Tibo Cs Dalam Pemberitaan Surat Kabar. Analisis Framing Pemberitaan Eksekusi Mati Tibo Cs Dalam Harian Sumut Pos Dan Waspada

(1)

TIBO CS DALAM PEMBERITAAN SURAT KABAR

Analisis Framing Pemberitaan Eksekusi Mati Tibo Cs dalam Harian Sumut Pos dan Harian Waspada

Disusun oleh :

FERNANDO SEPTA MASANA PINEM

020904047

ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU POLITIK DAN ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

Nama : Fernando Septa Masana Pinem NIM : 020904047

Jurusan : Ilmu Komunikasi

Judul : TIBO CS DALAM PEMBERITAAN SURAT KABAR

(Analisis Framing Pemberitaan Eksekusi Mati Tibo Cs dalam Harian Sumut Pos dan Harian Waspada)

Medan, Juni 2008

Dosen Pembimbing, Ketua Departemen,

Dra. Dewi Kurniawati, Msi Drs. Amir Purba, MA NIP. 131837036 NIP. 131654104

Dekan Fisip USU,

Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA NIP. 131757010


(3)

ABSTRAKSI

Peristiwa langka seperti eksekusi mati terhadap terpidana hukuman mati selalu mendapat tempat dalam pemberitaan media massa. Yang tentunya masing – masing media massa akan memberikan proporsi pemberitaannya masing – masing. Hal ini lebih dapat dipastikan lagi apabila peristiwa ini berhubungan dengan masalah nasional kerusuhan Poso yang berkaitan pula dengan SARA–hal yang belum bisa dilepaskan dari kehidupan manusia.

Dua harian lokal Medan, Sumut Pos dan Waspada menjadikan peristiwa ini menjadi peristiwa yang penting sehingga layak dijadikan berita. Sesuai dengan pembatasan masalah dalam penelitian ini, maka berita – berita yang akan diteliti adalah 21 berita Sumut Pos dan 25 berita Waspada. Berbagai perkembangan peristiwa dikemas dan disajikan kepada khalayak dengan tujuan mendapat perhatian dan tempat di hati pembacanya. Berkaitan dengan besarnya oplah yang didapat oleh media tersebut.

Kemasan dan penyajian berita ini dilakukan dengan cara menonjolkan dan menghilangkan fakta – fakta tertentu dari peristiwa. Dan dalam hal ini, Sumut Pos dan Waspada memandang masalah eksekusi mati Tibo cs dalam bingkai masalah hukum. Bingkai ini akan diuraikan dengan menggunakan perangkat framing Robert Entman. Yang terdiri dari pendefenisian masalah, perkiraan penyebab masalah, pilihan moral, dan penyelesaian masalah. Perbedaan pembingkaian yang terdapat di dalam berita masing – masing media disebabkan adanya perbedaan pandangan ataupun penilaian. Ini nantinya juga berpengaruh pada cara – cara pemberitaannya.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada TuhanYesus Kristus yang telah memberikan berkat-Nya bagi penulis dalam keseluruhan proses penyelesaian studi di Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU ini.

Terima kasih yang tidak terhingga kepada Bapak Masang Pinem dan (Almh) Ibu Sada Arih br Tarigan (penulis tahu bahwa Ibu selalu memperhatikan penulis dari tempat Ibu sekarang), orangtua penulis tercinta yang telah mengasuh dan mendidik penulis dengan penuh kesabaran dan kasih sayang yang tulus. Terima kasih juga kepada seluruh anggota keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan tiada henti.

Skripsi ini tidak rampung dengan sendirinya tanpa bantuan dan keterlibatan berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung dalam hal teknis dan nonteknisnya. Untuk itu rangkaian ucapan terima kasih yang sebesar – besarnya penulis sampaikan kepada :

Bapak Prof. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan FISIP USU, beserta Pembantu Dekan I, II, dan III.

Bapak Drs. Amir Purba, MA dan Ibu Dra. Dewi Kurniawati, Msi selaku Ketua Departemen dan Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi FISIP USU.

Ibu Dra. Mazdalifah, Msi selaku Dosen Pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah memberikan segala perhatian dan pengertian kepada penulis dalam memberi arahan dan kepercayaan pada penulis untuk menyelesaikan skripsi sebagaimana mestinya.


(5)

Bapak Drs. Siswo Suroso, MSp selaku Dosen Wali yang tak henti – hentinya memberi nasehat dan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan studi.

Seluruh Dosen dan Staf Pengajar FISIP USU, khususnya Departemen Ilmu Komunikasi, atas segala pengajaran dan pengetahuan yang diberikan selama ini.

Seluruh Staf Pegawai dan Administrasi FISIP USU yang banyak membantu urusan administrasi dan surat menyurat selama proses studi penulis.

Seluruh teman – teman di organisasi pemuda gereja-PERMATA GBKP dan keredaksian majalah PERMATA GBKP-MKP Geluh, khususnya teman – teman satu kepengurusan Pers Mahasiswa Suara USU dan teman – teman seangkatan 2002, buat segala dinamika dan proses di dalamnya yang memberikan pelajaran dan pengalaman yang sangat berharga baik dalam rangkaian proses kehidupan organisasi maupun kehidupan sehari – hari.

Terkhusus, bagi Agitha Fila Sari br Saragih yang telah memberikan semangat tanpa lelah kepada penulis selama penyelesaian studi ini.

Bagi seluruh teman – teman penulis, dengan tidak mengurangi rasa hormat dan rasa terima kasih penulis, dalam kesempatan ini penulis tak mampu menuliskan nama – nama kalian. Penulis sadar kalian semua punya andil dalam penyelesaian skripsi ini, langsung maupun tidak langsung.

Terima kasih kepada semuanya, semoga Tuhan yang akan memberikan balasan berkat yang layak atas segala kebaikan dan ketulusan yang telah kita perbuat.

Akhir kata, penulis sadar akan kekurangan yang penulis miliki. Skripsi ini tidak terlepas dari kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik sebagai


(6)

koreksi atas segala kekurangan yang ada, sehingga tidak menimbulkan kerancuan dalam penelitian – penelitian selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Salam damai sejahtera bagi kita semua...

Medan, Juni 2008

Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...v

DAFTAR TABEL...viii

DAFTAR LAMPIRAN...ix

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah...1

I.2. Perumusan Masalah...6

I.3. Pembatasan Masalah...6

I.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian...7

I.4.1. Tujuan Penelitian...7

I.4.2. Manfaat Penelitian...7

I.5. Kerangka Teori...8

I.5.1. Analisis Framing...8

I.5.2. Berita...11

I.5.3. Paradigma Konstruksionis...12

I.6. Kerangka Konsep...14

I.7. Defenisi Variabel Operasional...15

I.8. Metodologi Penelitian...16

I.8.1 Metode Penelitian...16

I.8.2. Populasi dan Sampel Penelitian...16

I.8.3. Unit Analisis...17


(8)

I.8.5. Teknik Analisis Data...18

BAB II URAIAN TEORITIS II.1. Analisis Framing...20

II.1.1. Seleksi Isu...23

II.1.2. Penonjolan Aspek Tertentu Dari Suatu Isu....25

II.2. Berita...26

II.2.1. Berita Harus Akurat...31

II.2.2.Berita Harus Lengkap, Adil, dan Berimbang.32 II.2.3. Berita Harus Objektif...33

II.2.4. Berita Harus Ringkas dan Jelas...35

II.2.5. Berita Harus Hangat...35

II.3. Paradigma Konstruksionis...36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN III.1. Deskripsi Lokasi Penelitian...47

III.1.1. Surat Kabar Harian Sumut Pos...47

III.1.2. Surat Kabar Harian Waspada...54

III.2. Metodologi Penelitian...62

III.2.1 Metode Penelitian...62

III.2.2. Populasi dan Sampel Penelitian...62

III.2.3. Unit Analisis...67

III.2.4. Teknik Pengumpulan Data...67

III.2.5. Teknik Analisis Data...67

BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN IV.1. Analisa Teks Berita Sumut Pos...70


(9)

IV.2. Analisis Teks Berita Waspada...121 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan...193 V.2. Saran...194 DAFTAR PUSTAKA...195 LAMPIRAN


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perbandingan Jumlah Berita Terkait Hukuman Eksekusi Tibo Cs

pada Harian Sumut Pos dan Harian Waspada...5

Tabel 2 Wilayah Peredaran Harian Sumut Pos dan Jumlah Eksemplar...50

Tabel 3 Berita Terkait Putusan Hukuman Mati Tibo Cs Setelah Penolakan Grasi oleh Presiden pada Harian Sumut Pos...63

Tabel 4 Berita Terkait Putusan Hukuman Mati Tibo Cs Setelah Penolakan Grasi oleh Presiden pada Harian Waspada...65

Tabel 5 Ringkasan Berita Eksekusi Mati Tibo cs di Harian Sumut Pos...70

Tabel 6 Frame Pemberitaan Harian Sumut Pos...120

Tabel 7 Ringkasan Berita Eksekusi Mati Tibo cs di Harian Waspada...121

Tabel 8 Frame Pemberitaan Harian Waspada...190


(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Berita – berita Eksekusi Mati Tibo cs pada Harian Sumut Pos Lampiran 2 Berita – berita Eksekusi Mati Tibo cs pada Harian Waspada Lampiran 3 Lembar Catatan Bimbingan Skripsi

Lampiran 4 Surat Ijin Penelitian ke Harian Sumut Pos Lampiran 5 Surat Ijin Penelitian ke Harian Waspada Lampiran 6 Biodata Penulis


(12)

ABSTRAKSI

Peristiwa langka seperti eksekusi mati terhadap terpidana hukuman mati selalu mendapat tempat dalam pemberitaan media massa. Yang tentunya masing – masing media massa akan memberikan proporsi pemberitaannya masing – masing. Hal ini lebih dapat dipastikan lagi apabila peristiwa ini berhubungan dengan masalah nasional kerusuhan Poso yang berkaitan pula dengan SARA–hal yang belum bisa dilepaskan dari kehidupan manusia.

Dua harian lokal Medan, Sumut Pos dan Waspada menjadikan peristiwa ini menjadi peristiwa yang penting sehingga layak dijadikan berita. Sesuai dengan pembatasan masalah dalam penelitian ini, maka berita – berita yang akan diteliti adalah 21 berita Sumut Pos dan 25 berita Waspada. Berbagai perkembangan peristiwa dikemas dan disajikan kepada khalayak dengan tujuan mendapat perhatian dan tempat di hati pembacanya. Berkaitan dengan besarnya oplah yang didapat oleh media tersebut.

Kemasan dan penyajian berita ini dilakukan dengan cara menonjolkan dan menghilangkan fakta – fakta tertentu dari peristiwa. Dan dalam hal ini, Sumut Pos dan Waspada memandang masalah eksekusi mati Tibo cs dalam bingkai masalah hukum. Bingkai ini akan diuraikan dengan menggunakan perangkat framing Robert Entman. Yang terdiri dari pendefenisian masalah, perkiraan penyebab masalah, pilihan moral, dan penyelesaian masalah. Perbedaan pembingkaian yang terdapat di dalam berita masing – masing media disebabkan adanya perbedaan pandangan ataupun penilaian. Ini nantinya juga berpengaruh pada cara – cara pemberitaannya.


(13)

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Hukuman eksekusi mati di Indonesia bukanlah hal yang baru. Sejak Indonesia merdeka, Kejaksaan Agung sudah melakukan eksekusi mati kepada 71 terpidana mati, walaupun masih ada juga narapidana mati yang dihukum sejak 1960 sampai sekarang sehat walafiat dan belum dieksekusi (Sumut Pos, Rabu 5 Juli 2006 : 2). Namun putusan hukuman mati yang diterima oleh Tibo cs (Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, Marianus Riwu) merupakan putusan yang terkait dengan kasus besar (kerusuhan Poso–kerusuhan yang mengakibatkan 200-an or200-ang tewas, ratus200-an lainnya luka-luka, d200-an ratus200-an rumah rusak), y200-ang dapat memancing perhatian orang untuk mengikuti setiap perkembangannya. Ditambah pula dengan media massa nasional yang terus memberitakannya. Maka, karena keterkaitannya dengan kasus kerusuhan Poso inilah, masalah Tibo cs dapat digolongkan sebagai masalah nasional.

