Dampak Harmonisa Pada Piranti

9.7 Dampak Harmonisa Pada Piranti

Dalam analisis rangkaian linier, elemen-elemen rangkaian seperti R, L, dan C, merupakan idealisasi piranti-piranti nyata yang nonlinier. Dalam bab ini kita akan mempelajari pengaruh adanya komponen harmonisa, baik arus maupun tegangan, terhadap piranti-piranti sebagai benda nyata. Pengaruh ini dapat kita klasifikasi dalam dua kategori yaitu:

a). Dampak langsung yang merupakan peningkatan susut energi yaitu energi “hilang” yang tak dapat dimanfaatkan, yang secara alamiah berubah menjadi panas. [5,6].

b). Dampak taklangsung yang merupakan akibat lanjutan dari terjadinya dampak langsung. Peningkatan temperatur pada konduktor kabel misalnya, menuntut penurunan pengaliran arus melalui kabel agar temperatur kerja tak terlampaui. Demikian pula peningkatan temperatur pada kapasitor, induktor, dan transformator, akan berakibat pada derating dari alat-alat ini dan justru derating ini membawa kerugian (finansial) yang lebih besar dibandingkan dengan dampak langsung yang berupa susut energi.

Dampak taklangsung bukan hanya derating piranti tetapi juga umur ekonomis piranti. Pembebanan nonlinier tidaklah selalu kontinyu, melainkan fluktuatif. Oleh karena itu pada selang waktu tertentu piranti terpaksa bekerja pada batas tertinggi temperatur kerjanya bahkan mungkin terlampaui pada saat-saat tertentu. Kenaikan tegangan akibat adanya harmonisa dapat menimbulkan micro-discharges bahkan partial-discharges dalam piranti yang memperpendek umur, bahkan mal-function bisa terjadi pada piranti.

188 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga

9.7.1. Konduktor

Pada konduktor, komponen arus harmonisa menyebabkan peningkatan daya nyata yang diserap oleh konduktor dan berakibat pada peningkatan temperatur konduktor. Daya nyata yang terserap di konduktor ini kita sebut rugi daya atau susut daya. Karena susut daya ini berbanding lurus dengan kuadrat arus, maka peningkatannya akan sebanding dengan kuadrat THD arus; demikian pula dengan peningkatan temperatur.

Misalkan arus efektif nonsinus I rms mengalir melalui konduktor yang memiliki resistansi R s , maka susut daya di konduktor ini adalah

s = I rms 2 R s = ( I 1 rms + I

hrms ) R s = I 1 rms R

s ( 1 + THD I ) (9.1) Jika arus efektif fundamental tidak berubah, faktor ( 1 + THD 2 I ) pada

(9.1) menunjukkan seberapa besar peningkatan susut daya di konduktor. Misalkan peningkatan ini diinginkan tidak lebih dari 10%, maka THD I tidak boleh lebih dari 0,32 atau 32%. Dalam contoh-contoh persoalan yang diberikan di Bab-4, THD I besar terjadi misalnya pada arus penyearahan setengah gelombang yang mencapai 100%, dan arus melalui saklar sinkron yang mengalir setiap paruh ke-dua dari tiap setengah perioda yang mencapai 61%.

CONTOH-9.7: Konduktor kabel yang memiliki resistansi total 80 m Ω , menyalurkan arus efektif 100 A, pada frekuensi 50 Hz. Kabel ini o beroperasi normal pada temperatur 70

C sedangkan temperatur sekitarnya adalah 25 o

C. Perubahan pembebanan di ujung kabel menyebabkan munculnya harmonisa pada frekuensi 350 Hz dengan nilai efektif 40 A. Hitung (a) perubahan susut daya dan (b) perubahan temperatur kerja pada konduktor.

(a) Susut daya semula pada konduktor adalah

1 = 100 × 0 , 08 = 800 W Susut daya tambahan karena arus harmonisa adalah P = 40 7 2 × 0 , 08 = 128 W

Susut daya berubah menjadi P kabel = 800 + 128 = 928 W

Dibandingkan dengan susut daya semula, terjadi kenaikan susut daya sebesar 16%.

(b) Kenaikan temperatur kerja di atas temperatur sekitar semula

C. Perubahan kenaikan temperatur adalah

adalah (70 o − 25 ) = 45

∆ o = 0 , 16 × 45 = 7 , 2 C

Kenaikan temperatur akibat adanya hormonisa adalah

T = 45 o C + 7 , 2 o C ≈ 52 o C dan temperatur kerja akibat adanya harmonisa adalah

= o 25 + 52 = 77 C 10% di atas temperatur kerja semula.

CONTOH-9.8: Suatu kabel yang memiliki resistansi total 0,2 Ω digunakan untuk mencatu beban resistif R b yang tersambung di ujung kabel dengan arus sinusoidal bernilai efektif 20 A. Tanpa pengubah resistansi beban, ditambahkan penyearah setengah

gelombang (ideal) di depan R b . (a) Hitunglah perubahan susut daya pada kabel jika penyaluran daya ke beban dipertahankan tak berubah. (b) Hitunglah daya yang disalurkan ke beban dengan mempertahankan arus total pada 20 A; (c) berikan ulasan.

