)

Seseorang mungkin tidak setuju dengan tindakan mereka tetapi hal itu tidak menghalangi rasa simpati pada keadaan dan kasusnya sendiri. Teroris percaya publik ’memerlukan bantuan’ dalam memahami tindakan teroris secara adil dan kejahatan teroris melawan kekuatan negara super. Hubungan yang baik dengan pers sangat penting dan harus ditanam dan dipelihara selamanya.

3. Organisasi teroris mencari atau menempatkan simpati seseorang dalam posisi pers, khususnya dalam pengiriman berita dan di beberapa instansi mencari dan membiayai organisasi berita yang lebih kecil.

4. Hak kekuasaan/keabsahan. Kasus teroris menyebabkan pers memberi keabsahan untuk melihat apa yang tergambar sebagai ideologi atau permusuhan pribadi/divisi antara kelompok bersenjata dengan sayap politik. Dalam taktik militer peperangan adalah merupakan lanjutan politik. Dalam taktik teroris politik adalah lanjutan terror.

5. Teroris juga ingin pers meliput dan memberi keabsahan untuk menemukan sudut pandang yang dimiliki NGO (Non Govermen Organitation) dan pusat belajar yang tersedia sebagai pelindung keuangan, perekrutan dan perjalanan teroris pada negara targetannya. Contohnya: The Palestian Islamic Jihad Funded yang mengawasi dunia dan perusahaan studi Islam. Selain itu The Hamas Funded Islamic Assosiation for Palestine.(Emerson: 5; 1996)

6. Dalam situasi penyanderaan, teroris butuh identitas yang lebih lengkap, nomor dan nilai sandera dan pengetahuan masyarakat tentang operasi mereka. Terutama pada negara sponsor dilibatkan mereka ingin tahu tentang rencana pembalasan militer yang lebih lengkap.


(38)

7. Organisasi teroris mencari media yang mengekspos kerugian pada musuh mereka. Khususnya pada pelaku dan motifnya yang belum jelas. Mereka ingin media itu memperkuat kepanikan, menyebar ketakutan dan menunjukkan kerugian ekonomi agar investor asing pergi. Membuat masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemerintah sebagai pelindung masyarakat dan untuk melawan pemerintah karena ancaman teroris.

Apa yang Diinginkan Pemerintah Dari Media

Pemerintah mencari pemahaman, kerja sama, pengekangan, dan kesetiaan dari media berusaha untuk membatasi tindakan teroris yang merugikan masyarakat dan berusaha untuk menghukum orang yang berada di balik terorisme. Meliputi:

1. Pemerintah ingin media membantu pemerintah bukan para teroris.

Pemerintah ingin media membantunya dengan menyajikan berbagai informasi ketika diminta meliputi pemahaman kebijakan atau sedikitnya presentasi harus seimbang.

2. Tujuan terpenting adalah untuk memisahkan teroris dari media.

Media sangat berperan dalam mengekspos tindakan teroris. Contohnya: New York Times dan Washington Post

3. Tujuan lainnya adalah untuk menghadirkan teroris tampil di media sebagai penjahat dan menghindari kebesaran teroris. Untuk menggambarkan sudut pandang bahwa tindakan teroris adalah seperti seorang penjahat yang melakukan penculikan orang terkemuka, peledakan bangunan, atau pembajakan pesawat

4. Dalam situasi penyanderaan, pemerintah lebih menyukai menutupi kasus-kasus penyanderaan dari media.

5. Pemerintah mencari publikasi untuk membantu menghilangkan ketegangan suasana. Menenangkan masyarakat adalah suatu kebijakan penting.


(39)

6. Pada umumnya, keuntungan media televisi, menghindari tayangan seorang ibu yang menangis atau emosi melihat keluarga yang menjadi korban seperti hal masyarakat yang berada di bawah tekanan pemerintah.

7. Selama peristiwa teror, pemerintah ingin mengendalikan akses teroris keluar, untuk membatasi informasi seputar penyanderaan. Pemerintah benar-benar menginginkan media untuk mengungkapkan rencana teroris atau melakukan tindakan anti teroris dengan data yang membantu.

8. Setelah peristiwa itu, pemerintah menginginkan media untuk mengungkap rahasia, teknik-teknik bagaimana operasi itu sukses, dan mempublikasikan kesuksesannya melawan teroris dengan teknologi yang canggih, metode operasional yang sedemikian rupa sehingga tidak ada yang bisa menandinginya.

Contohnya: berita yang lengkap tentang penghentikan Pakistan dan kembali ke CIA (AS) yang menembak orang yang dicurigai Mir Amal Kansi, telah menarik perhatian kebijakan asing, pelaksanaan hukum dan kaum intelektual untuk bekerja sama dengan AS di masa mendatang. Kansi telah ditangkap pada 17 Juni 1997 dengan bantuan orang Pakistan yang otoriter dan menyumbangkannya pada AS. Juru bicara Deparrtemen Luar Negeri AS mengatakan pada wartawan “rahasia sukses kami bahwa kami disiplin, tekun dan mungkin kami akan melakukannya pada teroris lain” selain itu “ pemeliharaan operasianal dan pemeliharaan hubungan sangat penting untuk keefektifan kami”. Beberapa hari kemudian, setelah berita yang lengkap tersebut, memuji kerja sama CIA, rencana FBI dan bagaimana FBI menangkap teroris, beberapa surat kabar terkemuka di Pakistan menuntut editorial dimana pemerintah mereka menjelaskan mengapa hukum Pakistan telah dilepaskan dengan mengijinkan menghukum mati orang yang bertanah


(40)

air di Pakistan itu. (Spiriting Off of Fugitive by US Irks Pakistanis, John Burns, New York Times, 23 Juni 1997)

9. Pemerintah ingin agar media berhati-hati agar tidak kehilangan informasi dari teroris, simpatisan atau orang yang meliput dan menayangkan siaran menyangkut terorisme.