Hal tersebut tampak pada perkembangan kasus mereka, banyak pihak yang pro dan kontra terhadap putusan hukuman mati terhadap ketiganya. Pihak kontra Tibo cs gencar melakukan demonstrasi, mendesak pemerintah agar Tibo cs segera dieksekusi. Begitu juga dengan pihak – pihak yang mengatakan bahwa Tibo cs tidak bersalah mendesak pemerintah untuk segera membebaskan Tibo cs dan menemukan dalang kerusuhan Poso yang sebenarnya. Pengamat hukum pun saling beradu argumen. Mereka saling memberikan pandangannya terhadap masalah Tibo cs. Pemerintah bahkan menerima beberapa surat yang berasal dari


(14)

masyarakat Indonesia maupun dari luar negeri. Tidak tanggung – tanggung, Paus Benediktus XVI juga turut mengirimi Pemerintah Indonesia agar meninjau kembali putusan yang sudah diberikan kepada Tibo cs. Hal ini pula lah yang membuat pihak penentang penundaan eksekusi menyangka kalau penundaan eksekusi yang beberapa kali terjadi, dikarenakan oleh adanya intervensi dari luar.

Putusan eksekusi mati yang diterima Tibo cs ini sendiri tidak dapat dielakkan lagi setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menandatangani surat penolakan grasi yang berbunyi, “Setelah mempertimbangkan secara

seksama, permohonan grasi para terpidana yang nama-namanya sebagaimana termasuk ke dalam surat-surat Ketua MA pada 6 September 2005 dinilai tidak terdapat cukup alasan untuk memberikan grasi kepada terpidana tersebut”, pada

10 November 2005 (Waspada, Jumat 11 November 2005 : 2).

Namun sebelum mendapat penolakan grasi, Tibo cs mendapat putusan eksekusi mati pada 5 April 2001 lalu dari Pengadilan Negeri Palu. Hanya, mereka tidak langsung menerima putusan itu begitu saja. Berbagai upaya hukum mereka usahakan untuk mendapatkan keringanan hukuman. Mulai dari upaya Banding ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah, upaya Kasasi serta Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, yang semuanya itu ditolak. Dan pada Jumat dini hari 22 September 2006 lalu, di sebuah tempat yang dirahasiakan, Tibo cs pun dieksekusi mati oleh regu penembak yang telah disiapkan oleh Polda Sulawesi Tengah.

Kurang dari 24 jam setelah Tibo cs dieksekusi, Poso dan Kupang-NTT bergejolak. Beberapa kelompok masyarakat memprotes eksekusi mati dengan turun ke jalan, melakukan konvoi, dan merusak gedung – gedung pemerintah daerah setempat. Bahkan keluarga salah satu jenasah terpidana mati, Dominggus


(15)

da Silva, menuntut agar jenasah tersebut divisum. Karena mereka menyangka Dominggus disiksa terlebih dahulu sebelum dieksekusi.

Semua perkembangan ini membuat media tidak berhenti hanya sampai eksekusi selesai dilakukan. Tetapi pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana media – media di Indonesia memberitakan Tibo cs? Bagaimana media – media tersebut mampu menyajikan segala sisi realitas yang terjadi ke dalam bentuk berita tanpa ada ketimpangan pemberitaan?

Selayaknya media memberitakan sebuah peristiwa secara faktual. Selain itu, media pun harus mampu memberikan proporsi yang seimbang kepada pihak – pihak yang terkait dalam peristiwa itu. Berarti media harus memiliki jurnalis – jurnalis yang objektif dan independen. Dengan kata lain, tidak ada suatu sikap keberpihakan (parsial) kepada salah satu pihak di dalam pemberitaan, melainkan harus tidak berpihak (imparsial). Media, dalam hal ini wartawannya harus meninggalkan segala atribut yang mereka miliki, seperti, agama, suku bangsa, jenis kelamin, dan lain – lain dalam melakukan peliputan berita. Agar dapat meminimalisir bias dalam penulisan realitas yang ada menjadi sebuah berita.

Walaupun begitu, dalam pembentukan realitas menjadi sebuah berita itu juga akan menghasilkan beberapa bagian yang lebih ditonjolkan atau dilebih-lebihkan maupun bagian yang lebih diminimalisir atau dihilangkan. Eriyanto (2002 : v) mengatakan, berangkat dari sebuah peristiwa yang sama, media tertentu mewartakannya dengan cara menonjolkan sisi atau aspek tertentu, sedangkan media lainnya meminimalisir, memelintir, bahkan menutup sisi/aspek tersebut, dan sebagainya.


(16)

Hal ini bisa terjadi secara (seperti) tidak sengaja. Misalnya, si wartawan lebih mengutamakan keterangan dari pihak – pihak yang dianggapnya lebih berkompeten, karena wartawan beranggapan mereka lebih dapat dipercaya. Misalnya, para pejabat. Sedangkan keterangan dari masyarakat biasa, walaupun merupakan tokoh yang terkait dengan permasalahan yang diliput oleh wartawan, terkadang kurang, bahkan tidak dilibatkan.

Peneliti tertarik untuk meneliti pemberitaan Tibo cs ini melalui media cetak-khususnya surat kabar, karena peneliti melihat media cetak memiliki sebuah keistimewaan yang tidak dimiliki oleh media – media lainnya (radio, televisi). Seperti yang ditegaskan Onong Uchjana Effendy (2002 : 155), media cetak memiliki sifat terekam. Berita – berita yang disiarkan oleh surat kabar tersusun dalam alinea, kalimat, dan kata – kata yang terdiri atas huruf – huruf, yang dicetak pada kertas. Dengan demikian, setiap peristiwa atau hal yang diberitakan terekam dengan sedemikian rupa sehingga dapat dibaca setiap saat dan dapat diulangkaji, bisa dijadikan dokumentasi dan bisa dipakai sebagai bukti untuk keperluan tertentu.

Sumut Pos dan Waspada misalnya, sehubungan dengan eksekusi mati Tibo cs, juga telah menyediakan ruangan pada media mereka untuk memberitakan setiap perkembangan kasus tersebut. Peneliti melihat kedua harian yang sudah dikenal masyarakat Sumut ini semakin sering memberitakan Tibo cs setelah grasi yang mereka ajukan ke presiden ditolak. Memang kedua media cetak ini tidak memberitakannya setiap hari, karena perkembangan kasus Tibo cs bukan seperti orang yang berbalas pantun. Setiap upaya hukum yang dilakukan Tibo cs untuk meringankan hukumannya tidak langsung direspon dengan cepat oleh pengadilan.


(17)

Perkembangannya bisa memakan waktu berminggu – minggu bahkan berbulan – bulan.

Namun, seiring dengan pelaksanaan eksekusi yang semakin dekat, intensitas pemberitaan yang dilakukan oleh kedua harian pun meningkat. Kedua harian semakin intens memberitakan proses persiapan eksekusi yang akan dijalani ketiganya. Yang tentunya, semakin intensnya pemberitaan yang dilakukan oleh kedua media cetak daerah ini tidak berlawanan dengan ideologi yang dianut oleh masing – masing media. Karenanya, ada perkembangan kasus yang diliput dan ada pula yang tidak. Hal tersebut ditampilkan pada tabel 1 berikut ini.

Tabel 1

Perbandingan Jumlah Berita Terkait Hukuman Eksekusi Tibo Cs pada Harian Sumut Pos dan Harian Waspada

Pemberitaan pada bulan

Sumut Pos (jumlah berita)

Waspada (jumlah berita)

November 2005 - 2

Februari 2006 1 -

Maret 2006 2 1

April 2006 - 5

Agustus 2006 6 7

September 2006 12 10

Jumlah Berita 21 25

Pada pengamatan awal, peneliti menemukan adanya corak tersendiri pada pemberitaan masing – masing harian. Sumut Pos lebih menjaga adanya kemungkinan pelaku yang lain serta dalang kerusuhan Poso. Sebaliknya Waspada


(18)

seperti menutup kemungkinan itu, serta mengkaitkan masalah Tibo cs ini ke masalah SARA (agama).

Berdasarkan uraian latar belakang di atas lah peneliti tertarik untuk melakukan penelitian. Peneliti berusaha untuk menemukan bentuk – bentuk pemberitaan yang dilakukan oleh kedua surat kabar terhadap Tibo cs, yang memuat ideologi masing – masing, dengan cara melakukan penafsiran – penafsiran terhadap teks berita kedua media.

I.2. PERUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, peneliti merumuskan permasalahan yang akan diteliti adalah : “Bagaimanakah surat kabar harian Sumut

Pos dan Waspada membingkai eksekusi mati Tibo cs dalam pemberitaannya”.

I.3. PEMBATASAN MASALAH

Untuk menghindari ruang lingkup yang terlalu luas dan memfokuskan arah penelitian yang akan dilakukan, maka peneliti menetapkan pembatasan masalah sebagai berikut :

1. Penelitian dilakukan hanya pada harian Sumut Pos dan Waspada.

2. Penelitian dilakukan hanya pada berita terkait mengenai hukuman eksekusi mati Tibo cs, setelah upaya grasi ditolak presiden.

3. Penelitian dilakukan pada teks berita mulai November 2005 sampai dengan September 2006.


(19)

I.4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN I.4.1. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui cara harian Sumut Pos dan Waspada menyajikan berita tentang hukuman eksekusi mati Tibo cs.

2. Untuk mengetahui keberpihakan harian Sumut Pos dan Waspada dalam masalah Tibo cs.

3. Untuk mengetahui kecenderungan bingkai yang diberikan oleh harian

Sumut Pos dan Waspada dalam pemberitaan tentang hukuman eksekusi

mati Tibo cs. Dan untuk menunjukkan kecenderungan bingkai pada berita masing – masing kedua harian, dilihat melalui Problem

Identification (masalah apa), Causal Interpretation (penyebab masalah

yang dapat berupa apa atau siapa), Moral Evaluation (keputusan/pilihan moral), dan Treatment Recommendation (solusi penyelesaian masalah).

I.4.2. Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menambah perbendaharaan referensi bagi studi terhadap pemberitaan media massa (media cetak).

2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khasanah penelitian tentang konstruksi realitas dalam pemberitaan media massa. 3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan

bagi kegiatan pemberitaan surat kabar yang diteliti.

4. Penelitian ini diharapkan mampu menambah pengetahuan peneliti tentang analisis media massa.


(20)

I.5. KERANGKA TEORI

Dalam pelaksanaan penelitian, seorang peneliti memerlukan kerangka teori sebagai pedoman dasar berpikir dan berfungsi untuk mendukung analisa variabel – variabel yang akan diteliti. Maka dari itu, peneliti memilih teori – teori berikut sebagai kerangka teori dalam penelitian ini.

I.51. Analisis Framing

Analisis framing adalah versi yang paling baru dari pendekatan analisis wacana untuk menganalisa teks media. Analisis ini dilontarkan oleh Beterson pertama kali pada tahun 1955. Frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori – kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Lebih jauh, konsep tersebut dikembangkan oleh Goffman pada 1974. Goffman mengatakan frame merupakan kepingan perilaku – perilaku yang membimbing individu dalam membaca realitas.