Penyelesaian: (a) Sebelum pemasangan penyearah, susut daya di kabel adalah

P = 20 k 2 × 0 , 2 = 80 W Dengan mempertahankan besar daya tersalur ke beban tidak

berubah, berarti nilai efektif arus fundamental dipertahankan 20

I A. THD pada penyearah setengah gelombang adalah 100%. Susut daya pada kabel menjadi

P * k = 20 2 × 0 , 2 () 1 + 1 2 = 160 W

Susut daya menjadi dua kali lipat.

190 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga

(b) Jika arus efektif total dipertahankan 20 A, maka susut daya di

kabel sama seperti sebelum pemasangan penyearah yaitu

k = 20 × 0 , 2 = 80 W Dalam situasi ini terjadi penurunan arus efektif fundamental

yang dapat dihitung melalui relasi kuadrat arus efektif total, yaitu

I 2 2 rms 2 I ms 2 + I 2 = 2 1 hms = I 1 ms ( 1 + THD ) = 20 Dengan THD 100%, maka I 2 1 2 rms = 20 /2 jadi

I 1 rms = 20 / 2 = 14 , 14 A Jadi jika arus efektif total dipertahankan 20 A, arus fundamental

turun menjadi 70% dari semula. Susut daya di kabel tidak berubah, tetapi daya yang disalurkan ke beban menjadi

0 , 7 2 ≈ 0 , 5 dari daya semula atau turun menjadi 50%-nya. (c) Jika penyaluran daya ke beban dipertahankan tetap, susut pada

saluran menjadi dua kali lipat, yang berarti kenaikan temperatur o dua kali lipat. Jika temperatur kerja semula 65

C pada temperatur sekitar 25 o , maka temperatur kerja yang baru bisa

mencapai lebih dari 100 o C. Jika susut daya pada saluran tidak diperkenankan meningkat

maka penyaluran daya ke beban harus diturunkan sampai menjadi 50% dari daya yang semula disalurkan; gejala ini dapat diartikan sebagai derating kabel.

9.7.2. Kapasitor

Ulas Ulang Tentang Kapasitor. Jika suatu dielektrik yang memiliki permitivitas relatif ε r disisipkan antara dua pelat kapasitor yang memiliki luas A dan jarak antara kedua pelat adalah d, maka kapasitansi yang semula (tanpa bahan dielektrik)

berubah menjadi

Jadi kapasitansi meningkat sebesar ε r kali. 191

Diagram fasor arus dan tegangan kapasitor diperlihatkan pada Gb.9.11. Arus kapasitor terdiri dari dua komponen yaitu arus kapasitif I o C ideal yang 90 mendahului tegangan kapasitor V C , dan arus ekivalen losses pada dielektrik I Rp yang sefasa dengan tegangan.

Gb.9.11. Diagram fasor arus dan tegangan kapasitor. Daya yang terkonversi menjadi panas dalam dielektrik adalah P = V C I Rp = V C I C tan δ (9.2)

atau

P = ε r V 0 ω C V 0 tan δ = 2 π f V 0 C ε r tan δ (9.3)

tan δ disebut faktor desipasi (loss tangent) ε r tan δ disebut faktor kerugian (loss factor)

Pengaruh Frekuensi Pada Dielektrik . Nilai ε r tergantung dari frekuensi, yang secara umum digambarkan seperti pada Gb.9.12.

ε r loss factor

ε r tan δ power audio

frekuensi frekuensi listrik

radio

frekuensi optik

Gb.9.12. ε r dan loss factor sebagai fungsi frekuensi. Dalam analisis rangkaian, reaktansi kapasitor dituliskan sebagai 192 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga

2 π fC

Gb.9.12. memperlihatkan bahwa ε r menurun dengan naiknya frekuensi yang berarti kapasitansi menurun dengan naiknya frekuesi. Namun perubahan frekuensi lebih dominan dalam menentukan reaktansi dibanding dengan penurunan ε r ; oleh karena itu dalam analisis kita menganggap kapasitansi konstan.

Loss factor menentukan daya yang terkonversi menjadi panas dalam dielektrik. Sementara itu, selain tergantung frekuensi, ε r juga tergantung dari temperatur dan hal ini berpengaruh pula pada loss factor, walaupun tidak terlalu besar dalam rentang temperatur kerja kapasitor. Oleh karena

itu dalam menghitung daya yang terkonversi menjadi panas dalam dielektrik, kita melakukan pendekatan dengan menganggap loss factor konstan. Dengan anggapan ini maka daya yang terkonversi menjadi panas akan sebanding dengan frekuensi dan sebanding pula dengan kuadrat tegangan.

