Teks-Teks Perjanjian Lama

Teks-Teks Perjanjian Lama

  Kisah perang di dalam Alkitab mewarnai hampir keseluruhan cerita yang ada, mulai dari perang yang dilakukan oleh para patriarkh, perang Israel melawan bangsa lain, hingga peperangan yang besar antara Allah dan si Ular Tua. Jika ditelusuri lebih jauh, kata perang di dalam Alkitab muncul kurang lebih 89 kali dalam Perjanjian Lama dengan menggunakan kata milkhamah (מ ִלְלָמ ְָ֗), 92 kali muncul dengan kata tzaba’ (צלבלא), dan 10 kali dalam Perjanjian baru dengan menggunakan kata polemos(πόλεμος), serta 5 kali menggunakan kata strateuometha (στρατευόμεθα) atau antistrateuomenon (ἀντιστρατευόμενον).

  Dengan banyaknya data yang dimiliki mengenai perang di Alkitab, maka diperlukan sebuah pengelompokan data sehingga pemahaman terhadap perang dapat dimengerti dan dianalisa dengan lebih akurat. Pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas memberikan dua kategori untuk memahami pengelompokan ini, antara lain jangka waktu kesejarahan 126 dan diferensiasi genre dari masing-masing teks. Oleh karena itu, dalam bagian ini penulis akan mencoba mengkategorikan teks-teks yang dipilih dalam jangka waktu kesejarahan dan genre dari masing-masing kitab.

  126 Jangka waktu kesejarahan dalam hal ini merujuk kepada waktu kepenulisan teks perang yang

  Pentateukh

  Pentateukh secara umum dipahami sebagai satu karangan besar yang terdiri dari lima bagian atau kitab yang pertama dari Alkitab. 127 Kitab Pentateukh juga disebut sebagai Taurat atau yang dalam bahasa Ibrani berarti “petunjuk” atau “hukum”. 128 Hal ini berhubungan erat dengan struktur kelima kitab ini yang sebagian besar berbentuk narasi dan hukum. Kitab-kitab Pentateukh merupakan kelompok kitab yang penting bagi umat Yahudi maupun Kristen. Hal ini cukup beralasan sebab kitab-kitab Pentateukh memberikan data bukan hanya mengenai awal mula Perjanjian Israel dengan Allah namun juga awal mula dunia tercipta, kejatuhan manusia pertama, hingga relasi awal Allah pencipta dengan para patriarkh menjadi narasi yang penting untuk memahami dunia dan realitas yang ada di awal kehidupan manusia.

  Kitab Pentateukh diyakini mayoritas orang Kristen ditulis oleh Musa. 129 Pandangan tradisional seperti ini, meskipun mayoritas diyakini oleh orang Kristen, namun di sisi yang lain juga mengundang perdebatan dari beberapa pandangan yang mencoba melihat kepenulisan Musa dari sudut lain. Keberatan yang menolak pandangan bahwa Musa adalah penulis dari seluruh kitab-kitab Pentateukh dimulai dengan argumen yang menyatakan bahwa adanya keanekaragaman teks dan penyebaran serta pertumbuhan bukti tentang sumber-sumber yang mendukung konsep bahwa Taurat merupakan karya gabungan yang mengalami penurunan maupun pertumbuhan dan proses

  127 W. S. Lasor, D. A. Hubbard, dan F. W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006), 93.

  128 John J. McDermott, Reading the Pentateuch (New York: Paulist Press, 2002), 1.

  129 Tremper Longman III dan Raymond B. Dillard, An Introduction to the Old Testament (Grand 129 Tremper Longman III dan Raymond B. Dillard, An Introduction to the Old Testament (Grand

  1. Sumber Yahwis (J) yang diperkirakan berasal dari Yehuda dan muncul sekitar tahun 950-850 sM. Terdapat dalam kitab Kejadian hingga Bilangan.

  2. Sumber Elohis (E) yang diperkirakan berasal dari kerajaan utara yang muncul kira-kira tahun 850-750 sM terdapat dalam kitab Kejadian hingga Bilangan.

  3. Sumber Deuteronomis (D) yang secara garis besar mencakup Kitab ulangan dan beberapa kerangka sejarah dari kitab Yosua hingga II Raja-raja. Diperkirakan sumber ini berkembang dan mencapai bentuk akhir di dalam pemerintahan raja Yosia sekitar tahun 621 sM.

  4. Sumber Imamat (P) seringkali dilihat muncul sekitar masa pembuangan hingga pasca pembuangan sekitar abad ke-6 hingga 5 sM. Sumber P kebanyakan

  130 Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 104.

  131 Barry L. Bandstra, Reading the Old Testament: Introduction to the Hebrew Bible (Belmont, 131 Barry L. Bandstra, Reading the Old Testament: Introduction to the Hebrew Bible (Belmont,

  Selain permasalahan penggunaan nama Allah dalam kitab Pentateukh. Hal lain yang menguatkan adanya peredaksian dari kitab-kitab Pentateukh dan kemungkinan adanya kepenulisan lain selain Musa adalah adanya beberapa bentuk cerita yang diulang namun dengan beberapa detail yang berbeda dan kadang berlawanan, adanya penggunaan nama tempat atau orang yang berbeda namun merujuk kepada satu hal yang sama, dan adanya perbedaan teologi dari kitab-kitab Pentateukh. 133 Hal-hal ini menjadi alasan kuat beberapa ahli untuk menolak kepenulisan Musa.

  Sekalipun argumentasi yang menolak kepenulisan Musa cukup besar, namun kesaksian Alkitab, tradisi, kerangka besar kitab Pentateukh, serta kemampuan seorang penulis kuno untuk menulis dalam berbagai macam genre masih memberikan peluang besar bahwa Musa mengambil peranan mayor dalam kepenulisan kitab-kitab Pentateukh. 134 Menambahkan hal ini, meski kitab Pentateukh mengalami peredaksian atau perkembangan dari masa Musa namun kerangka besar kitab Pentateukh tetap diyakini dibuat oleh Musa. Oleh karena itu, penulis lebih setuju dengan pandangan dari Herbert Wolf yang menyatakan bahwa

  In conclusion we can see that the possible post-Mosaic materials in the Pentateuch are relatively minor. The bulk of the five books could indeed have been written by Moses or under his supervision. If there were in fact editors who added to or modified the work of Moses, their activity was superintended by the same Holy Spirit who inspired all Scripture. Any changes made by Joshua, Samuel, Ezra, or anyone else were prompted by the Spirit of God and conveyed exactly what He intended. 135

  132 Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 106.

  133 Longman dan Dillard, An Introduction to the Old Testament, 43.

  134 Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 102.

  Dalam hal ini, sebagaimana yang dikatakan Wolf, penulis menerima bahwa mungkin ada peredaksian namun sifatnya tidaklah terlalu besar dan mengubah arah dari kerangka awal kepenulisan Musa. Di sisi lain, peranan Roh Kudus juga menjadi dasar lain bagi pertimbangan teologi untuk melihat bahwa penulis sebenarnya dari Alkitab adalah Allah sendiri.

  Dengan tetap mengakui kepenulisan dan peranan besar Musa dalam kerangka pemikiran Pentateukh maka kita dapat memperkirakan bahwa kitab Pentateukh ditulis sebagian besar dalam masa hidup Musa. Musa sendiri hidup diperkirakan dari tahun 1527-1407 sM dengan alasan bahwa perhitungan Bible Archeology yang menempatkan kisah keluaran Israel dari Mesir pada tahun 1447 sM. 136 Sedangkan Bakker melihat bahwa kisah Keluaran kemungkinan besar terjadi di tahun 1445 sM, di masa pemerintahan Amenofis II yang berlangsung dari tahun 1447-1421 sM. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa pada masa pemerintahan Amenofis II hanya tercatat dalam arca di lima tahun pertama masa pemerintahannya dan Amenofis II juga tidak digantikan oleh anak sulungnya. Hal ini dikaitkan oleh Bakker dengan kemungkinan adanya hukuman besar dari Allah terhadap Mesir di masa itu sehingga Amenofis II harus kehilangan putra sulungnya dan kekurangan tenaga untuk membangun arca karena kehancuran Mesir akibat tulah. 137 Dengan memberi penanggalan akan waktu hidup Musa dan peristiwa keluarnya Israel dari Mesir maka kemungkinan besar penulisan kitab

  135 Herbert Wolf, An Introduction to the Old Testament Pentateuch (Chicago, Illinois: Moody, 1991), 60.

  136 Alfred Hoerth dan John McRay, Bible Archeology (Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 2005), 82.

  Pentateukh oleh Musa berlangsung sekitar tahun 1447-1407 sM. Dengan demikian, meskipun teori sumber menyatakan adanya perubahan atau pembentukan dari sumber- sumber yang lebih muda penanggalannya dari zaman hidup Musa, namun penulis tetap akan menggunakan penanggalan dari masa hidup Musa sebagai latar belakang kesejarahan dari Kitab Pentateukh.

  Penetapan masa hidup Musa sebagai standar penanggalan awal dari kepenulisan kitab Pentateukh memberikan indikasi bahwa teks perang dalam kitab Pentateukh merupakan teks perang paling awal yang tercatat dalam Alkitab. Sebagai catatan perang paling awal, kitab-kitab Pentateukh memberikan beberapa teks yang menceritakan mengenai peperangan, seperti peperangan Abraham, peperangan Israel dan Amalek, peperangan Israel dan Midian, serta beberapa teks lain yang menyangkut hukum-hukum perang. Dengan menyadari banyaknya ragam teks perang dalam kitab Pentateukh, maka penulis akan memilih hanya dua teks mengenai perang, yaitu Keluaran 15:1-21 dan Ulangan 20.

Eksposisi Keluaran 15:1-21

  Keluaran 15:1-21 dipahami sebagai puisi atau nyanyian termegah yang pertama tercatat dalam Alkitab. Origen menyatakan “The Song of Moses is the first great song in Scripture. The song prefigures the song that the bride sings to Christ her husband.” Hal ini muncul disebabkan oleh pemahaman Origen dalam menafsirkan Keluaran 14-15 yang memahami figur Divine Warrior sebagai penggambaran dari Yesus yang hadir Keluaran 15:1-21 dipahami sebagai puisi atau nyanyian termegah yang pertama tercatat dalam Alkitab. Origen menyatakan “The Song of Moses is the first great song in Scripture. The song prefigures the song that the bride sings to Christ her husband.” Hal ini muncul disebabkan oleh pemahaman Origen dalam menafsirkan Keluaran 14-15 yang memahami figur Divine Warrior sebagai penggambaran dari Yesus yang hadir

  Lebih lanjut, Keluaran 15 dipahami juga sebagai salah satu proklamasi pertama dari tindakan Allah bagi pembebasan umat-Nya. Ashby menegaskan bahwa

  This is what the poem proclaims. It shouts out loudly that the God who has acted in liberating his people from oppression must be honored and worshipped. The biblical theme of holy war begins here. 140

  Tindakan Allah dalam menyelamatkan umat Israel dari Mesir juga memulai tema dari perang kudus di dalam Alkitab. Oleh karena itu, bagian ini sangat penting dibahas sebagai tonggak awal dari problematika perang di dalam Alkitab.

  Sebagai tonggak awal perkenalan bangsa Israel dengan Allah Perjanjian sebagai Panglima Perang, Keluaran 15:1-21 memiliki bentuk yang unik sebagai sebuah puisi Ibrani. Durham menyebut bentuk puisi dalam Keluaran 15 sebagai sebuah puisi ibrani dengan ritme “semantic-syntactic-accentual” yang menekankan pada sebuah perasaan kegembiraan yang sangat dalam. 141 Perasaan kegembiraan ini jelas berhubungan dengan kondisi pengalaman Israel yang baru saja terlepas dari kejaran bangsa Mesir melalui sebuah peristiwa mukjizat yang sangat luar biasa.

  138 Joseph. T. Lienhard dan Ronnie. J. Rombs, Exodus, Leviticus, Numbers, Deuteronomy (Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 2001), 78.

  139 John. I. Durham, Exodus. (Waco, Texas: Word Books, 1998), 202.

  140 Godfrey. W. Ashby, Go Out and Meet God: A Commentary on the Book of Exodus (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1997), 67.

  141 Durham, Exodus, 205.

  Beberapa penafsir melihat bahwa Keluaran 15:1-12 tidak memberikan runutan peristiwa yang teratur sehingga keabsahan historisnya perlu dipertanyakan, namun Childs melihat bahwa ada sebuah pararel dari prosa yang dimiliki tiap baris dalam puisi ini. Keterkaitan prosa di dalam puisi ini jauh lebih penting dibandingkan runutan peristiwa

  sejarah yang terjadi, 142 sebab puisi tidak mengutamakan kerunutan sejarah namun makna yang hendak diangkat dari masing-masing baris. Dalam puisi ini ungkapan syukur dan

  pujian yang mendalam inilah yang Israel coba gambarkan atas tindakan Allah sebagai panglima Perang.

  Secara struktur, Sarna membagi Keluaran 15:1-18 ke dalam 4 bait besar:

  1. Ayat 1-10 berbicara mengenai sukacita karena kebesaran Allah yang mengalahkan pasukan Mesir

  2. Ayat 11-13 menyatakan mengenai sifat dan tindakan Allah yang tidak tertandingi

  3. Ayat 14-16 menjelaskan mengenai dampak dari peristiwa yang luar biasa ini atas bangsa lain

  4. Ayat 17-18 merupakan gambaran dan pengharapan akan apa yang terjadi di masa depan. 143

  Dari struktur ini dapat dilihat bahwa penekanan utama dari bagian ini adalah mengenai Allah Yahweh. Segala tindakan dan pekerjaan keselamatan yang dari Allah bagi umat pilihanNya menjadi tema utama dari bagian ini. Childs juga menambahkan bahwa

  142 Brevard S. Childs, The Book of Exodus (Philadelphia, Pennsylvania: Westminster Press, 1974),

  143 Nahum M. Sarna, Exodus (Philadelphia, Pennsylvania: The Jewish Publication Society, 1991),

  tindakan Allah yang tergambar dalam puisi ini merupakan sebuah intervensi penebusan ilahi yang kemudian memberikan dasar bagi penafsiran eskatologis para nabi tentang makna kerajaan Allah dan penebusan ciptaan. 144

  Konsep mengenai tindakan penyelamatan Allah terlukis jelas dalam Keluaran 15:3, dimana untuk pertama kalinya Allah Yahweh disebut sebagai Pahlawan Perang. Durham menyatakan bahwa frasa “man of battle” yang dikenakan kepada Allah ini merupakan sebuah bentuk pengakuan iman. 145

  Sedangkan bagi Fretheim, penebusan yang dikerjakan Allah dalam sejarah merupakan sebuah pengalaman baru bagi Israel. Kehadiran Allah dalam medan perang untuk membawa Israel keluar dari Mesir, bukan sekedar menunjukkan bahwa Allah adalah “man of battle” tetapi juga “liberator”. Ia menyatakan bahwa

  The songs themselves are the product of a new experience, an experience of both God

  and people as liberator and liberated.... And so, just as God out of God’s own experience of suffering has responded to Israel’s experience of oppression, so Israel from the midst of its own experience of freedom responds to God’s experience as liberator. 146

  Pengalaman sebagai Allah sang pembebas diungkapkan secara lugas dalam tema besar mengenai Allah sebagai Pahlawan perang Israel. Bruckner juga menyatakan hal yang sama, ia berargumen bahwa Allah harusnya dilihat sebagai pahlawan perang yang berhasil mengalahkan pasukan yang tangguh, sebab hal ini sejajar dengan penjelasan

  mengenai kereta perang dan tentara-tentaranya yang ditenggelamkan oleh Allah. 147

  144 Childs, The Book of Exodus, 252-53.

  145 Durham, Exodus, 206.

  146 Terence E. Fretheim, Exodus (Louisville, Kentucky: John Knox, 1991), 163.

  147 James K. Bruckner, Exodus (Peabody, Massachussetts: Hendrickson, 2008), 138.

  Pengakuan yang mendasar tentang Allah sebagai pahlawan perang yang menyelamatkan Israel juga menunjukkan konsep yang berbeda dari konsep perang Mesir kuno. Dalam pemahaman Mesir kuno, raja adalah titisan dewa Ra sejak ia masih ada dalam kandungan, sehingga perintah raja bersifat absolut. Dalam peperangan, Raja Mesir bukan hanya dilihat sebagai pemimpin namun ia sendiri adalah pasukan perang dan lambang dari keseluruhan kekuatan Mesir dan para dewa. 148 Dalam hal ini peran Firaun 149 sebagai pemimpin perang juga menyatakan kepemimpinan Ra dalam perang Mesir. Sebagai panglima tertinggi dari Mesir, Firaun juga berperan membentuk konsep mengenai Ra sebagai Panglima Perang Mesir. Dalam catatan perang Megiddo yang memperlihatkan strategi dan perintah Firaun Thutmose III dalam menguasai tanah Kanaan, 150 digambarkan juga nyanyian kemenangan dan pujian yang diberikan bagi keagungan Firaun Thutmose atas kemenangannya menguasai Kanaan. Hal ini memiliki pararel dengan Keluaran 13-15 dimana Allah juga memberikan perintah dan strategi kepada Israel untuk dapat keluar dari tanah Mesir, selain itu bagian ini juga ditutup dengan pujian Israel akan kepahlawanan Allah sebagai panglima Perang yang menyelamatkan Israel dari tangan Firaun.

  148

  G. Herbert Livingston, The Pentateuch in its Cultural Environment, ed. ke-2 (Grand Rapids,

  Michigan: Baker Books, 1987), 123.

  149 Lih. Theological Wordbook of the Old Testament, s.v. ”ה ֹ֔ ע ְרַפ ”. ה ֹ֔ ע ְרַפ ( par’oh), Firaun. Dalam bahasa aslinya kata Firaun memiliki arti “the Great House.”, rumah yang besar. Pada mulanya orang Mesir

  menggunakan kata ini tidak untuk merujuk pada raja Mesir namun lebih kepada tempat raja tinggal, Istana raja. Namun perubahan terjadi pada pertengahan dinasti ke-16, sekitar tahun 1575–1308 sM, dimana kata ini berubah ekspresi menjadi sebutan bagi jabatan raja Mesir. Sebagai sebutan yang digunakan bagi raja tertentu, penggunaan kata Firaun juga menjadi analogi untuk masa atau pemerintahan dari raja tertentu. Sekalipun demikian, tidak ada indikasi bahwa teks-teks Mesir pernah menggunakan kata “Firaun” sebagai bagian dari jabatan resmi bagi Raja.

  150 Cyrus H. Gordon dan Gary A. Rendsburg, The Bible and the Ancient Near East (New York: W. W. Norton and Company, 1997), 64-65.

  Meskipun ada kesamaan dalam beberapa aspek dengan konsep perang Mesir kuno namun dalam pemahaman perang suci yang paling awal ini, ditunjukkan secara tidak langsung tentang peranan pasif Israel dalam perang. Perang Israel bukanlah sebuah bentuk perang secara aktif dan inisiatif, namun lebih sebagai suatu upaya pertahanan diri. Sarna menyatakan “In the biblical view, the enemies of Israel are the enemies of God, so that Israel’s wars for survival are portrayed as “the battles of the Lord.” 151 Dalam hal ini, kita dapat melihat bahwa Perang di dalam Keluaran 15:1-21 dipahami lebih sebagai perang yang bersifat pasif, dimana Israel tidak melakukan upaya apapun dan Allah yang secara pribadi berperang untuk Israel. Perang ini juga bertujuan bukan untuk menghancurkan namun sebagai sebuah upaya untuk bertahan hidup, dimana Allah Yahweh sebagai Allah Perjanjian bertanggungjawab untuk melindungi Umat Perjanjian- Nya dari bahaya.

  Perbedaan lain yang muncul dalam bagian ini adalah bentuk pujian yang diberikan Israel kepada Allah. Meskipun Mesir menganggap Firaun sebagai perwakilan dari dewa Ra, namun bangsa Mesir lebih melihat bahwa tindakan Firaun dalam perang dan kemenangan perang merupakan bagian dari sebuah strategi dan kekuatan dari ketentaraan Mesir. Dalam inkripsi dari akhir millenium ketiga yang ditemukan di Siut dan Mo‛alla dijelaskan bagaimana kekuatan militer dan kepemimpinan para panglima perang menjadi tumpuan harapan bangsa Mesir akan kemenangan perang. 152 Hal ini berhubungan dengan pola pikir Mesir. Meskipun orang Mesir mengakui akan adanya

  151 Sarna, Exodus, 77-78.

  152 Juan Carlos Moreno García, “War in Old Kingdom Egypt”, dalam Studies on War in the Ancient Near East, ed. Jordi Vidal (Mǖnster: Ugarit-Verlag, 2010), 5-6.

  realita dari dewa-dewi serta unsur spiritual dan supranatural, namun mereka tetap lebih mempercayai hal-hal material serta mengandalkan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi Mesir yang lebih maju dibandingkan negara lain masa itu. 153 Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam inkripsi mengenai peperangan bangsa Mesir kuno, kemenangan perang dihubungkan dengan kekuatan persenjataan, tentara-tentara yang terlatih, serta kepemimpinan panglima perang yang tangguh.

