Anak berkonflik dengan hukum adat

PERAN PEMBIMBING KEMASYARAKATAN DALAM MEMBUAT PENELITIAN KEMASYARAKATAN PADA PERSIDANGAN ANAK TESIS

Oleh LAMARTA SURBAKTI 077005015/HK

KOLA

ASARJ

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

PERAN PEMBIMBING KEMASYARAKATAN DALAM MEMBUAT PENELITIAN KEMASYARAKATAN PADA PERSIDANGAN ANAK TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh LAMARTA SURBAKTI 077005015/HK SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009

Judul Tesis : PERAN PEMBIMBING KEMASYARAKATAN DALAM MEMBUAT PENELITIAN KEMASYARAKATAN PADA PERSIDANGAN ANAK

Nama Mahasiswa : Lamarta Surbakti Nomor Pokok

Program Studi

: Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Ketua

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM)

Anggota

Anggota

Ketua Program Studi

Direktur

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

Tanggal lulus : 22 Juli 2009

Telah diuji pada

Tanggal 22 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS

Anggota : 1. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

4. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

ABSTRAK

Pembimbing Kemasyarakatan bertugas membuat suatu penelitian kemasyarakatan (Litmas) terhadap seorang anak yang melakukan tindak pidana. Di dalam penelitian kemasyarakatan tersebut tertulis mengenai data pribadi maupun keluarga anak yang melakukan pidana, kronologis terjadinya perbuatan pidana tersebut serta kesimpulan dan saran. Hasil penelitian masyarakat ini akan dijadikan dasar oleh hakim dalam proses sidang anak.

Penelitian tentang Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak mencakup 3 (tiga) masalah, yaitu : 1) Bagaimanakah peranan penelitian kemasyarakatan dan pembimbing kemasyarakatan pada persidangan anak; 2) Faktor-faktor apakah yang menghambat dan mendukung pembinaan anak; 3) Upaya-upaya apakah yang dilakukan untuk menghadapi hambatan dalam pembinaan anak.

Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan hukum normatif yang bertujuan untuk menemukan peraturan dan asas-asas hukum yang mengatur tentang peranan penelitian kemasyarakatan dan pembimbing kemasyarakatan di pengadilan anak, hambatan-hambatannya, serta upaya dalam mengatasi hambatan tersebut yang dapat memberikan kontribusi dalam penanganan perkara tindak pidana anak.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika Pembimbing Kemasyarakatan dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa dari segi usia bahwa seorang anak nakal dinyatakan sah dikategorikan masih usia anak-anak yang disertai bukti-bukti hukum yang kuat (ijazah, akte lahir, kartu keluarga, surat lahir dari bidan/dokter, dan lain sebagainya), maka penelitian kemasyarakatan Balai Pemasyarakatan akan bermanfaat bagi anak nakal tersebut di dalam sidang anak khususnya ditinjau dari aspek hukum dan tindakan yang diberikan kepada Anak Nakal tersebut.

Dengan adanya hasil laporan tersebut, diharapkan hakim dapat memperoleh gambaran yang tepat untuk memberikan putusan yang seadil-adilnya bagi anak yang bersangkutan. Laporan penelitian kemasyarakatan yang dipergunakan untuk kepentingan pembinaan ada beberapa macam, misalnya untuk anak negara yang akan cuti liburan sekolah, lepas bersyarat (VO), anak asuh atau foter care pada keluarga atau perkumpulan sosial.

Juga untuk narapidana dalam rangka pindah kepada Lembaga Pemasyarakatan lain, cuti pre-release treatment (PRT) atau lepas bersyarat bagi klien dewasa (VI), latihan kerja dan bimbingan lanjutan bagi klien yang membutuhkan. Jadi laporan penelitian kemasyarakatan itu sangat penting untuk sidang Tim Pembina Pemasyarakatan (TPP) di Lembaga Pemasyarakatan.

Peneliti menyarankan agar dalam menangani para pelanggar hukum oleh para penegak hukum, dalam penyelesaiannya jangan hanya melakukan pendekatan yuridis saja akan tetapi harus melihat aspek lain yang berhubungan dengan masalah itu.

Kata Kunci : Penelitian, Pembimbingan, Anak.

ABSTRACT

Social Counsellor undertake to make a social research (Litmas) to a child doing in justice. In the social research written to hit the personal data and also child family [doing/conducting] crime, chronological the happening of the crime and also conclusion and suggestion. Result of this society research will be made by base judge in course of child conference.

Research about Role of Social Counsellor In Making Social Research At Child Conference include; cover 3 problem, that is 1) What will be role of research of social and social counsellor at child conference 2) Factors whether pursuing and supporting child construction 3) Efforts whether done to face the resistance in child construction.

This research is conducted with the approach punish the normatif which aim to to find the regulation and principle of justice arranging about role of research of social and social counsellor in child justice, its resistances, and also strive in overcoming the resistance which can give the contribution in handling of case of doing an injustice child.

Result of research indicate that when Social Counsellor in its research result express that from age facet that a naughty child expressed by a validity categorized by a children age still accompanied [by] the strong law evidence (diploma, akte born, family card, letter born from midwife/doctor, and others), hence research of social of Hall Pemasyarakatan will be of benefit to the naughty child in child conference is specially evaluated from aspect punish and action which is passed to by a the Naughty Child.

With the existence of the report result, expected by a judge can obtain; get the correct picture to give the decision which seadil-adilnya for pertinent child. report of social Research utilized for the sake of construction of there are some kinds of, for example for the child of state of vacation leave to school, conditional free (VO), child take care of or foter care at social bevy or family.

Also for the convict of in order to moving to Institute Pemasyarakatan of[is other; dissimilar, leave of pre-release treatment (PRT) or release conditional for adult client (VI), grounding and continuation tuition for client requiring. Become the that social research report of vital importance for the conference of Team of Builder Pemasyarakatan (TPP) in Institute Pemasyarakatan.

Researcher suggest that in handling all lawbreaker by all enforcer punish, in its solution don't only conduct the just approach yuridis however have to see the other related aspect with that problem.

Key words : Research, Tuition, Child.