Analisis framing merupakan sebuah model analisis (yang berasal dari paradigma konstruktivisme) mengungkap rahasia di balik semua perbedaan (bahkan pertentangan) media yang dapat digunakan untuk menguak fakta yang tersembunyi. Model analisis yang dapat membantu dalam mengetahui bagaimana realitas di lapangan dibingkai oleh media. Sebab media yang berada di tengah – tengah realitas sosial, terlebih dahulu akan memahami realitas tersebut, memaknainya, dan akan mengkonstruksinya dengan bentukan dan makna tertentu.


(21)

Kita keliru bila menganggap bahwa kata – kata itu mempunyai makna. Kita lah yang memberi makna pada kata. Dan makna yang kita berikan kepada kata yang sama bisa berbeda – beda, bergantung pada konteks ruang dan waktu (Dedy Mulyana, 2001:255).

Analisis framing, analisis yang digunakan untuk melihat konteks sosial-budaya suatu wacana. Khususnya hubungan antara berita dan ideologi, yakni proses atau mekanisme mengenai bagaimana berita membangun, mempertahankan, mereproduksi, mengubah, dan meruntuhkan ideologi. Untuk menganalisa siapa mengendalikan siapa dalam suatu struktur kekuasaan, pihak mana yang diuntungkan dan dirugikan, siapa si penindas dan si tertindas, tindakan politik mana yang konstitusional dan yang inkonstitusional, kebijakan publik mana yang harus didukung dan tidak boleh didukung, dan sebagainya.

Analisis ini lah yang dipakai untuk melihat bagaimana upaya media menyajikan sebuah event yang mengesankan objektivitas, keseimbangan, dan non partisan dan mengemasnya sedemikian rupa sehingga khalayak mudah tergiring ke dalam kerangka pendefenisian realitas tertentu yang dilakukan oleh media melalui pemilihan kata, bahasa, penggunaan simbol dan sistem logika tertentu.

Dalam perspektif komunikasi sendiri, analisis framing dipakai untuk membedah cara – cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai sudut pandang yang


(22)

dimilikinya. Dengan kata lain, analisis ini merupakan sebuah pendekatan untuk mengetahui bagaimana seorang wartawan dalam memandang dan memahami suatu masalah, menyeleksinya, dan membuatnya menjadi sebuah berita. Dan pada akhirnya, caranya memandang sebuah masalah itulah yang menentukan fakta mana yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan, dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut nantinya.

Pippa Noris, Montague Kern, dan Marion Just dalam buku Framing Terrorism (Pippa Noris et al, 2003 :11) pun menyimpulkan mengenai framing, “the essence of framing is selection to prioritize some facts,

images, or developments over others, thereby unconsciously promoting one particular interpretation of events.”

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan konsep framing Robert N. Entman yang mengelompokkan konsep framing ke dalam dua dimensi. Yaitu seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek – aspek tertentu dari realitas/isu. Entman mengatakan bahwa media menjalankan framing dengan cara menseleksi isu – isu tertentu dan dapat mengabaikan isu – isu lainnya yang media tersebut anggap tidak penting. Pada akhirnya isu yang dipilih tersebut dikonstruksi sedemikian rupa sehingga memiliki makna agar dapat diingat oleh khalayak.

Dari kedua dimensi tersebut, terdapat pula empat elemen konsep framing. Yaitu, elemen pendefenisian masalah (define problem/problem identification), elemen memperkirakan masalah (diagnose causes/causal interpretation), elemen membuat keputusan moral (make moral judgement/moral evaluation), dan elemen penekanan penyelesaian


(23)

(treatment recommendation/suggest remedies). Dan dengan ke empat elemen inilah peneliti membedah teks – teks berita eksekusi Tibo cs pada kedua harian Sumut Pos dan Waspada.

I.5.2. Berita

Secara sosiologis, berita adalah semua hal yang terjadi di dunia. Dalam gambaran yang sederhana, seperti yang dilukiskan oleh para pakar jurnalistik, berita adalah apa yang ditulis oleh surat kabar, apa yang disiarkan oleh radio, dan apa yang ditayangkan oleh televisi. Berita menampilkan fakta, tetapi tidak semua fakta merupakan berita. Berita biasanya menyangkut orang – orang, tetapi tidak setiap orang dapat dijadikan berita. Berita merupakan sejumlah peristiwa yang terjadi di dunia, tetapi hanya sebagian kecil saja yang dilaporkan (AS Haris Sumadiria, 2005 : 63).

Menurut Paul De Massener, berita adalah sebuah informasi yang penting dan menarik perhatian serta minat khalayak pendengar. Charnley dan James M. Neal menuturkan, berita adalah laporan tentang suatu peristiwa, opini, kecenderungan, situasi, kondisi, interpretasi yang penting, menarik, masih baru dan harus secepatnya disampaikan kepada khalayak (Errol Jonathans dalam Mirza, 2000:68-69). Namun, bagaimanakah wartawan mempersepsikan fakta/peristiwa yang akan diliput?

Seperti yang dikatakan MacDougall, setiap hari ada jutaan peristiwa yang terjadi di dunia ini, dan semuanya dapat dijadikan berita. Karenanya, berita adalah peristiwa yang telah ditentukan sebagai berita, bukan peristiwa itu sendiri. Harus dinilai terlebih dahulu semua peristiwa itu. Lalu dengan


(24)

berpedoman kepada nilai – nilai tersebut lah, akan dapat ditentukan bagian mana saja dari peristiwa yang layak diberitakan, dan dapat pula ditentukan bagaimana bentuk serta cara mengemasnya.

Adapun bentuk – bentuk berita yang sering ditampilkan pada media – media, seperti straight news report, depth news report, comprehensive news,

interpretative report, feature story, depth reporting, investigative reporting,

dan editorial writing. Dan dari semua bentuk berita di atas, berita kedua harian yang diteliti dalam penelitian ini adalah bentuk straight news, depth

news, dan feature story.

Berita langsung, straight news, suatu laporan yang langsung mengenai suatu peristiwa. Biasanya berita dalam bentuk ini dimulai dari what, who,

when, where, why, how (5W1H). Biasanya berita dalam bentuk ini disebut

juga berita lugas. Lalu bentuk depth news, suatu pemberitaan yang menghimpun informasi lebih mendalam daripada 5W1H. Ada kajian – kajian lain yang menuntut wartawan untuk mencari kelengkapan berita lainnya yang dapat membuat berita lebih berisi. Serta bentuk feature story, bentuk berita yang menyajikan sebuah kreatifitas, subjektifitas wartawan dalam menyampaikan realitas. Bentuk berita yang seolah – olah membawa pembaca lebih dekat dengan peristiwa. Berita feature ini terkadang dapat menggugah perasaan yang membacanya.

I.5.3. Paradigma Konstruksionis

Mohammad A.S. Hikam mengatakan dalam studi mengenai pemakaian bahasa terdapat tiga pandangan, yaitu pertama, pandangan positivis-empiris. Ciri dari pemikiran ini adalah adanya pemisahan antara pemikiran dan


(25)

realitas. Tata bahasa, kebenaran sintaksis adalah bidang utama dari positivis-empiris. Yang kedua, pandangan kritis. Pandangan ini menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya. Karena sangat berhubungan dan dikuasai oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat.

Ketiga, yaitu yang akan dipakai dalam peneliti dalam penelitian ini,

adalah pandangan konstruksionisme. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan positivis-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruksionisme ini, bahasa tidak lagi dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Pandangan ini justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan – hubungan sosialnya. Oleh karena itu, studi analisis bahasa-dalam pandangan konstruksionisme- dimaksudkan untuk membongkar maksud dan makna – makna tertentu dari teks berita/bahasa. Sebuah upaya pengungkapan maksud tersembunyi (implisit) dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pandangan ini memandang berita merupakan sebuah konstruksi dari realitas. Berita bukan peristiwa atau fakta yang riil. Realitas bukan dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah hasil interaksi antara wartawan dengan peristiwa/fakta.


(26)

I.6. KERANGKA KONSEP

Adapun kerangka konsep yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah model framing yang dikemukakan oleh Robert N. Entman. Konsep framing oleh Entman, digunakan untuk menggambarkan proses seleksi dan menonjolkan aspek tertentu dari realitas oleh media. Framing dipandang sebagai penempatan informasi dalam konteks yang khas, sehingga isu tertentu mendapatkan alokasi yang lebih besar daripada isu yang lain.

Entman melihat framing dalam dua dimensi besar : seleksi isu dan penekanan penonjolan aspek – aspek tertentu dari realitas/isu. Dalam praktiknya, framing dijalankan oleh media dengan menseleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain; dan menonjolkan aspek dari isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana – penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan atau bagian belakang, pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang/peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap simbol budaya, generalisasi, simplifikasi, dan lain – lain.

Konsepsi mengenai framing dari Entman tersebut menggambarkan secara luas bagaimana peristiwa dimaknai dan ditandakan oleh wartawan. Problem

identification (pendefinisian masalah) adalah elemen yang pertama kali dapat kita

lihat mengenai framing. Elemen yang akan menunjukkan bagaimana suatu peristiwa/isu dilihat. Sebagai apa atau sebagai masalah apa. Causal interpretation (memperkirakan masalah) adalah elemen yang kedua, yang akan menjelaskan peristiwa tersebut disebabkan oleh apa atau oleh siapa. Moral evaluation (membuat keputusan moral) merupakan elemen ketiga, akan menunjukkan nilai


(27)

moral apa yang disajikan untuk menjelaskan masalah, untuk melegitimasi atau mendeligitimasi suatu tindakan. Treatment recommendation (menekankan penyelesaian), elemen ke empat yang menjelaskan penyelesaian apa yang ditawarkan untuk mengatasi masalah/isu.

I.7. DEFENISI OPERASIONAL VARIABEL

Defenisi operasional variabel merupakan penjabaran lebih lanjut tentang konsep – konsep yang telah dikelompokkan ke dalam kerangka konsep. Penjabaran ini dimaksudkan untuk memberi pengertian yang lebih terarah.

Adapun yang menjadi operasional yang akan dipakai yaitu :

1. Problem Identification (pendefinisian masalah) : elemen yang paling utama (master frame). Ia menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Ketika ada masalah atau peristiwa, bagaimana peristiwa itu dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Dan bingkai yang berbeda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda pula.

2. Causal Interpretation (memperkirakan penyebab masalah) : elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari suatu peristiwa. Penyebab di sini bisa berarti apa (what), tetapi bisa juga siapa (who).

3. Moral Evaluation (membuat pilihan moral) : elemen framing yang dipakai untuk membenarkan / memberi argumen pada pendefinisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah berhasil diidentifikasi,


(28)

penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut.

4. Treatment Recommendation (menekankan penyelesaian) : elemen yang dipakai untuk menilai apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan apa yang dipilih untuk menyelesaikan masalah. Penyelesaian ini sendiri sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa yang dipandang sebagai penyebab masalah.

I.8. METODOLOGI PENELITIAN I.8.1. Metode Penelitian

Penelitian mengenai Tibo cs dalam pemberitaan surat kabar ini menggunakan perangkat framing Robert N. Entman untuk melihat bagaimana harian Sumut Pos dan Waspada mengkonstruksi hukuman eksekusi mati Tibo cs dalam pemberitaannya.

I.8.2. Populasi dan Sampel I.8.2.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah berita mengenai Tibo cs di harian

Sumut Pos dan Waspada mulai November 2005 sampai dengan September

2006.

I.8.2.2. Sampel

Dari populasi tersebut, peneliti mengambil sampel dengan menggunakan teknik purposive sampling, yaitu teknik penarikan sampel dengan cara menentukan sampel melalui kriteria – kriteria tertentu yang sesuai dengan tujuan penelitian.


(29)

Adapun kriteria penentuan sampel tersebut yaitu :

1. Semua berita yang terkait dengan hukuman eksekusi Tibo cs (setelah permohonan grasi ditolak) di harian Sumut Pos dan Waspada. 2. Bentuk beritanya hanya berupa straight news, depth news, dan

feature story.