  Berbeda dengan Inkripsi Mesir kuno, Keluaran 15:1-21 mencatat bagaimana kemenangan Israel diraih bukan melalui kekuatan pasukan perang atau persenjataan, namun justru melalui alam. Keluaran 15:7-8 menyatakan “Dengan keluhuran-Mu yang besar Engkau meruntuhkan siapa yang bangkit menentang Engkau; Engkau melepascan api murka-Mu, yang memakan mereka sebagai tunggul gandum. Karena nafas hidung- Mu segala air naik bertimbun-timbun; segala aliran berdiri tegak seperti bendungan; air bah membeku di tengah-tengah laut.” (Kel. 15:7-8 ITB). Durham menjelaskan bahwa “nafas hidung-Mu” dalam Keluaran 15:8 dihubungkan dengan kata “laut” untuk memberikan gambaran bagaimana kekuasaan Allah YHWH mampu menangani bukan hanya prajurit Mesir namun juga air purba yang merupakan lambang dari kekacauan. 154

  Lebih luas, Fretheim melihat bahwa kaitan antara Keluaran 15 dan kisah mengenai tulah-tulah yang menimpa Mesir dengan kepercayaan Mesir tentang dewa- dewa yang menguasai alam memberi implikasi teologis tersendiri. Dalam keyakinan Mesir kuno, kekuatan dari alam semesta merupakan perlambang dari kekuatan para

  153 Gordon dan Rendsburg, The Bible and the Ancient Near East, 56.

  154 Durham, Exodus, 207.

  dewa. Matahari, bulan, bintang, angin, cahaya, api, air, hingga sungai Nil merupakan unsur-unsur yang membentuk dunia kosmik dan dalam setiap unsur itulah kekuatan para dewa bermanifestasi. 155 Oleh sebab itu, Fretheim menegaskan bahwa gambaran Allah yang secara aktif menunjukkan kuasanya melalui alam, terkhusus dalam kisah mengenai tulah, secara mendasar menjadi antitesis dari pemahaman praktis Mesir mengenai kisah- kisah penciptaan dari dewa-dewi Mesir. 156 Sehingga tidak berlebihan jika Keluaran 15 dilihat bukan hanya sebagai kemenangan Allah atas tentara Mesir namun juga sebuah kemenangan kosmik. Kemenangan kosmik ini berujung kepada sebuah kesimpulan dimana Israel akan dibawa ke tanah Perjanjian dan Tuhan Allah Israel akan memerintah kekal selama-lamanya (Keluaran 15:17-18 ITB).

Eksposisi Ulangan 20

  Selain dalam Keluaran 15:1-21, konsep perang juga secara jelas dinyatakan dalam Ulangan 20. Di dalam konteks pembaharuan perjanjian Israel dengan Allah, kitab Ulangan merupakan bagian pengajaran Musa kepada generasi kedua bangsa Israel sebelum mereka masuk ke dalam tanah perjanjian. Longman menyatakan “Moses led the people in a covenant renewal before they undertook the wars of conquest for the land promised to the fathers; he prepared the people for his imminent death.” 157 Perang dalam Ulangan 20 diletakkan dalam runutan cerita ketika Israel dipersiapkan masuk untuk

  155 Jan Assmann, Of God and Gods: Egypt, Israel, and the Rise of Monotheism (Wisconsin, London: University of Wisconsin Press, 2008), 10.

  156 Fretheim, Exodus, 167.

  menaklukkan tanah Kanaan. Dalam dinamika politik masa itu, satu-satunya cara untuk membawa penduduk Kanaan keluar dari tanah kediaman mereka adalah melalui perang.

  Eugene H. Merrill berargumen bahwa perintah pembantaian yang terdapat dalam Ulangan 20 maupun dalam kitab Yosua menunjukkan bagaimana Israel melakukan pemusnahan bukan dalam landasan kesenangan atau kepentingan Israel namun karena tujuan Allah. 158 Selain itu, Longman menambahkan bahwa pemusnahan total harusnya dilihat dari aspek kekudusan Allah dimana pencemaran terhadap kekudusan Allah perlu ditanggapi secara serius. Oleh karena itu, nilai kekudusan Allah perlu dipandang jauh lebih tinggi. 159 Hal ini berbeda dengan praktik moralitas bangsa-bangsa di luar Israel, dimana pembunuhan dapat dilatarbelakangi oleh dendam, kebencian, bahkan kesenangan pribadi.

  Lebih lanjut, jika merujuk pada janji Allah pada Abraham dalam Kejadian 15:13-

  16, dimana Allah sengaja membawa umat Israel keluar dari Mesir ketika kedurjanaan orang Amori sudah genap (ayat 16). Hal ini menunjukkan adanya nuansa penghakiman dan penghukuman yang Allah sengaja bawa bagi orang Kanaan melalui kehadiran Israel. Sehingga perintah Allah kepada orang Israel untuk membunuh habis bangsa Kanaan dapat dilihat sebagai bagian dari hukuman Allah bagi bangsa Kanaan, dimana Israel digunakan Allah sebagai instrumen penghakiman. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa tidak ada satupun alasan dari hukum perang yang diberikan untuk melanggengkan dan

  158 Eugene H. Merrill, “The Case for Radical Discontinuity”, dalam Show Them No Mercy, ed. Stanley N. Gundry (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2003), 84-85.

  melegalkan kesenangan untuk membunuh dan menghancurkan, justru sebaliknya hukum ini diberikan dalam kerangka keadilan Allah dan tatanan moral yang lebih tinggi.

  Di sisi yang lain, Ulangan 20 bukan hanya berbicara mengenai tatanan moral dalam perang namun juga masalah iman. Von Rad menyatakan

  From this time forward the alternative of trust either in Yahweh or in war chariots (‘horses and chariots’) had become central concern of the religion of Yahweh. For the prophets, too, all trust in chariots is plainly a symptom of lack of faith. 160

  Ayat 1-9 bukan hanya sekedar strategi untuk memilih dan mengatur tentara Israel, namun juga menunjukkan sebuah konsep dimana peperangan tidak bergantung pada jumlah tentara, namun pada Allah yang memberikan kemenangan. Hal ini dinyatakan secara eksplisit dalam Ulangan 20:1-4 lewat seruan “jangan takut”. Dalam bagian ini kata takut dilihat sebagai sebuah indikasi kurangnya iman pada Allah. Von Rad menambahkan bahwa keprihatinan utama kitab Ulangan tentang rasa takut dan kecil hati sebagai permasalahan iman bukan hanya problem personal namun mempengaruhi keseluruhan pasukan. 161 Oleh karena itu, untuk membangkitkan kepercayaan Israel, pada ayat 2 Allah memerintahkan salah seorang imam maju di hadapan umat untuk menyampaikan Firman Allah sebelum menghadapi perang.

  Kehadiran imam dalam peperangan ini memiliki persamaan dengan konsep dalam dunia kuno. Dalam penelitiannya mengenai literatur perang Mari yang muncul abad 17 sM, Hamblin menyatakan

  To insure that a king, general, or army were operating in accordance with the will of the gods, Mesopotamian rulers employed diviners and prophets who would interpret the will

  160 Gerhard Von Rad, Deuteronomy: A Commentary (Philadelphia, Pennsylvania: The Westminster, 1966), 131.

  161 Von Rad, Deuteronomy, 132.

  of the gods. A wide range of methods were used to accomplish this. Few kings dared go to war without the explicit approval of the gods. 162

  Dalam hal ini, baik Israel maupun bangsa-bangsa kuno lainnya meyakini bahwa keberhasilan perang ditentukan oleh sabda Allah, sehingga sedikit raja yang berani untuk maju berperang tanpa ada persetujuan eksplisit dari para dewa.

  Selain itu, kehadiran imam dalam konteks perang merupakan bagian dari cara Allah membimbing umat-Nya dalam melakukan peperangan. Sebagaimana pemahaman Timur Dekat Kuno bahwa pembimbingan Allah serta persetujuan Allah dalam peperangan menentukan hasil dari peperangan tersebut. Maka, beberapa kali frasa “sebab TUHAN, Allahmu,” (Ulangan 20:1, 4 ITB) menjadi penekanan utama dalam bagian ini. Hal ini menunjukkan bahwa hukum perang umat Israel dalam Ulangan 20 bukan sekedar masalah strategi militer namun lebih pada masalah iman dan spiritualitas umat pilihan Allah.

  Hukum perang dalam Ulangan 20 bukan hanya diberikan untuk menjaga moralitas dan spiritualitas umat Israel namun juga untuk mempersiapkan Israel memasuki tanah Perjanjian. Sebagai umat pilihan Allah yang harus hidup dalam standar moral dan kekudusan Allah, maka penghapusan bangsa-bangsa Kanaan juga ditujukan untuk maksud mempersiapkan dan menjaga bangsa Israel. Hal ini didukung dengan penyataan eksplisit Allah melalui Musa dalam ayat 18, “supaya mereka jangan mengajar kamu berbuat sesuai dengan segala kekejian, yang dilakukan mereka bagi allah mereka, sehingga kamu berbuat dosa kepada TUHAN, Allahmu.” (Ulangan 20:18 ITB).

  162 William J. Hamblin, Warfare in the Ancient Near East (London: Routledge, 2006), 186.

  Dalam bagian ini, Tigay menjelaskan upaya “genosida” 163 yang dilakukan Israel adalah cara Allah untuk memproteksi Israel dari pengaruh kebudayaan kafir. Ia menyatakan bahwa dasar dari keputusan Allah memusnahkan bangsa-bangsa Kanaan bukan disebabkan masalah etnik namun cara hidup, sehingga apabila kehidupan Israel justru mengikuti cara hidup bangsa kafir maka Allah tidak segan untuk melakukan cara yang sama pada Israel. 164 Di sisi yang lain, Craigie juga menyatakan bahwa upaya yang dilakukan Israel bukanlah sebuah tindakan amoral, namun merujuk pada pemahaman bahwa Israel adalah instrumen penghakiman Allah bagi orang-orang Kanaan. 165 Hal ini menggenapi firman Allah pada Abraham dalam Kejadian 15:16, dimana kedatangan Israel ke tanah Kanaan menunggu kegenapan kejahatan orang-orang Kanaan dan waktu penghakiman yang Allah tetapkan bagi orang-orang Kanaan. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa Ulangan 20 memahami perang bukan sebagai bagian dari kebrutalan namun justru perang harus dilihat sebagai bagian dari perintah Allah untuk melindungi Israel dan sebagai alat Allah untuk menghukum bangsa Kanaan.

  Kitab Sejarah Pra-Kerajaan

  Kitab Yosua

  Pembahasan mengenai perang di dalam Alkitab tidak dapat dilepascan dari kisah- kisah perang yang luar biasa yang tercatat di dalam kitab Yosua, seperti kisah runtuhnya

  163 Lih. Kamus Besar Bahasa Indonesia, s.v. “genosida”. Kata ini dimaknai sebagai pembunuhan besar-besaran secara berencana terhadap suatu bangsa atau ras.

  164 Jeffrey H. Tigay, Deuteronomy (Philadelphia, Pennsylvania: The Jewish Publication Society, 1996), 189.

  tembok Yerikho, kekalahan Israel atas Ai, hingga kemenangan Israel merebut tanah Kanaan. Kisah-kisah ini semakin menarik ketika di kitab Hakim-Hakim, peperangan suku-suku Israel melawan kerajaan-kerajaan yang tersisa di sekitar tanah Kanaan dibingkai dalam perspektif kesetiaan Allah dan ketidaktaatan Israel. Dalam hal ini, penulis akan mengambil beberapa bagian sebagai bingkai pemahaman perang di dalam kitab Yosua dan Hakim-Hakim.

  Kitab Yosua sendiri dipahami sebagai kelanjutan dari karya keselamatan yang Allah kerjakan dalam Perjanjian Lama. Longman menjabarkan bahwa,

  The greatest act of salvation history in the Old Testament was not the exodus alone. The exodus was just half of a great redemptive complex. God had not promised his people only that he would redeem them from bondage but also that

  he would give them the land he promised to the fathers as their inheritance (Kejadian 12:2–3; 15:18–21). 166

  Sebagai kelanjutan dari karya keselamatan Allah dalam sejarah umat-Nya, kitab Yosua dan Hakim-Hakim menjadi bagian yang menceritakan bagaimana Allah membawa Israel merebut tanah Kanaan dan bagaimana Israel mempertahankan tanah Perjanjian tersebut dari bangsa-bangsa yang tinggal di sekitar Kanaan.

  Kitab Yosua secara umum masih diperdebatkan kapan dan siapa yang menulis kitab ini. Menurut Talmud kitab Yosua sebagian besar ditulis oleh Yosua sendiri, terkecuali mengenai bagian kematian Yosua. 167 Berlawanan dengan ini, menurut Martin Noth, kitab Yosua memiliki kedekatan lebih banyak kepada kitab Ulangan, Hakim- Hakim dan Raja-Raja, sehingga kemungkinan kitab ini merupakan satu bagian dari

  166 Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 120.

  167 Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 122.

  sejarah Deuteronomis 168 yang kemungkinan ditulis oleh sejarawan Deuteronomik sekitar masa pembuangan atau abad ke-7 SM. 169 Rowlett juga menekankan hal yang sama,

  Although it purports to relate 'historical' events which (allegedly) took place sometime between 1400 and 1200 BCE, most scholars agree that the Book of Joshua forms part of the Deuteronomistic History (henceforth called the DH), 170

  Meskipun argumen kelompok kritik sumber ini nampak meyakinkan, namun melalui penggalian arkeologi yang ada, ditemukan adanya peristiwa penghancuran yang terjadi di beberapa daerah seperti di Beitin (Betel), Tel el-Duweir (Lakhis), Tel el-Hesi (Eglon?), Tel Beit Mirsim (Ansyan?), dan Tel el-Qedah (Hazor) yang melalui hasil penggalian arkeologis dan penelitian susunan debu reruntuhan yang ditemukan memberikan perkiraan adanya pertempuran dahsyat sekitar abad ke-13 sM. 171 Hal ini sesuai dengan data yang ada dalam kitab Yosua. Di sisi lain, adanya pandangan mengenai penyerbuan dua kali, dalam abad 15 dan 13 sM, oleh bangsa Israel sebagaimana yang dicetuskan dalam teori Rowley melalui penelitian surat-surat Amarna nampaknya juga tidak terlalu didukung dengan argumen yang kuat, sebab secara sepihak Rowley mencoba mengidentikkan orang-orang Habiru dalam surat-surat Amarna dengan bangsa Israel. 172 Keberatan ini muncul karena menyatakan adanya dua kali penyerbuan dan keberangkatan

  168 Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 124.

  169 Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 286. Bdk. Werner H. Schmidt, Old Testament Introduction (New York: Crossroad, 1984), 136-140. Schmidt menyatakan bahwa penanggalan

  dari masa pembuangan kemungkinan besar lebih mendekati di abad ke 6 dan 5 SM atau sekitar tahun 560 SM.

  170 Lori L. Rowlett, Joshua and the Rhetoric of Violence: A New Historicist Analysis (Sheffield, South Yorkshire: Sheffield Academic, 1996), 11.

  171 Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 285.

  172 Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 286-87.

  yang mungkin dilakukan bangsa Israel dari Mesir. Hal ini bertentangan dengan kesaksian Alkitab yang hanya mencatat satu peristiwa keluaran di tahun 1446 sM. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kemungkinan besar kitab Yosua ditulis sekitar akhir abad 15 sM, sebagai penanggalan awal penyerbuan Kanaan dan bukan abad ke 13 sM.

  Dengan menetapkan bahwa kepenulisan kitab Yosua terjadi tidak jauh dari peristiwa yang tertulis, maka sangat memungkinkan bahwa kebudayaan dan konsep berpikir yang ada dalam kitab ini juga mencerminkan pandangan kehidupan dunia sekitarnya. Dalam hal ini Brueggemann menegaskan bahwa

  There is, moreover, no part of the textual tradition that is more permeated with violence than the conquest traditions of Joshua. While the land is promised in the ancestral traditions of Genesis, that same land in the implementation of the promise is taken by means of brutal military attack that is characteristic of any military operation and is perhaps especially characteristic of the ancient practices of the Near East. 173

  Selain itu, Kitab Yosua merupakan satu-satunya kitab dalam Perjanjian Lama yang mencatat kisah penaklukan tanah Perjanjian secara utuh dari upaya awal Israel masuk tanah Kanaan (Yosua 1-6), penaklukan sebagian besar tanah Kanaan dan pembagian tanah (Yosua 11-19), hingga gambaran awal kehidupan Israel di Kanaan dan pembaharuan perjanjian (Yosua 20-24). Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa ada sebuah perubahan paradigma dari Israel sebagai budak menjadi Israel sebagai penakluk, dari sebuah bangsa pengembara menjadi bangsa yang tinggal tetap.

  Lebih lanjut, Brueggeman berkomentar bahwa kitab Yosua memuat perubahan kondisi sosial politik yang sangat penting dalam mempengaruhi afirmasi teologis yang terbentuk berkaitan dengan pemahaman umat Israel dalam relasi dengan Allah

  173 Walter Brueggemann, An Introduction of the Old Testament: The Canon and Christian Imagination (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 2003), 116-17.

  Perjanjian. 174 Afirmasi teologis yang dimaksud berkaitan dengan pemahaman akan identitas Israel sebagai umat pilihan dimana janji Allah untuk membawa Israel masuk pada tanah perjanjian segera dipenuhi melalui peperangan yang tak terhindarkan melawan Kanaan. Pernyataan ini semakin menguatkan pentingnya keberadaan kitab Yosua dalam memahami konsep teologi mengenai perang yang dipandang sebagai isu yang cukup problematik di dalam Alkitab. Oleh karena itu, Penulis memilih untuk mempelajari Yosua 5:13-6:27 dengan pertimbangan bahwa ini merupakan teks awal yang mencatat perang Israel ketika merebut kota Yerikho, kota terluar Kanaan. Selain itu, kehadiran Panglima Balatentara TUHAN juga menjadi sebuah bagian penting dalam menggambarkan peranan Allah dalam memahami perang Israel.

Eksposisi Yosua 5:13-6:27

  Perang dalam Yosua 5:13-6:27 terbagi dalam dua bagian besar 5:13-15 merupakan bagian persiapan perang sebelum masuk tanah Yerikho, sedangkan 6:1-27 memuat kisah perang penaklukan Yerikho. Yosua 5:13-14 diawali dengan kehadiran Panglima Balatentara TUHAN. Daniel Hawk menyatakan bahwa kehadiran Divine being sebelum perang merupakan elemen yang wajar dalam literatur perang dari beberapa budaya Timur Dekat Kuno. 175 Dalam catatan perang dinasti awal Mesopotamia, Raja Umma sebelum berperang mengharapkan kehadiran dari dewa dengan memanggil seorang peramal untuk menghadirkan sang dewa dan memohon sabda dari dewa tersebut.

  174 Brueggemann, An Introduction of the Old Testament, 119.

  175 L. Daniel Hawk, Joshua (Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 2000), 83.

  Dalam catatan ini dikatakan Eanatum, sang peramal, dalam prosesi ini tertidur dan dewa perang Ningirsu akan mendekati kepalanya dan membisikkan kata-kata kepada Eanatum tentang apa yang akan terjadi dalam peperangan raja Umma. 176 Meskipun kehadiran Divine Being tidak tampak secara fisik, namun melalui perantaraan peramal, para raja mencoba menghadirkan sosok ilahi sebelum peperangan dimulai demi memperoleh kepastian dari tindakan yang harus mereka kerjakan.

  Dalam kebudayaan Sumeria, kehadiran Divine Being dalam peperangan dihadirkan melalui kereta perang yang membawa simbol dewa atau raja dengan sebuah upacara khusus sebagai bukti hadirnya kepemimpinan ilahi. 177 Tidak mengherankan jika Albrektson menyatakan bahwa “Their sphere of activity extended into other areas of life, including battles, just as Yahweh's did. Divine participation in 'history', including warfare, is therefore not unique, but is part of the 'common heritage of ancient Near Eastern religions'. 178

  Meskipun kehadiran Divine Being dalam perang, baik secara simbolik atau melalui perantara, adalah hal yang wajar di dalam budaya Timur Dekat Kuno, akan tetapi kehadiran sosok Panglima Balatentara TUHAN secara teofani baru dituliskan secara eksplisit dalam bagian ini. Jika dihubungkan dengan kondisi Yosua dan bangsa Israel pasca kematian Musa sebagai pemimpin, kehadiran Panglima Balatentara TUHAN bukan sekedar menunjukkan bahwa Allah yang memimpin perang Israel, namun juga

  176 Hamblin, Warfare in the Ancient Near East, 52-53.

  177 Hamblin, Warfare in the Ancient Near East, 136.

  178 Rowlett, Joshua and the Rhetoric of Violence, 50.

  mengesahkan kepemimpinan Yosua atas seluruh umat Israel. 179 Kalimat "Tanggalkanlah kasutmu dari kakimu, sebab tempat engkau berdiri itu kudus, " dalam Yosua 5:15 mengingatkan kita akan perkataan Allah terhadap Musa ketika Musa melihat semak terbakar dalam Keluaran 3. Seperti halnya kehadiran Allah melalui semak yang terbakar mengesahkan panggilan Allah atas Musa dan menguatkan hati Musa untuk menerima tugas Ilahi memimpin Israel keluar dari tanah Mesir, demikian pula dalam bagian ini Allah ingin menguatkan hati Yosua dan memberikan bukti penyertaan-Nya sebagaimana juga dahulu menyertai Musa.

  Selain sebagai sebuah bentuk pengesahan kepemimpinan Yosua pasca Musa, kehadiran Panglima Balatentara TUHAN juga memberikan sebuah penekanan bahwa tentara Israel dapat dilihat menjadi bagian dari tentara surgawi. 180 Kehadiran Divine Being dalam peperangan Israel menunjukkan adanya kesadaran bahwa peperangan antara Israel dan Kanaan adalah sebuah pertempuran kosmik antara Allah dan dewa-dewa Kanaan. Selain itu, perintah Allah untuk melepaskan kasut Yosua menunjuk pada simbol martabat, kekuatan, dan kepemilikan dari Allah atas seluruh tanah Kanaan. 181

  Pada bagian kedua, Yosua 6:1-27 menunjukkan bagaimana Allah menuntun dan memimpin Israel dalam perebutan tanah Kanaan dengan menaklukan Yerikho. Penaklukan Yerikho secara khusus dibuktikan melalui penggalian arkeologi. Menurut Bible Background Commentary, Yerikho merupakan salah satu dari beberapa kota tua

  179 Hawk, Joshua, 83.

  180 Gordon Mitchel, Together in the Land: A Reading of the Book of Joshua (Sheffield, South Yorkshire: Sheffield Academic, 1993), 49.

  181 Mitchel, A Reading of the Book of Joshua, 49.

  yang dibangun sebelum tahun 1550 sM dan mengalami kehancuran antara tahun 1550 - 1200 sM berdasarkan penemuan arkeologi mengenai sisa-sisa tembikar yang berhasil ditemukan dalam penggalian yang dilakukan oleh Kenyon pada tahun 1950. 182 Catatan arkeologi ini menguatkan kesaksian Alkitab mengenai penanggalan masa hidup Yosua dan kemungkinan terjadinya penyerbuan ke Yerikho.