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan Kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat- Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan baik. Penyelesaian tesis ini tidak terlepas dari bantuan dan bimbingan dari Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS; Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH dan Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian “Peran Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Membuat Penelitian Kemasyarakatan Pada Persidangan Anak”.

Peneliti turut mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setulus- tulusnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara Prof.. Chairuddin P. Lubis, DTM&Sp. A(K) atas dibukanya kerjasama Program beasiswa Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia dengan Universitas Sumatera Utara.

2. Direktur Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc atas pemberian kesempatan menjadi mahasiswa di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

3. Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Ketua Program Sudi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan sumbang saran dalam penelitian.

5. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Komisi Pembimbing yang telah memberikan ide-ide dalam penulisan dalam penelitian.

6. Pimpinan BAPAS Medan atas kesempatan memberikan waktu dan kesempatan berdiskusi sehingga akhir penelitian ini.

7. Teman-teman kuliah di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan yang berkesempatan membagi waktu dalam suka dan duka.

8. Staf Administrasi Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan informasi

Peneliti berterima kasih atas dukungan moril dari orangtua, kasih sayang istri tercinta, ananda yang selalu kusayangi sehingga memperoleh gelar di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan. Dengan segala keterbatasan kekurangan yang ada, peneliti berharap semoga tesis ini bisa dimanfaatkan oleh pihak yang terkait.

Medan, 7 Juli 2009 Peneliti,

Lamarta Surbakti

RIWAYAT HIDUP

Nama : Lamarta Surbakti Tempat/Tgl. Lahir

: Medan/5 Oktober 1972

Jenis Kelamin

: Laki-Laki

Status : Kawin Agama : Islam Alamat

: Jl. Pemasyarakatan Komplek Aribawana Blok B No. III 6

PENDIDIKAN FORMAL

a. Sekolah Dasar Inpres Guru Kinayan tahun 1987

b. Sekolah Menengah PertamaNegeri Tiga Serangkai tahun 1990

c. Sekolah Menengah Atas Kaban Jahe tahun 1993

d. Fakultas Hukum UNPAB tahun 2001

e. Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara 2009

DAFTAR TABEL

1. Perbandingan Batas Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal ...........

2. Latar Belakang Pendidikan Pegawai BAPAS Klas I Medan

31

Tahun 2009 ...........................................................................................

3. Keadaan Pegawai BAPAS Klas I Medan Tahun 2009 Berdasarkan Golongan .........................................................................

32

4. Keadaan Pegawai BAPAS Klas I Medan Tahun 2009

32

Berdasarkan Kepangkatan .....................................................................

DAFTAR ISTILAH

The Olders Social Problems : Masalah Sosial Yang Lama Child Criminal Justice System

: Sistem Peradilan Anak

Labelling Theory

: Teori Pengecapan

Probation Officer : Pembimbing Kemasyarakatan/PK Case Study

: Studi Kasus

Pre Adjudication : Sebelum Maju Ke Sidang Pengadilan Juvenile : Anak-anak

DAFTAR SINGKATAN

BAPAS : Balai Pemasyarakatan KUHAP

: Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana KUHP

: Kitab Undang-undang Hukum Pidana LITMAS : Penelitian Kemasyarakatan LP

: Lembaga Pemasyarakatan RKUHP

: Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana PK

: Pembimbing Kemasyarakatan PRT : Pre Release Treatment

SMPS : Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial SPSA

: Sekolah Pekerjaan Sosial Tingkat Atas TPP

: Tim Pengamat Pemasyarakatan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Benedict Alpert berpendapat bahwa kejahatan merupakan the olders social problems karena sampai tahun 1970 telah dibahas lebih dari 80 (delapan puluh) pertemuan atau konferensi internasional. 1

Pembangunan nasional yang merupakan bagian proses modernisasi membawa dampak positif maupun negatif. Salahsatu dampak negatif dari pesatnya perkembangan ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin meningkatkan kualitas serta kuantitas kejahatan. Disamping itu kemerosotan ekonomi juga sebagai faktor pemicu dominan terjadinya suatu kejahatan. Menurut beberapa ahli, masalah kejahatan bukan barang baru meskipun tempat dan waktunya berlainan, akantetapi modusnya dinilai sama karena kejahatan adalah suatu fenomena sosial yang terjadi pada setiap waktu dan tempat, kehadirannya di bumi dapat dikatakan setua dengan umur manusia. 2

Sedangkan mengenai perilaku menyimpang menurut Edwin Lemert bahwa karir pelaku penyimpang seringkali mengalami perubahan sesuai dengan perjalanan waktu dan tindakan pelaku penyimpang tersebut seringkali merupakan langkah ambil resiko yang bersifat coba-coba untuk pola perilaku yang dilarang. Tindakan ini menjadi sasaran reaksi sosial yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pengalaman

karir pelaku selanjutnya 3 .

1 Muladi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung : Alumni, 1992), hlm. 86. 2 JE. Sahetapy, Victimologi Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta : Sinar Harapan, 1987), hlm. 35. 3 Mulyana W. Kusumah, Analisa Kriminologi Tentang Kejahatan Kekerasan, (Jakarta :

Ghalia Indonesia, 1982), hlm. 8

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa selama hidupnya manusia memiliki hasrat untuk hidup teratur, namun terkadang seseorang pernah melanggar hukum. Pelanggaran itu bisa disengaja ataupun tidak. Pelanggaran berat yang disengaja

biasanya terjadi karena sebab-sebab tertentu. 4

Sebagai suatu kenyataan sosial bahwa yang berkaitan dengan masalah sosial ekonomi, kejahatan itu sendiri tidak hanya dilakukan oleh orang dewasa semata, namun juga telah dilakukan oleh anak-anak. Pemerintah tidak melihat anak-anak yang terlantar kelak akan menjadi penjahat atau pengangguran, makanya tenang-tenang saja karena belum nampak kejahatannya. Dibat ruamh penjara untuk mereka, padahal apabila hati-hati saja, sebenarnya dapar dicegah sebelumnya. Mahkamah dan Menteri Kehakiman goyang kaki saja sebelum menjadi penjahat dewasa; padahal mereka itu dapat dipengaruhi

secara bijaksana dan mungkin besar jasanya bagi masyarakat . 5

Kecenderungan meningkatnya kualitas maupun kuantitas pelanggaran baik terhadap ketertiban umum maupun pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang dilakukan oleh pelaku-pelaku usia muda, atau dengan perkataan lain meningkatnya kenakalan remaja yang mengarah kepada tindakan kriminal mendorong kita untuk lebih banyak memberi perhatian akan penanggulangan serta penanganannya, khususnya di bidang hukum pidana (anak), beserta hukum acaranya. Hal ini erat hubungannya dengan perlakuan khusus terhadap pelaku tindak pidana anak-anak.