Tegangan Nonsinus. Pada tegangan nonsinus, bentuk gelombang tegangan pada kapasitor berbeda dari bentuk gelombang arusnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tanggapan kapasitor terhadap komponen fundamental dengan tanggapannya terhadap komponen harmonisa. Situasi ini dapat kita lihat sebagai berikut. Misalkan pada terminal kapasitor terdapat tegangan nonsinus yang berbentuk:

v C ( t ) = v C 1 ( t ) + v C 3 ( t ) + v C 5 ( t ) + ......... (9.4) Arus kapasitor akan berbentuk

i C ( t ) = ω 0 Cv C 1 ( t ) + 3 ω 0 Cv C 3 ( t ) + 5 ω 0 Cv C 5 ( t ) + ......... (9.5) Dengan memperbandingkan (9.4) dan (9.5) dapat dimengerti bahwa

bentuk gelombang tegangan kapasitor berbeda dengan bentuk gelombang arusnya.

CONTOH-9.9: Sumber tegangan nonsinus memiliki komponen fundamental dengan nilai puncak 150 V dan frekuensi 50 Hz, serta harmonisa ke-5 yang memiliki nilai puncak berturut-turut 30 V. Sebuah kapasitor 500 µ

F dihubungkan pada sumber tegangan ini. Gambarkan bentuk gelombang tegangan dan arus kapasitor.

Penyelesaian:

Jika persamaan tegangan v C = 150 sin 100 π t + 30 sin 300 π t V

maka persamaan arus adalah

i C 150 500 × 6 10 = − × × 100 π cos 100 π t

+ 30 × 500 × 10 − 6 × 500 π cos 500 π t Bentuk gelombang tegangan dan arus adalah seperti terlihat pada

0.01 0.015 t 0.02 [detik] -100

-200 Gb.9.3. Gelombang tegangan dan arus pada Contoh-9.9.

CONTOH-9.10: Sumber tegangan nonsinus memiliki komponen fundamental dengan nilai puncak 150 V dan frekuensi 50 Hz, serta harmonisa ke-3 dan ke-5 yang memiliki nilai puncak berturut-turut 30 V dan 5 V. Sebuah kapasitor 500 µ

F (110 V rms,

50 Hz) dihubungkan pada sumber tegangan ini. Hitung: (a) arus efektif komponen fundamental; (b) THD arus kapasitor; (c) THD tegangan kapasitor; (d) jika kapasitor memiliki losses dielektrik 0,6 W pada tegangan sinus rating-nya, hitunglah losses dielektrik dalam situasi ini.

Penyelesaian: (a) Reaktansi untuk komponen fundamental adalah

194 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga

Arus efektif untuk komponen fundamental

I C 1 rms =

= 16 , 7 A

(b) Reaktansi untuk harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut adalah

X C = C 3 1 = 2 , 12 Ω ; X X C C 5 = 1 = 1 , 27 Ω

3 5 Arus efektif harmonisa

I C 5 rms =

I hrms 2 10 + 2 , 8 2 THD I =

= 0 , 62 atau 62%

16 , 7 (c)

I C 1 rms

V THD

V = = = = 0 , 20 atau 20 %

hrms 2 2 21 , 5

V 1 rms 150 / 2 106 (d) Losses dielektrik dianggap sebanding dengan frekuensi dan

kuadrat tegangan. Pada frekuensi 50 Hz dan tegangan 110 V, losses adalah 0,6 watt.

P 50 Hz , 110 V = 0 , 6 W

P 150 Hz , 30 V =

 × 0 , 6 = 0 , 134 W

P 250 Hz , 5 V =

 × 0 , 6 = 0 , 006 W

Losses dielektrik total: P total = 0 , 6 + 0 , 134 + 0 , 006 = 0 , 74 W

9.7.3. Induktor

Induktor Ideal. Induktor yang untuk keperluan analisis dinyatakan sebagai memiliki induktansi murni L, tidak kita temukan dalam praktik. Betapapun kecilnya, induktor selalu mengandung resistansi dan kita melihat induktor sebagai satu induktansi murni terhubung seri dengan satu resistansi. Oleh karena itu kita melihat tanggapan induktor sebagai tanggapan beban induktif dengan resistansi kecil. Hanya apabila resistansi belitan dapat diabaikan , relasi tegangan-arus induktor untuk gelombang tegangan dan arus berbentuk sinus murni menjadi

di f

dt

dengan v adalah tegangan jatuh pada induktor, dan i f adalah arus eksitasi. Apabila rugi rangkaian magnetik diabaikan, maka fluksi φ sebanding

dengan i f dan membangkitkan tegangan induksi pada belitan induktor sesuai dengan hukum Faraday dan hukum Lenz.

dt

Tegangan induksi ini berlawanan dengan tegangan jatuh induktor v, sehingga nilai e i sama dengan v.

Persamaan di atas menunjukkan bahwa φ dan i f berubah secara bersamaan. Jika φ berbentuk sinus maka ia harus dibangkitkan oleh arus

i f yang juga berbentuk sinus dengan frekuensi sama dan mereka sefasa. Arus i f sendiri berasal dari sumber tegangan yang juga harus berbentuk sinus. Oleh karena itu baik tegangan, arus, maupun fluksi mempunyai frekuensi sama, sehingga kita dapat menuliskan persamaan dalam bentuk fasor

V = E i = j ω N Φ = j ω L I f dengan Φ adalah fluksi dalam bentuk fasor. Relasi ideal ini memberikan

V rms π = fN φ maks = 4 , 44 fN φ maks

196 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga

V rms =

fLi fmaks = 4 , 44 fL i

fmaks i

2 Relasi ideal memberikan diagram fasor seperti di

I f = I φ samping ini dimana arus yang membangkitkan

fluksi yaitu I φ sama dengan I f .