  Penyerbuaan Israel dalam Yosua 6:1-27 dibagi menjadi beberapa bagian. Yosua 6:1-7 berbicara mengenai persiapan dari prosesi. Dalam Yosua 6:2-5 Allah secara unik memerintahkan Israel untuk membawa Tabut Perjanjian dan mengelilingi tembok Yerikho tanpa bersuara sedikitpun selama enam hari berturut-turut, baru pada hari ke tujuh mereka mengelilingi tembok itu selama tujuh kali dan bersorak dengan nyaring. Dalam bagian ini nampak secara eksplisit adanya urutan dimana Allah sebagai panglima perang, yang disimbolkan dengan kehadiran tabut Perjanjian yang berada di depan Israel, memimpin umat untuk berjalan mengelilingi tembok Yerikho. Gambaran dari keseluruhan episode ini merupakan bentuk penyembahan secara terbuka yang disertai dengan ritual yang rumit dan diakhiri dengan penampakan Allah. 183 Hal serupa juga dinyatakan oleh Hawk, ia melihat bahwa prosesi yang dilakukan oleh Israel merupakan sebuah korespondensi antara konteks ritual dan militer yang mengekspresikan karakter militer dari tindakan agung Allah dalam perang. 184

  182 John H. Walton, Victor H. Matthews, dan Mark W. Chavalas, The IVP Bible Background Commentary: Old Testament (Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 2000), 217.

  183 Mitchel, A Reading of the Book of Joshua, 51.

  184 Hawk, Joshua, 93.

  Kisah ini memiliki kemiripan dengan epik Ugarit dari Keret dimana tentara Keret tiba di kota Udm dan di perintahkan oleh dewa El untuk mereka tinggal diam selama enam hari tanpa menembakkan senjata apapun dan dewa El menjanjikan pada hari yang ke tujuh maka orang dari kota Udm akan mengirimkan seseorang untuk menyampaikan

  upeti agar pasukan Keret keluar meninggalkan kota Udm. 185 Dan ada kemungkinan orang Yerikho cukup mengenal kisah ini, sehingga dapat dikatakan bahwa Yosua 6:1-27 adalah

  subversi kisah epik Ugarit. Ia membandingkan perintah Allah dengan perintah dewa El sebagai dewa tertinggi Mesopotamia kuno, dengan menyatakan perbedaan bahwa Allah tidak sekedar membuat warga kota Yerikho memberikan upeti, tetapi bahkan memberikan kota tersebut bagi Israel.

  Perang penaklukan Yerikho berbeda dengan perang ketika Allah melepaskan Israel dari tanah Mesir. Jika dalam Keluaran 14-15 perang digambarkan menggunakan kekuatan alam sebagai senjata yang menghancurkan tentara Mesir, dalam Yosua 6 penaklukan Yerikho bukan menggunakan kekuatan alam namun menggunakan partisipasi Israel. Hal ini berhubungan dengan kondisi Israel yang mengalami perubahan dari masa Musa hingga Yosua. Salah satu perubahan yang mencolok adalah adanya pembentukkan tentara perang Israel yang mulai muncul dan tercatat dalam Keluaran 17:9. Sejak perang melawan Amalek, Israel mulai membentuk kekuatan militer untuk melindungi Israel dan mempersiapkan Israel menjadi sebuah bangsa. Lebih lanjut, jika dikaitkan dengan seruan Musa dalam Keluaran 17:15-16, maka Musa memahami kekuatan militer Israel bukan sebagai bagian yang terpisah dari kekuatan Allah, justru sebaliknya dikatakan oleh Musa

  185 Walton, Matthews, dan Chavalas, The IVP Bible Background Commentary, 217.

  “Allah turun berperang”. Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan militer Israel adalah bagian dari kekuatan Allah, dimana Allah dilihat sebagai pemimpin perang yang sesungguhnya. Dalam pemahaman ini, maka kekuatan militer Israel berkewajiban untuk mentaati perintah Allah sebagai pemimpin dan komandan tertinggi mereka. Oleh karena itu, pada masa Yosua, peperangan merebut Yerikho tidak lagi hanya dilakukan oleh Allah, namun juga meminta partisipasi Israel sebagai bagian dari ketaatan kepada Allah sebagai pemimpin perang Israel. Mitchell menyatakan bahwa “Obedience, and not military ability,is all that is important.” 186 Dalam konsep ketaatan inilah Yosua 6:17 diberikan Allah bagi Israel.

  Bagian ini cukup menarik sebab secara eksplisit kata ח ֵ֛ר ֶָ (herem) yang berarti “dikhususkan bagi TUHAN untuk dimusnahkan” pada Yosua 6:17 memiliki beberapa

  pemaknaan. Dalam bagian lain di Alkitab, kata ini digunakan dalam pemahaman sebagai berikut:

  1. Sebagai sebuah hadiah atau persembahan bagi Allah (Bilangan 18:14; Yehezkiel 44:29; Imamat 27:21, 28,29; Mikha 4:13)

  2. Sebagai sebuah keputusan hukum. Bentuk Hophal kata ini muncul dalam Keluaran 22:19 sebagai sebuah hukuman terhadap penyembahan berhala. Sedangkan dalam Imamat 27:29, kata ini merujuk kepada seseorang yang dikutuk, dan dalam Ezra 10:8, kata ini juga bisa berarti sebuah bentuk pengasingan seseorang dari komunitas.

  186 Mitchel, A Reading of the Book of Joshua, 51.

  3. Sebagai tindakan perang dan penghancuran. Digunakan dalam seluruh kitab Ulangan hingga 2 Raja-Raja, juga dalam Bilangan 21:2, 3; Yesaya 11:15; 34:2,5; 37:11; 43:28; Yeremia 25:9; 50:21, 26; 51:3; Mikha 4:13; Zakharia 14:11; Maleakhi 3:24; Daniel 11:44; 1 Tawarikh 2:7; 4:41; 2 Tawarikh 20:23; 32:14. 187

  Dalam bagian ini, kata herem dapat dilihat dalam nuansa pertama sebagai sesuatu yang diberikan pada Allah sebagai persembahan sulung. Hal ini berhubungan dengan konsep herem sebagai bagian dari ibadah. Sedangkan dalam nuansa kedua dan ketiga, tanah Kanaan ditetapkan Allah untuk dihancurkan demi memisahkan Israel dari segala pengaruh Kanaan, sebab tanah Kanaan harus menjadi tanah yang Kudus di mana umat Allah yang Kudus akan diam bersama-sama dengan Allah di sana. Karena itu, unsur ketidak-kudusan seharusnya dibuang atau diasingkan dari tanah itu melalui pemusnahan total bagi seluruh makhluk yang hidup di dalamnya. 188 Dalam bagian ini, maka penghancuran total yang dilakukan dilihat sebagai sebuah tuntutan kesetiaan dan ketaatan Israel pada Allah untuk menjaga kekudusan. Hal serupa didukung dengan penafsiran Rachel M. Billings yang menyatakan bahwa panggilan untuk melakukan penaklukan total atas tanah Israel harusnya dilihat sebagai satu bagian dari kesetiaan Israel dan pemenuhan janji Allah. 189

  Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa perang di dalam kitab Yosua memiliki kesamaan dengan beberapa budaya Timur Dekat Kuno yang melihat perang

  187 Mitchel, A Reading of the Book of Joshua, 55.

  188 Hawk, Joshua, 98-103.

  189 Rachel M. Billings, Israel Served the Lord: The Book of Joshua as Paradoxical Portrait of 189 Rachel M. Billings, Israel Served the Lord: The Book of Joshua as Paradoxical Portrait of

  Aspek lain yang kembali muncul dalam bagian ini adalah aspek perang sebagai bagian dari bentuk penghukuman Allah bagi orang Kanaan. Dalam hal ini, Israel sebagai umat Perjanjian berperan sebagai instrumen penghakiman Allah bagi Kanaan, sehingga pemusnahan total Kanaan bukan hanya untuk menjaga Israel agar tidak tercemari oleh pengaruh dan gaya hidup bangsa Kanaan namun juga sebagai sebuah bentuk keputusan hukum yang Allah sudah tetapkan atas Kanaan.

Kitab Hakim-Hakim

  Selain kitab Yosua yang mengisahkan mengenai perang dalam masa awal bangsa Israel masuk ke tanah Kanaan, kitab Hakim-hakim juga memuat beberapa bentuk peperangan dalam konteks yang berbeda dan lebih berkembang. Dalam bagian ini, perlu sekali memahami bahwa kitab Hakim-Hakim memiliki penekanan yang berbeda dibandingkan kitab Yosua. Dalam Yosua, peperangan yang terjadi adalah sebuah bentuk perebutan wilayah, sedangkan di dalam kitab Hakim-Hakim lebih dipahami sebagai upaya mempertahankan wilayah yang sudah direbut.

  Nuansa mempertahankan wilayah berhubungan erat dengan kondisi Israel di Hakim-Hakim 1, dimana Israel gagal menghalau penduduk asli sesuai perintah Allah. Ketidaktaatan Israel ini membawa konsekuensi dimana bangsa-bangsa tersebut dapat menjadi musuh dan jerat bagi Israel (Hakim-Hakim 2:3). Dalam kondisi seperti ini, Gunn menyatakan bahwa dalam ketidaktaatan Israel, Allah membawa bangsa-bangsa asing untuk menjajah Israel dan kemudian Israel akan berteriak minta tolong, dan Allah kemudian akan membangkitkan pembebas yang akan mengalahkan bangsa-bangsa tersebut dan membawa umat Israel menikmati “damai”. Inilah pola reward and punishment yang secara dominan muncul dalam kitab ini. 190

  Pola “reward and punishment” memang ada dalam kitab Yosua, khususnya pada cerita Akhan dan kekalahan dari Ai, namun dalam kitab Hakim-Hakim tema ini justru menjadi bingkai utama dalam melihat konsep perang. Di sisi lain, kondisi Israel sebagai bangsa yang tinggal dan diam di tanah Kanaan, jelas memberikan paradigma yang berbeda dengan di masa Yosua. Dengan demikian perbedaan kondisi ini juga menunjukkan bahwa adanya pergerakan pemahaman mengenai perang di dalam konteks Hakim-Hakim.

  Pergerakan ini semakin nyata jika kita melihat karakteristik dari kondisi Israel di masa Hakim-Hakim. Dalam periode ini, setiap daerah memiliki otonomi dan kekuasaan yang independen, hal ini juga terjadi di antara kota-kota Kanaan masa itu. Tidak ada satu agama atau pusat politik yang menyatukan dan saling berafiliasi di antara suku-suku yang ada, sehingga kebebasan setiap suku untuk mengatur dirinya menjadi karakteristik dari Pergerakan ini semakin nyata jika kita melihat karakteristik dari kondisi Israel di masa Hakim-Hakim. Dalam periode ini, setiap daerah memiliki otonomi dan kekuasaan yang independen, hal ini juga terjadi di antara kota-kota Kanaan masa itu. Tidak ada satu agama atau pusat politik yang menyatukan dan saling berafiliasi di antara suku-suku yang ada, sehingga kebebasan setiap suku untuk mengatur dirinya menjadi karakteristik dari

  Dari sekian banyak kisah perang yang terjadi dalam kitab Hakim-Hakim, penulis memilih untuk lebih banyak menyoroti kisah peperangan bangsa Israel melawan Yabin, Raja Kanaan, dan Sisera panglima perangnya dalam Hakim-Hakim 4-5. Dalam Hakim- Hakim 4:1-2 dikatakan “Setelah Ehud mati, orang Israel melakukan pula apa yang jahat di mata TUHAN. Lalu TUHAN menyerahkan mereka ke dalam tangan Yabin, raja Kanaan, yang memerintah di Hazor. Panglima tentaranya ialah Sisera yang diam di Haroset-Hagoyim” (Hakim-Hakim 4:1-2 ITB). Jika kita melihat dari segi kesejarahan yang tercatat, nampaknya kisah ini merupakan peristiwa-peristiwa awal yang terjadi di masa Israel tinggal di Kanaan. Mengutip George F. Moore dan Lawrence Stegar, Brettler memperkirakan bahwa kisah Debora ini terjadi lebih dari 100 tahun setelah masa Yosua atau sekitar akhir abad 13 sM hingga awal abad 12 sM, dengan argumentasi bahwa teks nyanyian Debora merupakan bagian teks yang paling kuno dari keseluruhan teks Hakim- Hakim, sehingga tidak dapat dihindarkan bahwa kemungkinan besar teks ini sudah ada jauh sebelum abad ke 11 sM. 192

  191 Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 137.

  192 Marc Zvi Brettler, The Book of Judges (London, England: Routledge, 2002), 62-63.

  Selain menjadi salah satu kisah awal peperangan pasca Israel mendiami Kanaan, Hakim-Hakim 4-5 juga memiliki keunikan tersendiri dalam bentuk sastranya. Hakim- Hakim 4-5 tidak hanya berbentuk narasi, namun juga memiliki bagian puisi di dalamnya. Sebab itu, Brettler menyatakan bahwa “Judges 4 and 5 are complex in a different way –

  they include ‘alternate’ tellings in different genres of the ‘same’ story.” 193

  Hakim-Hakim 4-5 juga memberikan penekanan yang berbeda dalam hal gender. Webb menyatakan,

  The initial focus up on a woman is quite surprising in view of the complete absence of women from the Othniel and Ehud episodes. The fact that she holds a position of authority and takes the initiative in relation to the prospective male hero is the first intimation of a thematic development that will give this particular episode its unique character. 194

  Kehadiran sosok Debora menjadi kejutan tersendiri dalam dominasi laki-laki dalam teks Hakim-Hakim. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan tema yang unik yang hendak ditampilkan dalam karakter Debora. Selain itu, Gunn melihat adanya kemiripan antara kisah Debora dan Barak dengan kisah Israel melewati laut Teberau, terutama dalam kemiripan pujian yang terdapat dalam Hakim-Hakim 5 dan Keluaran 15, keduanya menekankan tema Allah sebagai pahlawan Perang yang menyelamatkan Israel. 195

  193 Brettler, The Book of Judges, 22.

  194 Barry G. Webb, Book of the Judges (Sheffield, South Yorkshire: Sheffield Academic, 1987),

  195 David M. Gunn, Judges, 55.

Eksposisi Hakim-Hakim 4-5

  Hakim-hakim 4-5 dimulai dengan bagian formula yang sama dengan sebelum (Hakim-Hakim 3:7, 12) dan sesudahnya (Hakim-Hakim 6:1, 13:1, dst.). Dikatakan dalam Hakim-Hakim 4:1 bahwa “orang Israel melakukan pula apa yang jahat di mata TUHAN.” Kejahatan Israel mendapatkan hukuman dari Allah dengan kehadiran Yabin dan Sisera. Dan dalam Hakim-hakim 4:2-3 penulis menggambarkan kekuatan raja Yabin dan Sisera dan lamanya masa penindasan yang dialami oleh Israel.

  Nama raja Yabin dari Hazor muncul dalam tiga kitab yang berbeda, yaitu dalam Yosua, Hakim-Hakim, dan Mazmur. Dalam Yosua 11, dicatat bahwa raja Yabin adalah pemimpin tertinggi di Kanaan yang berhasil mempersatukan kerajaan-kerajaan di utara Kanaan untuk melawan Israel, namun pada masa Yosua koalisi kerajaan-kerajaan di utara Kanaan berhasil dihancurkan dan raja Yabin dibunuh oleh Yosua ketika Israel merebut kota Hazor. Dalam Hakim-Hakim, raja Yabin dari Hazor diperkirakan adalah keturunan raja Yabin dalam kitab Yosua, sebab nama Yabin adalah nama dinasti sehingga kesamaan nama dalam kitab Yosua dan Hakim-Hakim tidak memberikan indikasi bahwa teks tersebut merujuk pada satu orang yang sama. 196 Selain kesamaan nama, raja Yabin dalam kitab Hakim-Hakim juga memiliki kemampuan untuk mengumpulkan cukup banyak sekutu untuk melawan Israel. 197

  196 Arnold G. Fruchtenbaum, Judges and Ruth (San Antonio, Texas: Ariel Ministries, 2007), 61.

  197 Lih. Arthur E. Cundall dan Leon Morris, Judges and Ruth (Downers Grove, Illinois: InterVarsity,1968), 82. Cundall menyatakan bahwa kemungkinan Sisera adalah seorang raja yang lebih

  rendah dibandingkan Yabin yang di dalam koalisi kerajaan-kerajaan Kanaan dia terpilih sebagai pemimpin militer Kanaan. Bdk. Walton, Matthews, dan Chavalas, The IVP Bible Background Commentary, 250. Hal ini dikuatkan dengan penelitian Walton dimana jumlah kereta tempur berbahan besi yang berjumlah 900 buah merupakan sesuatu yang hampir mustahil terjadi pada masa tersebut. Bdk. Nigel Stillman dan Nigel Tallis, Armies of the Ancient Near East 3,000 BC to 539 BC (Cambridge, England: Wargames Research

  Yang menarik, Hakim-Hakim 4 justru mengangkat sosok seorang wanita bernama Debora di dalam sebuah kondisi yang genting seperti ini. Dalam Hak. 4:4, fokus mengenai kekuasaan Yabin dan kekuatan militer Sisera serta merta diganti pada satu sosok wanita bernama Debora. Meskipun dalam budaya Israel dan Timur Dekat Kuno peran wanita sangatlah minim dalam masyarakat akan tetapi penulis secara sengaja justru mencatat nama Debora dengan menekankan lebih kepada peranan Debora sebagai hakim. 198

  Niditch melihat bahwa pribadi Debora dalam kisah ini bukan hanya dilihat sebagai nabiah dan hakim, namun juga sebagai seorang kesatria perempuan. 199 Permintaan Barak agar Debora hadir dalam peperangan bukan disebabkan oleh ketakutan Barak, namun oleh karisma Debora sebagai nabiah pilihan Allah dan kesatria perang bagi Israel. Menambahkan hal ini, Niditch menyatakan,

  Barak’s declaration that he will go to battle only if accompanied by Deborah is not to be interpreted as cowardice; rather, within the context of the worldview of the literature, he is wise to know that victory comes with the presence of God’s favorite. 200

  umum hanya memiliki 10 hingga 50 kereta tempur dengan jumlah pasukan maksimal 2000 orang. Lih. Susan Niditch, Judges (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 2008), 62. Hal kedua yang mendukung teori koalisi ini adalah penggunaan kata חַָ֗וֹי ִֽמ (Haggoyim) dalam Hak. 4:2 yang memiliki arti literal “of the nations”. Bdk. Walton, Matthews, dan Chavalas, The IVP Bible Background Commentary, 250. Kata haroset-haggoyim kemungkinan besar merujuk kepada beberapa kerajaan kota di daerah Galilea hingga Fililstin menurut penelusuran surat El Amarna. Dengan demikian, sangat memungkinkan jika 900 kereta tempur diperoleh berdasarkan gabungan atau koalisi dari beberapa kerajaan di daerah Kanaan. Dan dengan kekuatan militer yang sangat besar inilah Raja Yabin, Sisera, dan beberapa koalisinya mencoba untuk menguasai Israel.

  198 Tammi J. Schneider, Judges (Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 2000), 63-66.

  199 Niditch, Judges, 65. Gambaran pahlawan perang wanita dalam literatur Timur Dekat Kuno sering kali merujuk kepada figur dewi-dewi. Lih. Ensiklopedia Alkitab Masa Kini: A-L, s.v. “Asytoret”.

  Dalam tradisi Kanaan figur Asytoret diyakini bukan hanya sebagai dewi kesuburan dan asmara, namun juga sebagai dewi perang. Kemungkinan gambaran yang sama juga dikenakan dalam pemahaman terhadap Debora.

  Dalam hal ini, kehadiran figur yang diperkenan Allah sangat penting dalam peperangan. I ni mengingatkan pada kehadiran Musa dalam peperangan yang dipimpin Yosua ketika melawan Amalek dalam Keluaran 17. Schneider menyatakan “Deborah’s job is unique in that she was one of only two people to whom people went for judgement, the other was

  Moses when the Israelites were in the desert.” 201 Allah menggunakan orang-orang yang tidak terduga, termasuk para wanita, untuk menunjukkan bahwa Allah sendiri yang

  berperang bagi Israel.

  Setelah pasukan Sisera dipukul kalah oleh Barak dan Debora, Sisera meninggalkan pasukannya. Dalam pelarian itu, Sisera memilih untuk bersembunyi dalam kemah Yael. Hal ini dilakukan sebab kemungkinan perkemahan ini dekat dengan kota Hazor, tujuan akhir Sisera untuk berlindung, dan juga sebab sangat sedikit kemungkinan tentara Israel akan mencoba menggeledah kemah seorang wanita untuk mencari pria asing sebab ini bertentangan dengan etika setempat. 202 Tetapi perhitungan Sisera justru berbalik 180 derajat, sebab “Yael, isteri Heber, mengambil patok kemah, diambilnya pula palu, mendekatinya diam-diam, lalu dilantaknyalah patok itu masuk ke dalam pelipisnya sampai tembus ke tanah sebab ia telah tidur nyenyak karena lelahnya maka matilah orang itu” (Hakim-Hakim 4:21 ITB). Seorang panglima perang yang gagah berani dan penindas Israel justru dipermalukan lewat kekalahan dan kematian di tangan wanita (Debora dan Yael). 203 Tidak berlebihan jika Niditch berkomentar bahwa “So Israel, lacking chariotry and relying on a war plan of tricksterism, gains the upper hand, and with God’s help turns

  201 Schneider, Judges, 68.

  202 Cundall dan Morris, Judges and Ruth, 88.

  out to be stronger than the enemy.” 204 Dalam kisah ini kemenangan perang juga tidak dilihat dari kekuatan militer, namun justru didasarkan pada pertolongan Allah yang menggunakan cara yang tidak biasa.

  Dalam bagian selanjutnya, penulis kitab Hakim-Hakim memberikan penekanan terhadap peristiwa perang dalam Hakim-Hakim 4-5 dengan membandingkannya terhadap perang dalam Keluaran 15. Dalam Hakim-Hakim 5 dicatat bentuk nyanyian kuno yang memiliki kesamaan tema sebagaimana dalam Keluaran 15. Nyanyian Debora menggemakan kembali tema Allah sebagai satria perang dalam Keluaran 15.