Dengan berdasarkan kriteria tersebut maka jumlah sampel yang akan diteliti adalah, Sumut Pos berjumlah 21 berita. Sedangkan Waspada berjumlah 25 berita.

I.8.3. Unit Analisis

Unit analisis pada penelitian ini adalah teks berita terkait mengenai hukuman eksekusi terhadap Tibo cs dalam harian Sumut Pos dan Waspada, tetapi tidak termasuk ke dalamnya foto berita.

I.8.4. Teknik Pengumpulan Data

Data – data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan melalui teknik pengumpulan data sebagai berikut :

a. Data dokumentasi, yaitu data – data yang dikumpulkan dari bahan – bahan berita terkait pada harian Sumut Pos dan Waspada.

b. Data kepustakaan, yaitu data – data yang dikumpulkan dari literatur atau referensi yang relevan yang mendukung penelitian.

c. Wawancara, yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman.


(30)

I.8.5. Teknik Analisis Data

Metode penelitian kualitatif, mengharuskan peneliti tidak hanya mengandalkan kemampuan diri dalam mengupas suatu objek penelitian melalui alat ukur yang layak, tetapi lebih dari itu; kemampuan panca indera,

feeling, intuisi, serta kepekaan peneliti terhadap lingkungan di mana

penelitian itu berlangsung (berada) adalah lebih menentukan keberhasilan analisis tersebut. Selain itu pula, kemampuan mengantisipasi serta menginterpretasi data adalah amat dibutuhkan, sehingga mampu mengungkap rahasia di balik data yang kasat mata serta sesuatu yang dimaknakan (Burhan Bungin, 2001:290).

Peneliti akan melakukan penafsiran terhadap teks – teks berita yang sudah ditabulasikan tersebut. Dimulai dari membaca teks – teks berita, meresapi dan mengerti ke dalam suratkabar yang diteliti. Bukannya untuk membandingkan antara konstruksi realitas dengan realitas yang sebenarnya, namun untuk membandingkan konstruksi antarberbagai suratkabar dalam memaknai realitas. Dan pada akhirnya peneliti akan mengambil kesimpulan dari analisis teks – teks berita tersebut.

Karena penelitian ini memakai konsep framing Robert N. Entman, maka peneliti akan menganalisa data dengan cara mentabulasikan data – data yang sudah ada ke dalam tiga tabel berikut :

Tabel 1 : Subjek penelitian.


(31)

Pada tabel 1 ini peneliti akan melakukan pemilahan terhadap berita – berita yang akan diteliti perihal judul, rubrik, halaman, dan edisi, sesuai dengan nama hariannya.

Tabel 2 : Isi berita.

Judul Isi Berita Sumber Berita

Pada tabel 2 ini peneliti akan memaparkan isi masing – masing berita secara ringkas. Peneliti akan meringkas isi berita – berita yang telah dijadikan sebagai sampel.

Tabel 3 : Frame yang digunakan harian. Problem Identification

Causal Interpretation Moral Evaluation

Treatment Recommendation

Untuk menjaga seluruh detail analisis, penelitian dilakukan dengan menganalisa per berita. Setelah melakukan analisis terhadap data – data yang ada, pada tabel 3 peneliti akan menentukan frame yang digunakan oleh masing – masing media dalam memberitakan Tibo cs. Serta mengambil kesimpulan dari rangkaian analisis yang didapat dari setiap berita yang diteliti.


(32)

BAB II

URAIAN TEORITIS

II.1. ANALISIS FRAMING

Analisis framing adalah versi yang paling baru dari pendekatan analisis wacana untuk menganalisa teks media. Analisis ini dilontarkan oleh Beterson pertama kali pada tahun 1955. Frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori – kategori standar untuk mengapresiasi realitas. Lebih jauh, konsep tersebut dikembangkan oleh Goffman pada 1974. Goffman mengatakan frame merupakan kepingan perilaku – perilaku yang membimbing individu dalam membaca realitas.

Analisis framing merupakan sebuah model analisis (yang berasal dari paradigma konstruktivisme), mengungkap rahasia di balik semua perbedaan (bahkan pertentangan) media yang dapat digunakan untuk menguak fakta yang tersembunyi. Model analisis yang dapat membantu dalam mengetahui bagaimana realitas di lapangan dibingkai oleh media. Sebab media yang berada di tengah – tengah realitas sosial, terlebih dahulu akan memahami realitas tersebut, memaknainya, dan akan mengkonstruksinya dengan bentukan dan makna tertentu.

Kita keliru bila menganggap bahwa kata – kata itu mempunyai makna. Kita lah yang memberi makna pada kata. Dan makna yang kita berikan kepada kata yang sama bisa berbeda – beda, bergantung pada konteks ruang dan waktu (Dedy Mulyana, 2001:255).


(33)

Analisis framing, analisis yang digunakan untuk melihat konteks sosial-budaya suatu wacana. Khususnya hubungan antara berita dan ideologi, yakni proses atau mekanisme mengenai bagaimana berita membangun, mempertahankan, mereproduksi, mengubah, dan meruntuhkan ideologi. Untuk menganalisa siapa mengendalikan siapa dalam suatu struktur kekuasaan, pihak mana yang diuntungkan dan dirugikan, siapa si penindas dan si tertindas, tindakan politik mana yang konstitusional dan yang inkonstitusional, kebijakan publik mana yang harus didukung dan tidak boleh didukung, dan sebagainya.

Analisis ini lah yang dipakai untuk melihat bagaimana upaya media menyajikan sebuah event yang mengesankan objektivitas, keseimbangan, dan non partisan dan mengemasnya sedemikian rupa sehingga khalayak mudah tergiring ke dalam kerangka pendefenisian realitas tertentu yang dilakukan oleh media melalui pemilihan kata, bahasa, penggunaan simbol dan sistem logika tertentu.

Bidang komunikasi sendiri memandang analisis framing sebagai alat yang dipakai untuk membedah cara – cara atau ideologi media saat mengkonstruksi fakta. Analisis ini mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih bermakna, lebih menarik, lebih berarti atau lebih diingat, untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai sudut pandang yang dimilikinya. Dengan kata lain, analisis ini merupakan sebuah pendekatan untuk mengetahui bagaimana seorang wartawan dalam memandang dan memahami suatu masalah, menyeleksinya, dan membuatnya menjadi sebuah berita. Dan pada akhirnya, caranya memandang sebuah masalah itulah yang menentukan fakta mana yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan, dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut nantinya.


(34)

Makna sebuah peristiwa yang diproduksi dan disebarluaskan oleh media massa sebenarnya adalah suatu konstruksi makna yang temporer, rentan dan terkadang muskil. Peristiwa – peristiwa yang dilaporkan tersebut, berita sekalipun, bukanlah peristiwa yang sebenarnya terjadi. Proses persepsi selektif yang diperankan oleh wartawan dan para editor, disadari atau tidak, berperan dalam menghasilkan judul berita; ukuran huruf untuk judul; penempatan tiap – tiap berita (halaman depan, dalam, atau belakang-untuk media cetak); pengulangan – pengulangan; pemakaian grafis; pemberian label kepada orang atau peristiwa yang diberitakan, pertanda dari penting atau tidaknya berita itu; panjang atau pendeknya laporan; komentar siapa dan komentar mana yang akan dibuang, yang sedikit banyak akan menunjukkan keberpihakan media itu sendiri. Dengan begitu berita – berita yang mereka sampaikan merupakan realitas yang diciptakan, yang diinginkan mengenai peristiwa atau (kelompok) orang yang dilaporkan.

Berita sebenarnya merupakan laporan peristiwa yang artifisial setelah melewati proses seleksi dan reproduksi. Tetapi dapat diklaim sebagai objektif oleh media itu untuk mencapai tujuan ideologis dan mungkin bisnis. Dengan kata lain, media massa bukan sekadar menyampaikan, melainkan juga menciptakan makna.

Pippa Noris, Montague Kern, dan Marion Just dalam buku Framing Terrorism (Pippa Noris et al, 2003 :11) pun menyimpulkan framing, “The

essence of framing is selection to prioritize some facts, images, or developments over others, thereby unconsciously promoting one particular interpretation of events.” Mereka menyatakan esensi dari framing itu adalah sebuah penyeleksian

yang bertujuan untuk memprioritaskan beberapa fakta, gambaran – gambaran, atau perkembangan – perkembangan di atas hal – hal yang lainnya, oleh karena itu


(35)

secara tidak sadar akan menonjolkan penafsiran yang sebahagian (bukan pemahaman secara menyeluruh) dari kejadian – kejadian.

Adapun inti proses framing adalah tindakan seleksi dan penekanan terhadap aspek realitas. Tindakan seleksi dan penekanan ini dilakukan melalui operasionalisasi perangkat – perangkat framing yang juga dapat diidentifikasi sebagai perangkat wacana. Robert N. Entman mengelompokkan konsep framing ke dalam dua dimensi. Yaitu pertama, seleksi isu dan kedua, penekanan atau penonjolan aspek – aspek tertentu dari realitas/isu. Entman mengatakan bahwa media menjalankan framing dengan cara menseleksi isu – isu tertentu dan dapat mengabaikan isu – isu lainnya yang media tersebut anggap tidak penting. Penekanan ataupun seleksi yang dilakukan inipun dapat diartikan: membuat informasi terlihat lebih jelas, lebih bermakna, atau lebih mudah diingat oleh khalayak. Sebuah ide/gagasan/informasi lebih mudah terlihat, lebih mudah untuk diperhatikan, diingat dan ditafsirkan karena berhubungan dengan skema pandangan khalayak. Pada akhirnya isu yang dipilih tersebut dikonstruksi sedemikian rupa sehingga memiliki makna.

II.1.1. Seleksi Isu

Aspek ini berkaitan dengan pemilihan fakta. Bagian mana yang akan diliput oleh wartawan dari suatu isu/peristiwa? Aspek memilih fakta tidak dapat dilepaskan dari bagaimana fakta itu dipahami oleh media. Ketika melihat sebuah peristiwa, wartawan harus memakai kerangka konsep dan abstraksi dalam menggambarkan realitas. Kalau tindakan petani tebu yang membakar perkebunan tebu dianggap sebagai tindakan anarkis, maka realitas yang akan dibentuk wartawan tidak menguntungkan petani.


(36)

Sebaliknya jika tindakan tersebut dimaknai sebagai bentuk perlawanan para petani maka realitas yang dibentuk menguntungkan petani.

Entman menyebut ada empat cara yang sering dilakukan media, dalam proses pendefenisian peristiwa. Ke empat cara itu merupakan strategi media, dan membawa konsekuensi tertentu atas realitas yang terbentuk oleh media.

Pertama, pendefenisian masalah (Problem Identification) adalah elemen

yang pertama kali dapat kita lihat mengenai framing. Elemen ini merupakan bingkai yang paling utama. Elemen ini menekankan bagaimana peristiwa dipahami oleh wartawan. Sewaktu timbul permasalahan atau peristiwa, bagaimana permasalahan atau peristiwa itu dipahami. Peristiwa yang sama dapat dipahami secara berbeda. Dan bingkai yang berbeda ini akan menyebabkan realitas bentukan yang berbeda pula. Maka tidak jarang orang yang bingung terhadap berita – berita yang dimunculkan oleh banyak media. Karena adanya perbedaan itu tadi.

Kedua, memperkirakan penyebab masalah (Causal Interpretation)

merupakan elemen framing untuk membingkai siapa yang dianggap sebagai aktor dari sebuah peristiwa. Penyebab yang dapat berupa apa (what) ataupun siapa (who). Bagaimana peristiwa dipahami tentu saja menentukan apa dan siapa yang dianggap sebagai sumber masalah. Oleh sebab itu, masalah yang dipahami secara berbeda, penyebab masalah secara tidak langsung juga akan dipahami secara berbeda pula. Dengan kata lain, pendefenisian sumber masalah ini menyertakan secara lebih luas siapa yang dianggap sebagai pelaku dan siapa pula yang dianggap sebagai korban.