Permasalahan pembinaan generasi muda merupakan bagian integral dari masalah pembangunan. Oleh sebab itu sebagian masalah pembinaan yaitu pembinaan

4 Soerjono Soekanto, Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah Sosial, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1989), hlm. 7.

5 Simanjuntak, Latar Belakang Kenakalan Remaja (Etiologi Juvenile Delinquency) , (Bandung : Alumni, 1979), hlm. 97.

yustisial terhadap generasi muda khususnya anak-anak perlu mendapat perhatian dan pembahasan tersendiri.

Dalam proses perkembangan tidak jarang timbul peristiwa yang menyebabkan anak dalam keadaan terlantar maupun terjadinya perbuatan yang dilakukan oleh anak- anak dibawah umur berupa ancaman atau pelanggaran terhadap ketertiban umum dalam masyarakat, bahkan terdapat kecenderungan adanya penyalahgunaan anak bagi kepentingan tertentu yang justru dilakukan oleh para orangtua atau pembinanya.

Oleh sebab itu anak nakal dan anak terlantar perlu diselesaikan melalui suatu badan yaitu lembaga peradilan khusus agar terdapat jaminan bahwa penyelesaian tersebut dilakukan benar-benar untuk kesejahteraan anak yang bersangkutan dan kepentingan masyarakat tanpa mengabaikan terlaksananya hukum. Oleh karenanya sudah menjadi kewajiban pemerintah dalam memperhatikan kemajuan serta kesempurnaannya.

Perhatian terhadap anak telah lama ada sejalan dengan peradaban manusia itu sendiri yang semakin berkembang. Oleh karena itu anak memerlukan pembinaan, bimbingan khusus agar dapat berkembang secara fisik, mental dan spiritualnya. Perumusan tentang hukum anak di Indonesia telah ada sejak tahun 1925 ditandai dengan lahirnya Stb. 1925 No. 647 jo. Ordonantie 1949 No. 9 yang mengatur pembatasan kerja anak dan wanita. Surat Edaran Kejaksaan Agung pada Mahkamah Agung No. P 1/20. tanggal 30 Maret 1951 menjelaskan tentang penjahat anak-anak adalah mereka yang menurut hukum pidana melakukan perbuatan yang dapat dihukum, belum berusia 16 (enam belas) tahun. 6

Jaksa Agung dalam hal ini menekankan bahwa menghadapkan penjahat anak- anak ke muka pengadilan hanya sebagai langkah terakhir atau ultimum remedium.

6 Lihat Pasal 45 KUHP

Sedangkan bagi penjahat anak-anak yang dimungkinkan penyelesaian lain maka perlu dipertimbangkan manfaatnya.

Sistem perundang-undangan di Indonesia belum terdapat adanya unifikasi tentang hukum anak, akan tetapi telah terkodifikasi dalam beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini seperti pada hukum perburuhan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Oleh karena itu perlu dimaklumi sulitnya memahami hukum anak itu sendiri sehingga menurut Darwan Prinst, hukum anak adalah sekumpulan peraturan hukum yang mengatur tentang anak. Adapun hal-hal yang diatur dalam hukum anak itu meliputi sidang pengadilan anak, anak sebagai pelaku tindak pidana, anak sebagai korban tindak pidana, kesejahteraan anak, hak-hak anak, pengangkatan anak, anak terlantar, kedudukan anak, perwalian, anak nakal, dan lain sebagainya 7 .

Masalah tindak pidana anak sebenarnya telah di atur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menegaskan bahwa anak yang dapat di ajukan ke peradilan perkara pidana yaitu berumur 8 (delapan) tahun sampai dengan 18 (delapan belas) tahun, namun belum menikah/kawin. Pandangan hukum melihat kenakalan anak selalu bisa dan dapat di ajukan ke dalam peradilan anak. Salah satu ketentuan dalam proses sistem peradilan anak (child criminal justice system) harus di laksanakan dengan adanya petugas BAPAS (Balai Pemasyarakatan) sebagai pembuat LITMAS (penelitian masyarakat) anak, yang akan menjadi bahan pertimbangan dalam proses child criminal justice system.

7 Darwin Prinst, Hukum Anak Indonesia, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), hlm. 1.

Menurut pandangan ilmu viktimologi, anak yang masuk dalam perkara sistem peradilan pidana di saat pertama kali di tangkap oleh polisi, berarti anak yang awalnya mungkin menjadi tersangka berubah menjadi korban dalam proses peradilan pidana. Hal ini di sebabkan adanya proses viktimisasi terhadap anak, apalagi sampai masuk dalam penjara yang notabene merupakan tempat penjahat. Labelisasi atau cap sebagai penjahat terhadap anak akan membekas selama hidupnya.

Pandangan kriminologis dalam teorinya labelling theory menyatakan bahwa ketika seseorang sudah di label akan sesuatu akan memiliki kecenderungan akan menjalankan apa yang telh di labelkan orang atau masyarakat kepadanya. Demikian pula halnya label sebagai penjahat ketika anak di masukkan ke dalam penjara. Oleh karena itu di perlukan adanya pencermatan terhadap proses peradikan pidana yang benar-benar terpadu (integrated) dengan memperhatikan perkembangan psikologis anak, namun juga tidak mengenyampingkan kepentingan secara umum (daad daderstrafrecht).