  Meskipun demikian, Niditch melihat ada perbedaan antara nyanyian Perang dalam Keluaran 15 dan Hakim-Hakim 5. Jika di dalam Keluaran 15 Allah secara khusus digambarkan menggunakan air, angin, dan lautan untuk meluluh lantakan pasukan Mesir, dalam bagian ini pahlawan-pahlawan Israel menjadi bagian penting bagi instrumen Allah dalam memenangkan peperangan. Dalam nyanyian Debora peran manusia mengambil bagian yang cukup penting dalam kolaborasi antara intervensi Allah dan inisiatif pahlawan-pahlawan Israel untuk merebut kemenangan. 205

  Nyanyian Hakim-Hakim juga menggambarkan bagaimana Allah menggunakan pribadi-pribadi yang tidak diduga. Debora ditampilkan mencolok bukan hanya sebagai nabi, namun juga sebagai ibu (Hakim-Hakim 5:7). Predikat ini sengaja dicantumkan untuk membandingkan Debora dengan ibu dari Sisera. 206 Debora dilukiskan sebagai seseorang yang bangkit dan maju berperang, bukan sebagai seorang ibu yang menanti

  204 Niditch, Judges, 67.

  205 Niditch, Judges, 76. Hal ini nampak dalam beberapa bagian di Hak. 5:2,6,7,8,12,13,14,15, dst.

  anak laki-lakinya pulang berperang. 207 Selain itu, penggunaan kata perintah aktif juga lebih sering dikenakan pada Debora, sebaliknya, Barak digambarkan lebih banyak menerima perintah baik dari Allah maupun Debora. Hal ini menunjukkan bagaimana peranan utama justru dipegang oleh Debora, seorang wanita, daripada Barak. 208

  Dalam Hakim-Hakim 5:6, penulis juga mengangkat nama Samgar dan Yael sebagai orang-orang non-Israel yang Allah pakai untuk menyelamatkan Israel. 209 Kehadiran pribadi-pribadi tak terduga ini disandingkan dengan tindakan Allah yang Maha Kuasa melalui alam ciptaan-Nya. Dalam Hak. 5:4-5 dikatakan “TUHAN, ketika Engkau bergerak dari Seir, ketika Engkau melangkah maju dari daerah Edom, bergoncanglah bumi, tirislah juga langit, juga awan tiris airnya; gunung-gunung yakni Sinai bergoyang di hadapan TUHAN, di hadapan TUHAN, Allah Israel.” Ini kembali menggambarkan Allah sebagai dewa petir yang juga terdapat dalam gambaran-gambaran Timur Dekat Kuno mengenai Marduk ataupun dewa-dewa dari beberapa bangsa lain. 210

  Hal yang sama juga dijabarkan Hakim-Hakim 5:20-21, yaitu bagaimana Allah berperang melalui bintang-bintang dan sungai. Dikatakan bahwa “Dari langit berperang bintang-bintang, dari peredarannya mereka memerangi Sisera. Sungai Kison menghanyutkan musuh, Kison, sungai yang terkenal dari dahulu kala itu. Majulah sekuat tenaga, hai jiwaku!” (Hakim-Hakim 5:20-21). Nama sungai Kison sengaja dicatat bukan untuk merujuk pada letak geografis namun pada sejarah penciptaan, dimana Allah yang

  207 Bdk. Antara Hak. 5:12-15 dengan Hak. 5:28-30.

  208 Schneider, Judges, 90. Bdk. Niditch, Judges, 78. Niditch menambahkan bahwa “Debora is the savior in the difficult times.... These are marginal times in which a woman can lead the men.”.

  209 Schneider, Judges, 88.

  mencipta juga adalah Allah yang berperang bagi Israel. Jadi perang dalam bagian ini juga mengusung pemahaman mengenai perang dalam dimensi kosmik, 211 di mana unsur manusia (human) dan unsur-unsur yang melampaui manusia (metahuman), seperti bintang dan sungai, bekerjasama di dalam perang kosmik ini.

  Sekalipun memiliki kesamaan dalam beberapa bagian mengenai peranan unsur yang tidak terduga dalam perang kosmik di Keluaran 15 dan Hakim-Hakim 5, Hakim- Hakim 5:8a memuat konsep perjanjian serta berkat dan kutuk seperti yang terdapat dalam Yosua 24:19-20 sebagai alasan perang terjadi. Peperangan dalam Hakim-Hakim 4-5 tidak hanya bernuansa politik namun juga teologis, dimana perang terjadi akibat ketidaksetiaan Israel terhadap perjanjian dengan Allah. Perang yang demikian memiliki dua buah aspek, yaitu aspek pembebasan dan aspek hukuman. 212 Aspek pembebasan berkaitan dengan tindakan Allah dalam kesetiaanNya terhadap umat pilihan-Nya, sedangkan aspek hukuman berkaitan dengan dosa Israel sebagai alasan munculnya serangan dari Raja Yabin dan Sisera.

  Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa konsep perang dalam Hakim-Hakim 4-5 memiliki nuansa kosmik dimana peperangan bukan hanya memakai instrumen manusia (human) namun juga unsur-unsur alam (metahuman). Selain itu, ada juga unsur- unsur yang tidak terduga, seperti kepemimpinan seorang wanita dan bantuan dari pihak- pihak non-Israel, menjadi bagian yang unik yang ditampilkan oleh Hakim-Hakim 4-5 sebagai sebuah presentasi kekuasaan dan cara Allah yang unik untuk menyelamatkan umat-Nya. Berbeda dengan perang-perang sebelumnya dalam kitab Keluaran atau

  211 Niditch, Judges, 80.

  Ulangan, perang dalam Hakim-Hakim 4-5 memuat unsur lain selain pembebasan, yaitu unsur hukuman (judgement) yang ditujukan bukan bagi bangsa lain namun justru bagi Israel. Dalam bagian ini ketidaksetiaan Israel terhadap perjanjian menjadi alasan munculnya perang dalam Hakim-Hakim 4-5 sebagai hukuman Allah bagi Israel. 213

  Kitab Sejarah Masa Kerajaan dan Pembuangan

  Masuknya Israel ke tanah Kanaan tidak serta merta menjadikan Israel memiliki kesadaran sebagai satu bangsa. Schmidt menjelaskan bahwa pada masa Hakim-Hakim, setelah pembagian tanah Kanaan, tiap suku nampaknya saling tidak terhubung dan membangun kehidupannya secara lokal, mereka saling melayani hanya dalam kaitan dengan ibadah dan persembahan di bukit-bukit pengorbanan. 214 Dalam kondisi ini, tidak mengherankan jika perang yang dilakukan oleh para Hakim seringkali bersifat lokal dan bertujuan untuk menyelamatkan penduduk lokal atau kelompok suku tertentu. Kondisi yang terjadi di masa Hakim-Hakim berubah cukup drastis karena beberapa pengaruh sosio-politik. Lasor mencatat bahwa pada masa setelah Hakim-Hakim, Israel yang saat itu menjadi kekuatan adikuasa di daerah Kanaan mendapatkan ancaman dengan bangkitnya kerajaan Filistin dengan persenjataan dan teknologi perang yang terbuat dari besi. 215 Selain bangkitnya Filistin, tekanan politik, baik lewat perang maupun kemajuan kekuatan militer penduduk sekitar Kanaan, pada sekitar tahun 1000 sM, memimpin pada

  213 Lih. Yos. 7. Unsur ini sebenarnya sudah muncul dalam kisah kekalahan Israel melawan Ai, dimana ketidaktaatan Akhan terhadap perintah Allah menjadi penyebab kekalahan Israel.

  214 Werner H. Schmidt, Old Testament Introduction (New York: Crossroad, 1990), 16-19.

  berdirinya kerajaan dan bentuk pemerintahan yang lebih baku. 216 Perubahan yang terjadi dari masa Hakim-Hakim hingga terbentuknya kerajaan Israel menyebabkan pergerakan pemikiran dan pemahaman mengenai perang. Dalam bagian ini, penulis merasa perlu menangkap dan mengungkapkan pergerakan pemahaman mengenai perang, dalam kitab 1 Samuel, 1 Raja-Raja, hingga Esther.

Kitab 1 Samuel

  Kitab Samuel adalah salah satu kitab penting yang mencatat perubahan bentuk pemerintahan Israel dari zaman Hakim-Hakim menuju pemerintahan monarki. Brueggemann menyebut perubahan yang terjadi pada masa Samuel sebagai bentuk perubahan sosial yang radikal dan drastis dalam pembentukan kembali suatu kekuatan sosial. 217 Dengan memahami bahwa kitab Samuel ditulis pada masa hidup Samuel maka tak bisa dipungkiri bahwa kitab Samuel juga memuat kondisi perubahan dari masa pre- monarki hingga masa kejayaan kerajaan Israel. 218

  216 Schmidt, Old Testament Introduction, 20.

  217 Walter Brueggemann, First and Second Samuel (Louisville, Kentucky: The Westminster John Knox, 1990), 1.

  218 Lih. Tony W. Cartledge, 1 and 2 Samuel (Macon, Georgia: Symth and Helwys, 2001), 4. Perdebatan kepenulisan kitab Samuel cukup rumit. Beberapa tradisi kuno mencoba mendukung

  kepenulisan dari Samuel sebagai penulis utama kitab ini, sedangkan beberapa informasi seperti kematian Samuel nampaknya ditambahkan selanjutnya oleh nabi Natan dan Gad. Bdk. Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 153, 156-157. Berbeda dengan pandangan tradisional, beberapa pandangan yang mendukung pendekatan kritik sumber menyatakan “Since Samuel is part of the Deuteronomic History, most scholars view the final stages of its composition as the work of editors-authors during the period of the exile”. Hal ini berhubungan dengan ada indikasi terhadap beberapa unsur teologis, seperti unsur anti-monarkial dan pesimisme pasca pembuangan, yang nampak pada literatur-literatur pembuangan. Meskipun demikian, pandangan ini juga memiliki kelemahan sebab, menurut Longman, asumsi anti-monarki sebenarnya juga dapat merujuk kepada kondisi transisi pra-monarki. Lih. Cartledge, 1 and 2 Samuel, 5. Oleh karena itu, penulis lebih setuju dengan pandangan Cartledge yang menyatakan bahwa sumber-sumber kepenulisan kitab Samuel nampaknya sudah terbentuk sejak zaman Samuel baik

  1 Samuel juga memberikan keterangan mengenai bagaimana peranan Allah dalam membentuk monarki Israel dan bahkan melindungi Israel. Salah satu bentuk kekuasaan Allah dan tindakan nyata Allah nampak pada 1 Samuel 4-6 yang seringkali dikenal sebagai narasi Tabut Perjanjian. 219 Kisah ini merupakan salah satu bagian penting dalam awal masa pemerintahan Samuel sebagai hakim atas Israel. Kisah ini juga merupakan salah satu bagian yang menarik dari sekian banyak kisah perang Israel sebab perang ini justru dilakukan dan dikerjakan oleh Allah secara pribadi melalui Tabut Perjanjian yang direbut oleh bangsa Filistin dari tangan Israel. Brueggemann menyatakan bahwa bagian ini sangat penting dipahami sebab kisah ini merupakan penggambaran dari tindakan Allah yang tak terlihat dan penuh kuasa, dimana hanya Tabut Perjanjian saja yang menjadi satu-satunya karakter yang bertindak dalam kisah peperangan ini. Oleh karenanya, Brueggemann menyebut bagian ini sebagai tindakan-tindakan Allah yang secara teologis bersifat “primitip”. 220 Cartledge juga menyatakan bahwa 1 Samuel 4-6 merupakan salah satu bagian kisah yang penting sebagai demonstrasi kemahakuasaan Allah Israel dibandingkan dengan dewa-dewa bangsa lain. 221

  mungkin dimulai sejak masa hidup Samuel, sekitar tahun 1050 sM, kemudian dilanjutkan melalui peredaksian hingga dalam bentuknya yang sekarang.

  219 Bdk. Brueggemann, First and Second Samuel, 28-48; Robert P. Gordon, 1 and 2 Samuel (Sheffield, South Yorkshire: Sheffield Academic, 1993), 33-37; Cartledge, 1 and 2 Samuel, 69-70.

  220 Brueggemann, First and Second Samuel, 28-29. Theologically “primitive” of Yahweh acts merupakan sebuah pemahaman teologis kuno dimana Allah secara langsung bertindak melalui caranya

  yang ajaib tanpa perantara agen atau pihak kedua untuk melakukan tindakan hukuman ataupun pembebasan. Hal ini sebagaimana dipahami dalam konsep agama kuno bahwa para ilah atau dewa dapat bertindak melalui alam atau kekuatan supranatural lainnya, seperti Baal dengan kekuatan petir, Ra dengan kekuatan matahari, dan osiris dengan kekuatan air.

  221 Cartledge, 1 and 2 Samuel, 69.

  Eksposisi 1 Samuel 4-6.

  1 Samuel 4-6 dibuka dengan berita kekalahan Israel dalam perang melawan Filistin. Sekalipun hasil dari peperangan ini dicatat dengan jelas, namun penulis kisah ini tidak memberikan indikasi mengenai penyebab terjadinya perang antara Filistin dan Israel. Bible Background Commentary menyatakan bahwa kemungkinan besar bangsa Filistin terbentuk pasca invasi militer Mesir sekitar tahun 1200 sM, dimana sebagian penduduk Kreta, Yunani, dan Anatolia yang bermarkas di Siprus menyingkir menuju daerah selatan Palestina dan membentuk sebuah komunitas baru. 222 Dengan menguasai lima kota besar di sebelah selatan Palestina, Filistin pada masa itu merupakan salah satu kerajaan yang cukup diperhitungkan di daerah Timur Tengah.

  Sejarah permusuhan yang panjang antara Israel dan Filistin sudah di mulai pada masa Yosua dan Hakim-Hakim. 223 Letak geografis Israel yang strategis menjadikannya salah satu jalur perdagangan yang cukup ramai dilalui jika ingin menuju Mesir dari Mesopotamia, demikian pula sebaliknya. 224 Peperangan yang kerap terjadi antara Israel, Filistin, dan bangsa-bangsa sekitarnya, tidak terlepas dari kepentingan politik untuk menguasai jalur perdagangan ini. Ditambah lagi janji Allah yang menyatakan bahwa “Aku akan menentukan batas daerahmu dari Laut Teberau sampai Laut Filistin dan dari padang gurun sampai sungai Efrat, sebab Aku akan menyerahkan penduduk negeri itu ke dalam tanganmu, sehingga engkau menghalau mereka dari depanmu” (Keluaran 23:31).

  222 Walton, Matthews, dan Chavalas, The IVP Bible Background Commentary, 285.

  223 Brueggemann, First and Second Samuel, 29.

  224 Philip J. King dan Lawrence E. Stager, Kehidupan orang Israel Alkitabiah, terj. Robert Setio

  Penulis tidak memberi alasan atau penyebab perang dalam 1 Samuel 4-6 karena ia ingin memfokuskan pada Tabut Allah dalam peristiwa ini. 225 Hal ini dibuktikan dari kehadiran Tabut Allah memenuhi keseluruhan pasal 4 hingga 6 dari kitab 1 Samuel. Dalam 1 Samuel 4:1b-3 dikisahkan bagaimana Israel kalah dalam peperangan melawan Filistin. Kekalahan ini membangkitkan pemikiran para tua-tua bangsa Israel untuk mengikutsertakan Allah dalam peperangan.

  Di sini tampak sebuah kesadaran bahwa kekalahan bangsa Israel atas Filistin disebabkan oleh ketidakhadiran Allah dan bukan karena kekuatan militer Filistin. Dalam pemahaman Israel kuno, kehadiran Allah seringkali dihubungkan dengan kehadiran tabut Perjanjian. Brueggemann menyatakan bahwa “The ark is trusted by Israel as an emblem and embodiment of divine power, which will surely turn the battle in their favor.” 226

  Korelasi antara tabut Perjanjian dan kehadiran Allah nampaknya juga dipahami bangsa-bangsa non-Israel. Hal ini dibuktikan dengan penyataan dalam 1 Samuel 4:6b-7a, “Ketika diketahui mereka, bahwa tabut TUHAN telah sampai ke perkemahan itu, ketakutanlah orang Filistin, sebab kata mereka: ‘Allah mereka telah datang ke perkemahan itu,’” Hal ini tidak mengherankan sebab Walton menyatakan

  In the divine warrior motif the deity is fighting the battles and defeating the deities of the enemy. In Assyria Nergal is the king of battle, and Ishtar is viewed as a war goddess. The Canaanite Baal and the Babylonian Marduk are divine warriors.... In most situation prayers would be made and omens asked to assure the god’s presence. Standards or statues of the deity were ussually carried to symbolize their presence. 227

  225 Hans Wilhelm Hertzberg, 1 and 2 Samuel (Philadelphia, Pennsylvania: The Westminster Press, 1964), 47.

  226 Brueggemann, First and Second Samuel, 30.

  227 Walton, Matthews, dan Chavalas, The IVP Bible Background Commentary: Old Testament,

  Sekalipun tabut Perjanjian hadir di tengah Israel dan membawa kegentaran bagi bangsa Filistin (ayat 7), ironisnya penulis justru mengisahkan bahwa kekalahan Israel jauh besar saat Tabut Perjanjian hadir di tengah mereka (ayat10). Kekalahan ini memunculkan sebuah permasalahan teologis tersendiri bagi umat Israel, sebab dalam pemahaman Israel masa itu, kehadiran Allah menjadi jaminan dari kemenangan. Akan tetapi, dalam bagian ini kehadiran Allah melalui tabut Perjanjian tidak merubah hasil perang, sehingga kekalahan dalam perang tidak dapat selamanya dipahami sebagai korelasi dari ketidak-hadiran Allah. Dalam hal ini kemenangan atau kekalahan dalam perang, agaknya, dipahami lebih sebagai bagian dari kehendak Allah. 228

  Penulis menggambarkan kondisi ini berbeda dengan kisah perang yang terjadi sebelumnya, dimana Allah selalu memberikan kemenangan dan menyatakan kehadiran serta pimpinan-Nya lewat representasi tabut Perjanjian di depan umat Israel. Keluarnya Israel dari tanah Mesir, pertempuran melawan Amalek, juga runtuhnya tembok Yerikho menjadi bukti nyata kehadiran Allah dalam representasi tabut Perjanjian. Sedangkan dalam bagian ini, kehadiran Tabut Perjanjian bukan hanya tidak mengubah kondisi apapun namun justru memberikan kekalahan yang lebih besar bagi pihak Israel.

  Ekspresi kekalahan ini diwakili secara unik oleh perkataan dari seorang wanita yang tak bernama, istri Pinehas, dimana ia memberikan nama anaknya Ikabod yang berarti "Telah lenyap kemuliaan dari Israel". Hal ini terkait dengan peristiwa dirampasnya Tabut Perjanjian bagi Israel juga berarti hilangnya kemuliaan Allah di Ekspresi kekalahan ini diwakili secara unik oleh perkataan dari seorang wanita yang tak bernama, istri Pinehas, dimana ia memberikan nama anaknya Ikabod yang berarti "Telah lenyap kemuliaan dari Israel". Hal ini terkait dengan peristiwa dirampasnya Tabut Perjanjian bagi Israel juga berarti hilangnya kemuliaan Allah di

  Melalui kisah ini, Allah ingin mengajarkan bahwa keberadaan-Nya tidak terikat oleh sesuatu yang bersifat jasmani. Allah adalah pribadi yang independen, yang dapat berkehendak dan bertindak terlepas dari semua ikatan pemahaman manusia. “Israel must recognize that the Lord is present even when the place of his self-revelation has vanished. 230 ” Poin ini menjadi sebuah perkembangan dari pemahaman Alkitab mengenai kehadiran Allah dalam perang.

  Dalam 1 Samuel 5:1-2 dapat dikatakan bahwa bangsa Filistin memaknai kemenangan perang atas Israel sebagai kemenangan perang Dagon atas Yahweh. Brueggemann menambahkan bahwa “placing the ark next to Dagon shows a dramatic submission of Yahweh to Dagon.” 231 Akan tetapi di bagian selanjutnya, penulis secara unik justru membalikkan gambaran ini dengan menjelaskan bagaimana Allah sendiri yang berperang melawan Dagon dan bangsa Filistin secara luar biasa. Dalam 1 Samuel 5 ada 3 bagian dimana secara eksplisit penulis menggambarkan cara Allah memerangi bangsa Filistin. Pertama dalam 1 Samuel 5:3 dikatakan “Ketika orang-orang Asdod bangun pagi-pagi pada keesokan harinya, tampaklah Dagon terjatuh dengan mukanya ke tanah di hadapan tabut TUHAN; lalu mereka mengambil Dagon dan mengembalikannya ke tempatnya” (1Samuel 5:3 ITB). Bagian ini ingin membalikkan konsep Allah Yahweh

  229 Hertzberg, 1 and 2 Samuel, 50.

  230 Hertzberg, 1 and 2 Samuel, 51.

  231 Brueggemann, First and Second Samuel, 35.

  sebagai Allah yang ditaklukkan oleh Dagon. Hertzberg menyatakan “The statue of Dagon is found the next morning lying on its face, in the attitude of a slave before his master, a vassal before his king, or a worshipper before his god.” 232

  Keith Bodner menghubungkan bagian ini dengan perintah Allah dalam Keluaran 20:3, “Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku” sebagai sebuah tanda bahwa hancurnya patung Dagon adalah bukti tidak adanya Allah lain yang sanggup disandingkan bersama dengan Yahweh. 233 Kondisi patung Dagon yang kepala dan tangannya terpenggal memberikan gambaran akan ketidakberdayaan dari Dagon. Gambaran serupa juga ditemukan dalam teks Ugarit, dimana dewi Anat membawa kepala dan tangan yang terpenggal dari musuh-musuhnya sebagai bukti kekuasaan Anat dalam perang. 234 Hal ini seperti membalikkan kebanggaan Filistin terhadap kemenangan perang mereka atas Israel, serta menunjukkan kepada mereka ketidakberdayaan Dagon dihadapan Allah Yahweh.