10.Pemerintah ingin agar media menaikkan nilai para agen pemerintah. Para agen harus berhati-hati jangan sampai memberikan kebocoran. Media juga harus melukiskannya dengan kesan yang baik dan menghindari kritik tentangnya.

11.Pemerintah ingin agar wartawan menginformasikan mereka ketika ditayangkan selalu dengan kesan bahwa tindakan teroris sedang dijalankan atau menyangkut keterlibatan seseorang dengan aktivitas teroris.

12.Dalam kasus yang ekstrim, dimana keadaan keamanan nasional sedang dipertaruhkan dan harapan untuk sukses sangat jauh maka pemerintah boleh bekerja sama dengan media mengumbar kebohongan seperti pemeritah berperan untuk menetralkan ancaman teroris. Kerja sama dengan media kerap kali terjadi dimana media bias menahan bukti-bukti suatu peristiwa kejahatan atau membantu pemerintah menyebar informasi yang salah.

Apa yang Diinginkan Media Ketika Meliput Tentang Teroris

Wartawan pada umumnya menginginkan kebebasan dalam meliput suatu peristiwa tanpa pengekangan dari luar walaupun berasal dari pemilik media, pengiklan, editor dan dari pemerintah.


(41)

1. Media ingin menjadi pencerita yang pertama. Karena sebuah berita usang tidak akan laku. Tekanan untuk memancarkan berita pada waktu yang tepat, cepat dengan persaingan teknologi komunikasi yang semakin lama semakin canggih.

2. Media ingin membuat cerita sesuai dengan yang asli tanpa rekayasa, dramatis sering melakukan wawancara jika memungkinkan.

Sepanjang bulan Juni 1985, ABC Air nomor 847 dibajak, wawancara semakin meluas antara pembajak dengan sandera. (sebuah foto bahkan menggambarkan sebuah pistol mengarah ke kepala pilot). Pada tanggal 13 Juni 1985, dua hizballah bergabung dengan perampok bersenjata api Shi’a membajak penerbangan TWA dengan nomor 847 dengan rute dari Atena ke Roma dan membunuh seorang penyelam angkatan laut AS, Robert Stethem setelah pesawat meninggalkan Algeria dan didaratkan di Beirut untuk waktu yang kedua. Pembajak mengakhiri negosiasi dengan palang merah dan memaksa pilot untuk terbang dari Beirut setelah suatu layanan kawat melaporkan bahwa Delta Force terbang menuju Algeria. Semua penumpang kecuali tiga orang awak kapal telah diambil dari pesawat, disandera oleh Amal dan Hizballah sampai akhirnya dilepaskan. Liputan ABC mengatakan bahwa hal tersebut mandapat kritikan tajam dari Departemen Amerika Serikat. Juru bicara pentagon, Michael Burch pada 19 Juni menuduh media pemberitaan AS menyediakan informasi militer AS dan gerak diplomasi yang mungkin berguna bagi pembajak. “Untuk Koran seharga 25 sen atau televisi 19 inci, kelompok pembajak yang ada di balik kejadian ini memiliki jaringan intelegensi yang rinci. Wakil media memusatkan hasil liputan harus melindungi bukan membahayakan hidup sandera. Pembajak tidak mendapat manfaat apapun jika membunuh sandera seperti meletakkan sebuah telur emas.


(42)

3. Kebanyakan anggota media ingin menjadi profesional dan akurat serta tidak memberi informasi yang salah. Hal ini tidak mudah dilakukan, terutama ketika usaha untuk menyesatkan mereka dikerjakan oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

4. Media ingin melindungi kemampuannya untuk beroperasi dengan aman dan bebas dari masyarakat. Di beberapa instansi undang-undang, hak-hak untuk menerbitkan tidak dikendalikan termasuk keamanan fisik. Mereka ingin perlindungan dari ancaman, godaan, atau sergapan kejam selama beroperasi, dan perlindungan dari pembunuhan oleh teroris yang membalas dendam (belakangan ini sering terjadi di Amerika Serikat).

5. Media ingin melindungi hak masyarakat untuk mengetahui dan menerangkan dengan bebas ketika meliput reaksi korban kekerasan, anggota keluarga, para saksi, dan orang-orang jalanan di depan hukum.

6. Anggota media sering tidak memiliki objek untuk memainkan peran bersifat membangun dalam memecahkan situasi teroris. Jika hal ini dilakukan maka akan mengurangi biaya yang berlebihan.

Kecendrungan Baru yang Berdampak pada Terorisme dan Media

Suatu rangkaian tindakan teroris terbaru menandai kemunculan kecendrungan yang berdampak pada hubungan antara media, terorisme dan pemerintah, meliputi:

1. Teroris Tanpa Nama.

Hari ini kita melihat kejadian teror yang dilakukan oleh teroris dimana tak seorang pun bertanggung jawab dan mengakuinya. Salah satu contohnya adalah pengeboman WTC. Hal ini membuat media berperan aktif dalam memberitahukan tuntutan atau permintaan teroris. Liputan tidak bisa diacuhkan terutama jika meliputi spekulasi tak terkendali,


(43)

ancaman palsu, media dapat membantu agenda teroris seperti membuat panik, melukai turis asing, mengguncang pemerintah agar wibawanya jatuh di mata masyarakat.