(37)

Ketiga, membuat pilihan moral (Moral Evaluation) adalah elemen

framing yang dipakai untuk membenarkan/memberi argumentasi pada pendefenisian masalah yang sudah dibuat. Ketika masalah sudah didefenisikan, penyebab masalah sudah ditentukan, dibutuhkan sebuah argumentasi yang kuat untuk mendukung gagasan tersebut. Gagasan yang dikutip yang berhubungan dengan sesuatu yang familiar dan dikenal oleh masyarakat.

Keempat, menekankan penyelesaian (Treatment Recommendation)

adalah elemen yang dipakai untuk melihat apa yang dikehendaki oleh wartawan. Jalan yang seperti apa dijadikan oleh wartawan untuk menyelesaikan masalah. Dimana penyelesaian itu tentu saja sangat tergantung pada bagaimana peristiwa itu dilihat dan siapa dipandang sebagai penyebab masalah.

II.1.2. Penonjolan Aspek Tertentu dari Suatu Isu

Penonjolan sebuah aspek yang tertentu ini sangat berkaitan dengan penulisan fakta. Proses tersebut sangat berhubungan dengan pemakaian bahasa dalam menuliskan realitas untuk dibaca khalayak. Pilihan kata – kata tertentu yang dipakai tidak sekadar teknik jurnalistik, melainkan sebagai politik bahasa. Bagaimana sebuah bahasa – yang dalam hal ini umumnya pilihan kata – kata yang dipilih, dapat menciptakan realitas tertentu kepada khalayak. Kata – kata tertentu tidak hanya memfokuskan perhatian khalayak pada masalah tertentu, namun juga membatasi persepsi dan mengarahkannya pada cara berpikir dan keyakinan tertentu. Dengan kata lain kata – kata yang dipakai dapat membatasi seseorang melihat dari sudut pandang lain,


(38)

menyediakan aspek tertentu dari suatu peristiwa dan mengarahkannya untuk memahami suatu peristiwa. Hilang sudah kesempatan untuk menilai apa yang sebenarnya terjadi.

II.2. BERITA

Secara sosiologis, berita adalah semua hal yang terjadi di dunia. Dalam gambaran yang sederhana, seperti yang dilukiskan oleh para pakar jurnalistik, berita adalah apa yang ditulis oleh surat kabar, apa yang disiarkan oleh radio, dan apa yang ditayangkan oleh televisi. Berita menampilkan fakta, tetapi tidak semua fakta merupakan berita. Berita biasanya menyangkut orang – orang, tetapi tidak setiap orang dapat dijadikan berita. Berita merupakan sejumlah peristiwa yang terjadi di dunia, tetapi hanya sebagian kecil saja yang dilaporkan (AS Haris Sumadiria, 2005 : 63).

Menurut Paul De Massener, berita adalah sebuah informasi yang penting dan menarik perhatian serta minat khalayak pendengar. Charnley dan James M. Neal menuturkan, berita adalah laporan tentang suatu peristiwa, opini, kecenderungan, situasi, kondisi, interpretasi yang penting, menarik, masih baru dan harus secepatnya disampaikan kepada khalayak (Errol Jonathans dalam Mirza, 2000:68-69). Namun, bagaimanakah wartawan mempersepsikan fakta/peristiwa yang akan diliput?

Seperti yang dikatakan MacDougall, setiap hari ada jutaan peristiwa yang terjadi di dunia ini, dan semuanya dapat dijadikan berita. Karenanya, berita adalah peristiwa yang telah ditentukan sebagai berita, bukan peristiwa itu sendiri. Harus dinilai terlebih dahulu semua peristiwa itu. Lalu dengan nilai – nilai tersebut lah,


(39)

akan dapat ditentukan bagian mana saja dari peristiwa yang layak diberitakan, dan dapat pula ditentukan bagaimana bentuk serta cara mengemasnya.

Adapun bentuk – bentuk berita yang sering ditampilkan pada media – media, seperti straight news report, depth news report, comprehensive news,

interpretative report, feature story, depth reporting, investigative reporting, dan editorial writing.

Straight news report adalah laporan langsung mengenai sebuah peristiwa.

Biasanya berita yang disajikan adalah apa – apa yang terjadi dalam waktu yang singkat. Berita dalam jenis ini ditulis dengan unsur – unsur yang dimulai dari

what,who, when, where, why, dan how (5W1H).

Depth news report merupakan laporan yang sedikit berbeda dengan stragiht news report. Wartawan menghimpun informasi dengan fakta – fakta mengenai

peristiwa itu sendiri sebagai informasi tambahan untuk peristiwa tersebut. Jenis laporan ini memerlukan pengalihan informasi, bukan opini wartawan. Fakta – fakta yang nyata masih besar.

Comprehensive news merupakan laporan tentang fakta yang bersifat

menyeluruh ditinjau dari berbagai aspek. Berita menyeluruh sesungguhnya merupakan jawaban terhadap kritik sekaligus kelemahan yang terdapat pada berita

straight. Berita langsung bersifat sepotong – potong, tidak utuh, hanya merupakan

serpihan fakta setiap hari. Tidak peduli dengan hubungan atau keterkaitan antara berita yang satu dengan berita yang lain. Namun, berita menyeluruh mencoba untuk menggabungkan berbagai serpihan fakta itu dalam satu bangunan cerita peristiwa sehingga benang merahnya terlihat dengan jelas.


(40)

Interpretative report lebih dari straight dan depth news. Berita jenis ini

biasanya memfokuskan sebuah isu, masalah, atau peristiwa – peristiwa kontroversial. Namun fokus laporannya masih mengenai fakta, bukan opini. Jenis laporan ini bergantung pada pertimbangan nilai dan fakta, maka sebagian pembaca menyebutnya sebagai “opini”. Laporan interpretatif ini biasanya dipusatkan pada pertanyaan “mengapa”. Pendeknya berita interpretatif bersifat bertanya, apa makna sebenarnya dari peristiwa tersebut.

Feature story berbeda dengan jenis – jenis yang di atas. Dalam laporan –

laporan jenis berita sebelumnya, reporter menyajikan informasi yang penting untuk para pembaca. Sedangkan dalam feature, penulis mencari fakta untuk menarik perhatian pembaca/pemirsanya. Penulis berita jenis ini menyajikan suatu pengalaman pembaca (reading experiences) yang lebih bergantung pada gaya penulisan humor daripada pentingnya informasi yang disajikan.

Depth reporting adalah pelaporan jurnalistik yang bersifat mendalam, tajam,

lengkap dan utuh tentang suatu peristiwa fenomena atau aktual. Dengan membacanya orang akan mengetahui dan memahami dengan baik duduk perkara suatu persoalan dilihat dari berbagai sudut pandang. Laporan ini, dalam tradisi pers kita sering disajikan dalam rubrik khusus seperti laporan utama, bahasan

utama, fokus. Berita yang dibagi ke dalam beberapa judul ini, ditulis oleh sebuah

tim liputan, yang harus disiapkan secara matang. Biasanya penulisan memakan waktu beberapa hari atau minggu, dan membutuhkan biaya peliputan yang cukup besar.

Investigative reporting berisikan hal – hal yang tidak jauh dengan laporan


(41)

kontroversi. Namun demikian, dalam laporan investigatif ini para wartawan melakukan penyelidikan untuk memperoleh fakta yang tersembunyi demi tujuan. Pelaksanaan dalam proses peliputannya sering ilegal malah bahkan tidak etis.

Editorial writing adalah pikiran sebuah institusi yang diuji di depan sidang

pendapat umum. Editorial adalah penyajian fakta dan opini yang menafsirkan berita – berita yang penting dan mempengaruhi pendapat umum. Para penulis editorial bukan bekerja untuk dirinya sendiri, melainkan untuk sebuah surat kabar, majalah, radio, ataupun stasiun televisi.

Bentuk – bentuk berita yang diteliti dalam penelitian ini adalah bentuk

straight news, depth news, dan bentuk feature story.

Contoh bentuk berita straight news adalah sebagai berikut :

“Kasus senjata api milik alm Brigjen Koesmayadi, wakil asisten logistik (Waaslog) kepala staf TNI Angkatan Darat, semakin berkembang. Jumlahnya membengkak menjadi 180 pucuk. Sebagian ternyata dititipkan di Kopassus, dan sebagian ditemukan di rumah Rafflesia Hill Cibubur.

Saat ini, sudah 31 orang diperiksa. Mereka berpangkat prajurit dua (prada) hingga kolonel. Salah satunya adalah menantu Koesmayadi, Kapten CPM Ahmad Irianto. Kini dia diamankan di Paspampres.

Pusat Polisi Militer AD (Puspom AD) juga akan memintai keterangan sejumlah jenderal, termasuk yang sudah pensiun. ‘Sekarang ini masih diperiksa asal – asul senjatanya dan siapa saja yang terlibat,’ ujar Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto kepada wartawan di Kantor Menkopolhukam kemarin.” (Sumut Pos, Rabu 5 Juli 2006)

Contoh bentuk depth news :

“Pasca eksekusi terhadap tiga terpidana kasus kerusuhan Poso, Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwa, aksi anarkis massa merebak di beberapa kota di Indonesia. Aksi itu dipicu ketidakpuasan atas eksekusi itu.

Keterangan yang dihimpun Kantor Pengadilan Negeri Maumere di Kabipaten Sikka, Pula Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jumat, sekitar pukul 18.30 Wita dibakar massa...

Sementara aksi anarkis massa juga terjadi di Atambua. Masssa menyerang Lembaga Pemasyarakatan (LP) Atambua juga disertai dengan memaksa warga binaan LP (Napi dan Tahanan) untuk meninggalkan LP, dengan rincian yakni gelombang pertama memaksa 190 napi dan tahan kabur, kemudian gelombang kedua memaksa 15 yang masih tertahan di LP tersebut keluar LP, sedangkan 10 orang di antaranya berhasil diungsikan petugas...

Sementara itu sekira 2.000 orang warga dari berbagai desa di Kecamatan Lembo, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, menyambut kedatangan jenazah Fabianus Tibo dan Marianus Riwu di Beteleme yang dievakuasi melalui Soroako,


(42)

Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan usai dieksekusi oleh regu tembak di Kota Palu, Sulawesi Tengah, Jumat dini hari...” (Waspada, Senin 25 September 2006)

Contoh bentuk feature story :

“Sejak awal, cerita sedih Ihsan sudah sering digemakan. Di awal kedatangannya ke Jakarta, Ihsan langsung mendapat simpati dari salah satu dewan juri, Titi Dwijayati. Juri yang terkenal baik hati ini memberinya dua pasang baju, lengkap dengan ikat pinggangnya.

Latar belakang kehidupannya semakin terekspose seiring berjalannya kompetisi. Simpati terus berdatangan. Mulai dari mantan wapres Hamzah Haz, Gubsu Rudolf Pardede, bupati hingga staf protokoler DPR/MPR Mara S Siregar ikut andil dalam kesuksesan Ihsan menjaring suara.