  Dalam 1Samuel 5:6, Allah bukan hanya berhadapan dengan Dagon, namun secara khusus Allah Yahweh menyatakan kuasanya atas orang Filistin melalui tulah yang mengingatkan pada peristiwa tulah di Mesir. Frasa “tangan TUHAN” dalam bagian ini setara dengan frasa “tangan Allah” dalam Keluaran 8:19 ketika Allah memberikan tulah atas Mesir. Selain itu, frasa “tangan TUHAN” juga menyatakan ironi dimana Allah Yahweh yang tabut-Nya direbut dari Israel adalah Allah yang berkuasa memberikan

  232 Hertzberg, 1 and 2 Samuel, 54.

  233 Keith Bodner, 1 Samuel (Sheffield, South Yorkshire: The Sheffield Phoenix, 2009), 52.

  234 Walton, Matthews, dan Chavalas, The IVP Bible Background Commentary, 287.

  hukuman bagi Filistin, sedangkan dari Dagon yang sebelumnya diagungkan dalam kemenangan perang adalah allah yang tak mampu menolong Filistin; allah yang “tanpa tangan”. 235 Tiga kali kekalahan Dagon di Asdod, Gath, dan Ekron menunjukkan bahwa Allah Yahweh adalah pemenang sesungguhnya. 236 Hal ini juda dibuktikan melalui pengembalian Tabut Perjanjian dalam 1Samuel 6:2 sebagai pengakuan Filistin akan ketidakmampuan mereka, termasuk di dalamnya pengakuan akan kekalahan. 237

  Lebih lanjut, penulis menjelaskan bahwa kekalahan yang dialami oleh bangsa Filistin sesungguhnya jauh lebih besar dibandingkan kekalahan yang dialami oleh Israel. Dalam 1Samuel 6:4-5 penulis menyatakan bahwa kekalahan Filistin bukan hanya dirasakan oleh orang-orang Filistin namun juga oleh alam. 238 Hal ini juga mengungkapkan kembali pola keluarnya Israel dari tanah Mesir dimana saat itu Mesir juga mengalami kekalahan secara holistik, baik dialami oleh orang Mesir maupun alam di Mesir.

  Pola keluaran ini semakin dikuatkan dengan pernyataan dalam 1Samuel 6:6 yang secara eksplisit menyinggung langsung kejadian di Mesir. Penyataan para peramal Filistin untuk jangan mengeraskan hati lagi menunjukkan sebuah sebuah penghormatan dan ketaatan yang seharusnya diberikan oleh orang Filistin kepada Allah Perjanjian. Penyataan hormat yang diberikan secara langsung oleh orang-orang Filistin pada Allah

  235 Brueggemann, First and Second Samuel, 38.

  236 Hertzberg, 1 and 2 Samuel, 55.

  237 Hertzberg, 1 and 2 Samuel, 57.

  238 Hertzberg, 1 and 2 Samuel, 58.

  Yahweh menjadi sebuah ironi terhadap sikap umat Israel sebagai umat Perjanjian justru tidak memprioritaskan dan menghargai Allah. 239

  Selain pola Keluaran, Brueggemann secara khusus juga melihat bahwa perang dalam 1Samuel 4-6 juga menunjukkan pola baru yang muncul dalam perkembangan pemahaman perang, yaitu pola pembuangan. Keluarnya Tabut Perjanjian dari Filistin dengan menggunakan kereta yang ditarik oleh sepasang lembu dan membawa banyak persembahan dari bangsa Filistin bukan hanya menunjukkan sebuah bentuk penyambutan atas pahlawan yang memenangkan peperangan, namun juga membawa motif pembuangan dimana tabut Perjanjian selama 7 bulan ada dalam masa pembuangan di tanah Filistin dan kini pulang dengan kemenangan Ilahi. 240 Hal ini menunjukkan bahwa Allah sesungguhnya tidak pernah diam. Kekalahan Israel merupakan bagian dari kehendak Allah untuk mendidik umat Israel serta menentang pola berpikir bangsa Filistin. Selain itu, bagian ini juga menjadi gambaran tentang apa yang akan terjadi atas Israel dalam ketidaktaatan mereka dan pengharapan bagi Israel karena Allah tidak akan selamanya membiarkan mereka dalam pembuangan, namun akan membawa umat-Nya kembali dari pembuangan.

  Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa konsep perang dalam bagian 1Samuel 4-6 berhubungan erat dengan independensi Allah. Bahwasannya Allah adalah pribadi yang tidak terikat oleh ruang, waktu, atau benda apapun. Ia adalah pribadi yang berkehendak dan aktif; Ia bukan Allah yang diam atau tidak memiliki kuasa (“tidak bertangan”). Melalui pola “keluaran” dan “pembuangan”, penulis secara sengaja

  239 Bodner, 1 Samuel, 57.

  menunjukkan bagaimana peperangan yang sesungguhnya dilakukan oleh Allah secara pribadi. Inisiatif dan strategi perang bukanlah diambil oleh manusia (1Samuel 4:2-3), namun oleh Allah sebagai pemimpin perang dan pemenang yang sejati.

Kitab 1 Raja-Raja

  Kejayaan Israel mencapai puncaknya di masa pemerintahan Salomo, dimana Bait Allah dibangun dan kekuasaan Israel semakin meluas hingga ke Mesir. Meskipun masa kejayaan Salomo begitu indah, namun benih perpecahan muncul pada akhir masa pemerintahannya dan berujung pada terpecahnya kerajaan menjadi dua, yaitu Israel Utara dan Selatan. Perpecahan Israel sebagai ujung perubahan kondisi politik dari masa kejayaan Salomo hingga pemberontakan Yerobeam inilah yang dilukiskan dalam kitab Raja-Raja.

  Menurut Schmidt, kondisi yang tak akur antara Israel bagian Utara dan Selatan memang sudah lama ada, namun hal ini dapat diredam pada masa pemerintahan Daud dan masa kejayaan Salomo. 241 Pergolakan ini muncul di masa akhir pemerintahan Salomo, di mana beberapa suku Utara tidak dapat menerima kebijakan Salomo yang membuat mereka bekerja keras membangun kubu-kubu pertahanan. Hal ini diperburuk oleh kecerobohan dan ambisi Rehabeam yang membuat mereka memberontak di bawah pimpinan Yerobeam. 242 Pemberontakan inilah yang kemudian menjadikan Israel terpecah menjadi kerajaan Utara dan Selatan.

  241 Schmidt, Old Testament Introduction, 21-22.

  242 Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 366-67.

  Ada beberapa pandangan mengenai proses pembentukan dan waktu kepenulisan kitab 1 dan 2 Raja-Raja. Menurut pandangan Yahudi dikatakan bahwa kitab Raja-Raja ditulis oleh Yeremia di masa-masa kehancuran Yerusalem hingga masa pembuangan. Tradisi Yahudi mengidentifikasi Yeremia sebagai penulis kitab Raja-Raja. Dalam Talmud (Baba’ Bathra 15a) melaporkan bahwa Yeremia mulai aktif menulis kitab Raja- Raja dan Ratapan dalam masa kehancuran Yerusalem. 243 Masa kepenulisan ini juga diperkuat oleh analisa Nelson bahwa kemungkinan besar kitab ini ditulis di pembuangan, pada masa pemerintahan Nabonidus (555-539 B.C). 244 Menurut Longman, kitab ini mengalami redaksi ganda, pertama pada masa Yosia dan kemudian pada masa pembuangan. 245 Melihat beberapa argumen di atas, dapat dikatakan bahwa kitab Raja- Raja ditulis paling lambat di masa pembuangan di Babilonia, walaupun para ahli tidak dapat memastikan siapa yang menulisnya.

  Kitab 1Raja-Raja mengisahkan jatuh bangunnya kerajaan Israel, baik Utara maupun Selatan, untuk menyampaikan makna teologis tertentu. Menurut Laffey, salah satu tema kuat yang hendak disampaikan dari kitab 1Raja-Raja adalah bahwa kesetiaan atau ketidaksetiaan kepada Yahweh membawa konsekuensi bagi naik turunnya kondisi Kerajaan Israel, 246 yang juga berhubungan dengan konsep perang dalam kitab ini.

  243 Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 168.

  244 Richard Nelson, First and Second Kings (Louisville, Kentucky: John Knox, 1987), 4.

  245 Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 172-173.

  246 Alice L. Laffey, First and Second Kings (Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1944),

  Salah satu bagian yang memberikan petunjuk kuat mengenai konsep perang di dalam kitab 1Raja-Raja adalah kisah kekalahan Ahab dalam pasal 22 22:1-40 sebagai “the highly complex narrative and enriched variety of prophetic genres about the holy war.” 247 Keunikan perang dalam narasi ini adalah perlawanan Mikha terhadap nabi-nabi palsu Ahab tentang apa yang akan terjadi dalam peperangan melawan Aram. Peranan Mikha sebagai nabi yang menyampaikan suara dan perintah Allah dalam perang menjadi salah satu aspek penting untuk memahami konsep perang di dalam Alkitab. 248 Oleh karena beberapa alasan kesejarahan dan teologis inilah maka penulis memilih teks ini untuk menunjukkan pergerakan konsep yang terjadi mengenai perang di dalam Alkitab.

Eksposisi 1Raja-Raja 22:1-40

  1Raja-Raja 22:1-40 adalah bagian dari kisah kehidupan Ahab sebagai raja Yehuda (1Raja-Raja 20-22), yang secara khusus mencatat mengenai kematian Ahab. Kisah kematian Ahab ditulis secara menarik dalam pola simetris berikut: 249

  A Persiapan Ahab di Samaria

  ayat 1-4

  Ramalan Penghakiman

  ayat 5-28

  B Strategi Ahab

  ayat 29-31

  C Peperangan

  ayat 32-34

  B’

  Kematian Ahab

  ayat 35-36

  A’

  Acara Penguburan Ahab di Samaria

  ayat 37-38

  Tampak bahwa perang sebagai penggenapan nubuat menjadi fokus pada dari teks ini.

  247 Nelson, First and Second King, 145.

  248 Robert Alter, Ancient Israel: The Former Prophets: Joshua, Judges, Samuel, and Kings (New York: W. W. Norton, 2014), 578.

  249 Jerome T. Walsh, 1 Kings (Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1996), 342. Poin Ramalan penghakiman menjadi bagian interupsi dari bentuk kiastik teks 1 Raj. 22. Walsh menempatkan

  bagian ini sebagai penekanan utama dari teks 1 Raj. 22, sedangkan bagian C dilihat sebagai penggenapan

  Dalam bagian awal dari teks ini dikatakan bagaimana kondisi saat itu antara Israel dan Aram sesungguhnya dalam kondisi yang aman dan damai (1Raja-Raja. 22:1). Kondisi ini berhubungan dengan perjanjian yang dibentuk oleh Ahab dan raja Aram dalam 1Raja-Raja 20:34. Akan tetapi, setelah masa tiga tahun itu, Ahab justru berupaya untuk mengingkari perjanjian tersebut dan mengambil alih Ramoth-Gilead dari tangan Aram. Simon J. DeVries melihat motif Ahab untuk merebut tanah tersebut sebagai masalah politik murni sebab, secara geografis, Ramoth-Gilead adalah benteng pertahanan terbesar di sebelah timur laut. 250 Dengan menguasai Ramoth-Gilead, Ahab akan dapat memperluas wilayahnya dan memperkuat kerajaan Israel. Perang ini juga menguntungkan bagi Yosafat, raja Yehuda, untuk mempersatukan kekuatan militer Israel dan Yehuda, serta menumbuhkan kerjasama dengan Israel sebagai kerajaan yang lebih kuat di masa itu dibandingkan Yehuda. 251 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa baik Israel maupun Yehuda sama-sama bermotif politik dalam perang ini.

  Berawal dari rencana peperangan inisiatif Ahab, kisah ini tiba-tiba beralih menjadi sebuah narasi tentang nubuat hukuman bagi Ahab. Perubahan ini diawali dengan sebuah permintaan dari raja Yosafat sebelum menyerang ke Aram, “Baiklah tanyakan dahulu firman TUHAN” (1Raja-Raja 22:5). Menjawab permintaan ini, Ahab mendatangkan 400 nabi-nabi Asherah sebab 400 nabi Baalnya telah dibunuh oleh Elia (1Raja-Raja 18). 252 Hal ini bertentangan dengan permintaan Yosafat yang meminta

  250 Simon J. DeVries, 1 Kings (Waco, Texas: Word Books, 1985), 266.

  251 Walter Brueggemann, 1 and 2 Kings (Macon, Georgia: Smyth and Helwys, 2000), 267.

  252 Walsh, 1 Kings, 345.

  petunjuk dari YHWH. Oleh sebab itu, dalam bagian selanjutnya Yosafat mempertanyakan kepada Ahab adakah nabi YHWH di Israel, dan dipanggillah Mikha atas desakan dari Yosafat.

  Di antara desakan Yosafat untuk memanggil Mikha dan kehadiran nabi Mikha di hadapan raja Ahab dan Yosafat, disisipkan sebuah cerita mengenai Zedekia, salah seorang nabi Ahab yang “membuat tanduk-tanduk besi, lalu berkata: ‘Beginilah firman TUHAN: Dengan ini engkau akan menanduk Aram sampai engkau menghabiskan mereka’” (1Raja-Raja 22:11). Tindakan simbolik Zedekia merupakan salah satu tradisi profetik Israel kuno untuk menjamin bahwa ramalan mereka adalah inspirasi Ilahi. 253 Keberanian Zedekia memberi simbolisasi profetik ini merupakan bagian upaya nabi-nabi Ahab untuk menguatkan niat Ahab dan Yosafat menyerang Aram.

  Dengan sengaja, narator mengasosiasikan tindakan simbolik Zedekia dengan nubuatan dari para nabi Ahab yang ia wakili, dan membandingkannya dengan kehadiran dari Mikha sebagai perwakilan nabi TUHAN. Frasa "Demi TUHAN yang hidup” (1Raja- Raja 22:14) memberi penekanan bahwa, secara otentik, Mikha hanya menyampaikan apa yang TUHAN katakan padanya, 254 dan, dengan demikian, membedakan Mikha dari nabi- nabi Ahab yang lain, termasuk Zedekia. Sekalipun nubuatan Mikha pada ayat 15 tampak mendukung nubuatan dari para nabi Ahab, ayat 15-16 justru menunjukkan ironi Ahab yang sesungguhnya mengerti bahwa nubuat para nabinya adalah nubuat palsu. 255 Oleh

  253 Walsh, 1 Kings, 347.

  254 Marvin A. Sweeney, 1 and 2 Kings (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 2007),

  255 Terence E. Fretheim, First and Second Kings (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 1999), 124.

  sebab itu, ketika Mikha kemudian menyampaikan apa yang sesungguhnya Allah kehendaki, ia jelas bertentangan dengan posisi Ahab dan para nabinya. Hal ini tampak dari pernyataan Ahab tentang nubuatan Mikha, “Bukankah telah kukatakan kepadamu: Tidak pernah ia menubuatkan yang baik tentang aku, melainkan hanya malapetaka?” (1Raja-Raja 22:18).

  Ironi lain tersaji pada kisah kematian Ahab. Dalam 1Raja-Raja 22:30 terlihat bahwa, meski Ahab tidak menyukai nubuat Mikha tentang kematiannya, namun ia sendiri memandang nubuat itu dengan serius. Jadilah Ahab secara khusus menyamar agar ia tidak menjadi target pasukan musuh. Ironi ini dipertegas oleh kematian Ahab yang disebabkan oleh panah nyasar yang ditembakkan sembarangan oleh pasukan Aram.

  Tragedi Ahab masih berlanjut setelah kematiannya. Pada ayat 38 dikatakan bahwa darah Ahab dijilati oleh anjing, sedangkan perempuan-perempuan sundal mandi di sana. Ironi-ironi ini menunjukkan bagaimana Allah berintervensi untuk mengakhiri kepemimpinan Ahab atas Israel. 256 Allah sengaja menjadikan pertempuran yang berintensi untuk mendapatkan kuasa justru mengakhiri kekuasaan Ahab (1 Raja-Raja 22:20-23), bahkan nyawanya dalam peperangan. Tidak berlebihan jika Brueggemann melihat bahwa kisah pertempuran ini sebagai perang intensi antara Ahab dan Allah. 257 Walsh melihat bagian ini bukan sebagai catatan tragedi kematian seorang Raja Israel, namun sebagai cara Allah untuk menghancurkan Ahab. 258

  256 Sweeney, 1 and 2 Kings, 260-61.

  257 Brueggemann, 1 and 2 Kings, 275-76.

  Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peperangan dalam 1 Raja-Raja 22:1-

  40 adalah peperangan Allah melawan Ahab, dan bukan peperangan Israel melawan Aram. Di sini kita dapat melihat bahwa peperangan Allah bukan hanya ditujukan untuk melawan bangsa-bangsa di luar Israel, namun juga berperang melawan umat-Nya sendiri. Peperangan sedemikian terjadi dalam konteks penghakiman dan penghukuman.

Kitab Ester

  Kehancuran Kerajaan Israel pada masa pemerintahan Hosea, kejatuhan Yehuda pada masa Zedekia, dan berakhirnya kerajaan Yehuda di tangan Yoyakhin menjadi akhir kejayaan Israel dalam kancah politik Timur Dekat Kuno. Pembuangan ke Babel menandai hukuman berat atas ketidaksetiaan Israel kepada Allah Yahweh. Meski demikian, perjanjian Allah dengan umat manusia tidak berakhir. Kitab Ester menjadi saksi bagaimana Allah tetap menjaga umatNya di tanah pengasingan.

  Kitab Ester secara umum mengambil konteks sejarah abad kelima sebelum Masehi di Babilonia pada masa pemerintahan Raja Ahasyweros (486–465 sM). 259 Kitab ini mendapat tempat yang spesial, dalam kanon Yahudi sedemikian sehingga Maimonides menyatakan bahwa “when all the rest of the Old Testament Canon would pass away in the days of the coming of the Messiah, Esther and the Pentateuch would still remain.” 260

  259 Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 451.

  260 Archibald Henry Sayce, Introduction to the Books of Ezra, Nehemia, and Esther (London, England: The Religious Tract Society, 1889), 100.

  Menurut tradisi, kemungkinan besar buku ini ditulis pada masa yang sama dengan waktu terjadinya peristiwa yang diceritakannya. Hal ini dikuatkan oleh catatan sejarah dan muatan teologis yang dekat dengan kondisi pada masa pembuangan. Lasor mencatat bahwa, meskipun beberapa pandangan mencoba menolak historisitas dari kisah Ester, tidak bisa disangkali bahwa catatan mengenai kondisi kerajaan Persia yang termuat dalam kitab ini sangat akurat. 261

  Selain akurasi data yang digambarkan dalam kitab Ester, kitab ini juga memuat asal usul dari salah satu festival penting dalam keagamaan Yahudi, yaitu festival Purim. Timothy K. Beal menyatakan bahwa tanpa memahami kitab Ester, maka makna festival Purim terasa aneh dan dibuat-buat. 262 Jika ditilik lebih jauh, festival Purim memiliki makna teologis yang mendalam sebagai perayaan atas perlindungan Allah terhadap gerakan anti Yahudi yang dimulai oleh Haman. Dalam kisah inilah, Israel berperang untuk mempertahankan diri melawan orang-orang yang hendak membunuh dan melenyapkan mereka (pasal 8-9). Oleh alasan ini, penting bagi kita untuk melihat konsep perang dalam kedua pasal ini sebagai bagian dari catatan peperangan dalam Alkitab.

Eksposisi Ester 8-9

  Satu-satunya peristiwa yang mungkin dapat dikategorikan sebagai perang dalam kitab Ester terdapat pada pasal 8-9. Pasal-pasal ini juga merupakan titik balik kejahatan

  261 Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, 452-53.

  262 Tod Linafelt dan Timothy K. Beal, Ruth and Esther (Collegeville, Minnesota: The Liturgical Press, 1999), ix-x.

  Haman terhadap bangsa Yahudi. Secara garis besar kitab Ester memiliki struktur cerita sebagai berikut: 263

  Ester 1-2

  Pembuka cerita (Ester menjadi Ratu) Ester 3 Perintah Haman untuk menghancurkan bangsa Yahudi

  Ester 3:15c-4:3 Reaksi atas surat perintah Haman Ester 4:4-17 Permintaan Mordekhai kepada Ester

  Ester 5:1-8 Perjamuan Ester yang pertama, Haman

  meninggikan diri Ester 5:9-14 Rencana Haman membunuh Mordekhai Ester 6:1-13 Mordekhai mendapat hormat Raja

  Ester 6:14-7:10 Kejatuhan Haman Ester 8:1-15a Perintah Ester untuk bangsa Yahudi mempertahankan diri

  Ester 8:15b-17 Reaksi atas surat perintah Ester

  Ester 9:1-19 Berakhirnya kebencian terhadap orang Yahudi Ester 9:20-10:3

  Hari Raya Purim

  Dalam struktur ini, nampak jelas bahwa perikop Ester 8 dan 9 berhubungan erat dengan Ester 1-4 yang merupakan bagian awal permasalahan. Dalam hal ini, Ester 8-9 adalah bagian solusi dari permasalahandi atas.