2. Teroris Semakin Kejam

Dalam konteks teknologi dan informasi suatu kecenderungan membuat teroris semakin kejam dan hal ini tidak bisa diabaikan. Departemen negara bagian Pola Terorisme Global tahun 1996 mencatat bahwa terorisme di seluruh dunia semakin kejam dalam 10 tahun terakhir. Jumlah kematian meningkat, kecendrungan serangan ke arah yang lebih kejam pada warga negara dan pengeboman yang lebih kuat. Ancaman dari teroris yang menggunakan senjata pemusnah massal menjadi isu yang terus didengungkan. (US Departemen of State, patterns of Global Terorism:1996, April 1997).

3. Menyerang Personil Media atau Institusi.

Penyerangan pada wartawan secara terang-terangan atas isu teroris saat ini mengalami peningkatan. Serangan terbaru terjadi di Algeria, Mexico, Rusia, Kenya, London, dan juga Washington DC di gedung Berita Nasional dan PBB di New York. Satu grup watchdog menggolongkan 45 wartawan telah dibunuh pada tahun 1995 sebagai

konsekuensi atas pekerjaan mereka. Menurut Panitia Perlindungan Wartawan (Commite to Protect Journalis) di New York lebih dari 300 wartawan telah terbunuh sejak tahun 1986 sebagai konsekuensi atas pekerjaannya dan tahun 1995 ada 45 orang bunuh diri. (http:/www.CPJ.ORG)

4. Beberapa Pilihan Untuk Pertimbangan

Sejumlah pilihan untuk pertimbangan untuk meningkatkan interaksi pemerintah dan media ketika menghadapi kasus teroris meliput i:


(44)

Hubungan masyarakat yang efektif pada umumnya mendahului suatu cerita. Negara dapat keuntungan dengan menggunakan strategi affair public untuk menyerang teroris dengan inisiatif sendiri. Media dapat memainkan peran pentingnya dengan kerangka berfikir seperti strategi pelatihan sangat penting. Pelatihan seperti yang dilakukan universitas George Washington dan Institut Teknologi di Holon, Israel dengan mengundang pejabat dan wakil dari media untuk meniru tanggapan pemerintah dan peliputan media yang mengejek teroris.

2) Pendirian Pusat Penanggapan Informasi Teroris Milik Pemerintah.

Satu pilihan, Kongres mungkin mempertimbangkan pendirian pusat penanggapan teroris milik pemerintah. Pusat ini dengan persetujuan media bertugas menghubungkan laporan aksi teroris dengan cepat melalui jaringan senior, kawat service, cetakan dari wakil media. Jaringan peliputan peristiwa akan dikordinasikan dengan dengan jaringan pusat. Jaringan pusat dipimpin oleh pemerintah (kordinator informasi teroris) yang bisa mencari dengan segera informasi dari kelompok teroris tertentu. Kerap kali terjadi, ketika peristiwa terjadi di AS terdapat kekosongan berita tentang peristiwa tersebut. Pada saat itu agen pemerintah setuju mencari apa yang sedang terjadi, bagaimana kejadiannya, prakarsa informasi pemerintah hilang.

3) Mempromosikan Penggunaan Media Penyatu

Pilihan lainnya adalah peliputan peristiwa sandera, dimana semua setuju dalam berita untuk melepaskan pada waktu yang sama. Suatu model perlu dibentuk. Bagaimana pun media penyatu tidak dijamin aman.

4) Mempromosikan Petunjuk/Kode Pers Sukarela

Pilihan lainnya adalah penetapan oleh media suatu kode petunjuk atau perilaku sukarela dimana para editor dan wartawan bisa mengakses pemimpin. Telah ada usaha oleh


(45)

anggota media untuk memaksakan aturan meliput peristiwa teroris. Standarisasi yang dibentuk Chicago Sun-Times dan Daily News meliputi penafsiran tuntutan teroris untuk mencegah propaganda tak terkendal, mengutuk keikutsertaan wartawan bernegosiasi dengan teroris, mengkordinir liputan sampai mengawasi editor yang berhubungan dengan pemerintah, selalu bijaksana, menyuguhkan fakta, membiarkan editor senior menentukan apa, jika ada informasi yang harus ditahan atau disimpan (Terrorism, The Future and US foreign Policy, Raphael F. Perl, CRS Issue Brief 95112).

Area untuk diskusi digambar dari praktek beberapa anggota media penting, meliputi:

• Batasi informasi pada sandera yang bisa merugikan korban seperti nomor, jumlah, kebangsaan, posisi jabatan, kekayan mereka atau keluarga penting yang dimilikinya.

• Batasi informasi pada militer, polisi, pergerakan selama operasi pertolongan. • Batasi atau persetujuan tidak di udara, wawancara dengan teroris jangan diedit. • Periksa sumber informasi dengan hati-hati ketika tekanan meninggi untuk

melaporkan informasi yang tidak akurat seperti membatasi spekulasi tak berdasar.

• Menetapkan informasi bahwa yang menyebabkan kepanikan tersebar luas atau memperkuat suara membantu teroris dengan guncangan emosi yang cukup untuk menekan pembuat keputusan.

Sekalipun petunjuk khusus tidaklah diadopsi, puncak seperti itu akan meningkatkan pemahaman, kebijakan masyarakat dan kelompok kebijakan pers dari institusi masing-masing (Perl: 1-32; 1997).