Untuk dapat melaksanakan pembinaan dan memberikan perlindungan terhadap anak diperlukan dukungan baik menyangkut kelembagaan maupun perangkat hukum yang lebih memadai. Prakteknya di hukum kebiasaan internasional (international customary law), menetapkan usia pertanggungjawaban pidana minimal diatas 12 (dua belas) tahun, meskipun di tiap negara berbeda tentang usia minimal. Hal ini dapat dilihat tabel 1 pada halaman enam di bawah ini, yaitu:

Tabel 1: Perbandingan Batas Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal

Nama Negara Usia Minimal Tanggung Jawab Kriminal Inggris 10 Perancis 13 Jerman 14 Belanda 12 Sumber Data : Badan Pembinaan Hukum Nasional Tahun 2007 Sedangkan di Indonesia tidak terdapat kesamaan batas usia minimal, yang

dapat dilihat dengan adanya pluralisme mengenai kriteria anak, yaitu :

1) Undang-Undang Pengadilan Anak. Pasal 1 ayat (2) merumuskan bahwa anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Jadi kriteria anak dibatasi dengan umur antara 8 (delapan) tahun sampai dengan berumur 18 (delapan belas) tahun. Kriteria lainnya bahwa si anak belum pernah menikah. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun perkawinannya putus karena perceraian maka si anak dianggap sudah dewasa meskipun umurnya belum genap berusia 18 (delapan belas) tahun.

2) Anak dalam Hukum Perburuhan. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1948 tentang Pokok-Pokok Perburuhan mendefinisikan anak adalah orang laki-laki atau perempuan berumur 14 (empat belas) tahun ke bawah.

3) Anak menurut Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Pasal 45 Kitab Undang-undang Hukum Pidana mendefiisikan anak yang belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu apabila ia tersangkut dalam perkara pidana, hakim bisa memerintahkan supaya si tersalah itu dikembalikan kepada orangtuanya, walinya atau pemeliharanya dengan tidak dikenakan suatu hukuman atau memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman.

4) Anak menurut Hukum Perdata. Pasal 330 KUH Perdata mengatakan bahwa orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur 21 (dua pulus satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin.

5) Anak menurut Undang-Undang Perkawinan. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Undang- Undang Pokok Perkawinan menyebutkan bahwa seorang pria hanya diizinkan 5) Anak menurut Undang-Undang Perkawinan. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Undang- Undang Pokok Perkawinan menyebutkan bahwa seorang pria hanya diizinkan

Perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan pidana yaitu terhadap anak sebagai pelaku kejahatan maksudnya adalah anak sebagai pelaku kejahatan bukanlah mendapatkan hak kekebalan hukum atau tidak tersentuh hukum, akan tetapi anak yang melakukan tindak kejahatan atau tindak kriminal berlaku ketentuan khusus dengan berpedoman kepada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, maupun pemidanaannya dijatuhkan kepada anak nakal paling lama ½ (setengah) dari maksimum ancaman penjara bagi orang dewasa sehingga kekhususan penanganan peradilan pidana anak dapat mereduksi ketentuan dalam KUHP maupun KUHAP dengan berdasarkan asas lex spesialis derogat lex generalis.

Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu : 9

1) Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;

2) Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum.

Sehubungan dengan hal ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana;

8 Ibid., hlm. 3 9 Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, mengutip Harry E. Allen and

Cliffford E. Simmonsen, dalam Correction in America Cliffford E. Simmonsen, dalam Correction in America

kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial). Kemudian fungsi yang seharusnya dijalankan oleh sistem peradilan pidana terpadu adalah: workers; indigenous peoples, children; dan women.

Pelaksanaan sistem peradilan anak dilaksanakan demi mencapai kesejahteraan anak dengan berdasar prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana anak berdasarkan kepada perlindungan anak dan pemenuhan hak- hak anak (protection child and fullfilment child rights based approuch).

Salahsatu prinsip tentang hak-hak anak menyatakan bahwa anak-anak seharusnya menikmati perlindungan khusus dan dierikan kesempatan dan fasilitas melalui upaya hukum maupun upaya lain sehingga memungkinkan anak terbangun fisik, mental, moral, spiritual, dan sosial dalam mewujudkan kebebasan dan kehormatan anak.

Pendekatan kesejahteraan dapat dijadikan sebagai dasar filosofi penanganan terhadap pelanggaran hukum usia anak, yaitu : 11

1) Anak-anak dianggap belum mengerti benar kesalahan yang telah diperbuat, sehingga sudah sepantasnya diberikan pengurangan hukuman, serta pembedaan pemberian hukuman bagi anak-anak dengan orang dewasa.

2) Bila dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak diyakini lebih mudah dibina dan disadarkan.

10 Mappi FHUI, Lembaga Pengawasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, (Jakarta : Universitas Indonesia, 2003)

11 Purnianti menyitir pendapat Stewart Asquish, Children and Young People in Conflict with the Law, hlm. 72

Dengan adanya pendekatan kesejahteraan, maka peranan pembimbing kemasyarakatan sangat efektif dalam memberikan anak-anak motivasi dalam menjalani hukuman. Hal ini sesuai dengan tugasnya pembimbing kemasyarakatan dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak adalah untuk memperlancar tugas penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam perkara anak nakal baik di dalam maupun di luar

sidang anak dengan membuat laporan hasil penelitian kemasyarakatan. 12

Pemasyarakatan yang dimaksud adalah bagian dari tata peradilan pidana dari segi pelayanan tahanan, pembinaan narapidana, anak negara, dan bimbingan klien pemasyarakatan yang dilaksanakan secara terpadu dengan tujuan agar mereka setelah menjalani pidananya dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik.