  Masalah utama yang dalam kitab Ester adalah ancaman genosida oleh Haman, salah seorang pejabat tinggi kerajaan Persia. Ester 3:6 menyatakan “tetapi ia menganggap dirinya terlalu hina untuk membunuh hanya Mordekhai saja, karena orang telah memberitahukan kepadanya kebangsaan Mordekhai itu. Jadi Haman mencari ikhtiar memunahkan semua orang Yahudi, yakni bangsa Mordekhai itu, di seluruh kerajaan Ahasyweros” (Ester 3:6). Masalah ini awalnya dipicu oleh problem personal antara Haman dan Mordekhai, yang kemudian menguak dendam bersejarah antara Amalek dan Israel. Marvin Breneman melihat penolakan Mordekhai untuk memberi hormat pada Haman sebagai bentuk ketaatan terhadap Taurat, sedangkan kebencian Haman berakar

  263 bdk. Agus Santoso, Tafsir Kitab Ester: Akan Ada Pertolongan dan Kelepasan (Bandung: Bina 263 bdk. Agus Santoso, Tafsir Kitab Ester: Akan Ada Pertolongan dan Kelepasan (Bandung: Bina

  Masa kekuasaan Haman mulai mengalami kejatuhan pada pasal 6, di mana keinginan Haman untuk menggantung Mordekhai justru berbalik ketika Ahasyweros, tanpa disangka memberi penghormatan kepada Mordekhai atas jasanya menyelamatkan raja (Ester 6:1-13). Kejatuhan Haman sebelumnya sudah diperingatkan oleh istrinya Zeresh (Ester 6:13) dan mencapai klimaks pada pasal 7, di mana Haman kemudian dihukum oleh raja dan disulakan di tiang yang ia siapkan untuk Mordekhai (Ester 7:9). Meski demikian, karena kematian Haman tidak menghentikan surat perintah untuk menghapuskan bangsa Yahudi dari seluruh daerah Persia, maka pasal 8-9 menghadirkan solusi bagi permasalahan yang belum selesai ini.

  Ester 8 diawali dengan pengangkatan Mordekhai oleh Ester. Kewenangan Mordekhai atas seluruh harta Haman serta tambahan frasa “musuh orang Yahudi” bukan hanya menandai kemenangan Mordekhai atas Haman, namun juga kemenangan umat Yahudi atas Amalek. 265 Dalam bagian ini, kekuasaan tidak lagi berada ditangan Haman namun berpindah pada Mordekhai. Dan sebagai penguasa baru, Ester dan Mordekhai sadar bahwa surat perintah yang dikeluarkan Haman bersifat mengikat, oleh sebab itu

  264 Mervin Breneman, Ezra, Nehemia, and Esther (Nashville, Tennessee: Broadman and Holman, 1993), 328.

  Ester dan Haman juga memberikan perintah baru yang untuk melawan surat perintah Haman.

  Surat perintah Mordekhai memiliki nuansa yang mirip dengan surat perintah Haman (Ester 8:11-12). Dalam surat perintah ini, Mordekhai mengijinkan bangsa Yahudi untuk memusnahkan dan membinasakan, baik tentara maupun anak-anak yang menyerang mereka. Perbedaannya, jika surat Haman lebih bersifat menyerang, surat Mordekhai lebih bersifat bertahan.

  Hak untuk mempertahankan diri adalah sesuatu yang signifikan yang tidak hanya berkaitan dengan respon atas surat Haman namun lebih mengakar pada konsep keadilan retributif dalam tradisi Hikmat Yahudi. 266 Keadilan retributif yang dimaksud di sini adalah sebuah bentuk keadilan dimana bangsa Yahudi diperbolehkan untuk melakukan upaya yang sama dengan bangsa-bangsa yang hendak menyerang mereka sebagai bentuk pertahanan diri. Karena itu, syarat pada perintah Mordekhai membatasi respon pada mereka yang hendak menyerang atau merampas harta umat Yahudi (Ester 8:11).

  Keadilan retributif tidak seharusnya dilihat dari sudut pandang pembalasan dendam, melainkan dalam isu keunggulan politik. 267 Keunggulan politik umat Yahudi atas Haman dan sekutunya nampak bukan hanya pada pengangkatan Mordekhai, namun juga pada respon bangsa-bangsa lain yang memutuskan untuk menjadi Yahudi dan pembesar-pembesar kota yang berbalik mendukung Mordekhai dan bangsa Yahudi (Est er 9:3). Keunggulan politik Mordekhai bukan sekedar membawa dampak teologis namun

  266 Carey A. Moore, Esther (New York: Doubleday, 1971), 81.

  juga misiologis, dimana banyak orang yang bukan umat Allah kini berubah menjadi umat Allah.

  Menurut Dr. Agus Santoso, semua ini terjadi karena ketakutan Mordekhai telah menimpa mereka. Kata pakhad pada pasal 8:17 , berarti suatu ketakutan yang timbul

  akibat kekuatan dari pihak lain, yakni dari Mordekhai. 268 Kata yang sama juga digunakan dalam 2Tawarikh 20:29 untuk menegaskan deklarasi misiologis pada konsep perang.

  dimana perang bukan saja menjadi bagian dari deklarasi kekuatan Allah namun juga menjadi bagian misiologis untuk memperkenalkan kekuatan Allah pada bangsa lain yang belum percaya pada Allah.

  Ester, seorang wanita yang pada masa itu dianggap lemah justru menyelamatkan umat Yahudi dari pemusnahan. Hal ini mengingatkan pada cara kerja Allah yang unik melalui Debora dan Yael. Allah sengaja memilih orang-orang yang lemah untuk menunjukkan bahwa kemenangan diperoleh karena kuat kuasa Allah dan bukan karena manusia.

  Selain itu, yang menarik adalah bahwa orang Yahudi tidak mengambil sedikitpun rampasan perang yang mereka harusnya dapat dari bangsa-bangsa yang telah dikalahkan. Mordekhai dan Ester dengan taat menumpas tanpa mengambil jarahan untuk menekankan bahwa perang ini tidak mengusung ekonomis. 269 Hal ini secara sengaja dicantumkan untuk menyatakan kontras antara Saul dan Mordekhai. Dalam 1Samuel 15, Saul secara sengaja membiarkan Agag, raja Amalek, hidup dan mengambil seluruh rampasannya sehingga ia ditolak oleh Tuhan.

  268 Santoso, Tafsir Kitab Ester, 135.

  Motif non-ekonomis dan defensif mendapat penekanan tersendiri dari bagian ini. Berbeda dengan agresi dalam penguasaan Kanaan dan kisah perang Ahab, perang dalam kitab Ester menghubungkan dendam pribadi dan dendam sejarah antara Israel dan Amalek, dan menggenapi perintah Tuhan untuk menghabisi orang Amalek yang gagal dipenuhi oleh Saul. Dari keterangan ini, tidak berlebihan jika Eugene F. Roop melihat perang dalam kitab Ester sebagai perang kudus Allah melawan Amalek. 270

  Kitab Nabi-Nabi

  Selain kitab Ester, ada beberapa kitab yang ditulis dalam konteks pembuangan, yakni kitab nabi-nabi besar (Yesaya, Yeremia, Yehezkiel, dan Daniel), dan nabi-nabi kecil (seperti Hagai, Zakharia, dan Maleakhi) yang ditulis pada konteks sesudah pembuangan. 271 Para nabi memegang peranan penting dalam perjalanan umat Allah. Kata “nabi” berasal dari kata איִבָנ yang berarti “memanggil” atau “seseorang yang dipanggil”. 272 Sedangkan, bahasa Yunani προφήτης berarti “berbicara atas nama, mengumumkan, meramalkan, atau mengatakan sesuatu sebelumnya.” 273 Jadi seorang nabi adalah seseorang yang dipilih secara khusus, memiliki relasi yang dekat dengan Tuhan dan dapat mendengar atau melihat apa yang Tuhan kehendaki untuk kemudian di sampaikan kepada orang atau bangsa tertentu sebagai sebuah peringatan atau petunjuk

  270 Eugene F. Roop, Ruth, Jonah, Esther (Scottdale, Pennsylvania: Herald Press, 2002), 246.

  271 Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 190-91.

  272 Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 183.

  273 Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 184.

  kehidupan untuk apa yang akan terjadi saat ini maupun yang akan datang. 274 Tugas istimewa para nabi membawa dua lensa utama dalam menilik peristiwa, yaitu lensa masa kini dan masa depan.

Kitab Yesaya

  Kitab Yesaya seringkali menjadi rujukan bagi beberapa bagian penting dalam Perjanjian Baru. 275 Meskipun otoritas Yesaya tidak diragukan oleh para nabi setelah Yesaya maupun penulis-penulis Perjanjian Baru, namun kepenulisan kitab Yesaya menjadi salah satu problem yang cukup besar diperbincangkan beberapa kalangan. Perbedaan pandangan mengenai siapa penulis kitab Yesaya berdampak pada penanggalan kepenulisan dan pemaknaan teks perang dalam Yesaya 42:10-43:7. 276

  274 Dictionary of Biblical Imagery, s.v. “Prophet, Prophetess”.

  275 Bdk. Steve Moyise, Maarten J.J. Menken, Isaiah in the New Testament (New York: T. and T. Clark International, 2005), 1. Moyise menyatakan bahwa “It is surely no coincidence that the books most

  frequently quoted in the Dead Sea Scrolls, namely Psalms, Isaiah and Deuteronomy, are also the books most frequently quoted in the New Testament.”

  276 Lih. J. Alec Motyer, The Prophecy of Isaiah (Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 1993), 25- 26. J. Alec Motyer memilih untuk mempertahankan kepenulisan tunggal dari Yesaya dengan argumen

  bahwa “the prevailing spirit of scholarship was disposed to fragmentation rather than to holism.” Kecenderungan para penafsir modern untuk melihat fragmentasi dari kitab Yesaya telah membuat para penafsir mengalami bias dalam kepenulisan Yesaya. Hal ini didukung dengan argumen bahwa pembagian kepenulisan kitab Yesaya menjadi tiga bagian tidak memiliki bukti eksternal yang kuat untuk merujuk kepada kepenulisan di luar Yesaya, selain itu kepenulisan Yesaya 56-66 dapat dilihat sebagai bagian dari kepenulisan masa pra-pembuangan dengan memperhitungkan penekanan pada isu penyelewengan agama. Bdk. Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 303. Di sisi yang lain, penelitian Döderlein (1789) dan Eichhorn (1783) pada akhir abad 18 yang mencoba membagi kitab Yesaya menjadi dua bagian, dimana Yesaya 1-39 ditulis oleh Yesaya bin Amos sedangkan Yesaya 40-66 seringkali dilihat sebagai Deutero-Yesaya yang ditulis kemudian hari oleh penulis lain. Argumentasi ini didasarkan oleh penekanan teologi yang berbeda, latar belakang atau konteks kesejarahan, serta bahasa dan gaya kepenulisan yang dinilai cukup berbeda dari dua bagian di kitab Yesaya ini. Bdk. John N. Oswalt, Isaiah (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2003), 34. Beberapa ahli tafsir modern, seperti Herman Gunkel dan J. Wellhausen, juga mengakui bahwa ada kemungkinan kitab Yesaya terdiri dari tiga, bahkan lima bagian yang berbeda. Mencoba menengahi perbedaan pandangan ini, Von Rad, Allis, dan beberapa penafsir lain mencoba melihat bahwa adanya kemungkinan Allah juga menggunakan penulis-penulis lain selain Yesaya untuk menyatakan kehendaknya, sehingga keseluruhan maupun tidaknya Yesaya menulis kitab ini seharusnya

  Gordon D. Fee dan Douglas Stuart menyatakan bahwa peran nabi di dalam Perjanjian Lama berhubungan erat dengan kondisi politik dan sosial kerajaan Israel. Perubahan kondisi dari perpecahan kerajaan hingga pembuangan di Babel membawa perkembangan pesan teologis 277 dari tema hukuman atas Yehuda menjadi janji keselamatan yang akan diwujudkan oleh Mesias. 278

  Jika Yesaya hanya ditulis oleh satu orang, yaitu Yesaya anak Amos pada abad ke-

  8 sM, maka Allah yang hadir sebagai pahlawan perang dalam Yesaya 42:10-43:7 dilihat sebagai bagian dari nubuat tentang pembuangan dan pembebasan Israel. 279 Dengan ini, Allah mendidik Israel untuk bertobat dari kesalahan mereka. Oswalt menyatakan “The only way of hope for these people is through the fires of judgement... it is the way of hope and not the way of destruction, as they feared.” 280 Jadi, nubuat tentang pembuangan bukan berita malapetaka semata, namun justru juga berita pengharapan.

  Yehuda dan Israel mengalami perubahan besar pada tahun 745-680 sM . Pada masa ini, kerajaan Asyur tengah berjaya dan bahkan menguasai Siria Utara dan beberapa kota Aram. 281 Kedigdayaan Asyur terus berkembang dan memperluas kekuasaannya hingga bagian-bagian kerajaan Israel dan Yehuda. Dalam kondisi ini, beberapa kerajaan kecil bergabung untuk menentang dominasi Asyur dalam perang Siro-Efraim, termasuk

  277 Gordon D. Fee dan Douglas Stuart, How to Read the Bible for All Its Worth, ed. ke-2 (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1993), 186-87.

  278 Schmidt, Old Testament Introduction, 212-19.

  279 Oswalt, Isaiah, 481.

  280 Oswalt, Isaiah, 480.

  281 Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 256-57.

  di dalamnya adalah kerajaan Israel. Upaya pemberontakan ini berakhir dengan kekalahan dan kehancuran dari beberapa kerajaan, termasuk Israel. Kekalahan Israel membawa dampak bagi perkembangan kerajaan Yehuda. Eric H. Cline mencatat bahwa,

  King Ahaz of Judah had already started cooperating with the Neo-Assyrians, but the most dramatic changes came after the collapse of Israel. Wealth began to accumulate in Judah, especially in Jerusalem, where the kingdom’s diplomatic and economic policies were determined. Jerusalem became the administrative and religious capital of a powerful kingdom. 282

  Kerjasama antara Raja Ahaz dengan Kerajaan Asyur pada masa ini membawa dampak positif bagi kehidupan Yehuda. Kemajuan ini juga disusul dengan pertumbahan penduduk dan membangkitkan kondisi Yehuda sebagai salah satu kekuatan politik. 283 Oleh sebab itu pada awal hingga pertengahan masa pelayanan Yesaya, khususnya sebelum pemerintahan Hizkia, kerajaan Yehuda mengalami masa keemasan.

  Perubahan ini bukan hanya membawa dampak sosial-politik, namun juga dampak religius. Perkembangan Yerusalem sebagai pusat transaksi dan perdagangan membawa arus hilir mudik dan pertemuan dengan kebudayaan lain bertambah. Grabbe menunjukkan bahwa penemuan kuil-kuil penyembahan yang beraneka ragam di daerah Yehuda berarti adanya kemungkinan keragaman kultus penyembahan yang mengarah pada politeisme. 284 Hal ini diperkuat oleh kesaksian Yesaya, “Orang-orang yang percaya kepada patung pahatan akan berpaling ke belakang dan mendapat malu, yaitu orang-

  282 Eric H. Cline, A History of Ancient Israel: From the Patriarchs Through the Romans (Washington, DC: The George Washington University Press, 2006), 51.

  283 Bdk. Cline, A History of Ancient Israel, 50. Pertumbuhan penduduk ini terjadi akibat adanya perpindahan penduduk yang mengungsi dari kerajaan Utara menuju Yehuda. Lih. Lester L. Grabbe,

  Ancient Israel: What Do We Know and How Do We Know It (London: T. and T. Clark, 2007), 169. Bukti perkembangan sosial-politik Yehuda nampak dalam penggalian arkeologi kota Yerusalem yang menunjukkan bahwa bangunan dalam kota Yerusalem dipenuhi dengan pusat perdagangan dan pertokoan.

  284 Grabbe, Ancient Israel, 159-61.

  orang yang berkata kepada patung tuangan: "Kamulah allah kami!" (Yesaya 42:17). Jadi, sekalipun kerajaan Yehuda mengalami peningkatan sosial, politik, dan ekonomi di bawah kekaisaran Asyur, namun terjadi penurunan dalam kesetiaan iman pada YHWH dan meningkatnya politeisme.

  Memahami peningkatan kondisi sosial, politik dan ekonomi ini, nubuat tentang hadirnya sang Pahlawan Perang yang akan membawa hukuman dan penebusan menjadi sesuatu yang nampak “asing” bagi umat Yehuda masa itu. Kesadaran ini juga dinyatakan oleh sang nabi dalam Yesaya 42:25 : “Maka Ia telah menumpahkan kepadanya kepanasan amarah-Nya dan peperangan yang hebat, yang menghanguskan dia dari sekeliling, tetapi ia tidak menginsafinya, dan yang membakar dia, tetapi ia tidak memperhatikannya.” Ini menunjukkan bahwa kebebalan Yehuda akan terus berlanjut. Sekalipun hukuman dari Tuhan dihadirkan, Yehuda tetap tidak akan memahami dan berubah. 285 Tidak mengherankan jika Ivan D. Friesen melihat sikap umat Allah ini sebagai gambaran tragedi manusia yang tidak belajar dari masa lalu. 286

Eksposisi Yesaya 42:10-43:7 (Versi Kepenulisan Tunggal Yesaya)

  Secara struktur, Yesaya 42:10-43:7 meletakkan tema Allah sebagai pahlawan perang di antara gambaran Allah sebagai pencipta semesta.

  A. Yesaya 42:10-12

  Penghormatan dari semesta kepada TUHAN

  B. Yesaya 42:13-14

  TUHAN sebagai Pahlawan yang siap berperang

  B1.Yesaya 42: 15-17 Tindakan luar biasa dari TUHAN

  sebagai pahlawan perang

  B2. Yesaya 42: 18-20 Kebebalan dan pemberontakan Israel B3. Yesaya 42:21

  Janji keselamatan

  285 John D. W. Watts, Isaiah 34-66 (Waco, Texas: Word Books, 1987), 132.

  286 Ivan D. Friesen, Isaiah (Scottdale, Pennsylvania: Herald Press, 2009), 252.

  B4. Yesaya 42:21-25 Jalan penghukuman yang harus dilalui Israel C. Yesaya 43:1-7

  Janji keselamatan akan digenapi bagi Umat Perjanjian yang TUHAN ciptakan.

  Dalam bagian ini terlihat gambaran Allah sebagai pahlawan perang secara unik dikaitkan dengan dua tema yang nampak berkontradiksi, yaitu penghukuman dan janji keselamatan. Pertemuan dua tema besar antara Allah sebagai sang penghancur dan sang penolong dalam bagian ini tidak berarti terjadi konflik dalam atribut maupun tindakan Allah, namun harus dilihat sebagai bentuk keadilan dan kasih setia Allah yang murka atas ketidakbenaran namun menyelamatkan karena kasih setia-Nya yang besar. 287

  Melalui struktur dan latar belakang situasi yang ada, Yesaya 42:10-43:7 membangun pemahaman mengenai perang dalam konteks nubuat tentang kehadiran Allah sang pahlawan perang. Yesaya 42:10-12 diawali dengan sebuah ajakan “Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN dan pujilah Dia dari ujung bumi!” (Yesaya 42:10a). Ajakan ini adalah bagian respon pujian akan janji Allah dalam bagian sebelumnya. Dalam bagian ini penekanan akan Allah yang mencipta dan menguasai semesta mendapat penekanan tersendiri. Frasa “ujung bumi”, undangan pada laut, pulau- pulau, dan seluruh isinya untuk menyembah adalah sebuah bentuk pengakuan akan Allah yang mencipta dan menguasai semesta. Pengakuan akan Allah semesta ini menjadi landasan dasar terhadap pengharapan dalam pembuangan. Oswalt menyatakan bahwa,

  He is the God of the world, and what he is going to do for Judah from has joyous implications for the whole world. If he can deliver Judah from all its captivities, then there is no one whose distress and difficulty is beyond his care and his delivering power. 288

  287 Motyer, The Prophecy of Isaiah, 324.

  Pengharapan akan kemahakuasaan Allah yang akan sanggup melepaskan Yehuda dari pembuangan menjadi bagian penting dari nubuatan ini.Gambaran Allah sebagai pemilik semesta mengkerucut menjadi Allah sebagai pahlawan perang. Dalam Yesaya 42:13 dikatakan “TUHAN keluar berperang seperti pahlawan, seperti orang perang Ia membangkitkan semangat-Nya untuk bertempur; Ia bertempik sorak, ya, Ia memekik, terhadap musuh-musuh-Nya Ia membuktikan kepahlawanan-Nya.” Yang menarik dalam bagian ini adalah gambaran Allah sebagai pahlawan perang membawa dua sisi yang berbeda dan seolah berkontradiksi. Yesaya 42:14 memberikan gambaran bagaimana Allah sengaja berdiam dan membiarkan umat-Nya mengalami pembuangan, bahkan melakukan tindakan yang destruktif dalam ayat 15 sebagai penghukuman atas kebebalan Yehuda dan penyembahan berhala yang mereka lakukan (Yesaya 39, 41).

  Gambaran Allah sebagai pahlawan perang ini berbeda dengan gambaran Allah yang berperang dalam kisah Keluaran. Sekalipun Motyer mengakui adanya pola Keluaran dalam bagian ini, namun penggambaran Allah yang mengarahkan pedang pada umat-Nya 289 merefleksikan pembuangan dan peperangan sebagai ungkapan murka Allah atas kesalahan umat-Nya (Yesaya 42:22-25). Dalam hal ini, perang sebagai hukuman Allah tidak hanya berlaku kepada bangsa lain, namun juga berlaku pada umat perjanjian- Nya. Hukuman Allah bukan hanya dirasakan secara fisik, namun juga secara spiritual. Frasa “membisu” (השׁח) serta ungkapan “tidak ada yang berkata: ‘Kembalikanlah’!” dalam ayat 14 dan 22 memberikan nuansa yang sama dengan lagu-lagu ratapan atau keluhan yang mengesankan adanya keterpisahan rohani dengan Allah. 290

  289 Motyer, The Prophecy of Isaiah, 323.

  Hukuman ini bukan tanpa tujuan. Penggunaan kata שׁי ִִ֖רֲח dalam ayat 14 memiliki אַ makna lain, yaitu “menyusun rencana,” 291 dan berhubungan erat dengan karya Allah dalam bagian-bagian selanjutnya. Rencana ini tidak berhenti pada penghukuman yang akan datang, namun juga pada pembebasan atau penebusan. Motyer melihat bahwa bagian ini bertujuan untuk menggambarkan tindakan penebusan Allah baik secara nasional (Yesaya 42:18-43:21) maupun secara spiritual (Yesaya 43:22-44:23). 292 Oswalt menyatakan bahwa sosok Allah sebagai pahlawan perang merupakan bagian dari janji kedatangan Allah untuk membela umatnya. Sekalipun dalam waktu tertentu sang Pahlawan tersebut secara sengaja membiarkan umat-Nya mengalami pembuangan, namun inilah yang mengontraskan Allah dari ilah-ilah lain. 293 Karena itulah kehadiran Allah sebagai penghancur dan penyelamat tidak dipisahkan dalam bagian ini, namun justru menjadi sebuah kesatuan utuh dalam upaya Allah menyatakan diriNya dalam relasi Perjanjian.