CONTOH-9.11: Melalui sebuah kumparan mengalir arus nonsinus yang mengandung komponen fundamental 50 Hz, harmonisa ke-3, dan harmonisa ke-5 dengan amplitudo berturut-turut 50, 10, dan 5 A. Jika daya input pada induktor diabaikan, dan tegangan pada induktor adalah 75 V rms, hitung induktansi induktor.

Penyelesaian:

Jika induktansi kumparan adalah L maka tegangan efektif komponen fundamental, harmonisa ke-3 dan ke-5 berturut-turut adalah

V L 1 rms = 4 , 44 × 50 × L × 50 = 11100 × L V

V L 3 rms = 4 , 44 × 150 × L × 10 = 6660 × L V

V L 5 rms = 4 , 44 × 250 × L × 5 = 5550 × L V sedangkan V = V 2 + V Lrms 2 1 rms 3 rms + V 5 2 rms . Jadi

75 = L × 11100 2 + 6660 2 + 5550 2 = 14084 , 3 × L Induktansi kumparan adalah

= 0 , 0053 H

Fluksi Dalam Inti. Jika tegangan sinus dengan nilai efektif V rms dan frekuensi f diterapkan pada induktor, fluksi magnetik yang timbul dalam inti dihitung dengan formula

V φ rms

4 , 44 × f × N

φ m adalah nilai puncak fluksi, dan N adalah jumlah lilitan. Melalui contoh berikut ini kita akan melihat fluksi dalam inti induktor bila

tegangan yang diterapkan berbentuk nonsinus. CONTOH-9.12: Sebuah induktor dengan 1200 lilitan mendapat

tegangan nonsinus yang terdiri dari komponen fundamental dengan nilai efektif V 1rms = 150 V dan harmonisa ke-3 dengan nilai efektif

V 3rms o = 50 V yang tertinggal 135 dari komponen fundamental. Gambarkan kurva tegangan dan fluksi.

Penyelesaian: Persamaan tegangan adalah

v L = 150 2 sin ω 0 t + 50 2 sin( 5 ω 0 t − 135 o ) Nilai puncak fluksi fundamental

= 563 µ Wb

tertinggal 90 dari tegangan (lihat Gb.4.4). Persamaan gelombang fluksi fundamental menjadi

Fluksi o φ

1m

φ 1 = 563 sin( ω t − 90 0 o ) µ Wb Nilai puncak fluksi harmonisa ke-3

Fluksi o φ

juga tertinggal 90 dari tegangan harmonisa ke-3; sedangkan tegangan harmonisa ke-3 tertinggal 135 o dari tegangan

3m

fundamental. Jadi persamaan fluksi harmonisa ke-3 adalah φ 3 = 62 , 6 sin( 3 ω

0 t − 135 − 90 o ) = 62 , 6 sin( 3 ω

0 t − 225 ) µ Wb

Persamaan fluksi total menjadi φ = 563 sin( ω 0 t − 90 o ) + 62 , 6 sin( 3 ω 0 t − 225 ) µ Wb Kurva tegangan dan fluksi terlihat pada Gb.9.14. 198 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga

0 t [detik] 0 0.01 0.02 0.03 0.04

-200 -400

Gb.9.14. Kurva tegangan dan fluksi.

Rugi-Rugi Inti. Dalam induktor nyata, rugi inti menyebabkan fluksi magnetik yang dibangkitkan oleh i f ketinggalan dari i f sebesar γ yang disebut sudut histerisis. Keadaan ini diperlihatkan pada Gb.9.15. dimana arus magnetisasi I f mendahului φ sebesar γ . Diagram fasor ini digambar dengan memperhitungkan rugi hiterisis

Gb.9.15. Diagram fasor induktor (ada rugi inti)

Dengan memperhitungkan rugi-rugi yang terjadi dalam inti transformator, I f dipandang sebagai terdiri dari dua komponen yaitu I φ yang diperlukan untuk membangkitkan φ , dan I c yang diperlukan untuk mengatasi rugi-rugi inti. Jadi arus magnetisasi menjadi I f = I φ + I c . Komponen I c merupakan arus fiktif yang jika dikalikan dengan V akan memberikan rugi-rugi inti

P = I c o c V = VI f cos( 90 − γ ) watt (9.6) Rugi inti terdiri dari dua komponen, yaitu rugi histerisis dan rugi arus

pusar . Rugi histerisis dinyatakan dengan

P h = w h vf

P h rugi histerisis [watt], w luas loop kurva histerisis dalam

[joule/m .siklus], v volume, f frekuensi. Untuk frekuensi rendah, Steinmetz memberikan formulasi empiris

P h = vf ( K n h B m )

(9.8) di mana B m adalah nilai kerapatan fluksi maksimum, n tergantung dari

jenis bahan dengan nilai yang terletak antara 1,5 sampai 2,5 dan K h yang juga tergantung jenis bahan (untuk silicon sheet steel misalnya, K h = 0,001). Nilai-nilai empiris ini belum didapatkan untuk frekuensi harmonisa.