Berdasarkan hal tersebut, perlakuan terhadap anak yang melakukan kejahatan tentu saja berbeda dengan orang dewasa baik dalam proses peradilan maupun dalam hal pemberian hukuman. Seorang anak yang menjalani proses peradilan mulai dari tahap pra ajudikasi sampai tahap purna ajudikasi harus selalu diperhatikan kepentingan anak dan harus dihindarkan dari hal-hal yang dapat merugikan anak. Di pelbagai negara, termasuk Indonesia, terus diusahakan mencari bentuk-bentuk pidana lain di samping pidana perampasan kemerdekaan berupa peningkatan pemidanaan yang bersifat non institusional

dalam bentuk pidana bersyarat, dan pidana harta benda misalnya denda. 13 Perampasan kemerdekaan baik berupa penangkapan, penahanan dan pidana

penjara terhadap anak merupakan upaya terakhir dan dalam jangka waktu yang singkat.Prinsip ini terkandung di dalam dokumen-dokumen internasional yang merupakan upaya perlindungan hukum pidana terhadap anak. Prinsip- prinsip penjatuhan pidana terhadap anak antara lain terkandung di dalam Standard Minimum Rules For Administration of Juvenile Justice (The Beijing Rules), Un Rules For The Protection Of Juvenile Deprived Of Liberty dan Convention on The Right Of The Child, yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990. Prinsip-prinsip penjatuhan pidana terhadap anak yang tertuang di dalam dokumen-dokumen internasional ini dan keinginan agar pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan khususnya terhadap anak, yang telah dituangkan di dalam

12 Lihat Pasal 34 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak 13 Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung : Alumni, 1992), hlm. 5

Rancangan KUHP (selanjutnya di singkat RKUHP) dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997. 14

Menurut Mardjono Reksodiputro, bahwa beliau lebih cenderung mempergunakan pembinaan di luar lembaga (treatment in community) sebagai

langkah awal dalam pemidanaan anak pelanggar hukum. 15 Rancangan Kitab Undang- undang Hukum Pidana pemikiran ini dapat dilaksanakan melalui pidana pengawasan.

Apabila pidana pengawasan ini diberlakukan secara efektif, maka paling tidak ada tiga hal yang perlu disiapkan, yaitu :

1) Adanya pembatasan penjatuhan pidana penjara terhadap pelaku usia muda.

2) Dipersiapkannya tenaga-tenaga terdidik (melalui Akademi Ilmu Pemasyarakatan dan sekolah-sekolah tinggi ilmu kesejahteraan sosial atau melalui pendidikan di jurusan kriminologi) yang dapat menjadi pengawas dan pembimbing bagi para terpidana muda ini.

3) Mempersiapkan masyarakat untuk mendukung integrasi para pelaku ini dalam komunitas mereka, termasuk kesediaan mereka yang terpilih untuk menjadi

pengawas atau pembimbing sukarela (voluntary probation officer). 16

Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 yang dimaksud dengan BAPAS adalah pranata untuk melaksanakan bimbingan klien

pemasyarakatan. 17 BAPAS (Balai Pemasyarakatan) sebagai unit pelaksana teknis dalam pelaksanaan tugas sehari-hari memiliki petugas khusus yang disebut

Pembimbing Kemasyarakatan/PK (Probation Officer).

14 Pasal 66 huruf a RKUHP ditentukan “Pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut : a.Terdakwa berusia dibawah 18 tahun dan diatas 70

tahun 15 Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta : Pusat

Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum UI, 1997), hlm. 116 16 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan dalam System Peradilan Pidana,

(Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan Dan Pengabdian Hukum UI, 1997), hlm. 73 17 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 jo PP No. 31 tahun 1999 Tentang Pembinaan Dan

Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan

Pembimbing Kemasyarakatan inilah yang bertugas membuat suatu penelitian kemasyarakatan (Litmas) terhadap seorang anak yang melakukan tindak pidana. Di dalam penelitian kemasyarakatan tersebut tertulis mengenai data pribadi maupun keluarga anak yang melakukan pidana, kronologis terjadinya perbuatan pidana tersebut serta kesimpulan dan saran. Hasil litmas ini akan dijadikan dasar oleh hakim dalam proses sidang anak. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 telah mengatur bahwa hakim wajib mempertimbangkan laporan hasil penelitian kemasyarakatan (Litmas) yang dibuat oleh pembimbing kemasyarakatan.

Keberadaan pembimbing kemasyarakatan sampai saat ini masih kurang mendapat perhatian, seolah-olah peranan yang banyak tampil dalam penanganan anak bermasalah itu hanyalah Penyidik, Jaksa, Hakim dan petugas Lembaga Pemasyarakatan. Begitu pentingnya keberadaan pembimbing kemasyarakatan dalam peradilan anak, hal ini tergambar dalam pernyataan dari Hawnah Schaft, seperti yang dikutip oleh Paulus Hadi Suprapto:

“Suksesnya peradilan anak jauh lebih banyak bergantung pada kualitas dari probation officer (petugas Bapas) daripada hakimnya. Peradilan anak yang tidak memiliki korps pengawasan percobaan yang membimbing dengan bijaksana dan kasih sayang ke dalam lingkungan kehidupan anak dan memberikan petunjuk bagi standard pemikiran yang murni bagi anak mengenai hidup yang benar, hanyalah mengakibatkan fungsi pengadilan anak

menjadi kabur kalau tidak ingin sia-sia”. 18

Maka dari itu begitu pentingnya penelitian kemasyarakatan terhadap anak dalam peradilan anak yang dibuat oleh pembimbing kemasyarakatan sebagai bahan

18 Paulus Hadisuprapto, Juvenile DeliQuency, Pemahaman dan Penanggulangannya, (Bandung : Citra Aditya, 1998), hlm. 64 18 Paulus Hadisuprapto, Juvenile DeliQuency, Pemahaman dan Penanggulangannya, (Bandung : Citra Aditya, 1998), hlm. 64

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang menjadi permasalahan, yaitu :

1. Bagaimanakah peranan pembimbing kemasyarakatan dan manfaat penelitian kemasyarakatan pada persidangan anak ?

2. Bagaimanakah pemanfaatan penelitian kemasyarakatan dalam persidangan anak ?

3. Upaya-upaya apakah yang dilakukan untuk menghadapi hambatan dalam pembuatan penelitian kemasyarakatan ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui peranan pembimbing kemasyarakatan dan manfaat penelitian kemasyarakatan dalam persidangan anak.

2. Untuk mengetahui pemanfaatan penelitian kemasyarakatan dalam persidangan anak.

3. Untuk mengetahui upaya-upaya apakah yang untuk menghadapi hambatan dalam pembuatan penelitian kemasyarakatan.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, diharapkan menjadi bahan masukan untuk perkembangan ilmu hukum pidana, khususnya dalam menangani pembinaan anak di persidangan anak.