(46)

2.6 Netralitas Wartawan Peliput Perang

Petinggi militer AS sejak awal menyadari bahwa media harus diperhatikan selain operasi militer itu sendiri. Dalam Perang Teluk pertama, AS memakai sistem pool: wartawan dikumpulkan dalam satu pool, lalu meliput dengan bantuan dari militer. Kali ini, kerjasama wartawan dan militer juga tak bisa dihindarkan karena pasukan koalisi banyak mengandalkan serangan dari udara. Intinya, media butuh militer dan militer juga butuh media. Fenomena menarik dalam perang ini ialah embedded journalist: wartawan “melekat” di dalam militer. Ada 500-an wartawan yang ikut serta

dalam konvoi militer pasukan koalisi.

Hal ini memancing kritik. Pertama, praktek jurnalisme semacam ini merentankan independensi wartawan. Dia hidup, menghadapi bahaya, makan dan bergerak bersama-sama dengan militer yang ditumpanginya. Kedua, pola itu juga menimbulkan distorsi dan terkesan melebih-lebihkan. Ketiga, liputan semacam itu hanya menampilkan kehebatan dan kecanggihan peralatan perang pasukan koalisi, tapi jarang menampilkan korban-korban perang itu sendiri. CNN misalnya, banyak sekali memakai kata our soldiers (tentara kita atau kami). (Eriyanto)

Embedded journalist memang tak menghinggapi Al-Jazeera. Stasiun yang baru

berdiri 1996 ini kini menjadi hero di Timur Tengah, dan negara-negara lain, termasuk Indonesia. Televisi ini juga menyuguhkan propaganda dalam bentuk lain. Menjadi fenomenal karena selama ini propaganda perang hanya diberikan pers AS. Baik CNN, Fox, NBC maupun Al-Jazeera sebetulnya sejak awal sudah mempunyai sikap tertentu. Al-Jazeera mem-frame siarannya, jelas sekali bahwa sikapnya antiinvasi AS ke Irak. Sebaliknya, seluruh media AS, bila dilihat dari mainstream-nya, tampak sekali


(47)

mendukung pemerintahnya. Tentu dengan berbagai variasi yang sedikit berbeda antara satu media dengan media yang lain.

Kolumnis New York Times, Tom Friedman, mengritik Al-Jazeera dengan mengatakan bahwa sebagai salah satu televisi, Al-Jazeera hanya melayani keinginan audience Timur Tengah, yakni berita tentang kemenangan Saddam dan kekalahan pasukan koalisi. Tapi apa yang dikatakan Tom ini juga berlaku untuk media AS. Media AS tak berani melawan arus publik yang lebih pro pada pemerintahnya. Ada satu kasus, misalnya Peter Arnett dipecat dari NBC karena diwawancarai TV Irak yang isinya dinilai merugikan public AS.

BBC juga tidak semuanya netral. The Guardian juga sering menerbitkan artikel-artikel yang kritis. Tapi secara keseluruhan, sangat sulit dalam situasi perang seperti ini membayangkan ada media yang betul-betul independen, karena media sebenarnya ditujukan untuk melayani pembaca atau pemirsanya. (Ulil Abshar-Abdalla)

Pers memang tak mungkin netral. Pada buku ‘Elements of Journalism’ karya Bill Kovack, mengatakan bahwa wartawan tak pernah netral. Masalahnya, bagaimana wartawan mengambil keputusan harus didasarkan pada hati nurani dan pengamatan faktual di lapangan. Tentu media yang punya akses bagus, yaitu Al-Jazeera yang bisa mengamati di lapangan secara faktual. Al-Jazeera juga memberikan tempat kepada pejabat-pejabat dari AS dan sekutunya untuk beropini. Semua pihak yang berperang punya public relation (PR). Yang tidak punya PR itu justru rakyat Irak yang menjadi korban. Wartawan Al-Jazeera bisa melihat tragedi kemanusiaan yang terjadi di lapangan dan mereka menjadi PR-nya warga Irak.

Seandainya TV7 atau media punya akses seperti Al-Jazeera, semua wartawan ingin lebih mengedepankan sisi-sisi kemanusiaan akibat dari perang. Kewajiban


(48)

wartawan untuk menyuarakan yang selama ini dikatakan the voiceless, yang tak pernah didengar. Akses wartawan untuk mendapatkan informasi yang sebenarnya tentang perang juga sangat terbatas. Bahkan sudah ada wartawan yang mengajukan somasi kepada pemerintah AS. (Uni Z. Lubis)

Kebebasan pers tetap ada di AS. Tapi selalu ada faktor human error dalam semua liputan media massa. Walaupun coba meliput secara mendalam dan jujur, tetap ada unsur propaganda.

Wartawan bisa mendapat keterangan first hand dan bisa menayangkan langsung kepada penonton. Tapi ada segi yang sedikit kurang baik, seperti ditulis The Asia Wall Street Journal, 1 April 2003. Untuk keseluruhan gambar besar, ‘the big picture,’ justru

kurang, sedang hal-hal yang terperinci malah overdosis. (Greta Morris)

Sampai hari ini yang paling bagus menggambarkan perang dari sisi korban adalah Al-Jazeera. Media-media Barat, terutama AS dan Inggris, seperti terekam dalam Perang Teluk I, invasi ke Granada dan Panama, selalu menggiring diskursus perang ini semata-mata diskursus starwar. Perang hanya dilihat sebagai pertarungan teknologi perang kelas utama, tanpa ada korban dari sipil. Ini sebuah kebohongan, karena bagaimanapun perang adalah perang. Ada air mata, darah dan kehancuran. (Agus Sudibyo)