Demikian pula halnya dengan persamaan empiris untuk rugi arus pusar dalam inti

(9.9) di mana K e konstanta yang tergantung material, f frekuensi perubahan

fluksi [Hz], B m adalah nilai kerapatan fluksi maksimum, τ ketebalan laminasi inti, dan v adalah volume material inti.

Rugi Tembaga. Apabila resistansi belitan tidak diabaikan, V ≠ E 1 .

Misalkan resistansi belitan adalah R 1 , maka

V = E 1 + I f R 1 (9.10) Diagram fasor dari keadaan terakhir, yaitu dengan memperhitungkan

resistansi belitan, diperlihatkan pada Gb.9.16.

Gb.9.16. Diagram fasor induktor (ada rugi tembaga). Dalam keadaan ini, daya masuk yang diberikan oleh sumber, selain

untuk mengatasi rugi-rugi inti juga diperlukan untuk mengatasi rugi daya pada belitan yang kita sebut rugi-rugi tembaga, P cu . Jadi

in = P c + P cu = P c + I f R 1 = VI f cos θ (9.11) dengan V dan I f adalah nilai-nilai efektif dan cos θ adalah faktor daya. 200 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga

9.7.4. Transformator

Ulas Ulang Transformator Berbeban. Rangkaian transformator berbeban dengan arus beban I 2 , diperlihatkan oleh Gb.9.17. Tegangan

induksi E 2 (yang telah timbul dalam keadaan tranformator tidak berbeban) akan menjadi sumber di rangkaian sekunder dan memberikan arus sekunder I 2 . Arus I 2 ini membangkitkan fluksi magnetik yang melawan fluksi bersama φ (sesuai dengan hukum Lenz) dan sebagian akan bocor, φ l 2 ; φ l 2 yang sefasa dengan I 2 menginduksikan tegangan

l 2 di belitan sekunder yang 90 mendahului φ l 2 .

Gb.9.17. Transformator berbeban.

Dengan adanya perlawanan fluksi yang dibangkitkan oleh arus di belitan sekunder itu, fluksi bersama akan cenderung mengecil. Hal ini akan menyebabkan tegangan induksi di belitan primer juga cenderung mengecil. Akan tetapi karena belitan primer terhubung ke sumber yang tegangannya tak berubah, maka arus primer akan naik. Jadi arus primer yang dalam keadaan transformator tidak berbeban hanya berupa arus

magnetisasi I f , bertambah menjadi I 1 setelah transformator berbeban. Pertambahan arus ini haruslah sedemikian rupa sehingga fluksi bersama

φ dipertahankan dan E 1 juga tetap seperti semula. Dengan demikian maka persamaan rangkaian di sisi primer tetap terpenuhi.

Karena pertambahan arus primer sebesar I 1 − I f adalah untuk mengimbangi fluksi lawan yang dibangkitkan oleh I 2 agar φ dipertahankan, maka haruslah

N 1 ( I 1 − I f ) − N 2 I 2 = 0 (9.12)

Pertambahan arus primer I 1 − I f disebut arus penyeimbang yang akan mempertahankan φ . Makin besar arus sekunder, makin besar pula arus

Arus di belitan primer juga memberikan fluksi bocor di belitan primer, φ l 1 , yang menginduksikan tegangan E l 1 . Tegangan induksi yang dibangkitkan oleh fluksi-fluksi bocor, yaitu E l 1 dan E l 2 , dinyatakan

dengan suatu besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada reaktansi bocor ekivalen ,X 1 dan X 2 , masing-masing di rangkaian primer dan sekunder. Jika resistansi belitan primer adalah R 1 dan belitan sekunder adalah R 2 , maka kita peroleh hubungan

untuk rangkaian di sisi primer

V 1 = E 1 + I 1 R 1 + E l 1 = E 1 + I 1 R 1 + j I 1 X 1 (9.13) untuk rangkaian di sisi sekunder

E 2 = V 2 + I 2 R 2 + E l 2 = V 2 + I 2 R 2 + j ˆX I 2 2 (9.14) Rangkaian Ekivalen. Secara umum, rangkaian ekivalen adalah

penafsiran secara rangkaian elektrik dari suatu persamaan matematik yang menggambarkan perilaku suatu piranti. Untuk transformator, rangkaian ekivalen diperoleh dari tiga persamaan yang diperoleh di atas.

Dengan relasi

E 2 = E 1 / a = E 1 ′ dan I 2 = a I 1 = I 1 ′ di mana

a = N 1 /N 2 , tiga persamaan tersebut di atas dapat kita tulis kembali sebagai satu set persamaan sebagai berikut.