2. Secara praktis, diharapkan memberikan masukan kepada petugas Lembaga Kemasyarakatan, khususnya pembimbing kemsyarakatan dalam memberikan pembinaan terhadap anak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

E. Keaslian Penelitian

Agar tidak terjadi pengulangan suatu penelitian terhadap masalah yang sama, peneliti biasanya akan mengumpulkan data tentang masalah tersebut sebelum

melakukan kegiatan ilmiah tersebut. 19 Berdasarkan hasil penelusuran kepustakaan (library research) belum terdapat

penelitian khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara Medan yang

19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hlm. 103 19 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : UI Press, 1986), hlm. 103

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

a. Teori Sistem Peradilan Anak

Untuk mendukung pentingnya diadakan kajian yang menyangkut peranan penelitian kemasyarakatan dan pembimbing kemasyarakatan dalam persidangan anak, maka diperlukan adanya kerangka teori yang menjelaskan tentang sistem peradilan pidana, dan peradilan anak.

Kontinuitas perkembangan ilmu hukum, selain bergantung kepada metodologi, aktifitas penelitian, dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori. Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, 20 dan suatu kerangka teori harus diuji untuk menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya.

Sedangkan pengertian kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir- butir pendapat, teori, tesis dari penulis dan ahli hukum di bidang hukum yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau tidak disetujui yang merupakan masukan eksternal bagi penulisan tesis. 21 Dalam kerangka konsepsional diungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. Menyangkut soal

20 Soerjono Soekanto, Teori Yang Murni Tentang Hukum, (Bandung : Alumni, 1985), hlm. 96 21 M. Solly Lubis, Filsafat ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 80 20 Soerjono Soekanto, Teori Yang Murni Tentang Hukum, (Bandung : Alumni, 1985), hlm. 96 21 M. Solly Lubis, Filsafat ilmu dan Penelitian, (Bandung : Mandar Maju, 1994), hlm. 80

Anak yang diduga oleh pihak kepolisian telah melakukan tindak pidana, maka pihak kepolisian menyampaikan surat permintaan penelitian kemasyarakatan kepada Balai Pemasyarakatan. Setelah pembimbing kemasyarakatan balai kemasyarakatan menyelesaikan tugas pembuatan hasil penelitian kemasyarakatan, maka hasil penelitian kemasyrakatan tersebut diserahkan kepada pihak penyidik (polisi) untuk kelengkapan berkas perkara anak yang melakukan tindak pidana.

Setelah pihak penyidik menganggap berkas perkara anak yang melakukan tindak pidana itu dianggap sudah lengkap, maka penyidik menyerahkan berkas perkara anak tersebut kepada pihak kejaksaan negeri (jaksa penuntut umum). Kemudian pihak kejaksaan negeri mengajukan persidangan perkara anak dan untuk menghadiri sidang anak tersebut, pihak pengadilan negeri menyampaikan surat untuk menghadiri sidang anak kepada pembimbing kemasyarakatan balai pemasyarakatan yang nantinya akan menjadi dasar pertimbangan bagi hakim dalam memutuskan perkara anak tersebut.

Sebelum hakim memutuskan perkara anak nakal dalam sidang peradilan anak, hakim dalam pertimbangannya selalu menyebutkan hasil penelitian kemasyarakatan pembimbing kemasyarakatan balai pemasyarakatan sebagai salah satu dasar pertimbangan hakim. Hakim dalam memutuskan perkara anak nakal memiliki

22 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 12 22 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 12

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang telah berlaku di Indonesia merupakan implementasi dari Konvensi Hak Anak. Dalam Konvensi Hak Anak tersebut dinyatakan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan, mencakup perlindungan dari segala eksploitasi, perlakuan kejam dan perlakuan sewenang-wenang dalam proses peradilan pidana. Berkaitan dengan hal tersebut, maka dikeluarkanlah Undang-Undang tentang Pengadilan Anak.

Beberapa pengertian yang harus diperhatikan, yaitu:

1) Yang dimaksud dengan anak dalam perkara Anak Nakal adalah orang yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18

(delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. 23

2) Anak Nakal adalah:

a. anak yang melakukan tindak pidana, atau

b. anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Tahapan beracara dalam pengadilan anak pada dasarnya sama dengan peradilan umum, yaitu peradilan pidana. Namun mengingat bahwa subjeknya adalah anak yang berbeda dengan subjek peradilan umum lain, maka terdapat beberapa perbedaan dan perlakuan khusus yang dibuat untuk kepentingan anak. Perbedaan dan perlakuan khusus tersebut antara lain:

23 Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Berdasarkan pemeriksaan :

1) Dalam hal anak melakukan tindak pidana pada batas umur yang telah ditentukan dalam batas umur Anak Nakal, dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak yang bersangkutan melampaui batas umur tersebut, tetapi belum

mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun, tetap diajukan ke Sidang Anak. 24

2) Dalam hal anak belum mencapai umur 8 (delapan) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, maka terhadap anak tersebut dapat

dilakukan pemeriksaan oleh penyidik. 25

3) Apabila menurut hasil pemeriksaan, Penyidik berpendapat bahwa anak yang dimaksud dalam ayat 1 masih dapat dibina oleh orang tua, wali, atau orang tua asuhnya, Penyidik menyerahkan kembali amak tersebut kepada orangtua,

wali, atau orangtua asuhnya. 26

4) Apabila menurut hasil pemeriksaan, penyidik berpendapat bahwa anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak dapat lagi dibina oleh orangtua, wali, atau orangtua asuhnya, Penyidik menyerahkan anak tersebut kepada Departemen Sosial setelah mendengar pertimbangan dari Pembimbing

Kemasyarakatan. 27 Berdasarkan pemeriksaan di persidangan :

1) Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan orang dewasa diajukan ke Sidang Anak, sedangkan orang dewasa diajukan ke sidang bagi

orang dewasa. 28

2) Anak yang melakukan tindak pidana bersama-sama dengan anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Sidang Anak, sedangkan anggota

Angkatan Bersenjata Republik Indonesia diajukan ke Mahkamah Militer. 29

3) Hakim, Penuntut Umum, Penyidik, dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya dalam Sidang Anak tidak memakai toga atau pakaian dinas. 30

4) 31 Hakim memeriksa perkara anak dalam sidang tertutup.