Al-Jazeera bukan hanya mewakili korban dari warga sipil Irak, tapi juga korban

dari pasukan koalisi (Mungkin dia merujuk pada penayangan tawanan AS di Al-Jazeera). Tapi Al-Jazeera tak mewakili korban dari kekejaman Saddam Husein. Padahal

ada banyak korban dari Saddam Husein. Beberapa hari lalu, Kedutaan AS menayangkan perempuan, Zainab al-Syuaiz, yang memberikan banyak keterangan tentang kekejaman


(49)

Saddam Husein atas orang Irak sendiri, suku Kurdi, orang Iran dan Kuwait. Seharusnya media memberitakan semua fakta yang ada. (Greta Morris)

Secara umum, Al-Jazeera berusaha mengikuti norma-norma dan standar jurnalisme yang standar. Dia cover semua konferensi pers yang diadakan pasukan koalisi maupun Irak. Semuanya ditayangkan dan diterjemahkan dengan bagus sekali, lebih baik daripada para penerjemah Indonesianya. Sudah pasti Al-Jazeera punya biro yang sangat kuat di London, Washington, Kairo, Baghdad selain di Doha sendiri. Dari segi prinsip-prinsip jurnalisme dasar, ia memberitakan secara fair. Meski kita tahu cover-both-side itu bukan segala-galanya, karena ketika cover-both-side itu di-print atau diletakkan dalam satu kerangka tertentu, tentu punya kesan yang berbeda. (Ulil Abshar-Abdalla)

2.7 Liputan Perang di Media di Indonesia

Pemikir asal AS, Walter Dickman, mengatakan bahwa dalam perang seringkali media bukan menampilkan apa yang terjadi, tapi apa yang dikehendaki publik untuk terjadi. Ini bukan cuma terjadi di AS, tapi juga di Indonesia. Sebagian besar rakyat Indonesia, katakanlah, pro-Irak. Media di Indonesia menangkap banyak sumber-sumber berita yang dikutip dan dijadikan headline adalah berita-berita yang menggambarkan kemenangan Irak atau pasukan koalisi yang menjadi pecundang. Saling serang antara tentara AS dengan Inggris (friendly fire) diekspos besar-besaran dan seterusnya. Beberapa harian misalnya, Jawa Pos, Media Indonesia, Koran Tempo dan Republika menurunkan headline soal pesawat helikopter yang canggih, Apache, yang ditembak petani. Melihat foto Apache yang masih utuh tanpa ada kerusakan, mustahil bila Apache


(50)

ditembak petani tua yang bersenjata tradisional. Koran Tempo dan Republika juga memberitakan Brigade Lapis Baja ke-7 tentara Inggris yang dibuat tak berkutik ketika menghadapi pertempuran di Basra. Realitasnya, tidak ada satupun tentara Inggris yang tewas dalam pertempuran itu. Koran-koran juga sering menampilkan berita serdadu koalisi kelaparan karena ada serangan terhadap konvoi-konvoi yang membawa amunisi dan perbekalan. Seringnya berita semacam ini dikutip media-media di Indonesia tanpa sikap kritis.

Jurnalisme damai menjadi momentum membangun kesadaran kritis untuk ditunjukkan pada publik dunia. Kalau media nasional tidak meliput langsung dalam arena perang, mereka bisa menulis features atau liputan humaniora tentang korban perang. Inilah kesempatan media massa melawan perang itu sendiri. (Eriyanto)

Kondisi riil media Indonesia susah untuk melakukan jurnalisme damai. Media di Indonesia mungkin menolak perang, tapi diam-diam harus diakui bahwa perang ini juga sudah menaikkan oplah dan rating. Rating TV7 naik tiga kali lipat selama perang ini, demikian pula oplah koran-koran kita. Ada yang mengatakan bahwa oplah media sekarang rata-rata naik hampir 10.000-an. Orang makin cenderung baca koran, mendengar radio, menonton TV dan mengakses internet untuk memperoleh informasi soal perang. Media massa juga sulit meliput secara berimbang karena keterbatasan akses menemui pihak-pihak yang berseteru. Media dari AS misalnya, tak punya akses yang cukup leluasa untuk menemui sumber-sumber di Irak. (M Iqbal)


(51)

2.8Ideologi oleh Marx dan Engels

Pada pengertian Marxis klasik, ideologi diartikan sebagai kepalsuan atau ucapan palsu tentang dunia dan manusia. Kontribusi terbesar Marx pada ilmu-ilmu sosial adalah menyatakan bahwa ia tidak pernah menunjukkan kesalahan ucapan pada logika dengan referensi. Ia juga berharap bisa menjelaskan bagaimana kesalahan ucapan bisa terjadi. Seperti yang ditulis Jon Elster, kesalahan ucapan terkait dengan posisi pembicara dan ketertarikan. Suatu posisi menjelaskan lokasi kesalahan ucapan dalam kesalahan teori seorang pembicara karena ketidakmampuan melihat seluruh peristiwa. Jika saya salah mengucapkan bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi itu karena saya belum dididik untuk keluar dari posisi pengamatan saya yang terbatas. Jika aku percaya bahwa wanita-wanita yang sejahtera ada di Afrika dan Amerika karena mempunyai 10 anak-anak dan hidup sejahtera mereka berhenti karena terkena pajak berupa dollar, saya salah mengira karena dimana saya hidup dan bagaimana saya dididik.