‘Saya sedih kalau dibilang memanfaatkan cerita keluarga saya. Tapi memang seperti itu kondisi keluarga kami,’ paparnya.” (Sumut Pos, Senin 21 Agustus 2006)

Berita harus memiliki unsur – unsur yang menjadikannya layak sebagai sebuah berita. Berdasar kepada Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia pasal 5 yang berbunyi: “Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dan ketepatan, serta tidak mencampurkan fakta dan opini. Tulisan berisi interpretasi dan opini wartawan agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya”, Hikmat Kusumaningrat dan Purnama Kusumaningrat dalam buku Jurnalistik : Teori dan Praktik (Hikmat Kusumaningrat 2005 : 47) mengatakan agar sebuah laporan layak disebut berita maka laporan tersebut harus akurat, lengkap adil, berimbang, tidak bercampur

antara opini dan fakta (objektif), serta ringkas, jelas dan hangat. Sifat – sifat

istimewa berita ini sudah terbentuk sedemikian kuatnya sehingga bukan saja membentuk khas praktik pemberitaan tetapi juga berlaku sebagai pedoman dalam menyajikan dan menilai layak tidaknya suatu berita untuk dimuat. Ini semua membangun prinsip – prinsip kerja yang mengkondisikan pendekatan profesional terhadap berita dan membimbing wartawan dalam pekerjaannya sehari – hari.


(43)

II.2.1. Berita Harus Akurat

Wartawan harus memiliki kehati-hatian yang sangat tinggi dalam melakukan pekerjaannya mengingat dampak yang luas yang ditimbulkan oleh berita yang dibuatnya. Dimulai dari kecermatan terhadap ejaan nama, angka, tanggal dan usia serta disiplin diri untuk senantiasa melakukan periksa-ulang atas keterangan dan fakta yang ditemuinya. Tidak hanya itu, akurasi juga berarti benar dalam memberikan kesan umum, benar dalam sudut pandang pemberitaan yang dicapai oleh penyajian detail – detail fakta dan oleh tekanan yang diberikan pada fakta – faktanya. Pembaca biasanya sangat memperhatikan soal akurasi ini. Bahkan, kredibilitas sebuah media (cetak, elektronik) sangat ditentukan oleh akurasi beritanya sebagai konsekuensi dari kehati-hatian para wartawannya dalam membuat berita.

“...Sementara itu tiga terpidana kasus kerusuhan Poso yang telah dieksekusi mati Fabianus Tibo, Marianus Riwu dan Dominggus da Silva hari ini, Minggu (24/9) dimakamkan di tiga tempat berbeda.

Fabianus Tibo dimakamkan di pemakaman umum Desa Beteleme, Kecamatan Morowali, atau sekitar 500 km dari Palu, Ibukota Sulawesi Tengah. Sementara jenazah Marinus Riwu dimakamkan di Desa Molore, Kecamatan Petania, sekitar 40 km selatan Beteleme.

...Sementara jenazah Dominggus da Silva dimakamkan di pemakaman keluarga Waikodo, Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur.” (Waspada, Senin 25 September 2006)

Wartawan berusaha untuk menjaga keakuratan beritanya, mulai dari nama – nama terpidana eksekusi mati, jarak tempat mereka dikuburkan dari kota, sampai nama tempat pekuburannya. Keakuratan ini diharuskan untuk menjaga kemungkinan peziarah – peziarah dari daerah lain yang ingin mendatangi ketiga tempat itu, yang mungkin cuma mengandalkan informasi dari surat kabar. Seandainya wartawan tidak memberikan keterangan yang


(44)

akurat, para peziarah tersesat, akibatnya mereka akan sulit untuk mempercayai kredibilitas si wartawan (surat kabar).

Joseph Pulitzer menyatakan pendapatnya mengenai akurasi ini, tidak lama setelah ia pensiun dari sebagai pemimpin redaksi New York World, antara lain: “It is not enough to refrain from publishing fake news; it is not enough to avoid the mistakes which arise from the ignorance, the carelesness, the stupidity of one or more of the many men who handle the news . . . You have got to . . . make everyone connected with the paper – your editors, your reporters, your correspondents, your rewrite men, proofreaders – believe that accuracy is to a newspaper what virtue is to a woman.”

Seorang wartawan yang baik adalah apabila ia senantiasa menyangsikan kebenaran yang didengar dan dilihatnya, sehingga dalam dirinya selalu tertanam kewaspadaan untuk berhati – hati dan bersikap cermat.

II.2.2. Berita Harus Lengkap, Adil, dan Berimbang

Keakuratan fakta bukan menjamin keakuratan arti. Fakta – fakta yang akurat dipilih atau disusun secara longgar atau tidak adil sama menyesatkannya dengan kesalahan yang sama sekali palsu. Dengan terlalu banyak atau terlalu sedikit memberikan tekanan, dengan menyisipkan fakta – fakta yang tidak relevan atau dengan menghilangkan fakta – fakta yang seharusnya ada di sana, pembaca mungkin mendapat kesan yang palsu. Begitu juga dengan hal adil dan berimbang, yang mungkin sama sulitnya dengan menjaga keakuratan dalam menyajikan fakta. Selaku wakil dari pembaca atau pendengar berita, seorang wartawan harus senantiasa berusaha untuk menempatkan setiap fakta menurut proporsinya yang wajar. Untuk mengaitkannya secara berarti dengan unsur – unsur yang lain, dan untuk membangun segi pentingnya dengan berita secara keseluruhan.


(45)

“Eksekusi tiga terpidana mati kasus Poso mungkin tidak bisa dilaksanakan tiga hari setelah HUT Kemerdekaan. Sebab, hingga kemarin belum ada pemberitahuan kepada para terpidana maupun keluarganya. Padahal, menurut aturan, eksekusi baru bisa dilaksanakan setelah tiga hari pemberitahuan.

Kapolri Jenderal Pol Sutanto menegaskan, eksekusi Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva tidak akan dimundurkan lagi. Polda Sulawesi Tengah telah siap melaksanakan putusan pengadilan. Namun, yang berwenang mengeksekusi adalah Kejati Sulteng.

Kajati Sulteng Jahja Sibe mengakui, hingga kemarin belum ada penjadwalan kembali eksekusi Tibo cs. Penjadwalan kembali itu pun tidak bergantung pada batasan waktu. ‘Yang diatur dalam undang-undang adalah tiga hari setelah penyampaian barulah eksekusi dilaksanakan’ katanya kemarin.

...’Saya kira tidak ada lagi (penundaan,Red). Polda kan sudah mempersiapkan,’ ujar Sutanto usai Peringatan Detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka kemarin.

...Kapolda Sulteng Brigjen Pol Oegroseno mengatakan, kepolisian dan Kejati Sulteng tengah memilih hari yang tepat. Regu tembak Brimob Polda Sulteng sudah siap sepenuhnya. ‘Eksekusi tidak akan terpengaruh oleh pihak luar,’ tegasnya.” (Sumut Pos, Jumat 18 Agustus 2006)

Berita ini menampilkan keterangan dari berbagai pihak yang terkait dengan masalah yang diberitakan. Wartawan menjaga hal ini untuk menegaskan adanya kelengkapan, keadilan, dan berimbangnya suatu berita. Wartawan semampunya tidak membuat missing link antara fakta/keterangan yang satu dengan fakta/keterangan yang lain. Menjaga keakuratan fakta dan keakuratan arti dari sebuah berita.

II.2.3. Berita Harus Objektif

Wartawan, selain harus memiliki ketepatan (akurasi) dan kecepatan dalam bekerja, mereka juga dituntut untuk bersikap objektif dalam menulis. Dengan sikap objektifnya, berita yang dibuat pun akan objektif, artinya berita yang dibuat itu harus selaras dengan kenyataan, tidak berat sebelah, bebas dari prasangka. Pengertian objektif ini pun termasuk keharusan wartawan menulis dalam konteks peristiwa secara keseluruhan, tidak dipotong – potong oleh kecenderungan subjektif. Memang ada karya


(46)

agak kendur, misalnya editorial atau komentar. Namun demikian, dalam penulisan berita, objektifitas harus tetap dijaga-walaupun hampir tidak mungkin untuk menjaganya 100 persen. Karena latar belakang seorang wartawan acapkali mewarnai hasil karyanya.

“Warga Muslim Poso di Provinsi Sulawesi Tengah kecewa berat dengan keputusan presiden yang menunda pelaksanaan hukuman mati terhadap Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva – ketiganya terpidana mati kasus kerusuhan Poso.

‘Keputusan (menunda pelaksanaa eksekusi mati kedua kalinya pada Sabtu pekan lalu) itu sangat mengecewakan umat Islam di Poso, terutama mereka yang menjadi korban kerusuhan,’ kata Ketua Forum Komunikasi Umat Islam Poso, KH Adnan Arsal, Selasa (15/8).

...Kyai Adnan mengkhawatirkan adanya skenario besar sekaitan tertunda-tundanya pelaksanaan eksekusi, menyusul kuatnya tekanan asing terhadap pemerintahan SBY-Kalla.

‘Karena kuatnya tekanan asing, kami sangat mengkhawatirkan permohonan grasi kedua yang diajukan Tibo dkk akan dikabulkan presiden sebab dua tahun (sampai 17 April 2007) setelah penolakan grasi pertama, ketiga terpidana mati ini bisa terbebas dari hukuman mati,’ katanya.

...Sementara itu Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, I Wayan Pasek Suartha di Jakarta, selasa menegaskan, penundaan eksekusi itu, tidak berhubungan dengan surat dari Paus Benedictus XVI kepada Presiden RI.

‘Ya, surat itu ada (surat dari Paus Benedictus XVI-Red). Tapi penundaan eksekusi tidak ada hubungannya dengan itu,’ katanya.” (Waspada, 16 Agustus 2006)

Wartawan sebaiknya mencermati sebuah masalah yang pro-kontra. Untuk menjaga keobjektifitasan sebuah berita yang memiliki pro dan kontra, wartawan menulisnya dengan tidak berat sebelah antara pihak – pihak yang berlawanan. Berita yang ditulis pun harus sesuai dengan kenyataan yang ada. Tidak ada pengurangan – pengurangan, walaupun hampir tidak mungkin untuk dilakukan.


(47)

II.2.4. Berita Harus Ringkas dan Jelas

Berita harus disajikan dalam bentuk yang dapat dicerna dengan cepat. Artinya tulisan tersebut harus sederhana. Tidak banyak menggunakan kata – kata, harus langsung, dan padu. Seorang wartawan yang menggunakan kata – kata klise dan bukan kata – kata yang segar dan jelas, tidak akan mendapat pujian. Penulisan berita yang efektif dapat memberikan efek mengalir, ia memiliki warna alami tanpa berelok – elok atau tanpa kepandaian bertutur yang berlebihan. Ringkas, terarah, tepat, dan menggugah.

“Semakin dekat saja hai H eksekusi bagi tiga terpidana mati, Fabianus Tibo, Marinus Riwu, dan Dominggus da Silva. Kemarin, suasana Lapas Kelas II A Palu, tempat trio terpidana mati itu ditahan, terlihat lengang. Penjagaan dari aparat keamanan pun sangat ketat.

Hingga kemarin, pihak keluarga dan penasehat hukum Tibo cs masih belum mengantongi izin besuk. Penasehat spiritual Tibo cs, pastor Jimmy Tumbelaka, siang kemarin terlihat mondar-mandir di Kantor Kejati Sulawesi Sulawesi (Sulteng). Sayang, pihak Kejati yang memiliki wewenang mengeluarkan perintah eksekusi bergeming dan belum memperbolehkan siapa pun menemui Tibo cs. Hingga kemarin, dia masih ditempatkan di sel khusus yang berada tepat di ujung utara blok tahanan.” (Sumut Pos, Minggu 20 Agustus 2006)

II.2.5. Berita Harus Hangat

Berita adalah padanan dari kata News dalam bahasa Inggris. Kata News itu sendiri telah menunjukkan adanya unsur waktu – apa new, apa yang

baru, yaitu lawan dari lama. Penekanan pada konteks waktu dalam berita

kini dianggap sebagai hal yang biasa. Konsumen berita tidak pernah mempertanyakan hal itu. Dunia bergerak dengan cepat, dan manusia harus berlari untuk mengikuti kecepatan geraknya. Peristiwa – peristiwa bersifat tidak kekal. Apa yang nampak pada hari ini belum tentu benar pada esok hari. Karena konsumen berita menginginkan informasi segar, informasi


(48)

hangat, kebanyakan berita berisi laporan peristiwa – peristiwa “hari ini” (dalam harian sore), atau paling lama, “tadi malam” atau “kemarin” (dalam harian pagi). Media berita sangat spesifik tentang faktor waktu ini untuk menunjukkan bahwa berita – berita yang mereka buat bukan hanya “hangat” tetapi paling tidak “yang paling terakhir”.