5) Dalam hal tertentu dan dipandang perlu, pemeriksaan perkara anak sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat dilakukan dalam sidang terbuka. 32

6) Dalam hal sidang dilakukan dalam keadaan tertutup, maka yang dapat hadir dalam persidangan tersebut adalah orang tua, wali, atau orang tua asuh,

Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan. 33

24 Pasal 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 25 Pasal 4 ayat 1Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 26 Pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 27 Pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 28 Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 29 Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 30 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 31 Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 32 Pasal 8 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 33 Pasal 8 ayat 3 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

7) Selain mereka yang disebutkan di atas, orang-orang tertentu atas izin hakim atau majelis hakim dapat menghadiri persidangan tertutup. 34

8) Putusan pengadilan atas perkara anak yang dilakukan dalam persidangan tertutup, diucapkan dalam persidangan yang terbuka untuk umum. 35

9) Apabila ketentuan dalam pasal 8 dan pasal 6 UU No 3 Tahun 1997 ridak dilaksanakan, maka putusan hakim dapat dinyatakan batal demi hukum. 36

b. Teori Pembimbing Kemasyarakatan dan Pekerjaan Sosial

Pembimbing Kemasyarakatan merupakan pekerja sosial seperti diatur dalam Pasal 37, 38 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997. pembimbing Kemasyarakatan adalah petugas pemasyarakatan pada Balai Pemasyarakatan (BAPAS).

Pekerjaan sosial di Indonesia sebagai suatu profesi masih merupakan suatu profesi yang relatif baru, dalam pengertian baik sebagai keahlian maupun sebagai

praktek. Hal itu menimbulkan berbagai macam interpretasi, yakni : 37

1) Pengertian awam yang cenderung mengidentikkan pekerjaan sosial sama dengan kegiatan-kegiatan sosial pada umumnya yang didorong oleh “kemauan baik” untuk menolong sesama manusia tanpa melihat motif, lembaga, metode, tenaga dan hasil yang dicapai. Pekerjaan sosial dan pekerjaan amal sering dianggap mempunyai pengertian yang sama.

2) Pengertian para administrator atau pimpinan lembaga atau organisasi swasta yang menyatakan bahwa usaha untuk melaksanakan program kesejahteraan sosial terlepas dari apakah para pelaksana terdidik atau tidak dalam profesi pekerjaan sosial, dianggap sebagai praktek pekerjaan sosial. Merekapun belum dapat membedakan dengan jelas antara pekerjaan sosial dan pelayanan sosial dan hal-hal apa yang merupakan prasyarat untuk melaksanakan pekerjaan sosial profesional dan non profesional.

3) Kecenderungan dari segolongan orang untuk menyempitkan pengertian pekerjaan sosial sebagai suatu kegiatan (profesional) yang hanya ditujukan kepada individu-individu yang mengalami disfungsi atau disorganisasi pribadi

34 Pasal 8 ayat 4 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 35 Pasal 8 ayat 6 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 36 Pasal 153 ayat 4 KUHAP. 37 Syarif Muhidin, Pengantar Kesejahteraan Sosial, Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial,

(Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 8 (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 8

4) Pandangan dari para pelaksana pekerjaan sosial sendiri dan orang-orang yang telah mempelajari atau melaksanakan praktek pekerjaan sosial yang memiliki keyakinan bahwa pekerjaan sosial profesional memiliki tujuan yang kompleks, tapi tertentu dimana teori, keterampilan dan prakteknya dapat dibedakan dengan profesi lainnya. Walaupun pekerjaan sosial seperti itu dianggap sama dengan profesi-profesi lainnya seperti halnya dokter dan ahli hukum dapat merupakan seorang ahli umum (generalis) atau seorang spesialis (specialist). Menurut Walter A. Friedlander (1961) yang dikutip oleh Syarif Muhidin, bahwa pekerjaan sosial adalah suatu pelayanan profesional yang didasarkan pada ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam relasi kemanusiaan yang bertujuan untuk membantu, baik secara perseorangan maupun di dalam kelompok untuk mencapai kepuasan dan ketidaktergantungan secara pribadi

dan soial. 38

Social Work Year Book Tahun 1945 yang diterjemahkan oleh Syarif Muhidin menjelaskan bahwa pekerjaan sosial adalah suatu pelayanan profesional kepada orang-orang dengan tujuan untuk membantu mereka baik secara individu atau kelompok untuk mencapai relasi-relasi dan standard hidup yang memuaskan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan mereka dan dengan masyarakatnya.

Berdasarkan definisi diatas, maka dapat disimpulkan bahwa: 39

1) Pekerjaan sosial adalah suatu profesi yang bukan hanya merupakan tujuan praktis. Seorang pekerja sosial profesional mempunyai tanggungjawab yang besar kepada masyarakat terhadap kepentingan masyarakat terutama untuk mencapai tujuan sosial. Suatu perbedaan pokok antara praktek profesional dan non profesional adalah bahwa kegiatan-kegiatan profesional didasarkan pada pendidikan khusus dan karenanya seorang pekerja sosial mempunyai status profesional.

2) Pekerja sosial profesional mempunyai pemahaman tentang pribadi dan tingkah laku manusia serta lingkungan sosial atau kondisi sosial dimana manusia itu hidup. Karena itu, pekerja sosial mempelajari ilmu pengetahuan sosial dan ilmu pengetahuan alam yang relevan dan berusaha

38 Ibid, hlm.7 39 Op Cit, hlm 7 38 Ibid, hlm.7 39 Op Cit, hlm 7

3) Kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial adalah dua hal yang tidak sama, walaupun lembaga-lembaga sosial dan bidang praktek dimana keahlian pekerjaan sosial dilaksanakan. Sedangkan yang kedua mencakkup suatu kegiatan yang dapat dilaksanakan diberbagai bidang kesejahteraan sosial.

4) Pekerjaan sosial memiliki proses, metode dan teknik tersendiri. Ia juga memiliki falsafah, pandangan tersendiri yang membedakannya dengan ilmu pengetahuan lain. Ia berangkat dari keyakinan bahwa walaupun konflik pribadi dan sosial tidak dapat dihindarkan dan sifatnya alamiah, perubahan- perubahan sosial dapat diarahkan. Ia juga percaya bahwa kesejahteraan manusia merupakan fungsi utama dari organisasi atau lembaga sosial.

