Identifikasi Gejala Kenakalan Anak
2. Identifikasi Gejala Kenakalan Anak
Gejala kenakalan anak akan terungkap apabila kita meneliti bagaimana ciri- ciri khas atau ciri umum yang amat menonjol pada tingkah laku dari anak-anak puber tersebut di atas, antara lain:
1) Rasa harga diri yang semakin menguat dan gengsi yang terlalu besar serta kebutuhan untuk memamerkan diri, sementara lingkungan masyarakat dewasa ini sedang demam materiil dimana orang mendewa-dewakan kehidupan lux atau kemewahan, sehingga anak-anak muda usia yang emosi dan mentalnya belum matang serta dalam situasi labil, maka dengan mudah ia ikut terjangkit nafsu serakah dunia materiil.
2) Energi yang berlimpah-limpah memanifestasikan diri dalam bentuk keberanian yang condong melebih-lebihkan kemampuan diri sendiri, misalnya terefleksi pada kesukaan anak muda untuk kebut-kebutan di jalan raya.
3) Senang mencari perhatian dengan jalan menonjolkna diri, misalnya dengan jalan mabuk-mabukan minuman keras.
64 www.google.co.id dengan penelusuran juvenile deliquency, diakses pada tanggal 20 September 2008
4) Sikap hidupnya bercorak anti sosial dan keluar dari pada dunia objektif ke arah dunia subjektif, sehingga ia tidak lagi suka pada kegunaan-kegunaan teknis yang sifatnya fragmatis, melainkan lebih suka bergerombol dengan kawan sebaya. Dengan demikian mereka merasa lebih kuat, aman dan lebih berani untuk berjuang dalam melakukan eksplorasi dan eksperimen hidup dalam dunianya yang baru, maka banyak kita temui pemuda-pemuda yang mempunyai geng-geng tersendiri. Akibatnya timbul kericuhan, perkelahian antar geng dimana-diman.
5) Pencarian suatu identitas kedewasaan cenderung melepaskan diri dari identitas maupun identifikasi lama dan mencari aku “ideal” sebagai identitas baru serta substitusi identifikasi yang lama. Hal-hal tersebut di atas, bisa dimengerti, fase-fase remaja dan adolescent
adalah suatu proses transisi dimana tingkah laku anti sosial yang potensial disertai banyak pergolakan hati dan kekisruhan hati membuat anak remaja/adolesens kehilangan control, kendali emosi yang meletup menjadi boomerang baginya. Apabila dibiarkan tanpa adanya pembinaan dan pengawasan yang tepat, cepat serta terpadu oleh semua pihak, maka gejala kenakalan anak ini akan menjadi tindakan- tindakan yang mengarah kepada tindakan yang bersifat kriminalitas
Untuk lebih memperjelas kajian tentang gejala kenakalan anak seperti yang telah diuraikan di muka, perlu diketahui sebab-sebab timbulnya kenakalan anak atau faktor-faktor yang mendorong anak melakukan kenakalan atau dapat juga dikatakan Untuk lebih memperjelas kajian tentang gejala kenakalan anak seperti yang telah diuraikan di muka, perlu diketahui sebab-sebab timbulnya kenakalan anak atau faktor-faktor yang mendorong anak melakukan kenakalan atau dapat juga dikatakan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa yang dikatakan motivasi itu adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu perbuatan dengan tujuan tertentu. Motifasi sering juga diartikan sebagai usaha-usaha yang menyebabkan seseorang atau kelompok tertentu tergerak untuk melakukan suatu perbuatan karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya.
Bentuk dari motivasi itu ada 2 (dua) macam, yaitu: Motivasi intrinsik dan motivasi eksterinsik. Yang dimaksud dengan motivasi
intrinsic adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai perangsang dari luar, sedangkan motivasi eksterinsik adalah dorongan yang datang dari luar diri seseorang.
Berikut ini Romli Atmasasmita mengemukakan pendapatnya mengenai motivasi insterinsik dan eksterinsik dari kenakalan anak:
1. Yang termasuk motivasi interinsik daripada kenakalan anak adalah:
a. Faktor Intelegentia Intelegentia adalah kecerdasan seseorang, menurut pendapat Wundt dan Eisler
adalah kesanggupan seseorang untuk menimbang dan memberi keputusan. Anak-anak delinquent ini pada umumnya mempunyai intelegensia verbal lebih rendah dan ketinggalan dan pencapaian hasil-hasil skolastik (prestasi sekolah lebih rendah). Dengan kecerdasan yang rendah dan wawasan sosial yang kurang adalah kesanggupan seseorang untuk menimbang dan memberi keputusan. Anak-anak delinquent ini pada umumnya mempunyai intelegensia verbal lebih rendah dan ketinggalan dan pencapaian hasil-hasil skolastik (prestasi sekolah lebih rendah). Dengan kecerdasan yang rendah dan wawasan sosial yang kurang
b. Faktor Usia Stephen Hurwitz mengungkapkan “age is importance factor individu the
causation of crime” (usia adalah factor yang paling penting dalam sebab-musabab timbulnya kejahatan). Apabila pendapat tersebut kita ikuti secara konsekuen, maka dapat pula dikatakan bahwa usia seseorang adalah factor yang penting dalam sebab- musabab timbulnya kenakalan.