  290 John D. W. Watts, Isaiah 34-66, 131. Bandingkan dengan Mazmur 22:1-2 “Untuk pemimpin biduan. Menurut lagu: Rusa di kala fajar. Mazmur Daud. Allahku, Allahku, mengapa Engkau

  meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku. Allahku, aku berseru- seru pada waktu siang, tetapi Engkau tidak menjawab, dan pada waktu malam.” Seruan yang sama juga diserukan Yesus dalam Mat. 27:46 yang sering dipahami sebagai ekspresi keterpisahan secara spiritual dengan Allah Bapa yang merupakan bagian dari hukuman dosa yang harus diterima Yesus.

  291 Penggunaan kata ini dalam bentuk Hiphil imperfect dapat diartikan menjadi diam, berdiam diri atau juga merencanakan, menyusun (to contrive).

  292 Motyer, The Prophecy of Isaiah, 326.

  293 Oswalt, Isaiah, 479.

Eksposisi Yesaya 42:10-43:7 (Versi Deutero-Yesaya)

  Apabila Yesaya 42:10-43:7 dilihat sebagai bagian dari Deutero-Yesaya, yang ditulis setelah masa hidup Yesaya, maka teks ini menggambarkan kondisi pada masa pembuangan Babel pada tahun 530 sM. 294 Jadi, bagian ini justru memberikan penekanan pada pengharapan dalam Allah saat menjalani pembuangan. 295 Tidak ada lagi penekanan

  pada nubuatan hukuman, karena hukuman itu sudah dan sedang dijalani. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa janji keselamatan menjadi tema pengajaran yang utama dari bagian ini.

  Kebangkitan kerajaan Asyur memang memberi dampak positif bagi kerajaan Yehuda sebagai salah satu provinsi Asyur, namun kemunduran Asyur juga menyeret Yehuda pada kondisi krisis. Cline menyebutkan bahwa,setelah kematian Yosia pada tahun 609 sM, kekalahan Asyur dalam perang melawan Kerajaan Babel membuat Babel menjadi kekuatan utama di daerah Timur Tengah. 296 Kekalahan ini juga membawa dampak penaklukan Yehuda oleh Babel beberapa tahun kemudian yang mengakibatkan kehancuran besar di Yerusalem dan pengangkutan paksa bangsa Yehuda ke pembuangan Babel.

  Kehancuran Yehuda membawa dampak psikologis dan tekanan tertentu bagi umat Allah dalam sikap mereka terhadap kehidupan. Bernard Reich berpendapat bahwa pembuangan tidak hanya membuat rasa kehilangan dan depresi, namun juga menguatkan

  294 John Goldingay dan David Payne, Isaiah 40-55, jilid 1 (New York: T. and T. Clark, 2006), 26- 27. Bdk. John L. McKenzie, Second Isaiah (New York: Doubleday, 1968), xxiv. Yesaya 40-55 mulai

  disusun ketika kejatuhan Yerusalem hingga pemerintahan Nebukadnezar di Babilonia pada tahun 587 sM.

  295 McKenzie, Second Isaiah, 44.

  296 Cline, A History of Ancient Israel, 55.

  ikatan identitas keyahudian serta sentralitas Yerusalem. 297 Dalam kondisi yang tengah terpuruk, serta adanya upaya mempertahankan eksistensi dan identitas bangsa, janji penyelamatan menjadi sebuah suara pengharapan yang dirindukan di dalam pengasingan. Dalam Yesaya 42:10-43:7, suara pengharapan dibawa melalui kehadiran Allah sebagai pahlawan perang. Cyril dari Aleksandria melihat bahwa nyanyian baru dalam Yesaya 42:10-25 ini menjadi sebuah pengingat akan tindakan Allah sebagai pahlawan perang yang membebaskan Israel dari Mesir. 298 Tindakan pembebasan Allah dari Mesir di masa lampau menjadi jaminan bagi pembebasan Israel dari pembuangan di Babel.

  Wastermann menegaskan bahwa bagian ini banyak menekankan motif peperangan dari Allah Yahweh. 299 Motif perang dalam bagian ini lebih merujuk pada tema pembebasan dibandingkan hukuman, sebab dalam pemahaman deutero-Yesaya, penghukuman Allah telah mereka terima dan sedang mereka jalani. Oleh sebab itu, kegairahan serta tema perang yang diangkat oleh Yesaya 42:10-25. Dan juga menyadari adanya konteks sejarah di masa pembuangan serta keunikan genre kitab nabi menjadi sebuah pertimbangan utama untuk memasukan bagian ini dalam penelitian mengenai pergerakan konsep perang di dalam Alkitab.

  Walter Brueggemann memahami panggilan dalam Yesaya 42:10-12 memiliki kemiripan dengan Mazmur 96 yang bertujuan untuk merayakan berdirinya pemerintahan

  297 Bernard Reich, A Brief History of Israel. Ed. ke-2 (Washington, DC: George Washington University Press, 2008), 6.

  298 Robert Louis Wilken, Isaiah (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 2007), 300.

  299 Claus Westermann, Isaiah 40-66 (Philadelphia, Pennsylvania: The Westminster Press, 1969),

  baru ALLAH atas seluruh ciptaan. 300 Pemerintahan baru inilah yang akan mengeliminasi pemerintahan Babel atas Israel. Dalam konteks pengharapan akan hadirnya pemerintahan baru ALLAH inilah konsep Allah sebagai pahlawan perang hadir.

  Gambaran Allah sebagai pahlawan perang menunjukkan kemampuan Allah yang dahsyat dan penuh kuasa sebagai dasar dari kehidupan dan pengharapan Israel dalam dunia. 301 Pengharapan ini seringkali dikaitkan dengan kehidupan politik dan sosial Israel untuk menegakkan kembali kerajaan Daud (Amsal 9:11-12). Namun Hanson melihat bahwa ekspresi sastra dan konteks pembuangan lebih merujuk pada nuansa spiritual dibanding politik. 302 Hal ini terlihat dari nubuat mesianik tentang hamba Allahyang menegakkan Taurat dalam bagian sebelumnya dengan penekanan pada Yesaya 42:17. Konsep perang secara spiritual juga berhubungan dengan isi nyanyian tentang Allah sang Pahlawan perang yang maha-kuasa untuk mengatasi kekacauan dan ketidakberaturan kosmik (Yesaya 42:14-16). 303 Sebab itu, konsep perang dalam bagian ini lebih dilihat sebagai sebuah bentuk perang spiritual dibandingkan masalah politik.

  Gambaran kekacauan dalam dunia Israel kuno memiliki keterkaitan dengan kekuatan jahat. Dalam narasi penciptaan dari Mesopotamia kuno, kekacauan seringkali digambarkan sebagai ekspresi kehadiran Tiamat sang dewa air. 304 Hal ini dapat dilihat

  300 Walter Brueggemann, Isaiah 40-55 (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox, 1998), 45-

  301 Brueggemann, Isaiah 40-55, 46.

  302 Paul Hanson, Isaiah 40-66 (Louisville, Kentucky: John Knox, 1995), 48.

  303 Joseph Blenkinsopp, Isaiah 40-5 (New York: Doubleday, 2002), 214-215.

  304 Longman, Panorama Kejadian, 93.

  juga pada bentuk subversif dari konsep penciptaan dalam Kejadian 1:2, di mana Allah sang pencipta hadir mengatasi kekacauan dan melayang-layang di atas permukaan air. Hal ini menunjukkan bahwa Allah sang pencipta semesta adalah Allah yang juga hadir sebagai pahlawan perang. Konsep penaklukan atas kekacauan dan ketidakberaturan ini memperkuat nuansa spiritual pada kehadiran Allah sang pahlawan perang.

  Yesaya 42:18-25 juga menekankan kembali problem spiritualitas dalam konteks hukuman yang sedang dijalani. Dalam masa pembuangan ini, kondisi secara politik dan sosial justru tidak terlalu diperhatikan oleh penulis Yesaya. Penulis justru secara khusus mengangkat gambaran hamba yang buta dan tuli untuk menunjukkan problem spiritual Israel sebagai hamba Allah yang seharusnya menjadi penerima suara Allah dan saksi dari keajaiban Allah, namun justru ada dalam kondisi terbuang, terhilang dan terpenjara. 305 Sekalipun hukuman Israel bersifat sosial dan politik, namun penulis Yesaya memahami bahwa permasalahan ini berakar pada problem spiritual. Sebab itu, problem spiritual perlu dibenahi terlebih dahulu.

  Kehadiran Allah sebagai pahlawan perang bukan hanya menyadarkan akan titik awal permasalahan yang dihadapi, namun juga membawa kepada janji akan solusi spiritual. Dalam Yesaya 43:1-7 janji ini dinyatakan secara tegas lewatfrasa “Tetapi sekarang,...” sebagai penekanan atas perubahan kondisi atau kontras yang akan hadir. Wastermann bahkan menjelaskan bahwa frasa ini merupakan bentuk deklarasi langsung atas keselamatan yang sudah dimulai pada masa ini dan akan digenapi dalam

  305 Hanson, Isaiah 40-66, 54.

  kepenuhannya di masa akan datang. 306 Jadi ini bukan sekedar janji, namun sebuah realisasi bertahap yang terus digarap Allah hingga pada kesempurnaannya nanti.

  Deklarasi karya keselamatan Allah bukan hanya merujuk pada hal yang akan datang, namun juga pada kisah keluaran dari Mesir (Yesaya 43:3). Hal ini memberikan nuansa bahwa penebusan yang Allah lakukan bukanlah hal yang asing bagi Allah dalam perjanjianNya dengan Israel. Westermann melihat bahwa rujukan pada peristiwa keluaran adalah sebuah cara penulis untuk menunjukkan relasi intrinsik antara Yahweh dan Israel dalam relasi perjanjian yang khusus. 307 Dalam relasi perjanjian inilah kehadiran Allah sebagai pahlawan perang dapat melindungi Israel. Sebaliknya, diamnya sang Pahlawan perang dalam ayat 14 menunjukkan rusaknya relasi personal yang ada antara Yahweh dan Israel. Dengan demikian maka dapat dilihat bahwa kaitan antara pasal 42:10-25 dengan pasal 43:1-7 diikat dalam konteks Allah sebagai pahlawan perang.

  Keterkaitan antara pasal 42:10-25 dengan pasal 43:1-7 bukan hanya terdapat pada pribadi Allah sebagai pahlawan perang namun juga hadir dalam solusi yang Allah berikan. Yesaya 43:4a menyatakan kontras dengan Yesaya 42:18, di mana Israel dipanggil dengan sebutan tuli dan buta. Dalam bagian ini, ketidaklayakan Israel diperhadapkan secara unik dengan cara pandang Allah dalam kasih-Nya yang besar pada Israel. Gambaran ini merupakan prinsip mendasar dari konsep pilihan dan keselamatan di dalam Alkitab. 308 Pemilihan Allah atas Israel jelas bukan disebabkan oleh kualitas atau

  306 Westermann, Isaiah 40-66, 115.

  307 Westermann, Isaiah 40-66, 117.

  308 McKenzie, Second Isaiah, 50. Bdk. Westermann, Isaiah 40-66, 118. Westermann memberikan penegasan dengan melihat frasa “berharga dimata-Ku” sebagai sebuah bentuk pemilihan Allah yang 308 McKenzie, Second Isaiah, 50. Bdk. Westermann, Isaiah 40-66, 118. Westermann memberikan penegasan dengan melihat frasa “berharga dimata-Ku” sebagai sebuah bentuk pemilihan Allah yang

  putus asa dalam pembuangan. 309

  Selain itu, hancurnya kerajaan Israel dan Yahudi juga membentuk konsep perjanjian yang lebih bersifat universal. 310 Yesaya 42:10-12 dan Yesaya 43:1-7 menyatakan Allah sebagai penguasa semesta yang berkuasa atas alam dan atas kerajaan- kerajaan dan membuktikan bangkitnya pemerintahan baru yang bersifat lebih universal. Oleh sebab itu, batasan politik tidak dapat lagi dijadikan acuan atas keselamatan dan penegakan kekuasaan yang Allah janjikan. Sebaliknya, perang dalam Yesaya 42:10-43:7 justru lebih menekankan pada peperangan spiritual.

Kitab Zakharia

  Perjalanan kehidupan Israel ternyata tidak hanya pada masa pembuangan. Pada masa Ezra dikatakan,

  Pada tahun pertama zaman Koresh, raja negeri Persia, TUHAN menggerakkan hati Koresh, raja Persia itu untuk menggenapkan firman yang diucapkan oleh Yeremia,... Maka berkemaslah kepala-kepala kaum keluarga orang Yehuda dan orang Benyamin, serta para imam dan orang-orang Lewi, yakni setiap orang yang hatinya digerakkan Allah untuk berangkat pulang dan mendirikan rumah TUHAN yang ada di Yerusalem. (Ezra 1:1-5)

  309 Hanson, Isaiah 40-66, 63-65.

  310 Blenkinsopp, Isaiah 40-55, 116-17.

  Hal ini menunjukkan bahwa kisah hidup umat Allah bergerak dari masa pembuangan menuju masa paska pembuangan di zaman Ezra dan dilanjutkan pada masa Nehemia. Menurut catatan sejarah, peristiwa ini terjadi akhir abad kelima sebelum Masehi. 311 Jika demikian maka bisa dikatakan bahwa peristiwa ini terjadi dalam jeda satu generasi dengan kepenulisan Deutero-Yesaya. Meski hanya berkisar satu generasi, namun perubahan yang terjadi akibat peraturan dari Raja Koresy membuat beberapa perubahan dalam kehidupan sosial masyarakat Israel masa itu.

  Perubahan yang terjadi dalam masa ini antara lain adalah masalah penandaan diri. Grabbe dalam penelitiannya mengenai teks-teks kuno di luar Alkitab yang ditulis sekitar abad 4 sM hingga abad 1 M menemukan bahwa hampir tidak ada rujukan atas nama Israel ataupun Yehuda, meskipun demikian beberapa teks ditemukan menggunakan kata Yahudi untuk menandai orang-orang yang tersisa ini. Sedangkan secara khusus penggunaan nama Israel pada tulisan para nabi masa paska pembuangan seperti Ezra, Nehemia, Zakharia, dan yang lain memberi pemaknaan baru atas nama Israel yang lebih merujuk pada orang-orang Yehuda yang bertahan dalam masa pembuangan dan kembali ke Yerusalem. 312 Dengan melihat kenyataan ini, maka nampak ada upaya dari umat Allah yang tersisa ini untuk menandai diri mereka terlepas dari pengakuan bangsa-bangsa lain.

  Penggunaan nama Israel juga bukan hanya memberikan sinyal akan upaya penandaan diri, namun juga membentuk identitas baru dalam kaitannya dengan

  311 Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 202.

  312 Lester L. Grabbe, “Israel’s Historical Reality After the Exile”, dalam The Crisis of Israelite Religion: Transformation of Religious Tradition in Exilic and Post-Exilic Times, ed. Marjo.C. A. Korpel

  dan Bob Becking (Leiden: Brill, 1999), 12-13.

  Perjanjian Allah. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan kata Israel dalam narasi kitab 1 Makabe yang menekankan identitas kaum yang tersisa ini sebagai umat perjanjian Allah. 313 Pembentukan identitas sebagai umat perjanjian adalah sesuatu yang penting dalam kondisi sosial bangsa Israel. Kehancuran kerajaan Daud dan pengalaman pembuangan Babel membuat Israel beralih identitas dari “milik Allah” menjadi “terbuang”, dari “penduduk Tanah Perjanjian” menjadi “orang asing di pembuangan”. 314 Menambahkan hal ini, Bob Becking mencatat,

  The ruination of the temple in Jerusalem, that functioned as the central sanctuary for the Yahwistic religion, and the collapse of the Davidic dynasty, that functioned as a symbol of divine presence and protection, should be seen as a fundamental breach in the Yahwistic symbol system. 315

  Kehancuran yang terjadi bukan hanya mengubah identitas nasional namun juga identitas keagamaan. Oleh sebab itulah, penegasan akan identitas baru sebagai umat Israel menjadi penting karena mencangkup dua aspek, yaitu nasional dan agama.

  Pergumulan akan identitas dalam relasi keagamaan dan nasional membawa pengharapan tertentu dalam benak Israel. Pengharapan ini dimunculkan dalam ungkapan nubuat eskatologis tentang keselamatan, pemulihan dan perang. Ralph L. Smith menyatakan bahwa refleksi pemikiran masa paska pembuangan lebih bersifat visioner dimana keputusasaan yang muncul karena kondisi yang jahat saat ini akan berganti

  313 Grabbe, “Israel’s Historical Reality After the Exile”, 13.

  314 Yehezkiel 19:12 menggunakan kata “tercabut” untuk menggambarkan identitas Israel yang baru. Dan dalam Yeremia 42-44 digunakan frasa “orang asing” untuk menggambarkan kondisi Israel di

  pembuangan.

  315 Bob Becking, “Continuity and Discontinuity after the Exile: Some Introductory Remarks”, dalam The Crisis of Israelite Religion: Transformation of Religious Tradition in Exilic and Post-Exilic

  Times, ed. Marjo. C. A. Korpel dan Bob Becking (Leiden: Brill, 1999), 4.

  dengan pengudusan dan penegakan kembali kerajaan Allah. 316 Salah satu bagian yang mencerminkan pemahaman ini terdapat dalam Zakharia 14, dimana teks mengenai perang dimuat dalam nubuatan akan pengharapan hadirnya pemerintahan Allah.

  Kitab Zakharia menurut Jerome disebut sebagai the most obscure book of the Hebrew Bible. 317 Hal ini berhubungan dengan kepenulisan kitab Zakharia yang dipahami

  memiliki keperbedaan periode antara kepenulisan Zakharia 1-8 dengan Zakharia 9-14. Untuk kepenulisan Zakharia 1-8 Longman dan Dillard melihat bahwa kitab ini mengambil latar belakang kesejarahan pada masa Zakharia dan Hagai hidup, yaitu pada masa kembalinya Israel ke tanah Kanaan, sekitar tahun kedua pemerintahan raja Darius (520-519 sM), untuk membangun kembali bait Allah yang telah hancur. 318 Sedangkan untuk bagian Zakharia 9-14, Neil mengatakan

  Tidaklah mungkin menentukan secara pasti apakah ada satu, dua, tiga atau lebih banyak pengarang yang menulis Zakharia 9-14, namun berdasarkan bahasanya, maupun teologi dan latar belakang sejarahnya, secara umum disetujui bahwa pengarang pasal-pasal ini bukanlah Nabi Zakharia. 319

  Beberapa penafsir seperti Bernard Stade, Rubikam, dan Robert Pfeiffer memperkirakan bahwa Zakharia 9-14 ditulis pada abad 3 sM hingga akhir abad 1 sM, hal ini didasarkan pada adanya unsur apokaliptik pada bagian kedua dari kitab Zakharia ini. 320

  316 Ralph L. Smith, Micah – Malachi (Waco, Texas: Word, 1984), 285.

  317 Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 484.

  318 Longman dan Dillard, Introduction to the Old Testament, 486.

  319 Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 441.

  320 Merril F. Unger, Zechariah: Prophet of Messiah’s Glory (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1979), 12-13.

  Perbedaan waktu kepenulisan memunculkan penekanan yang berbeda dari dua bagian ini. Penekanan pada Zakharia 1-8 banyak berhubungan dengan masalah pembentukan kembali bait Allah dan komunitas yang kembali dari pembuangan Babel, sedangkan Zakharia 9-14 justru dilihat lebih banyak menekankan pada penglihatan dan

  nubuatan. 321 Smith menambahkan bahwa ada perubahan yang tiba-tiba dari Zakharia 1-8 ke Zakharia 9-14 dimana penekanan mengenai perang menjadi salah satu tema utama di

  dalamnya. 322 Dengan sebuah pertimbangan latar belakang kesejarahan paska pembuangan dan adanya tema perang yang coba diangkat dalam bagian ini menjadi alasan untuk memilih Zakharia 14 menjadi bagian penelitian untuk memahami konsep perang, khususnya dalam konteks paska pembuangan.

Eksposisi Zakharia 14

  Pesan dari kitab Zakharia secara khusus ditujukan kepada umat Allah yang tersisa di Yerusalem atau yang sering disebut “remnant”. 323 Kelompok ini secara khusus membangun kohesi antar anggotanya dengan membangun sistem sosial dan keagamaan tersendiri. Hal ini nampak dari penggunaan bahasa keagamaan dan tema perang serta pengharapan mesianik yang muncul dalam literatur sezaman. Menguatkan argumen ini, Smith mencatat bahwa “The language mainly cultic from the Royal-Zion festival

  321 Bdk. Ralph L. Smith, Micah – Malachi, 242. Di sisi lain, Lazor melihat bahwa bagian Zakharia 9 nampaknyamencoba kembali kepada gagasan tentang Allah yang berperang. Lasor, Hubbard, dan Bush,

  Pengantar Perjanjian Lama 2, 449.Sedangkan Unger melihat bahwa bagian Zakharia 9-14 lebih mencoba menekankan mengenai janji Mesianik dan penegakan kembali Kerajaan Allah di dunia. Merrill F. Unger, Zechariah, 151.

  322 Smith, Micah - Malach, 242-249.

  reflecting the battle of Yahweh with his enemies, the theophany, victory and the celebration by a processional.” 324 Selain itu, penggunaan bahasa-bahasa perang tergambar dalam Zakharia 14, seperti “jarahan” (לָלָשׁ), “perang” (הָמָחְלִמ), “ditangkap” (דַכָל), “dilenyapkan, dipotong” (ת ַרָכ), atau “pembuangan, dibuang” (הָלוֹגּ) memberikan kaitan erat antara Zakharia 14 dengan pemahaman perang dalam bagian Alkitab yang lain.

