Pengertian Kenakalan Anak

1. Pengertian Kenakalan Anak

Berbicara mengenai anak adalah sangat penting karena anak merupakan potensi nasib manusia hari mendatang, dialah yang ikut berperan menentukan sejarah bangsa sekaligus cermin sikap hidup bangsa pada masa mendatang.

Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad ke-19, dimana anak dijadikan sebagai “objek” yang dipelajari secara ilmiah. Pelopornya adalah Wilhelm Preyer dalam bukunya die seele des kindes (jiwa anak) pada tahun 1882, kemudian disusul oleh berbagai ahli yang meneliti anak dan menulis psikologi anak, antara lain William Sterm menulis buku psychologie der fruhen kindheit (psikologi Anak pada tahun 1989 dan bukunya kindheit fund jugend (masa kanak- kanak dan masa muda) yang ditulis bersama istrinya bernama Charlotte Buhler, buku ini sangat masyhur.

Di Amerika Serikat tokoh-tokoh terkenal yang mempelajari masalah anak- anak, antara lain ialah Tracy, G. Stanly Hall dari Clark University, menulis Adolescence. Di Inggris antara lain Sully dan Balwim. Di Prancis dikenal nama Compayre dan Claparade dan lain-lain kemudian Heinrich Pestalozzi (1746-1582) dari Italia meneliti masalah kejiwaan anak dan mengembangkan satu metode mengajar yang berprinsip pada auto-education.

Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa sejak dahulu para tokoh pendidikan dan para ahli sudah memperhatikan perkembangan kejiwaan anak, karena anak adalah anak, anak tidak sama dengan orang dewasa. Anak memiliki sistem penelitian Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa sejak dahulu para tokoh pendidikan dan para ahli sudah memperhatikan perkembangan kejiwaan anak, karena anak adalah anak, anak tidak sama dengan orang dewasa. Anak memiliki sistem penelitian

Sistem penilaian anak-anak ini dengan bantuan usaha pendidikan harus bisa dikaitkan atau disesuaikan dengan sistem penilaian manusia dewasa. Namun demikian adalah salah apabila menerapkan kadar nilai orang dewasa pada diri anak- anak. Untuk memudahkan dalam mengerti tentang anak dan menghindari salah penerapan kadar penilaian orang dewasa terhadap anak, maka perlu diketahui bagaimana pertumbuhan dan perkembangan anak.

Adapun proses perkembangan anak terdiri dari beberapa fase pertumbuhan yang bisa digolongkan berdasarkan pada paralelitas perkembangan jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak. Penggolongan tersebut dibagi ke dalam 3 (tiga) fase, yaitu:

1) Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai dengan 7 (tujuh) tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan kemampuan mental, pengembangan fungsi-fungsi tubuh, perkembangan kehidupan emosional, bahasa bayi dan arti bahasa bagi anak-anak, masa kritis (trozalter) pertama dan tumbuhnya seksualitas awal pada anak.

2) Fase kedua adalah dimulai pada usia 7 (tujuh) sampai dengan 14 (empat belas) tahun disebut sebagai masa kanak-kanak, dimana dapat digolongkan ke dalam 2 periode, yaitu:

a. Masa anak Sekolah Dasar dimulai dari usia 7-12 tahun adalah periode intelektual. Periode intelektual ini adalah masa belajar awal dimulai dengan memasuki masyarakat di luar keluarga, yaitu lingkungan sekolah kemudian teori pengamatan anak dengan hidupnya perasaan, kemauan serta kemampuan anak dalam berbagai macam potensi, namun masih bersifat tersimpan atau masa latensi (masa tersembunyi).

b. Masa remaja/pra-pubertas atau pubertas awal yang dikenal dengan sebutan periode pueral. Pada periode ini, terdapat kematangan fungsi jasmaniah ditandai dengan berkembangnya tenaga fisik yang melimpah-limpah yang menyebabkan tingkah laku anak kelihatan kasar, canggung, berandal, kurang sopan, liar dan lain-lain. Sejalan dengan berkembangnya fungsi jasmaniah, perkembangan intelektual pun berlangsung sangat intensif sehingga minat pada pengetahuan dan pengalaman baru pada dunia luar sangat besar terutama yang bersifat konkrit, karenanya anak puber disebut sebagai fragmatis atau utilitas kecil, dimana minatnya terarah pada kegunaan-kegunaan teknis.