c. Faktor Kelamin Di dalam penyelidikannya Paul. W. Tappan mengemukakan pendapatnya,
bahwa kenakalan anak dapat dilakukan oleh anak laki-laki maupun oleh anak perempuan, sekalipun dalam prakteknya jumlah anak laki-laki yang melakukan
kenakalan jauh lebih banyak dari pada anak perempuan pada batas usia tertentu. 66 Adanya perbedaan jenis kelamin, mengakibatkan pula timbulnya perbedaan,
tidak hanya dalam segi kuantitas kenakalan semata-mata akan tetapi juga segi kualitas kenakalannya. Sering kali kita melihat atau membaca dalam mass media, baik cetak maupun media elektronik bahwa perbuatan kejahatan banyak dilakukan oleh anak laki-laki seperti pencurian, penganiayaan, perampokan, pembunuhan, perkosaan dan lain sebagainya. Sedangkan perbuatan pelanggaran banyak dilakukan oleh anak perempuan, seperti pelanggaran terhadap ketertiban umum, pelanggaran kesusilaan
65 Wagiati Soedjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung : Refika Aditama, 2006), hlm. 17 66 Ibid, hlm. 19 65 Wagiati Soedjo, Hukum Pidana Anak, (Bandung : Refika Aditama, 2006), hlm. 17 66 Ibid, hlm. 19
d. Faktor Kedudukan Anak dalam Keluarga Yang dimaksud kedudukan anak dalam keluarga adalah kedudukan seorang
anak dalam keluarga menurut urutan kelahirannya misalnya anak pertama, kedua, dan seterusnya. 67
2. Motivasi Ekstrinsik Kenakalan Anak Motivasi Ekstrinsik dari kenakalan anak meliputi:
a. Faktor keluarga Keluarga merupakan lingkungan sosial yang terdekat untuk membesarkan,
mendewasakan dan di dalamnya anak mendapat pendidikan yang pertama kali. Keluarga merupakan kelompok masyarakat terkecil, akan tetapi merupakan lingkungan yang paling kuat dalam membesarkan anak dan terutama bagi anak yang belum sekolah. Oleh karena itu, keluarga memiliki peranan yang penting dalam perkembangan anak. Keluarga yang baik akan berpengaruh positif bagi perkembangan anak. Sedangkan keluarga yang jelek akan berpengaruh negatif. Oleh karena sejak kecil anak dibesarkan oleh keluarga dan untuk seterusnya sebagian besar waktunya adalah di dalam keluarga maka sepantasnya kalau kemungkinan timbulnya
delinguency itu sebagian juga berasal dari keluarga. 68
67 Ibid, hlm.19 68 Ibid. hlm.21
Adapun keluarga yang dapat menjadi sebab timbulnya delinguency dapat berupa keluarga yang tidak normal (broken home) dan keadaan jumlah anggota keluarga yang kurang menguntungkan.
Menurut Moelyatno bahwa menurut pendapat umum pada broken home ada kemungkinan besar bagi terjadinya kenakalan anak, dimana terutama perceraian atau
perpisahan orang tua mempengaruhi perkembangan si anak. 69 Dalam broken home pada prinsipnya struktur keluarga tersebut sudah tidak
lengkap lagi yang disebabkan adanya hal-hal:
b) Salah satu dari kedua orang tua atau kedua-duanya meninggal dunia.
c) Perceraian orang tua.
d) Salah satu dari kedua orang tua atau keduanya tidak hadir secara kontinyu dalam tenggang waktu yang cukup lama. Keadaan keluarga yang tidak normal bukan hanya terjadi pada broken home,
akan tetapi dalam masyarakat modern sering pula terjadi suatu gejala adanya broken home semua ialah kedua orang tuanya masih utuh, tetapi karena masing-masing anggota keluarga (ayah dan ibu) mempunyai kesibukan masing-masing sehingga orang tua tidak sempat memberikan perhatiannya terhadap pendidikan anak-anaknya.
