Dasar Hukum Pelaksanaan Penelitian Kemasyarakatan
1. Dasar Hukum Pelaksanaan Penelitian Kemasyarakatan
Secara garis besar Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) dapat dibagi menjadi dua golongan:
a. Penelitian Kemasyarakatan yang dipergunakan sebelum terdakwa dijatuhi hukuman pada persidangan di Pengadilan Negeri yaitu Pre-Adjudication.
C. M. Maryanti Soewandi mengatakan bahwa: Dalam suatu negara yang telah maju sebelum hakim melakukan sidang di
Pengadilan Negeri dalam tugasnya mengadili pelanggar hukum (terdakwa), Hakim tersebut wajib mempelajari case study atau sosial study yang dibuat oleh pekerja sosial (Probation Officer) atau PK sehingga case study tersebut
disebut pula Precentence Report 59
b. Penelitian kemasyarakatan atau case study yang dipergunakan sesudah adanya putusan (vonis) dan tindakan (beschikking) hakim yaitu adjudication, seperti yang dikemukakan oleh C. M. Maryanti bahwa:
Kegunaan case study sesudah adanya putusan (vonis) dan tindakan (beschikking) hakim adalah dalam rangka penentuan terapi pembinaan terhadap klien baik yang berada dalam LP, LP Pemuda, LPAN dan pada Balai
Bapas bahkan juga untuk tahanan yang mengalami kasus-kasus tertentu. 60
58 Astrid. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, Cetakan V Oktober, (Bandung : Bina Cipta, 1985), hlm. 16
59 Maryanti C.M, Fungsi Sosial Case Study dalam proses peradilan dan Pembinaan terhadap para pelanggar hukum, Pusdiklat Departemen Kehakiman RI, hlm. 16
60 Ibid, hlm 17
Dasar hukum Penelitian Kemasyarakatan atau case study berdasarkan kedua golongan tersebut adalah:
a) Keputusan Preseidium Kabinet Ampera tanggal 3 Nopember 1966 No. 75/U/Kep/11/1966 tentang struktur organisasi dan tata kerja Direktorat Jenderal Pemasyarakatan dan Direktorat Bispa dan yang terbaru Keputusan Menteri Kehakiman RI tanggal 2 Mei 1987 No. M.02.PR.07.03 tentang struktur organisasi dan Tata kerja Balai Bispa dengan pengesahan 12 Balai Bispa yang baru.
b) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
1. Pasal 14d (2) dan (3)
2. Pasal 15a (3) dan (5)
3. Pasal 16 (1) dan (2) yang menunjuk tentang Probation Board.
4. Pasal 45 butir (a) dan Pasal 46 (1)
c) Ordonansi pelaksanaan VV dan VI Stbl tahun 1926 No. 251, 4 Mei 1926
d) Dwang Opeding Regeling (DOR) Stbl. Tahun 1917 No. 741.
e) Standard Minimum Rules Implementation of Standard Minimum Rules for The Treatment of Prisoners
f) Peraturan MENKEH RI No. M.06-UM.01.06 Tahun 1983 tentang Tata Tertib Persidangan dan Tata Tertib ruang sidang tanggal 16 Desember 1983.
g) Nopember 1987 No.MA.KUMDI.1/10348/XI/87.
h) SE Hakim Agung Sri Widowati Wiranto Sukito SH tanggal 4 Januari 1971 No. MA/Pemb/04.8/1971 tentang Sidang Perkara Anak.
i) SKB Para Penegak Hukum DKI Jakarta Raya Tanggal 15 Juli 1974 dan Banjarmasin Tanggal 28 Januari 1982 No. 01/SKB/I-2/PT.Bjm/1982 tentang Keikutsertaan Petugas Balai Bispa Pada Pelaksanaan Peradilan Anak. j) SE Jaksa Agung Muda Bidang Operasi tentang Pengiriman Putusan Pidana Bersyarat Untuk Dibina di Balai Bispa tanggal 27 Februari 1982 No. B.122/O/E/2/1982. Yang diikuti SE dari Kepala Kejaksaan Tinggi, akan tetapi ada susulan Keputusan Jaksa Agung tanggal 24 Maret 1982 No. Kep- 023/JA/3/1982 tentang Administrasi Perkara yang sifatnya mengahambat tugas Balai Bispa karena dalam Keputusan Jaksa Agung tersebut dalam FK 30 tentang pemberitahuan pemidanaan bersyarat tembusannya diserahkan pada Lembaga Pemasyarakatan, bukan kepada Balai Bispa. k) Surat Edaran Direktorat Jenderal Pembinaan Badan Peradilan Umum Departemen Kehakiman tanggal 29 November 1984 No. D-KP.08-10-54-84 tentang menjalin kerja sama dalam menangani anak pelanggar hukum kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di tempat yang ada Balai Bispa seluruh Indonesia. SE tersebut menanggapi surat Dirjen PAS tanggal 8 Agustus 1984 No. E.3.PR.08.10-920 tentang hal tersebut. l) SE Jaksa Agung RI tanggal 5 Januari 1986 dengan Nomor Rahasia : R-001/A- S/1/1986 tentang Penuntutan Perkara Tindak Pidana Narkotika Dengan Pelaku Muda Usia/Pelajar (Litmas, Psikiater) dan sebagainya.