3) Fase ketiga adalah dimulai pada usia 14 sampai 21 tahun, yang dinamakan masa remaja, dalam arti sebenarnya yaitu fase puberitas dan adolescent, dimana terdapat masa penghubung dan masa peralihan dari anak menjadi orang dewasa. Masa remaja atau masa pubertas bisa dibagi dalam 4 (empat) fase, yaitu:

a) Masa awal pubertas, disebut pula sebagai masa pueral/prapubertas

b) Masa menentang kedua, fase negatif, trozalter kedua, periode verneinung.

c) Masa pubertas sebenarnya, mulai kurang lebih 14 tahun. Masa pubertas pada anak wanita pada umumnya berlangsung lebih awal dari pada masa pubertas anak laki-laki.

d) Fase adolescence, mulai kurang lebih usia 17 tahun sampai sekitar 19 hingga

21 tahun. Fase ketiga ini mencakup point c dan d di atas, di dalam periode ini terjadi perubahan-perubahan besar. Perubahan besar yang dialami anak akan membawa pengaruh pada sikap dan tindakan ke arah lebih agresif sehingga pada periode ini banyak anak-anak dalam bertindak dapat digolongkan ke dalam tindakan yang menunjukkan ke arah gejala kenakalan anak.

Kenakalan anak ini diambil dari istilah asing juvinile deliquency, tetapi kenakalan anak ini bukan kenakalan yang dimaksud dalam Pasal 489 KUH Pidana. Juvenile artinya young, anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan deliquency artinya doing wrong, terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, Kenakalan anak ini diambil dari istilah asing juvinile deliquency, tetapi kenakalan anak ini bukan kenakalan yang dimaksud dalam Pasal 489 KUH Pidana. Juvenile artinya young, anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda sifat-sifat khas pada periode remaja, sedangkan deliquency artinya doing wrong, terabaikan/mengabaikan, yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat,

Istilah kenakalan anak itu pertama kali ditampilkan pada bahan peradilan di Amerika Serikat dalam rangka usaha membentuk suatu Undang-undang Peradilan bagi anak di negara tersebut.

Paul Moedikno memberikan perumusan, mengenai pengertian juvenile deliquency, yaitu sebagai berikut :

a) Semua perbuatan yang dari orang-orang dewasa merupakan suatu kejahatan, bagi anak-anak merupakan deliquency. Jadi semua tindakan yang dilarang oleh hukum pidana, seperti mencuri, menganiaya, membunuh dan sebagainya.

b) Semua perbuatan penyelewengan dari norma kelompok tertentu yang menimbulkan keonaran dalam masyarakat, misalnya memakai celana jangki tidak sopan, mode “you can see” dan sebagainya.

c) Semua perbuatan yang menunjukkan kebutuhan perlindungan bagi sosial, termasuk gelandangan, pengemis dan lain-lain.

Menurut Kartini Kartono yang dikatakan juvenile delinquency adalah: 62 Perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan

gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabdian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang. Menurut Fuad Hassan, yang dikatakan juvenile deliquency adalah perbuatan anti sosial yang dilakukan oleh remaja, yang apabila dilakukan oleh orang dewasa maka dikualifikasikan sebagai kejahatan.

Sedangkan menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bahwa yang dimaksud dengan Anak Nakal adalah:

a. Anak yang melakukan tindakan pidana, atau;

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan dilarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

62 Kartini Kartono, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja, (Jakarta : Raja Grafindo Persada 1998), hlm. 6

Tim proyek juvenile deliquency Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Desember 1967 memberikan perumusan mengenai juvenile deliquency sebagai berikut: “suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan yang oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan yang tercela”.

Romli Atmasasmita memberikan pula perumusan Juvenile Deliquency, yaitu sebagai berikut: 63 “setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur

18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hukum yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan”.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Juvenile Deliquency adalah suatu tindakan atau perbuatan pelanggar norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh angka-anak usia muda.

Hal tersebut cenderung untuk dikatakan sebagai kenakalan anak daripada kejahatan anak, terlalu ekstrim rasanya seorang anak yang melakukan tindak pidana dikatakan sebagai penjahat, sementara kejadiannya adalah proses alami yang tidak boleh tidak setiap manusia harus mengalami kegoncangan semasa menjelang kedewasaannya.

Dalam KUH Pidana di Indonesia, jelas terkandung makna bahwa suatu perbuatan pidana (kejahatan) harus mengandung unsur-unsur:

63 Kartini Kartono, Ibid., hlm. 7 63 Kartini Kartono, Ibid., hlm. 7

b) Perbuatan tersebut harus sesuai dengan ketentuan hukum;

c) Adanya kesalahan;

d) Orang yang berbuat harus dapat dipertanggungjawabkan; Batasan-batasan tersebut belum berarti sama dengan batas usia pemidanaan

anak. Apalagi dalam KUHPidana ditegaskan bahwa seseorang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya diisyaratkan adanya kesadaran diri yang bersangkutan. Ia harus mengetahui bahwa perbuatan itu terlarang menurut hukum yang berlaku, sedangkan predikat anak disini menggambarkan usia tertentu, dimana ia belum mampu dikategorikan orang dewasa yang karakteristiknya memiliki cara berpikir normal akibat dari kehidupan rohani yang sempurna, pribadi yang mantap menampakkan rasa tanggung jawab sehingga dapat mempertanggungjawabkan atas segala tindakan yang dipilihnya karena ia berada pada posisi dewasa.