5) Pekerjaan sosial sesuai dengan sifatnya dan kegiatannya dan keragaman bidang prakteknya mempunyai atau melaksanakan bentuk pelayanan yang berbeda-beda. Hal ini berarti ia harus cukup memperoleh informasi tentang sumber-sumber yang dapat dipergunakannya dalam melaksanakan tugas- tugasnya.

6) Pekerja sosial harus dapat memahami kebutuhan individu dan lingkungannya yang menyebabkan timbulnya masalah-masalah sosial. Manusia dan lingkungannya, atau lebih tepat interaksi antara manusia dan lingkungannya merupakan fokus dari pekerjaan sosial.

Pekerjaan sosial adalah suatu bidang keahlian yang mempunyai tanggung jawab untuk memperbaiki dan atau mengembangkan interaksi diantara orang dengan lingkungan sosial sehingga orang ini memiliki kemampuan untuk menyelesaikan tugas-tugas kehidupan mereka, mengatasi kesulitan-kesulitan serta mewujudkan aspirasi-aspirasi dan nilai-nilai mereka. Atas dasar pengertian ini, maka pekerjaan

sosial mempunyai tujuan untuk : 40

1) Meningkatkan kemampuan orang untuk menghadapi tugas-tugas kehidupan dan kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya.

40 Soetarso, Praktek Pekerjaan Sosial, (Bandung : Koperasi Mahasiswa Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial , 1992) , hlm.5

2) Mengaitkan orang dengan sistem yang dapat menyediakan sumber-sumber, pelayanan-pelayanan dan kesempatan-kesempatan yang dibutuhkannya.

3) Meningkatkan kemampuan pelaksanaan sistem tersebut secara efektif dan berperikemanusiaan.

4) Memberikan sumbangan bagi perubahan, perbaikan, serta perkembangan kebijakan dan perundang-undangan sosial.

Pekerjaan sosial meninjau suatu masalah bukannya sebagai atribut orang melainkan situasi sosial dimana orang itu berada atau terlibat. Permasalahannya bukan siapa yang mempunyai masalah tetapi bagaimana unsur-unsur di dalam situasi sosial, termasuk karakteristik orang-orang dalam situasi ini, saling berinteraksi sehingga mengganggu orang dalam pelaksanaan tugas-tugas kehidupan mereka.

Usaha-usaha pencapaian tujuan pekerjaan sosial, pekerja sosial melaksanakan tugas-tugas untuk menyelesaikan satu atau lebih fungsi sebagai berikut :

a) Pekerja sosial menentukan dan mengadakan hubungan dengan orang yang membutuhkan bantuan guna penyelesaian tugas kehidupannya.

b) Pekerja sosial dapat memberikan pengertian, dukungan dan dorongan kepada orang-orang yang mengalami krisis.

c) Pekerja sosial dapat memberikan kesempatan kepada orang untuk mengutarakan kesulitan-kesulitan mereka.

d) Pekerja sosial dapat membantu orang untuk meneliti berbagai pilihan tentang cara menanggulangi masalah serta keterangan-keterangan mengenai pilihan- pilihan itu untuk membantunya mengambil keputusannya.

e) Pekerja sosial dapat mengkonfrontasikan orang dengan realitas situasi yang mereka hadapi dengan jalan memberikan keterangan yang dapat mengganggu keseimbangan pribadi orang ini untuk kemudian diberikan motivasi guna terjadinya perubahan tertentu.

f) Pekerja sosial dapat mengajarkan keterampilan kepada orang untuk mewujudkan aspirasi mereka. 41

41 Ibid, hlm. 11 41 Ibid, hlm. 11

Masyarakat mempunyai kecenderungan untuk membagi lingkaran kehidupan dalam dua tahap yakni anak-anak dan dewasa. Perpindahan dari satu tahap ke tahap lainnya yang secara antropologis ditandai dengan adanya “rites de passage“, membawa sejumlah konsekuensi sosial dan hukum dengan sejumlah norma baru yang harus dipatuhi seseorang. Dikatakan Bob Franklin seperti yang dikutip Harkristuti Harkrisnowo :

“.....being a child is not universal experience of any fixed duration, but is differently constructed expressing the divergent gender, class, ethnic or historical of particular’s individuals. Distinctive, as well as histories, construct different worlds of childhood....” (....menjadi seorang anak bukan pengalaman yang secara universal dari masa tertentu, tetapi dibentuk secara berbeda pengekspresian jenis kelamin, kelas, etnis atau kedudukan historis dari seseorang. Khususnya sejarah, membentuk dunia yang berbeda dari

kehidupan anak-anak....). 42

Meskipun Pasal 1 Konvensi Hak Anak secara umum mendefinisikan anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 tahun, namun negara-negara diberi kebebasan untuk menentukan batas usia sesuai dengan budaya dan tradisi.

Perumusan batasan tentang anak ini terlihat ketidakseragaman di antara negara satu dengan negara lain. Di Amerika Serikat, di 27 negara bagian batas umur ditetapkan antara 8-18 tahun; sementara 6 negara bagian menentukan batas umur antara 8-17 tahun, ada pula negara bagian lain yang menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Di Inggris ditentukan batas umur antara 12-16 tahun. Australia, di kebanyakan negara bagian menentukan batas umur antara 8-16 tahun. Negara Belanda menentukan batas umur antara 12-18 tahun. Negara-negara Asia, antara lain Srilanka menentukan batas umur antara 8-16 tahun, Iran menentukan batas umur 6-18 tahun, Jepang dan Korea menentukan batas umur antara 14-20 tahun, Kamboja menentukan

42 Harkristuti Harkrisnowo, Tantangan dan Agenda Hak-Hak Anak Pasca 2000, Suatu Usulan Pemikiran, Makalah dalam Deklarasi dan Peluncuran Indonesian Lawyers Ascociation For Children’s

Rights (ILACR), 10 Juli 2000, Medan, hal.5 Rights (ILACR), 10 Juli 2000, Medan, hal.5

antara 7-16 tahun. 43