“Ketua MPR Hidayat Nurwahid menilai penundaan eksekusi Tibo cs, sebagai bentuk keraguan dari pemerintah untuk menegakkan hukum. Jika hal itu terus terjadi dikhawatirkan berdampak buruk bagi proses penegakan hukum.

‘Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum. Jadi hukum di Indonesia ini memang harus dilaksanakan setegak-tegaknya, seadil-adilnya, sesuai dengan keputusan dari hukum itu,’ ujar Hidayat kepada pers usai menerima anggota Paskibraka di Gedung MPR, Jakarta, Selasa (22/8).

Dia menegaskan penegakan hukum tidak hanya terkait kasus Tibo cs, tetapi semua kasus hukum harus ditegakkan agar jangan sampai satu keputusan yang telah mempunyai keputusan hukum yang tetap, kemudioan diabaiklan atau tidak dilaksanakan.” (Waspada, Kamis 24 Agustus 2006)

Pelaksanaan eksekusi Tibo cs merupakan berita cukup hangat dan sering diberitakan oleh media massa. Setiap perkembangan yang terjadi seiring proses hukum, tidak akan luput dari wartawan masing – masing media massa. Kalau boleh dikatakan, bagaikan artis, Tibo cs sangat populer di tengah masyarakat pada waktu itu.

II.3. PARADIGMA KONSTRUKSIONIS

Mohammad A.S. Hikam mengatakan dalam studi mengenai pemakaian bahasa terdapat tiga pandangan, yaitu pertama, pandangan positivis-empiris. Ciri dari pemikiran ini adalah adanya pemisahan antara pemikiran dan realitas. Tata bahasa, kebenaran sintaksis adalah bidang utama dari positivis-empiris. Yang


(49)

yang terjadi pada proses produksi dan reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikirannya. Karena sangat berhubungan dan dikuasai oleh kekuatan sosial yang ada dalam masyarakat.

Ketiga, yang akan dipakai dalam peneliti dalam penelitian ini, adalah

pandangan konstruksionisme. Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini menolak pandangan positivis-empiris yang memisahkan subjek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruksionisme ini, bahasa tidak lagi dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Pandangan ini justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan – hubungan sosialnya. Oleh karena itu, studi analisis bahasa-dalam pandangan konstruksionisme- dimaksudkan untuk membongkar maksud dan makna – makna tertentu dari teks berita/bahasa. Sebuah upaya pengungkapan maksud tersembunyi (implisit) dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pandangan ini memandang berita merupakan sebuah konstruksi dari realitas. Berita bukan peristiwa atau fakta yang riil. Realitas bukan dioper begitu saja sebagai berita. Ia adalah hasil interaksi antara wartawan dengan peristiwa/fakta.

Bahasa merupakan instrumen pokok untuk menceritakan realitas dalam konstruksi realitas ini. Begitu pentingnya bahasa, maka tak ada cerita, ataupun ilmu pengetahuan tanpa bahasa. Dan jika dicermati lebih teliti, seluruh isi media (cetak, elektronik) menggunakan bahasa, baik bahasa verbal (kata – kata tertulis atau lisan) maupun bahasa non-verbal (gambar, foto, gerak-gerik, grafik, angka, dan tabel).


(50)

Keberadaan bahasa bukan hanya sebagai alat untuk menggambarkan sebuah realitas, namun juga menjadi gambaran (makna citra) mengenai realitas (media) yang akan muncul di benak para konsumen media. Terdapat beberapa cara media massa dalam mempengaruhi bahasa dan makna ini, seperti mengembangkan kata- kata baru beserta makna asosiatifnya, memperluas makna dari istilah – istilah yang ada, mengganti makna lama dari sebuah istilah, ataupun memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa.

Kaum konstruksionis pun memiliki beberapa penilaian terhadap proses berita – berita bentukan dari realitas tersebut. Di bawah ini adalah penilaian terhadap media dan wartawan itu sendiri, yang memproduksi makna melalui bahasa tersebut.

Fakta/Peristiwa Adalah Hasil Konstruksi. Realitas dihadirkan oleh konsep

subjektifitas wartawan. Realitas tercipta lewat sudut pandang tertentu yang dimiliki oleh wartawan. Di sini tidak ada realitas yang objektif. Oleh karena itu, realitas dapat berbeda – beda, tergantung kepada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan yang berbeda. Fakta bukanlah sesuatu yang tinggal ambil, ada, dan menjadi bahan dari berita. Fakta bukan sesuatu yang terberi, melainkan ada dalam benak kita, yang melihat fakta tersebut. Karena kita lah yang aktif memberikan defenisi, memberi makna dan menentukan fakta tersebut sebagai kenyataan.

Media Adalah Agen Konstruksi. Dalam pandangan konstruksionis, saluran

juga tidak bebas. Saluran (media) dapat pula mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Berita yang kita baca bukan cuma menggambarkan realitas, bukan hanya menunjukkan pendapat sumber berita,


(51)

tetapi juga konstruksi oleh media itu sendiri. Sebab, media memilih realitas mana yang diambil dan mana yang dibuang. Media, lewat berbagai instrumen yang dimilikinya ikut membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaannya. Apa yang tersaji itu merupakan hasil konstruksi.

Berita Bukan Refleksi dari Realitas. Ia Hanyalah Konstruksi dari Realitas.

Layaknya drama, di dalam berita pun terdapat pemenang dan pecundang. Berita juga selalu melibatkan pandangan, ideologi, dan nilai – nilai dari wartawan atau media. Bagaimana realitas itu dijadikan berita sangat tergantung pada bagaimana fakta itu dipahami dan dimaknai. Proses konstruksi (memilih fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas itu hadir di depan khalayak. Yang mana proses ini selalu melibatkan nilai – nilai tertentu sehingga mustahil berita merupakan pencerminan dari realitas.

Berita Bersifat Subjektif/Konstruksi Atas Realitas. Berita tidak bisa dinilai

dengan menggunakan sebuah standar yang rigid. Hal ini karena berita adalah produk dari konstruksi dan pemaknaan atas realitas. Di mana pemaknaan seseorang terhadap realitas bisa jadi berbeda dengan orang yang lain, yang tentunya menghasilkan “realitas” yang berbeda pula. Karenanya, ukuran baku/standar tidak bisa dipakai. Kalau ada perbedaan antara berita dengan realitas yang sebenarnya, tidak bisa disalahkan, tetapi memang seperti itu lah pemaknaan atas realitas.

Wartawan Bukan Pelapor. Ia Agen Konstruksi Realitas. Seorang yang

jurnalis yang baik adalah jurnalis yang mampu memindahkan realitas itu ke dalam berita. Namun konstruksionis berpandangan berbeda. Wartawan tidak bisa menyembunyikan pilihan moral dan keberpihakannya, karena ia merupakan


(52)

bagian yang intrinsik dalam pembentukan berita. Lagipula, berita bukan hanya produk individual, melainkan juga bagian dari proses organisasi dan interaksi antara wartawannya. Topik apa yang akan diangkat, siapa narasumbernya, itu semuanya disediakan oleh kebijakan redaksional tempat wartawan bekerja, bukan semata – mata bagian dari pilihan profesional individu. Wartawan adalah agen konstruksi. Tidak hanya melaporkan fakta, melainkan juga turut mendefenisikan peristiwa. Seperti yang dikatakan oleh Judith Lichtenberg, realitas hasil konstruksi itu selalu terbentuk melalui konsep dan kategori, tanpa konsep dan kategori kita tidak bisa melihat dunia. Artinya, ketika wartawan menulis berita, sesungguhnya ia membuat dan membentuk dunia, membentuk realitas.

Etika, Pilihan Moral, dan Keberpihakan Wartawan Adalah Bagian yang Integral dalam Produksi Berita. Aspek etika, moral, dan nilai – nilai tertentu tidak

mungkin dihilangkan dari pemberitaan media. Wartawan bukan robot yang hanya melihat secara apa adanya. Wartawan bukan hanya bertugas sebagai pelapor, karena disadari atau tidak, ia menjadi partisipan dari keragaman penafsiran dan subjektifitas dalam publik. Dengan fungsi yang seperti itu, wartawan menulis berita bukan hanya untuk menjelaskan, tetapi juga mengkonstruksi peristiwa dari dirinya sendiri dengan realitas yang diamati.

Nilai, Etika, dan Pilihan Moral Peneliti Menjadi Bagian yang Integral dalam Penelitian. Penelitian yang bersifat konstruksionis berpandangan peneliti

bukanlah subjek yang bebas nilai. Pilihan etika, moral, keberpihakan peneliti menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses penelitian. Hal ini sukar untuk dihilangkan. Peneliti bukan makhluk yang netral, menilai realitas apa adanya.


(53)

Karena itu, dengan konstruksinya masing – masing, peneliti yang berbeda akan menghasilkan temuan yang berbeda terhadap objek penelitian yang sama.

Khalayak Mempunyai Penafsiran Tersendiri Atas Berita. Khalayak adalah

makhluk yang aktif dalam menafsirkan sebuah berita. Dan makna tidak secara otomatis berada di dalam berita. Makna selalu potensial mempunyai banyak arti (polisemi). Makna jangan dipahami sebagai transmisi (penyebaran), melainkan lebih tepat dengan pemahaman sebagai praktik penandaan. Karenanya, berbeda orang dapat berbeda pula makna yang timbul, walaupun terhadap hal yang sama. Kalau terjadi perbedaan seperti ini, bukan berarti berita tersebut buruk.

Prinsip dalam proses konstruksi realitas adalah upaya “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, atau benda. Begitulah, setiap hasil laporan adalah hasil dari konstruksi realitas atas kejadian yang dilaporkan. Karena sifat dan faktanya bahwa pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa – peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksikan berbagai peristiwa yang terjadi hingga menjadi cerita atau wacana yang bermakna. Pembuatan yang berdasar pada penyusunan realitas – realitas hingga membentuk sebuah cerita atau wacana yang bermakna. Dengan demikian seluruh isi media massa tiada lain adalah realitas yang telah dikonstruksikan (constructed reality) dalam bentuk wacana yang bermakna.

Paradigma konstruksionis ingin menjelaskan adanya sesuatu di balik hal itu semua. Paradigma ini ingin menjelaskan isi media, wartawannya, menjelaskan tentang media itu sendiri, sampai dengan hal – hal yang berkaitan dengan proses pembentukan isi media tersebut.


(54)

Terdapat tiga pendekatan untuk menjelaskan sesuatu yang berada di balik hasil konstruksi tersebut. Pertama, pendekatan politik-ekonomi (the political-economy approach). Pendekatan ini berpendapat bahwa isi media lebih ditentukan oleh kekuatan – kekuatan politik dan ekonomi di luar pengelolaan media. Faktor – faktor seperti pemilik media, modal, dan pendapatan media, dapat menentukan wujud isi media. Menentukan peristiwa seperti apa yang dapat dan tidak dapat diberitakan, serta ke arah mana kecenderungan pemberitaan hendak diarahkan.

Kedua, pendekatan organisasi (organisational approaches). Pendekatan ini

bertolak belakang dengan pendekatan sebelumnya. Pendekatan organisasi mengatakan bahwa pihak pengelola media yang aktif dalam proses pembentukan dan produksi media. Praktik kerja, profesionalisme, dan tata aturan yang ada dalam ruang organisasi adalah unsur – unsur dinamik yang mempengaruhi pemberitaan. Terdapat mekanisme pemilihan nilai – nilai berita di dalamnya.