Ideologi muncul dari posisi sosial seseorang “ Setiap orang percaya bahwa hasil pikirannya yang paling benar?” gambaran mengenai hubungan antara hasil pikirannya dengan realitas akan semakin terlihat karena keaslian hasil pikirannya. Kegagalan teori dapat disebabkan oleh kebijaksanaan dan kepentingan diri sendiri dan gila akan jabatan. Pada kenyataannya kebanyakan dari kritikan Marx dan Engel telah diarahkan melawan kaum borjuis dan melawan gaya radikal ekonomi, bukan untuk mengenali batas dari kedudukan sosialnya.

Suatu format kedudukan terakhir menjelaskan ada kegagalan teori harus mengganti kerugian akan suatu kenyataan yang menyedihkan. Tuntutan agama seperti candu bagi orang yang masuk kategori ini. Ucapan palsu terjadi sebagai hasil dari


(52)

kegagalan teori yang diperkuat dengan kebutuhan internal untuk pelipur lara di dalam badan tanpa hati.

Bagaimanapun Marx dan Engel menggunakan ideologi yang berbeda minat dan penjelasan dimana ideologinya menjelaskan dengan transparan keadaaan ekonomi seseorang atau jabatannya.

Ide untuk golongan yang berkuasa adalah setiap ide yaitu golongan dimana kekuatan material pada waktu yang sama penguasanya adalah kekuatan intelektual. Golongan yang memiliki alat produksi material pada penjualannya juga mendalikan alat produksi mental sehingga ide dari alat produksi mental akan tunduk padanya.

Jalan lintasan adalah sumber masalah bagi Marxisme. Pertama: penjelasan Elster jalan lintasan tidak menjelaskan bagaimana ide golongan penguasa didapat. Kedua: tidak dapat memberi kesempatan ide lawan dijelaskan. Ketiga: jalan lintas membuat ide hanya sebagai saluran minat bukan dari perjuangan maksud hati. Kegagalan Marxisme untuk mengembangkan teori bujukan dan kepemimpin politis menghambat pemahaman ideologi.

Seperti kerangka pikir Altschull yang berasumsi bahwa media harus merefleksikan ideologi dan membiayainya. Dimana ada empat sumber pendukung media, yaitu:

1. Di bawah pola pejabat, media dikontrol oleh negara (seperti negara komunis) 2. Di dalam pola komersial, media mencerminkan ideologi pada iklan dan pemilik

medianya.

3. Di bawah pola ketertarikan, isi media mencerminkan ideologi yang mendukung suatu kelompok seperti partai politik dan kelompok keagamaan.


(53)

4. Di dalam pola informal, isi media mencerminkan tujuan individual yang ingin mempromosikan pandangannya.

Ideologi kemudian suatu sudut pandang material yang menekan format pikiran masyarakat; perpektif sosial terbatas, gila jabatan, pelacuran intelektual dan takhayul. (www.American Journal Communication; 2003)

2.9 Ideologi Media Massa

Ada beberapa hal yang dipertimbangkan dalam memahami hubungan ideologi dengan media. Pertama: ideologi tidak terdiri dari konsep yang terpisah dan terisolasi secara sosial. Ideologi mengartikulasikan elemen atau unsur yang berbeda menuju perbedaan makna. Kedua: status ideologi selalu dibuat secara individua l tapi ideologi sendiri tidak selalu hasil dari kesadaran individual. Hal ini berarti bahwa ideologi sudah ada sebelum manusia ada. Ideologi bersifat aktif dalam masyarakat. Proses transformasi ideologi merupakan proses kolektif. Proses ideologisasi lebih banyak berlangsung secara tidak sadar. Ketiga: ideologi bekerja melalui konstruk sosial untuk posisi subjek individual dan kolektif dari keseluruhan proses identifikasi dan pengetahuan yang ditransmisikan dalam nilai-nilai ideologis.

Sebuah teks, tidak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi. Eriyanto menempatkan ideologi sebagai konsep sentral dalam analisis wacana yang bersifat kritis. Hal ini, menurutnya, karena teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktik ideologi atau pencerminan dari ideologi tertentu (Eriyanto, 2001:13).


(54)

Ideologi adalah sistem ide-ide yang diungkapkan dalam komunikasi; kesadaran adalah esensi atau totalitas dari sikap, pendapat, dan perasaan yang dimiliki oleh individu-individu atau kelompok-kelompok; dan hegemoni adalah proses di mana ideologi “dominan” disampaikan, kesadaran dibentuk, dan kuasa sosial dijalankan (Lull, 1998:1). Ideologi dibangun oleh kelompok yang dominan dengan tujuan mereproduksi dan melegitimasi dominasi mereka. Dalam teks berita misalnya, dapat dianalisis apakah teks yang muncul tersebut pencerminan dari ideologi seseorang atau kelompok dominan.

Pengaruh Ideologi

Raymond Williams mendefinisikan ideologi sebagai hubungan formal dan sistem artikulasi dari makna, nilai dan kepercayaan dai bagian yang dapat diabstrakkan sebagai pandangan dunia. Pada akal kita, ideologi bukanlah seperti beasiswa AS yang mempunyai penggunaan yang tipikal pada sistem kepercayaan individu. Ideologi mempersembahkan fenomena level sosial ini untuk menyimpan tradisi Eropa dari pembelajaran media, dimana ideologi dipertimbangkan sebagai struktur total dibandingkan dengan sistem dari sikap individual dan nilai.