Untuk rangkaian di sisi sekunder, (9.14) kita tuliskan

+ j I 2 X 2 Dari persamaan untuk rangkaian sisi primer (4.13), kita peroleh

E 1 = V 1 − I 1 R 1 − j I 1 X 1 sehingga persamaan untuk rangkaian sekunder dapat kita tuliskan

202 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga

Karena I 1 2 = maka persamaan ini dapat kita tuliskan

V 2 +  R 2 + 2  I 2 + j X 2 +  1 2  I 2 (9.15) 

dengan R ′

Persamaan (9.15) ini, bersama dengan persamaan (9.12) yang dapat kita tuliskan I 2 = a I 1 − a I f = I 1 ′ − a I f , memberikan rangkaian ekivalen

untuk transformator berbeban. Akan tetapi pada transformator yang digunakan pada sistem tenaga listrik, arus magnetisasi hanya sekitar 2 sampai 5 persen dari arus beban penuh transformator. Oleh karena itu,

jika I f diabaikan terhadap I 1 maka kesalahan dalam menghitung I 2 bisa dianggap cukup kecil. Pengabaian ini akan membuat I 2 = a I 1 = I 1 ′ . Dengan pendekatan ini,

dan persamaan (9.15), kita memperoleh rangkaian ekivalen yang disederhanakan dari transformator berbeban. Gb.4.8. memperlihatkan rangkaian ekivalen transformator berbeban dan diagram fasornya.

I 2 =I ′ 1

R e =R 2 +R ′ 1 jX e = j(X 2 +X ′ 1 ∼ )

V 1 /a

V 1 /a

jI 2 X e

Gb.9.18. Rangkaian ekivalen transformator dan diagram fasor.

Fluksi Dan Rugi-Rugi Karena Fluksi. Seperti halnya pada induktor, transformator memiliki rugi-rugi inti, yang terdiri dari rugi hiterisis dan rugi arus pusar dalam inti. Fluksi magnetik, rugi-rugi histerisis, dan rugi- rugi arus pusar pada inti dihitung seperti halnya pada induktor. Selain rugi-rugi tembaga pada belitan sebesar P 2

= I R , pada belitan terjadi rugi-rugi tambahan arus pusar, P l , yang ditimbulkan oleh fluksi bocor. Sebagaimana telah dibahas, fluksi bocor ini menimbulkan

cu

tegangan induksi E l 1 dan E l 2 , karena fluksi ini melingkupi sebagian belitan ; E l 1 dan E l 2 dinyatakan dengan suatu besaran ekivalen yaitu tegangan jatuh ekivalen pada reaktansi bocor ekivalen, X 1 dan X 2 . Selain melingkupi sebagian belitan, fluksi bocor ini juga menembus konduktor belitan dan menimbulkan juga arus pusar dalam konduktor belitan; arus pusar inilah yang menimbulkan rugi-rugi tambahan arus pusar, P l .

Berbeda dengan rugi arus pusar yang terjadi dalam inti, yang dapat diperkecil dengan cara membangun inti dari lapisan lembar tipis material magnetik, rugi arus pusar pada konduktor tidak dapat ditekan dengan cara yang sama. Ukuran konduktor harus tetap disesuaikan dengan kebutuhan untuk mengalirkan arus; tidak dapat dibuat berpenampang kecil. Oleh karena itu rugi-rugi arus pusar ini perlu diperhatikan.

Rugi arus pusar P l diperhitungkan sebagai proporsi tertentu dari rugi tembaga yang ditimbulkan oleh arus tersebut, dengan tetap mengingat bahwa rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat ferkuensi. Proporsi ini berkisar antara 2% sampai 15% tergantung dari ukuran transformator. Kita lihat dua contoh berikut.

Contoh-9.13: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi 0,05 Ω mengalir arus sinusoidal murni bernilai efektif 40 A. Hitung rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus pusar yang

diakibatkan oleh arus ini adalah 5% dari rugi tembaga P cu =I 2 R . Penyelesaian: Rugi tembaga P cu = 40 2 × 0 , 05 = 80 W

Rugi arus pusar 5 % × P cu = 0 . 05 × 80 = 4 W Rugi daya total pada belitan 80 + 4 = 84 W.

204 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga

Contoh-9.14: Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi 0,05 Ω mengalir arus nonsinus yang terdiri dari komponen fundamental bernilai efektif 40 A, dan harmonisa ke-7 bernilai

efektif 6 A. Hitung rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus pusar diperhitungkan 10% dari rugi tembaga P 2

cu =I R .

Penyelesaian:

Rugi tembaga total adalah P

cu = I rms R = ( 40 2 + 6 2 ) × 0 , 05 = 81 , 8 W Rugi arus pusar komponen fundamental P l 1 = 0 , 1 × I 2 R = , 1 40 1 2 rms 0 × × 0 , 05 = 8 W

Rugi arus pusar harmonisa ke-7

= 2 0 , 1 × 7 6 × 2 × 0 , 05 = 8 , 8 W Rugi daya total adalah

P l 7 = 0 , 1 × 7 2 × 2 I 7 rms R

P total = P cu + P l 1 + P l 7 = 81 , 8 + 8 + 8 , 8 = 98 , 6 W Contoh-9.14 ini menunjukkan bahwa walaupun arus harmonisa memiliki

nilai puncak lebih kecil dari nilai puncak arus fundamental, rugi arus pusar yang ditimbulkannya bisa memiliki proporsi cukup besar. Hal ini bisa terjadi karena rugi arus pusar sebanding dengan kuadrat frekuensi.