Ketiga, pendekatan kulturalis (culturalist approach). Pendekatan ini

merupakan gabungan antara pendekatan ekonomi-politik dengan pendekatan organisasi. Proses pembentukan berita merupakan mekanisme yang rumit, karena melibatkan selain adanya rutinitas media, terdapat pula faktor eksternal media. Media yang memiliki pola aturannya sendiri tidak dapat dilepaskan dari kekuatan – kekuatan ekonomi-politik di luar media. Hanya, pengaruh eksternal media terhadap internal media pada pendekatan kulturalis berbeda dengan pengaruh eksternal pada pendekatan ekonomi-politik. Pengaruh eksternal pada pendekatan kulturalis tidaklah secara langsung (pengaruhnya seperti tidak disadari oleh media). Sedangkan pada pendekatan ekonomi-politik, pengaruh eksternalnya


(55)

langsung dan koersif. Sehingga produk media tersebut kental dengan pengaruh eksternal tadi.

Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese (dalam Agus Sudibyo, 2001:7) juga meringkas berbagai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam proses pemberitaan. Pertama, faktor individual. Faktor ini berhubungan dengan latar belakang profesional dari pengelola media. Level individual melihat bagaimana pengaruh aspek – aspek personal dari pengelola media mempengaruhi pemberitaan yang akan ditampilkan kepada khalayak. Seperti, jenis kelamin, umur, agama, suku bangsa, sedikit banyak mempengaruhi apa yang akan ditampilkan oleh media. Selain itu level individu ini juga berhubungan dengan segi profesionalisme. Latar belakang pendidikan atau kecenderungan orientasi pada partai politik, sedikit banyak juga dapat mempengaruhi pemberitaan.

Kedua, level rutinitas media (media routine). Rutinitas media berhubungan

dengan mekanisme dan proses penentuan berita. Setiap media tentu memiliki ukuran tersendiri tentang apa yang disebut berita, apa ciri – ciri berita yang baik, atau apa kriteria berita yang baik. Ukuran tersebut adalah rutinitas yang berlangsung setiap hari dan menjadi prosedur standar bagi pengelola media yang ada di dalamnya. Rutinitas media ini juga berhubungan dengan mekanisme bagaimana berita dibentuk. Ketika ada peristiwa yang hendak diliput, akan ditentukan bagaimana bentuk pendelegasian tugasnya, melalui proses dan tangan siapa saja sebelum sampai ke proses cetak, siapa yang akan menjadi penulisnya, siapa editornya, dan seterusnya. Ini semua akan mempengaruhi bagaimana bentuk akhir sebuah berita.


(56)

Ketiga, level organisasi. Level ini berhubungan dengan strukutur organisasi

yang secara hipotetik mempengaruhi pemberitaan. Pengelola media dan wartawan bukan orang tunggal yang ada di dalam organisasi berita. Mereka hanya merupakan bagian kecil dari organisasi media itu sendiri. Dalam organisasi media terdapat, selain redaksi, ada bagian pemasaran, bagian iklan, bagian sirkulasi, bagian umum, dan seterusnya. Bagian – bagian ini tidak selalu sejalan satu sama lain, karena mempunyai tujuan dan target masing – masing. Sekaligus strategi yang berbeda – beda pula dalam mewujudkan target itu. Ketika bagian redaksi menginginkan agar berita tertentu yang menjadi headline, belum tentu bagian sirkulasi ataupun bagian lain,ssss menginginkan berita yang sama.

Keempat, level ekstramedia. Level ini berhubungan dengan hal – hal di luar

lingkungan media. Ada beberapa faktor pula yang termasuk ke dalam level ini, yaitu :

1. Sumber berita. Sumber berita bukan sebagai pihak yang netral yang memberikan informasi apa adanya. Ia juga mempunyai kepentingan untuk mempengaruhi media dengan berbagai alasan. Sumber berita melakukan politik pemberitaan. Ia akan memberikan informasi yang baik bagi dirinya, dan mengembargo informasi tidak baik bagi dirinya. Kepentingan mereka sering tidak disadari oleh media. Lalu, media secara tidak sadar pula, telah menjadi corong dari sumber berita untuk menyampaikan apa yang dirasakan oleh sumber berita tersebut.

2. Sumber penghasilan media. Sumber penghasilan ini bisa berupa iklan, ataupun pelanggan/pembeli produk media. Sumber ini dibutuhkan oleh media untuk dapat “bertahan hidup”. Kadangkala media harus


(1)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 KESIMPULAN

Sumut Pos dan Waspada sama – sama memberitakan hukuman eksekusi

mati Tibo cs (Fabianus Tibo, Marinus Riwu, Dominggus da Silva) dari kacamata hukum. Kedua harian lokal Medan ini tidak keluar dari pakem tersebut. Mulai dari penolakan grasi oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, persiapan – persiapan eksekusi, penundaan – penundaan eksekusi, pelaksanaan eksekusi, serta pasca eksekusi, keduanya tetap memandang dari segi hukum. Walaupun dalam perjalanan pemberitaannya terdapat hal – hal berkembang seperti politik, kemanusiaan, Sumut Pos dan Waspada tetap mengembalikannya ke dalam masalah hukum. Hal tersebut juga ditunjukkan oleh pemilihan narasumber kedua media yang didominasi pihak – pihak yang bergelut di bidang hukum, seperti pemerintah, kejaksaan, kepolisian, pengacara, dan pakar hukum.

Kedua media berbeda dalam hal penunjukan siapa yang menjadi pelaku dan siapa yang menjadi korban. Sumut Pos mengemas pemberitaannya dengan kemungkinan adanya pelaku lain. Sedangkan Waspada menutup adanya kemungkinan itu. Namun pada akhirnya frame hukum yang digunakan oleh kedua harian ini mengarah pada sikap yang sama, yaitu agar terlaksananya penegakan supremasi hukum di Indonesia.


(2)

V.2 SARAN

Media massa hendaknya lebih bijaksana dalam memberitakan sebuah peristiwa yang berhubungan dengan kasus kerusuhan. Apalagi kasus kerusuhan yang memiliki kaitan dengan isu – isu SARA. Media massa jangan terjebak pada cara – cara pemberitaan yang mementingkan dan menonjolkan “kepentingan” pihak – pihak yang terkait dengan kasus kerusuhan. Pemberitaan yang seperti ini hendaknya diubah menjadi pemberitaan yang memberikan informasi yang dapat menenangkan. Supaya mencegah terjadinya hal – hal yang memperkeruh suasana, dan tidak merusak sebuah kondisi yang sudah kondusif. Pemberitaan yang menekankan pada hal – hal penyelesaian masalah lebih diharapkan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif : Aktualisasi Metodologis

ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta : PT. RajaGrafindo

Persada.

2001. Metodologi Penelitian Sosial : Format – Format

Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya : Airlangga University Press.

Effendy, Onong Uchjana. 2002. Ilmu Komunikasi : Teori dan Praktek. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana. Yogyakarta : LKiS.

2002. Analisis Framing : Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta : LKiS.

Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta : Granit.

Ishwara, Luwi. 2005. Catatan – Catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta : Penerbit Buku KOMPAS.

Kusumaningrat, Hikmat & Purnama Kusumaningrat. 2005. Jurnalistik Teori dan

Praktik. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Mulyana, Dedy. 2001. Ilmu Komunikasi : Suatu Pengantar. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.


(4)

Sobur, Alex. 2004. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis

Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung : PT.

Remaja Rosdakarya.

Sudibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta : LKiS

Sumadiria, AS Haris. 2005. Jurnalistik Indonesia : Menulis Berita dan Feature. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Sumber Majalah :

TEMPO. 10-16 April 2006. Mencari Keadilan Dari Prahara Poso.

Sumber Surat Kabar :

Sumut Pos. 5 Juli 2006. RI Tetap Pakai Hukuman Mati.

Waspada. 11 November 2005. Grasi Tiga Terpidana Mati Kerusuhan Poso Ditolak.


(5)

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Jl. Dr. A. Sofyan No. 1 Telp. (061) 8217168

LEMBARAN CATATAN BIMBINGAN SKRIPSI

NAMA : Fernando Septa Masana Pinem

NIM : 020904047

PEMBIMBING : Dra. Dewi Kurniawati, MSi

No Tanggal Pertemuan

Pembahasan Paraf

Pembimbing 1 2 3 4 5 6 7

10 Nov 2006 17 Nov 2006 27 Nov 2006 23 Jan 2007 20 Juli 2007 8 Februari 2008

13 Mei 2008

Pembahasan Proposal Seminar Proposal

Perbaikan Bab I Penyerahan Bab I, II, III

Perbaikan Bab I, II, III Penyerahan Bab IV


(6)

BIODATA PENULIS

Nama : Fernando Septa Masana Pinem Tempat/tanggal Lahir : Tanjung Morawa/11 September 1984 Agama : Kristen Protestan

Alamat : Jl. Bandar Labuhan No 30 Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara

Pendidikan : - SD Negeri 105328 Tanjung Morawa (1990 – 1996) - SMP Negeri 1 Tanjung Morawa (1996 – 1999) - SMU Negeri 5 Medan (1999 – 2002)

- Universitas Sumatera Utara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Departemen Ilmu Komunikasi (2002 – 2008)

Nama Orang Tua : Masang Pinem, SE


Dokumen yang terkait

Pemberitaan Eksekusi Saddam Husein di Irak (Analisis Wacana Tentang Pemberitaan Eksekusi Saddam Husein di Irak pada Surat Kabar Kompas dan Waspada)

0 21 129

Analisis Framing Pemberitaan pendidikan Di Surat Kabar Mingguan Garoet Pos

0 6 1

PEMBERITAAN KASUS TAMBANG DI PULAUFLORES PEMBERITAAN KASUS TAMBANG DI PULAU FLORES ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN KASUS PENOLAKAN TAMBANG DI PULAU FLORES DALAM SURAT KABAR HARIAN UMUM FLORES POS.

0 3 20

BAB 1 PEMBERITAAN KASUS TAMBANG DI PULAU FLORES ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN KASUS PENOLAKAN TAMBANG DI PULAU FLORES DALAM SURAT KABAR HARIAN UMUM FLORES POS.

0 6 25

PEMBERITAAN PARTAI NASIONAL DEMOKRAT DALAM SURAT KABAR HARIAN PEMBERITAAN PARTAI NASIONAL DEMOKRAT DALAM SURAT KABAR HARIAN SEPUTAR INDONESIA.

0 3 17

dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat (Analisis Framing Pemberitaan Tim Sepakbola Persiba Bantul dalam Surat Insider Friendship dan Pemberitaan Persiba Bantul dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat (Analisis Framing Pemberitaan Tim Sepakbola Per

0 2 15

RELOKASI PASAR NGASEM DALAM SURAT KABAR(Analisis Framing Pemberitaan Relokasi Pasar Ngasem Dalam Surat Kabar RELOKASI PASAR NGASEM DALAM SURAT KABAR (Analisis Framing Pemberitaan Relokasi Pasar Ngasem Dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Surat K

0 3 16

PENDAHULUAN RELOKASI PASAR NGASEM DALAM SURAT KABAR (Analisis Framing Pemberitaan Relokasi Pasar Ngasem Dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Surat Kabar Harian Jogja).

0 2 25

DESKRIPSI OBYEK PENELITIAN RELOKASI PASAR NGASEM DALAM SURAT KABAR (Analisis Framing Pemberitaan Relokasi Pasar Ngasem Dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Surat Kabar Harian Jogja).

0 3 11

KESIMPULAN DAN SARAN RELOKASI PASAR NGASEM DALAM SURAT KABAR (Analisis Framing Pemberitaan Relokasi Pasar Ngasem Dalam Surat Kabar Harian Kedaulatan Rakyat dan Surat Kabar Harian Jogja).

0 2 88