  Pemahaman perang dalam Zakharia 14 dilihat sebagai bagian dari nubuatan eskatologis. 325 Hal ini ditandai dengan seruan “lihatlah! Akan datang hari (yang

  ditetapkan) Tuhan." (הָָ֑והיֽ ַל א ִָ֖ב־םוֹֽי הֵּ֥ נִה). Frasa ini menurut Boda berkaitan dengan konsep hari Tuhan dalam Yoe1:15 dan 2:1 yang merujuk kepada kehancuran atau malapetaka besar. 326 Kehancuran ini terjadi bukan dari sisi bangsa-bangsa di luar Israel, namun justru terjadi di Israel. Zakharia 14:2 menunjukkan bagaimana Yerusalem akan direbut, diperangi, dihancurkan, dan dirampas oleh bangsa-bangsa lain. Hal ini menurut Boda merujuk kepada peristiwa yang telah lalu tentang Yerusalem dan Babilonia, dengan memberikan penekanan tentang adanya orang-orang yang akan masuk dalam pembuangan dan orang-orang “sisa” (remnant) yang akan tetap tinggal di Yerusalem. 327 Bagian ini menurut Unger memberikan ringkasan penjelasan akan kondisi latar

  324 Smith, Micah - Malach, 285.

  325 Penggunaan kata eskatologis dalam bagian ini memiliki makna “berkaitan dengan hari, masa, atau peristiwa yang akan datang.” dan tidak selalu berhubungan dengan konsep akhir zaman.

  326 Mark J. Boda, Haggai, Zechariah (Grand Rapids, Michigan: Zondervan 2004), 522.

  kesejarahan yang terjadi di masa lalu hingga masa kini dari pembaca kitab Zakharia

  Dengan mengidentifikasikan nubuatan ini dengan kondisi pembaca Zakharia 14, penulis bagian ini hendak memberikan penekanan psikologis akan kedekatan berita yang hendak disampaikan dengan kehidupan nyata dari pembaca kitab ini. Kondisi yang terjadi dalam Zakharia 14:1-2 bergerak menuju pengharapan pada Zakharia 14:3. Dalam ayat 3 muncul jaminan akan tindakan Allah di masa yang akan datang tentang bagaimana Allah hadir dan maju berperang untuk melawan bangsa-bangsa yang memerangi umat-Nya. Kehadiran Allah ini digambarkan menggunakan bahasa antropomorfis dalam ayat 4 “kaki-Nya akan berjejak” (Zakharia 14:4) yang menunjukkan kehadiran yang nyata dari Allah bagi umatNya. 329 Conrad menggambarkan kehadiran Allah dalam bagian ini dengan merujuk pada epic Yunani tentang Colossus of Rhodes, pantung Dewa Matahari yang berdiri di depan kota Rhodes sebagai pelindung kota Rhodes. 330 Demikian juga Allah akan berdiri di depan kota Yerusalem dan menjadikan Yerusalem sebagai kota perlindungan yang teguh (Zakharia 14:5).

  Teofani Allah dalam Zakharia 14:1-5 bergerak menuju gambaran mengenai perubahan waktu, musim, dan kondisi geologis (Zakharia 14:6-11). Smith mengkaitkan bagian ini dengan janji Allah dengan Nuh (Kejadian 8:22) janji ini berhubungan dengan jaminan akan regulasi natural dari kemanusiaan. Regulasi ini dibutuhkan untuk memberi

  328 Unger, Zechariah, 239.

  329 Unger, Zechariah, 246.

  330 Conrad, Zechariah, 192.

  jaminan dari kehancuran besar dan kematian yang disebabkan oleh dosa manusia. Dan saat hari Tuhan tiba, regulasi itu tidak dibutuhkan lagi sebab kutuk dosa sudah dilenyapkan dan diganti dengan hari-hari terang (Wahyu 21:22-25). 331 Hal ini merujuk pada bentuk pemerintahan Allah yang baru yang akan ditegakkan atas seluruh ciptaan (Zakharia 14:9).

  Gambaran Allah yang berperang kembali muncul pada ayat 12-15. Dalam bagian ini, kata “tulah” (הָפ גַּמ) yang digunakan mengingatkan pembaca kepada peristiwa dalam Keluaran 7-12 tentang bagaimana Allah berperang bagi Israel melalui hukumannya kepada Mesir untuk membawa pembebasan bagi umat Israel. Dalam pola yang sama, Allah menggunakan tulah ini untuk membuat tiap bangsa yang menyerang Yerusalem akan saling berperang dan menghancurkan. 332 Sekali lagi, dalam bagian ini perang digunakan sebagai gambaran untuk menyatakan hukuman Allah. Pemahaman mengenai hukuman Allah dalam bagian ini, nampaknya bukan hanya bersifat politik atau nasionalisme namun lebih bersifat hukuman kosmik. Hal ini berkaitan dengan ayat 15 dimana binatang-binatang juga mengalami tulah yang sama yang harus diderita oleh bangsa-bangsa yang menyerang Yerusalem. Dengan demikian maka dapat disimpulkan

  331 Smith, Micah - Malach, 288. Gambaran hari-hari terang merupakan gambaran eskatologis mengenai kehadiran kerajaan Allah yang baru dimana Allah memerintah dalam kemuliaanNya. Tidak ada

  lagi pergantian siang dan malam, ataupun musim menuai dan menabur, sebab pada hari Tuhan segalanya telah menjadi sempurna.

  332 Smith, Micah - Malach, 291. Sedangkan untuk ayat 14, frasa “Yehuda akan berperang melawan Yerusalem” dalam bahasa aslinya dapat diartikan dalam dua makna against atau in. Beberapa

  penafsir seperti Smith melihat ayat ini lebih cocok ditafsirkan bahwa Yehuda akan berperang di Yerusalem melawan bangsa-bangsa lain. Bdk. Boda, Haggai, Zechariah, 528. Pemahaman yang sama juga dimengerti oleh Boda, dimana Yehuda akan berperang mendukung Yerusalem melawan bangsa-bangsa lain.

  bahwa peperangan dalam bagian ini bukan hanya berhubungan dengan hukuman bagi bangsa-bangsa, namun sebuah bentuk penghukuman kosmik atas dosa dunia.

  Kemenangan Allah dan penghukuman atas dunia membawa peralihan pada tema misi. Dalam bagian ini, kemenangan Allah dalam perang mengundang semua bangsa- bangsa untuk datang dan sujud menyembah Allah di Yerusalem (Zakharia 14:16). Bangsa-bangsa ini bukan hanya sekedar datang, mereka juga mengambil bagian dalam umat Allah, menjadi umat Allah. Penulis Zakharia menggunakan kalimat “merayakan hari raya Pondok Daun” (Zakharia 14:16) untuk menunjukkan bagaimana kehadiran bangsa-bangsa lain bukan hanya untuk menyerahkan upeti namun juga untuk masuk dalam penyembahan kepada Allah yang benar. Smith melihat bagian terakhir dari pasal

  14 ini sebagai gambaran dunia setelah Armageddon dimana Allah kemudian akan memisahkan bangsa-bangsa yang menyembahNya dan yang tidak menyembahNya. Allah akan memanggil bangsa-bangsa yang menyembahNya untuk berbagian sebagai umat Allah dan menghukum bangsa-bangsa yang tidak menyembahNya. 333

  Dan dalam bagian selanjutnya di ayat 20 digambarkan Allah hadir mengendarai kuda, yang merupakan simbol kehadiran Pahlawan perang. Gambaran ini juga muncul dalam literatur apokaliptik, seperti dalam Wahyu 19, yang merujuk pada konsep Allah sebagai Pahlawan perang. Kepulangan Pahlawan perang ini menunjukkan sebuah bentuk pemerintahan yang baru. Smith mengkaitkan bentuk pemerintahan yang baru ini dengan ayat 21 yang menunjukkan bagaimana pemerintahan Allah kini tidak lagi berbasis kepada nasionalisme tertentu, namun lebih bersifat Universal. 334 Conrad menambahkan, kalimat

  333 Smith, Micah - Maleach, 292.

  “Maka segala kuali di Yerusalem dan di Yehuda akan menjadi kudus bagi TUHAN semesta alam; semua orang yang mempersembahkan korban akan datang mengambilnya dan memasak di dalamnya” (Zakharia 14:21). menunjukkan pemerintahan Universal ini bukan hanya menegakkan pemerintahan Allah atas semesta, namun juga membawa

  semesta untuk menerima dan menikmati berkat Allah. 335 Hal ini akan menggenapi Janji Allah kepada Abraham dan keturunannya untuk menjadi berkat bagi bangsa-bangsa.

  Dengan demikian, gambaran Allah sebagai Pahlawan perang dalam bagian ini justru membawa dampak universal dan men-subversif batas-batas nasionalisme Yudaisme kuno tentang umat Allah.

  Kitab Sastra

Kitab Mazmur

  Pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas bukan hanya mencakup pergerakan sejarah namun perbedaan konsep perang dari genre-genre yang berbeda untuk melihat keragaman teologi yang berkembang. Dengan memahami bahwa keragaman genre tulisan dalam Alkitab juga memberikan penekanan makna teologis tertentu, maka bagian ini penulis akan mencoba menelusuri juga konsep perang dalam genre sastra. Kitab-kitab sastra dalam Perjanjian Lama seringkali dipahami berisi kitab Ayub, Mazmur, Amsal Pengkotbah, dan Kidung Agung. Salah satu yang terbesar dari kelima kitab ini adalah kitab Mazmur. Longmann menyatakan bahwa Mazmur adalah “the heart of the Old Testament”. 336 Hal ini tidak berlebihan sebab di dalam kitab Mazmur termuat bukan

  335 Conrad, Zechariah, 197.

  hanya doa-doa dan pujian-pujian yang indah, namun juga konsep teologis yang mendalam mengenai Allah, ciptaan, dan segala tindakan Allah dalam dunia ini. Oleh karena itulah, penulis merasa penting untuk mengikutsertakan kitab Mazmur sebagai bagian dalam penelitian tentang konsep perang dalam Perjanjian Lama.

  Secara umum kitab Mazmur dipahami memiliki beberapa jenis nyanyian, yaitu Nyanyian pujian, Keluhan Umat, Keluhan Pribadi, Nyanyian Syukur, Mazmur Kerajaan, dan Mazmur Hikmat. 337 Osborne menambahkan dengan beberapa Mazmur perayaan dan Mazmur yang bersifat mengutuk. 338 Setiap Mazmur ini memiliki ciri khas dan penekanan yang berbeda-beda. Salah satu ciri khas kuat dari Mazmur yang menekankan kepada tema perang adalah Mazmur-Mazmur Kerajaan. 339 Meskipun demikian nampaknya tema perang juga muncul dalam beberapa bentuk mazmur pujian maupun mazmur ratapan, berhubungan dengan kemenangan atas perang maupun penindasan yang di alami akibat musuh-musuh.

  Melihat banyaknya kemungkinan akan munculnya tema perang dalam kitab Mazmur maka penulis hendak memilih salah satu bagian saja yang terdapat dalam Mazmur 46. Mazmur 46 ini merupakan salah satu mazmur yang populer dan sudah dikenal oleh jemaat Kristen cukup lama. Gillingham menyatakan bahwa “Psalm 46 was popular, especially in its form in the Scottish Metrical Psalter, produced by John Knox shortly after the founding of the Church of Scotland in 1560.” 340 Selain itu, Weiser juga

  337 Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 44-58.

  338 Grant R. Osborne, Hermeneutika Spiral (Surabaya: Momentum, 2012), 274-75.

  339 Lasor, Hubbard, dan Bush, Pengantar Perjanjian Lama 2, 56-57.

  menyatakan bahwa Mazmur 46 merupakan inspirasi Luther sehingga ia menciptakan lagu ‘A safe stronghold our God is still’. 341 Selain terkenal dan memberikan inspirasi bagi tokoh besar gereja, Mazmur 46 merupakan mazmur yang unik dan rumit. John Eaton melihat Mazmur ini sebagai refleksi dari drama sakramental dari festival musim gugur, dimana kekuatan jahat atau kekacauan bertemu dengan kehadiran Allah sebagai bagian dari pengalaman eskatologis yang melahirkan pujian dan ucapan keyakinan. 342 Dalam bagian ini, secara unik penulis menyusun Mazmur ini dalam tiga lapis yang berbeda dan di dalam setiap lapis ini gambaran penaklukan dan peperangan muncul di masing-masing tema dengan cara yang unik dan penggunaan bahasa metaforikal yang menarik.

Eksposisi Mazmur 46

  Mazmur 46 menggunakan struktur tersendiri untuk membentuk pesan teologis. Arthur Weiser mengusulkan pembagian umum yang melihat mazmur ini dalam 3 bagian besar.

  Bait 1. Kekacauan Alam (Mazmur 46:1-4) Bait 2. Bangsa-bangsa mengamuk (Mazmur 46:5-8) Bait 3. Kehadiran Kerajaan Damai (Mazmur 46:9-12). 343

  Pembagian ini mengikuti “sela” yang biasa muncul dalam puisi Ibrani untuk memberikan tanda berakhirnya satu bait. Struktur ini memberikan penekanan pada bait ketiga sebagai

  341 Arthur Weiser, The Psalms (Philadelphia, Pennsylvania: The Westminster Press, 1962), 366.

  342 John Eaton, The Psalms (London: T. and T. Clark International, 2003), 190.

  343 Arthur Weiser, The Psalms (Philadelphia, Pennsylvania: The Westminster Press, 1962), 367-

  pesan utama dari Mazmur 46. Sedangkan, Samuel Terrein melihat bahwa bait satu dan dua dari puisi ini merupakan bagian yang bersifat khiastik sehingga Terrin membagi Mazmur ini hanya dalam dua bagian. 344

  Bait Pertama (Mazmur 46:2-8)

  a.Tempat perlindungan dan kekuatan

  ayat 2a.

  b. Pertolongan Tuhan

  ayat 2b

  c.Bumi bergoncang

  ayat 3a

  d.Laut bergelora

  ayat 4a

  e. Kota Allah

  ayat 5a

  e’.Pertolongan yang tepat

  ayat 6b

  pada waktunya d’.bangsa-bangsa bergoncang dan bergelora

  ayat 7a

  c’. Dunia hancur

  ayat 7b

  b’.Tuhan semesta alam bersama kita

  ayat 8a

  a’.Benteng perlindungan dan kekuatan

  ayat 8b

  Bait Kedua (Mazmur 46: 9-12)

  a. Penghancuran dan kedamaian dari Allah

  ayat 9-10

  b.Pemerintahan Allah dan Pengagungan

  ayat 11-12

  Dalam bagian ini, Terrin melihat bahwa penekanan Mazmur ini terletak pada tema kota Allah sebagai simbol pertolongan dan perlindungan.

  Mazmur 46 diawali dengan keterangan “Dari bani Korah. Dengan lagu: Alamot.” (Mazmur 46:1 ITB). Keterangan ini memberikan indikasi latar kesejarahan. Abraham Ibn Ezra menyatakan bahwa lagu ini diciptakan oleh anak-anak Korah yang hidup sejaman dengan raja Hizkia hingga masa Sanherib. Puisi ini berbicara mengenai kondisi Yerusalem dalam masa-masa perang. 345 Pada masa Hizkia, kerajaan Yehuda dikepung oleh beberapa kerajaan besar seperti Asyur dan Mesir. Meskipun demikian, Yehuda memiliki kubu-kubu pertahanan yang kuat mengelilingi kota Yerusalem. Kubu-kubu ini

  344 Samuel Terrien, The Psalms: Strophic Structure and Theological Commentary (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 2003), 373-74.

  345 Abraham Ibn Ezra, Commentary On The Second Book of Psalms: Chapter 42-72, terj. H.

  dibangun abad 9-8 sM dan mengalami perkembangan hingga masa Hizkia. 346 Gambaran kota dan geologis penulis inilah yang nampaknya digunakan untuk menyampaikan berita teologis dalam nyanyian ini.

  Mazmur 46 diawali dengan seruan pengakuan akan keyakinan pada Allah. Pengakuan ini menyatakan bahwa Allah adalah tempat perlindungan dan kekuatan (ayat 2a). Penggunaan kata הֶּסְחַמ yang memiliki makna “amankuat, tempat yang tidak dapat diakses” merujuk kepada metafora suaka atau tempat perlindungan. 347 Metafora ini mengarah pada kondisi geografis Zion yang dikelilingi barisan perbukitan dan gunung dengan dialiri oleh beberapa aliran sungai membuat Zion menjadi tempat yang cukup subur dan juga tepat sebagai benteng pertahanan. Kraus menambahkan bahwa kondisi geografis gunung Zion di sebelah utara memberikan gambaran sebagai lokasi bertahktanya Allah yang Maha Tinggi yang dari sana kegembiraan dan berkat mengalir. 348

  Selain itu, frasa “penolong dalam kesesakan sangat terbukti” (Mazmur 46:1b) memberikan indikasi akan adanya pengalaman di masa lalu yang menjadi alasan dari pengakuan keyakinan Israel pada Yahweh. Peter C. Craigie mengkaitkan frasa ini dengan kondisi kekacauan yang digambarkan melalui gejolak alam (ayat 3-4) sebagai gambaran dari bahasa perang Allah yang juga muncul dalam Kejadian 1:1-2 dan Keluaran 15 ketika Allah menciptakan langit bumi dan mengatasi kekuatan Primodial water sebagai

  346 Mario Liverani, Israel’s History and the History of Israel (London: Equinox, 2003), 136.

  347 Hans Joachim Kraus, Psalms 1-59 (Minneapolis: Fortress, 1993), 461.

  348 Kraus, Psalms 1-59, 462.

  lambang kekacauan, juga ketika Allah membebaskan dan membawa Israel keluar dari Mesir. 349 Pengalaman ini menghadirkan dua gambaran Allah di masa lalu, yaitu Allah sebagai pencipta semesta dan pahlawan perang Israel.

  Gambaran Allah sebagai pencipta dan pahlawan perang ini dipertajam dengan gambaran ketiga mengenai Allah sebagai Raja. Konsep Allah sebagai Raja diwakili oleh frasa “Kota Allah, kediaman Yang Mahatinggi” (Mazmur 46:5). Richard J. Clifford membandingkan bagian ini dengan literatur tentang dewa El yang menunjukkan bagaimana El juga memerintah sebagai raja di atas bukit dengan dialiri oleh dua sungai besar. 350 Perbandingan ini memberikan pemahaman bahwa Allah Yahweh adalah Raja bagi Israel. Ia memerintah dari Zion, kota suci Allah, pusat dari dunia.

  Kehadiran pemerintahan Allah bukan tanpa cobaan dan masalah. Dalam ayat ke-7 digambarkan adanya ketidakstabilan politik. Frasa “Bangsa-bangsa ribut, kerajaan- kerajaan goncang” (Mazmur 46:7) dikaitkan dengan kekacauan alam yang ada dalam bagian sebelumnya (ayat 3-4) untuk menunjukkan perlawanan atas pemerintahan Allah bukan hanya bersifat kekacauan alam namun juga perlawanan dari bangsa-bangsa. 351 Perlawanan ini ditanggapi dengan serius oleh Allah. Penulis mazmur ini menggunakan kata Yahweh Sebaoth ( תוֹ ָ֣אָבְצ הָָ֣והְי) yang memiliki makna Allah yang berperang. Frasa ini bukan hanya menunjukkan kehadiran Allah namun juga tindakan aktif Allah dalam membawa pembebasan. 352 Weiser menambahkan bahwa penggunaan kata Yahweh

  349 Peter C. Craigie, Psalms 1-50 (Waco, Texas: Word Books, 1983), 344.

  350 Richard J. Clifford, Psalms 1-72 (Nashville, Tennessee: Abingdon, 2002), 228.

  351 Craigie, Psalms 1-50, 345.

  352 John Goldingay, Psalms, jilid 2 (Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2007), 70.

  Sebaoth menggemakan kembali nada peperangan kuno dimana Allah dari tabut Perjanjian itu hadir dan bertarung dalam pertempuran bagi Israel. 353 Hal ini menunjukkan bahwa kondisi dalam Mazmur 46:1-8 bukan sekedar masalah perlindungan dari bahaya, namun gambaran dari kondisi perang Allah melawan segala hal yang hendak menghancurkan umat PerjanjianNya, Israel.

  Gambaran pertempuran Allah bagi Israel ini ditutup dengan kemenangan yang Allah capai dan kehadiran kerajaan damai dari Allah (ayat 9-11). Kemenangan ini diraih melalui penaklukan total yang Allah kerjakan terhadap musuh-musuh Israel. Penaklukan ini menjadi tanda hadirnya kedamaian yang kekal. Clifford menyatakan bahwa penggunaan gambaran “mematahkan busur panah, menumpulkan tombak, membakar kereta-kereta perang dengan api!” (Mazmur 46:9) merujuk kepada kedamaian yang Allah peroleh melalui jalan perang. 354 Konsep ini berhubungan dengan kondisi politik antar negara yang terjadi dalam dunia kuno dimana kedamaian yang dihasilkan atas dasar kerelaan untuk bekerjasama dan tidak saling menyerang hampir tidak ditemukan. Jika merujuk kepada dokumen-dokumen perjanjian masa itu, seperti yang umum dibaca dalam dokumen Hittite, maka kondisi damai tetap hadir berdasarkan penaklukan dari kelompok yang menang terhadap kerajaan-kerajaan yang sudah ditaklukan. Atas kemenangan inilah maka hanya Allah Yahweh saja yang layak menerima hormat dan ditinggikan di antara segala bangsa.

  Dari penjelasan di atas maka dapat dilihat bagaimana konsep perang digunakan dalam mazmur keyakinan iman untuk menggambarkan pemahaman Israel mengenai

  353 Weiser, The Psalms, 372.

  perlindungan Allah. Mazmur ini menggemakan lagi pemahaman akan Allah sebagai pahlawan perang Israel yang hadir dalam sejarah kehidupan Israel. Mulai dari membebaskan Israel dari Mesir, membawa Israel melalui padang gurun, hingga menjaga Israel di tanah Perjanjian menjadi bukti nyata dan alasan kuat dari kepercayaan Iman Israel. Selain itu, yang unik dari mazmur ini adalah bagaimana perang dipahami sebagai jalan mencapai pendamaian. Karena itu perang Allah adalah sesuatu yang sifatnya tidak terhindarkan dan hanya melaluinya kerajaan Allah yang damai itu dihadirkan.