Faktor K. Faktor K digunakan untuk menyatakan adanya rugi arus pusar pada belitan. Ia menunjukkan berapa rugi-rugi arus pusar yang timbul secara keseluruhan.

Nilai efektif total arus nonsinus yang dapat menimbulkan rugi arus pusar adalah

I I Trms 2 = ∑ nrms A (9.16)

dengan k adalah tingkat harmonisa tertinggi yang masih diperhitungkan. Dalam relasi (9.16) kita tidak memasukkan komponen searah karena komponen searah tidak menimbulkan rugi arus pusar.

Rugi arus pusar total adalah jumlah dari rugi arus pusar yang ditimbulkan oleh tiap-tiap komponen arus dan tiap-tiap komponen arus

Jika arus nonsinus ini mengalir pada belitan yang memiliki resistansi R 0 , dan rugi-rugi arus pusar tiap komponen arus dinyatakan dalam proporsi g terhadap rugi tembaga yang ditimbulkannya, maka rugi arus pusar total adalah

n 2 K 2 = 0 ∑ I nrms W

P gR

Rugi tembaga total yang disebabkan oleh arus ini adalah

I 2 = R I cu 2 0 ∑ nrms 0 Trms W (9.18)

Dengan (9.18) maka (9.17) dapat ditulis sebagai P = gKR 2 K I 0 Trms W (9.19) dengan

k n 2 I ∑ 2 nrms

2 I (9.20)

Trms

K disebut faktor rugi arus pusar (stray loss factor). Faktor K dapat dituliskan sebagai

n 2 nrms =

n 2 I ∑ 2 2 ∑ n ( pu )

n = 1 I Trms n = 1

I dengan I n nrms ( pu ) =

I Trms

Faktor K bukanlah karakteristik transformator melainkan karakteristik sinyal. Walaupun demikian suatu transformator harus dirancang untuk mampu menahan pembebanan nonsinus sampai batas tertentu.

206 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga

CONTOH-9.15:

Di belitan primer transformator yang memiliki resistansi 0,08 Ω mengalir arus nonsinus yang terdiri dari komponen fundamental, harmonisa ke-3, dan harmonisa ke-11

bernilai efektif berturut-turut 40 A, 15 A, dan 5 A. Hitung: (a) nilai efektif arus total; (b) faktor K; (c) rugi daya total pada belitan ini jika rugi arus pusar diperhitungkan 5% dari rugi tembaga.

Penyelesaian:

(a) Nilai efektif arus total adalah

I Trms = 40 2 + 15 2 + 5 2 = 43 A (b) Faktor K adalah

40 2 + 3 2 × 15 2 + 11 2 × 5 2 K =

2 = 3 , 59 43 (c) Rugi daya total P tot , terdiri dari rugi tembaga P cu dan rugi arus

pusar P l . P cu 43 = 2 × 0 , 08 = 148 W

P l = gP cu K = 0 , 05 × 148 × 3 , 59 = 26 , 6 W P tot = 148 + 26 , 6 = 174 , 6 W

9.7.5. Tegangan Maksimum Pada Piranti

menyebabkan piranti mendapatkan tegangan lebih besar dari yang seharusnya. Hal ini bisa terjadi pada piranti-piranti yang mengandung R, L, C, yang mengandung harmonisa sekitar frekuensi resonansinya. Berikut ini kita lihat sebuah contoh.

Kehadiran komponen

harmonisa

dapat

CONTOH-9.16: Sebuah sumber tegangan 50 Hz, 12 kV mempunyai resistansi internal 1 Ω dan reaktansi internal 6,5 Ω . Sumber ini mencatu beban melalui kabel yang mempunyai kapasitansi total

2,9 µ F. Tegangan

terbangkit

di sumber adalah

e = 17000 sin ω 0 t + 170 sin 13 ω 0 t . Dalam keadaan tak ada beban terhubung di ujung kabel, hitunglah tegangan maksimum pada

kabel.