Tetapi anak dalam hal ini adalah anak yang di Amerika Serikat dikenal dengan istilah juvenile deliquency, memiliki kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis yang sedang berlangsung menghasilkan sikap kritis, agresif dan menunjukkan kebengalan yang cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum. Hal ini tidak bisa dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan karena tindakannya lahir dari kondisi psikologis yang tidak seimbang, disamping itu pelakunyapun tidak sadar akan apa yang seharusnya ia lakukan. Tindakannya merupakan menifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud merugikan orang lain sebagai apa yang diisyaratkan dalam Tetapi anak dalam hal ini adalah anak yang di Amerika Serikat dikenal dengan istilah juvenile deliquency, memiliki kejiwaan yang labil, proses kemantapan psikis yang sedang berlangsung menghasilkan sikap kritis, agresif dan menunjukkan kebengalan yang cenderung bertindak mengganggu ketertiban umum. Hal ini tidak bisa dikatakan sebagai kejahatan, melainkan kenakalan karena tindakannya lahir dari kondisi psikologis yang tidak seimbang, disamping itu pelakunyapun tidak sadar akan apa yang seharusnya ia lakukan. Tindakannya merupakan menifestasi dari kepuberan remaja tanpa ada maksud merugikan orang lain sebagai apa yang diisyaratkan dalam

Tingkah laku yang menjurus kepada masalah juvenile deliquency ini menurut Adler adalah :

1) Kebutuhan-kebutuhan di jalanan yang mengganggu keamanan lalu lintas dan membahayakan jiwa sendiri dan orang lain;

2) Perilaku ugal-ugalan, berandal, urakan yang mengacaukan ketentraman lingkungan sekitarnya. Tingkah ini bersumber pada kelebihan energi dan dorongan primitive yang tidak terkendali serta kesukan menteror lingkungan;

3) Perkelahian antar geng, antar kelompok, antar sekolah, antar suku (tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa;

4) Membolos sekolah lalu bergelandangan sepanjang jalan atau bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-macam kedurjanaan dan tindakan a-susila;

5) Kriminalitas anak, remaja dan adolensens antara lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mengganggu, menggarong, melakukan pembunuhan dengan jalan menyembelih korbannya, mencekik, meracun, tindak kekerasan dan pelanggaran lainnya;

6) Berpesta-pora sambil mabuk-mabukan, melakukan hubungan seks bebas, atau orgi (mabuk-mabukan yang menimbulkan keadaan kacau-balau) yang mengganggu sekitarnya;

7) Perkosaan, agresivitas seksual, dan pembunuhan dengan motif sosial, atau didorong oleh reaksi-reaksi kompensatoris dari perasaan investor, menuntut pengakuan diri, depresi, rasa kesunyian, emosi balas dendam, kekecewaan ditolak cintanya oleh seorang wanita dan lain-lain;

8) Kecanduan dan ketagihan narkoba;

9) Tindakan-tindakan moral seksual secara terang-terangan tanpa “tedeng aling- aling”, tanpa malu dengan cara kasar. Ada seks dan cinta bebas tanpa kendali yang didorong oleh hiperseksualitas, dorongan menuntut hak, dan usaha- usaha kompensasi lainnya yang sifatnya kriminal;

10) Homoseksualitas, erotisme anak dan oral serta gangguan seksualitas lainnya pada anak remaja disertai dengan tindakan-tindakan sadis;

11) Perjudian dan bentuk-bentuk permainan lain dengan taruhan sehingga menimbulkan akses kriminalitas-kriminalitas seks, pengguguran janin oleh gadis-gadis delinkuen dan pembunuhan bayi-bayi oleh ibu-ibu yang tidak kawin;

12) Tindakan radikal dan ekstrim dengan jalan kekerasan, penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh anak-anak remaja;

13) Perbuatan a-sosial yang disebabkan oleh gangguan kejiwaan pada anak-anak dan remaja psikopatik, neurotic dan menderita gangguan jiwa lainnya;’

14) Tindakan kejahatan disebabkan oleh penyakit tidur dan ledakan maningitis serta post-encephalitics, juga luka di kepala dengan kerusakan pada otak ada kalanya membuahkan kerusakan mental, sehingga orang yang bersangkutan tidak mampu melakukan control diri;

15) Penyimpangan tingkah laku disebabkan oleh kerusakan pada karakter anak yang menuntut kompensasi, disebabkan adanya organ-organ yang inferior. 64