Pada dasarnya kenakalan anak yang disebabkan karena broken home dapat diatasi atau ditanggulangi dengan cara-cara tertentu. Dalam broken home, cara mengatasi agar anak tidak menjadi delikuen ialah orang tua yang bertanggungjawab dalam memelihara anak-anaknya hendaklah mampu memberikan kasih sayang
69 Ibid. hlm.21 69 Ibid. hlm.21
b. Faktor Pendidikan dan Sekolah Sekolah adalah sebagai media atau perantara bagi pembinaan jiwa anak-anak
atau dengan kata lain, sekolah ikut bertanggungjawab atas pendidikan anak-anak, baik pendidikan keilmuan maupun pendidikan tingkah laku. Banyaknya atau bertambahnya kenakalan anak secara tidak langsung menunjukkan kurang berhasilnya sistem pendidikan di sekolah-sekolah.
Dalam konteks ini sekolah merupakan ajang pendidikan yang kedua setelah lingkungan keluarga bagi anak. Selama mereka menempuh pendidikan di sekolah terjadi interaksi antara anak dengan sesamanya, juga interaksi antara anak dengan guru. Interaksi yang mereka lakukan di sekolah sering menimbulkan akibat sampingan yang negatif bagi perkembangan mental anak sehingga anak menjadi delikuen.
Menurut Zakiah Darajat bahwa pengaruh negative yang menangani langsung proses pendidikan antara lain, kesulitan ekonomi yang dialami guru dapat mengurangi perhatiannya terhadap anak didik. Guru sering tidak masuk akibatnya anak-anak didik terlantar, bahkan sering terjadi guru marah pada muridnya. Biasanya guru melakukan hal demikian bila terjadi sesuatu yang menghalangi keinginannya. Dia akan marah, apabila kehormatannya direndahkan, baik secara langsung maupun Menurut Zakiah Darajat bahwa pengaruh negative yang menangani langsung proses pendidikan antara lain, kesulitan ekonomi yang dialami guru dapat mengurangi perhatiannya terhadap anak didik. Guru sering tidak masuk akibatnya anak-anak didik terlantar, bahkan sering terjadi guru marah pada muridnya. Biasanya guru melakukan hal demikian bila terjadi sesuatu yang menghalangi keinginannya. Dia akan marah, apabila kehormatannya direndahkan, baik secara langsung maupun
c. Faktor Pergaulan Anak. Harus disadari betapa besar pengaruh yang dimainkan oleh lingkungan anak,
terutama sekali disebabkan oleh konteks kulturalnya. Dalam situasi sosial yang menjadi semakin longgar, anak-anak kemudian menjauhkan diri dari keluarganya untuk kemudian menegakkan eksistensi dirinya yang dianggap sebagai tersisih dan terancam. Mereka lalu memasuki satu unit keluarga baru dengan subkultur baru yang sudah delikuen sifatnya.
Dengan demikian, anak menjadi delikuen karena banyak dipengaruhi oleh berbagai tekanan pergaulan, yang semuanya memberikan pengaruh yang menekan dan memaksa pada pembentukan perilaku buruk, sebagai produknya anak-anak tadi suka melanggar peraturan, norma sosial dan hukum formal. Anak-anak ini menjadi delikuen/jahat sebagai akibat dari transformasi psikologis sebagai reaksi terhadap pengaruh eksternal yang menekan dan memaksa sifatnya.
Sehubungan dengan peristiwa ini, Sutherland mengembangkan teori association differential yang menyatakan bahwa anak menjadi delinkuen disebabkan oleh partisipasinya di tengah-tengah suatu lingkungan sosial yang ide dan teknik delinkuen tertentu dijadikan sebagai sarana yang efisien untuk mengatasi kesulitan hidupnya.
Dalam hal ini peranan orang tua untuk menyadarkan dan mengembalikan kepercayaan anak tersebut serta harga dirinya sangat diperlukan. Perlu mendidik Dalam hal ini peranan orang tua untuk menyadarkan dan mengembalikan kepercayaan anak tersebut serta harga dirinya sangat diperlukan. Perlu mendidik
d. Pengaruh Media. Pengaruh media tidak kalah besarnya terhapad perkembangan anak.
Keinginan atau kehendak yang tertanam pada diri anak untuk berbuat jahat kadang- kadang timbul karena pengaruh bacaan, gambar-gambar dan film. Bagi anak yang mengisi waktu senggangnya dengan bacaan-bacaan yang buruk, maka hal itu akan berbahaya dan dapat menghalang-halangi mereka untuk berbuat hal-hal yang baik.