Penyelesaian:

Tegangan mengandung

ke-13. Pada frekuensi fundamental terdapat impedansi internal

harmonisa

Z 1 int = 1 2 + 6 , 5 2 = 6 , 58 Ω Pada harmonisa ke-13 terdapat impedansi

Z 1 int ernal = 1 + j 6 , 5 Ω ;

Z 13 int = 1 2 + ( 13 × 6 , 5 ) 2 = 84 , 5 Ω Impedansi kapasitif kabel

Z 13 int = 1 + j 13 × 6 , 5 Ω ;

Z C 1 = − 6 = − j 1097 , 6 Ω ω ;

Impedansi total rangkaian seri R-L-C Z 1 tot = 1 + j 6 , 5 − j 1097 , 6 Ω ; Z 1tot = 1091 , 1 Ω

Z 13 tot = 1 + j 13 × 6 , 5 − j 84 , 4 Ω ; Z 13tot = 1 , 0 Ω Tegangan fundamental kabel untuk frekuensi fundamental

× 17000 = 17101 V Z 1 tot

Z C 1 1097 , 6

V 13 m =

× e 13 m =

Z C 13 84 , 4

× 170 = 14315 V

Z 13 tot

Nilai puncak V 1m dan V 13m terjadi pada waktu yang sama yaitu pada seperempat perioda, karena pada harmonisa ke-13 ada 13 gelombang penuh dalam satu perioda fundamental atau 6,5 perioda dalam setengah perioda fundamental. Jadi tegangan maksimum yang diterima kabel adalah jumlah tegangan maksimum fundamental dantegangan maksimum harmonisa ke-13.

V m = V 1 m + V 13 m = 17101 + 14315 = 31416 V ≈ 31,4 kV Tegangan ini cukup tinggi dibanding dengan tegangan maksimum

fundamental yang hanya 17 kV. Gambar berikut ini memperlihatkan bentuk gelombang tegangan.

208 Sudaryatno Sudirham, Analisis Rangkaian Sistem Tenaga

0.02 [detik] -10

Gb.9.19. Bentuk gelombang tegangan.

9.7.6. Partial Discharge

Contoh-9.16 memberikan ilustrasi bahwa adanya hamonisa dapat menyebabkan tegangan maksimum pada suatu piranti jauh melebihi tegangan fundamentalnya. Tegangan lebih yang diakibatkan oleh adanya harmonisa seperti ini bisa menyebabkan terjadinya partial discharge pada piranti, walaupun sistem bekerja normal dalam arti tidak ada gangguan. Jika hal ini terjadi umur piranti akan sangat diperpendek yang akan menimbulkan kerugtian finansial besar.

9.7.7. Alat Ukur Elektromekanik

Daya sumber diperoleh dengan mengalikan tegangan sumber dan arus sumber. Proses ini dalam praktik diimplementasikan misalnya pada alat ukur tipe elektrodinamis dan tipe induksi. Pada wattmeter elektrodinamis, bagian pengukurnya terdiri dari dua kumparan, satu kumparan diam dan satu kumparan berputar. Satu kumparan dihubungkan ke tegangan dan satu kumparan dialiri arus beban. Jika

masing-masing arus di kedua kumparan adalah i v = k 1 I v sin ω t dan

i i = k 2 I i sin( ω t + ϕ ) , maka kedua arus menimbulkan medan magnit yang sebanding dengan arus di kedua kumparan. Momen sesaat yang

terjadi sebagai akibat interaksi medan magnetik kedua kumparan sebanding dengan perkalian kedua arus

m e = k 3 I v sin ω t × I i sin( ω t + ϕ ) Momen sesaat ini, melalui suatu mekanisme tertentu, menyebabkan

defleksi jarum penunjuk (yang didukung oleh kumparan yang berputar) ζ yang menunjukkan besar daya pada sistem arus bolak balik.

ζ = kI vrms I irms cos ϕ Pada alat ukur tipe induksi, seperti kWh-meter elektromekanik yang

masih banyak digunakan, kumparan tegangan dihubungkan pada

S 1 S 2 S 1 tegangan sumber

S 2 sementara kumparan arus

dialiri arus beban. Bagan alat ukur ini terlihat pada

piringan Al Gb.9.20. Gb.9.20. Bagan KWh-meter tipe induksi.

Masing-masing kumparan menimbulkan fluksi magnetik bolak-balik yang menginduksikan arus bolak-balik di piringan aluminium. Arus induksi dari kumparan arus ber-interaksi dengan fluksi dari kumparan tegangan dan arus induksi dari kumparan tegangan berinteraksi dengan fluksi magnetik kumpran arus. Interaksi arus induksi dan fluksi magnetik tersebut menimbulkan momen putar pada piringan sebesar

M e = kf Φ v Φ i sin β

di mana f adalah frekuensi, Φ v dan Φ i fluksi magnetik efektif yang ditimbulkan oleh kumparan tegangan dan kumparan arus, β adalah selisih sudut fasa antara kedua fluksi magnetik bolak-balik tersebut, dan k adalah suatu konstanta. Momen putar ini dilawan oleh momen lawan yang diberikan oleh suatu magnet permanen sehingga piringan berputar dengan kecepatan tertentu pada keadaan keseimbangan antara kedua

momen. Perputaran piringan menggerakkan suatu mekanisme penghitung.

Hadirnya arus harmonisa di kumparan arus, akan muncul juga pada Φ i . Jika Φ v berbentuk sinus murni sesuai dengan bentuk tegangan maka M e akan berupa hasil kali tegangan dan arus komponen fundamental. Frekuensi harmonisa sulit untuk direspons oleh kWh meter tipe induksi. Pertama karena kelembaman sistem yang berputar, dan kedua karena kWh-meter ditera pada frekuensi f dari komponen fundamental, misalnya