Media digunakan untuk memelihara boundaries budaya, untuk menarik integrasi sosial beberapa pandangan dan nilai harus dibatasi sebagai aturan yang diterima, sementara yang lain di luar legitimasi. Penyimpangan media terdiri dari penyimpangan komunikasi yang menyatakan bahwa komunikasi komunikasi adalah bagian penting untuk membatasi penyimpangan. Penyimpangan dalam berita dan teknik media pada penyimpangan komunikasi. Dalam media dan ketetapannya, Daniel Hallin memperkenalkan model untuk mengartikan cara berita media mempertahankan


(55)

ketetapan ideologi. Ia membagi dunia jurnalistik menjadi tiga bagian yaitu konsensus, kontroversi legitimasi, dan daerah penyimpangan pada daerah konsensus berarti jurnalis harus memberikan nilai-nilai konsensus, pada daerah kontroversi legitimasi adalah tempat obektivitas dan keseimbangan dilihat.

Dalam ideologi yang perlu diperhatikan adalah: 1. Fungsi media sebagai perluasan kepada penguasa.

Bagaimana nilai dan struktur organisasi media bekerja untuk mempertahankan ideologi yang dominan yang berlaku di masyarakat. Di dalam pencapaian tujuannya, media massa sering kali melakukan apa yang disebut ‘peluruhan’ nilai untuk mengikuti ideologi yang dominan yang berlaku di masyarakat.

2. Bagaimana suatu ideologi melewati batas-batas gender, sosiodemografis, dan lain sebagainya. (Rangkuman Mata Kuliah Komunikasi Massa; 2005)

2.10 Pendekatan Hegemoni Gramsci

Teori hegemoni Gramsci mengandung tema ganda seperti domination, coercion (dominio) vs intellectual and moral leadership(direzone); kekuatan pemaksa atau penindas (force) vs consensus, sukarela dan tanpa sadar (consent); kekerasan vs persuasi. Tema-tema ganda tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

• Kelas penguasa (the ruling class) atau lebih tepat suatu blok sejarah (hubungan resiprok antara kepentingan sosial, politik, ideologi, dengan ekonomi), ”mengendalikan” dan memelihara kekuasaaanya terhadap kelas subbordinat dengan dua cara. Pertama, secara kekerasan fisik melalui elemen-elemen ”penekan atau penindas” yang dimilikinya seperti pengadilan militer dan


(56)

birokrasi. Sejarah peradaban manusia menjadi bukti nyata pengendalian dan penaklukan melalui kekerasan ini. Bahkan dapat dikatakan, kekerasan (pembunuhan, penculikan, intimidasi, terror fisik, penyabotan informasi dan lain-lain) dengan berbagai alasan penggunaannya merupakan metode yang secara moral tidak disukai namun paling sering dilakukan penguasa.

• Akan tetapi, elemen-elemen penekan/kekerasan fisik saja tidak cukup dalam proses pengendalian dan penaklukan tersebut. Oleh karena itu cara lain harus digunakan yaitu yang disebut Gramsci sebagai hegemoni. Penguasa membentuk organisasi dan atau mengendalikan, menjinakkan, serta melakukan aliansi dengan berbagai kekuatan ”moral dan intelektual” yang ada sehingga berbagai kekuatan itu kemudian berfungsi sebagai aparat hegemoni politik dan budaya penguasa (dalam istilah Gramsci ”the apparatus of the political and cultural hegemoni of the ruling class” atau ”deputi kelompok dominan” atau ”the

administrator of hegemoni”). Pembentukan organisasi atau aliansi, pengendalian

dan penjinakan berbagai kelompok, organisasi, sekolah, lembaga-lembaga keagamaan, keluarga penting mengingat intensitas dan karakteristik kelompok, organisasi itu yang selalu berhubungan dengan massa.

• Kelas penguasa bersama aliansi aparat hegemonik tersebut kemudian membentuk suatu tatanan sosial, politik, ideologi, dengan menyeragamkan, mengkonstuksi defenisi situasi. Hal ini dilakukan melalui penyebaran dan internalisasi nilai-nilai, gagasan-gagasan, asumsi-asumsi melalui penggunaan simbol-simbol, metafor, dan lain-lain kepada seluruh formasi sosial budaya yang ada. Aktifitas ini bertujuan agar tatanan dan formasi sosial politik yang dibentuk tersebut diterima, dianggap sah (legitimate) secara konsensus, sukarela dan


(57)

tanpa sadar (consent) melewati batas-batas kelas, gender, dan faktor sosial lainnya. Hegemoni ini merasuk ke dalam tindakan dan pikiran sehingga nilai-nilai, defenisi, situasi, prilaku yang disebarkan penguasa tersebut diangggap alami (natural ) dan ”masuk akal” (common sense). Lebih lanjut menurut Gramsci, di dalam masyarakat kapitalis liberal, maka konsensus yang bersifat suka rela tanpa sadar (consent) itu bekerja di depan elemen-elemen ”kekerasan fisik” (coersive). Tatanan sosial politik yang dibentuk, dengan demikian Gramsci menyebutnya sebagai integral state akan memiliki keseimbangan hegemonik yang didasarkan pada kombinasi kekuatan pemaksa dan konsensus (Force and consent). Todd Gitlin ketika mendefinisikan teori Gramsi ini

menyatakan bahwa hegemoni merupakan rekayasa sistematik melalui elaborasi dan penetrasi suatu ideologi (ide-ide dan asumsi) tertentu yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan penguasa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Bagi Gramsci kondisi hegemoni selalu bersifat temporer dan merupakan suatu teather of struggle. Konsep hegemoni mengandung makna adanya perjuangan yang

terus menerus baik dari struktur dominan terhadap resistensi kelas subordinate maupun sebaliknya. Menurut Gramsci, posisi hegemoni kelas penguasa memegang kuat, akan tetapi bukan berarti kelas subordiant bersifat pasif. Hal itu berarti hegemoni tidak datang dengan sendirinya, karena itu selalu direkayasa ulang, dimodifikasi, dan dinegosiasi.

Hegemoni juga berhubungan dengan masyarakat publik disebut Gramsci sebagai masyarakat sipil - civil society - yang relatif independen dari kontrol dan intervensi negara, serta mengutarakan perlawanan-perlawanan simbolis (wacana) yang


(1)

108 TABEL 4. 4. RINGKASAN HASIL PENELITIAN ANALISIS WACANA BERITA EKSEKUSI SADDAM HUSEIN DI

IRAK PADA SURAT KABAR WASPADA

Judul Eksklusi Inklusi Bagaimana aktor sosial

(pemerintah Irak/pihak AS dan

Saddam/jamaah Sunni) ditampilkan dalam

berita Aktor Strategi Tujuan Aktor Strategi Tujuan

Saddam mungkin digantung Sabtu

Pasivasi Menutupi aktor

Pejabat senior AS Pejabat AS dan pejabat Baghda d PM Nuri al-Maliki Nominasi-Kategorisa si Indiferensi asi-Diferensia si Nominasi-Identifikas i Pihak AS meremehkan pemerintahan Irak Menegaskan kaum Syiah lebih kuat di Irak

Pemberitaan tidak menyebutkan nama pejabat AS yang memiliki posisi senior menyatakan Saddam sangat mungkin digantung Sabtu.

Pihak Irak dianggap tidak berkompeten pada kasus Saddam

Penambahan identifikasi PM Nuri al-Maliki dari Syiah akan memberi kesan Syiah berkuasa di Irak

Pihak AS tidak


(2)

109 dari pihak AS

Kepala urusan HAM PBB & Komis aris tinggi HAM PBB Indiferensi asi -Diferensia si

disebutkan telah meminta mengambil barang-barang milik Saddam Tidak ada keseriusan HAM PBB dalam menangani masalah Saddam Saddam, La Illaha Ilallah.. Sayf Moha mmed Indiferensi asi -Diferensia si Seorang Sayf Mohammed ditulis banyak orang Jamaah Sunni marah eksekusi Saddam Kelom pok ekstri m Sunni Pasivasi Jamaah muslim Sunni Nominasi-Identifikas i Memperburuk citra jamaah Sunni Jamaah Sunni digambarkan liar, pengganggu keamanan

Memperburuk citra Sunni yang dianggap ekstrim dan selalu dicurigai

Adik tiri Saddam dieksekusi hari ini Nominasi – Identifikas i

Televisi satelit Al-Arabiyah dan Al-Furat merupakan organisasi muslim Syiah, kaum ini ditampilkan dengan


(3)

110 Jaksa

Irak, Mugqit

h al-Faroon

Inditermin asi -Ditermina si

eksklusif

Muqqith membantah menuduh Mowaffak al-Faroobi yang mengambil gambar eksekusi palsu, menutupi kesalahan Irak Video baru

Saddam di internet, ada luka baru menganga di lehernya

Pasivasi Menutupi pihak yang

mengedarkan video rekaman eksekusi palsu

PM Blair, cara eksekusi Saddam salah besar

Tidak ada pemihakan dalam berita ini


(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Lista Pusriyanti

Alamat : Jl. Flamboyan IV No.20 Tanjung Slamat Medan Tempat/Tanggal Lahir : P. Sidimpuan/14 Juli 1984

No. Telp/HP : (061) 8364512/081370350995 Email : lista_pusriyanti@yahoo.co.id

Pendidikan

SDN. 064025 Medan, Sumatera Utara 1997 SLTPN. 30 Medan, Sumatera Utara 2000 SMUN. 4 Medan, Sumatera Utara 2003 Ilmu Komunikasi FISIP USU Medan, Sumatera Utara 2007

Organisasi

Pers Mahasiswa SUARA USU/Staf Perusahaan 2005 Pers Mahasiswa SUARA USU/Manajer Iklan dan Promosi Perusahaan

2006

Pers Mahasiswa SUARA USU/Pemimpin Perusahaan 2007


(5)

Pelatihan

Pendidikan dan Pelatihan Dasar Jurnalistik Suara USU, Medan/steering comitte

2007

Pelatihan Unit Bantuan Kemanusiaan USU/peserta 2007 Seminar Pengendalian Banjir kota Medan/Peserta 2007 Seminar Nasional Yayasan Kolektif bekerja sama dengan Dirjen KESBANGPOL, Medan/ Peserta

2007

Pelatihan Dasar Jurnalistik Kompas, Medan/peserta 2006 Praktek Komunikasi,Laboratorium Ilmu Komunikasi, Medan/peserta

2006

Lomba Orasi Pendidikan, Medan/Panitia 2006 Praktek Kerja Lapangan, Metro TV, Medan/peserta 2006 Acara Satu Dekade Suara USU 2005


(6)

Karya Jurnalistik

Resensi: Good Bye to Shy Tabloid SUARA USU

edisi 59 Laporan khusus: Mengintip Satpam di Balik

Seragamnya

Tabloid SUARA USU edisi 58

Kata Kita: Wujud Fasilitas dan Pembangunan USU Tabloid SUARA USU edisi 57

Ragam, Saat Manufaktur Jadi Rebutan Tabloid SUARA USU edisi 52

Prestasi Jurnalistik

Juara I Lomba Menulis Feature oleh Kompas/Gramedia Group

2006