Sintesis Biblikal-Teologis tentang Perang dalam Alkitab

Sintesis Biblikal-Teologis tentang Perang dalam Alkitab

  Dengan melihat adanya sisi-sisi yang berlanjut dan adanya bagian-bagian yang tidak berlanjut dalam perang. Ditambah dengan adanya data-data mengenai perang yang didapat dari penelusuran dalam bab tiga. Maka perlu adanyan sebuah sintesa Biblikal- Teologis mengenai perang dalam Alkitab. Dalam bagian ini, penulis akan membandingkan hasil yang diperoleh dengan pemahaman dari dua tokoh yang terlebih dahulu membahas mengenai perang, yaitu Susan Niditch dan Tramper Longman.

  Secara umum, perang dalam Alkitab dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu perang secara fisik atau spiritual. Perang secara fisik dalam Alkitab terjadi lebih banyak dalam relasi antara Israel dengan bangsa-bangsa lain, sebagai contoh perang antara Israel dan Mesir (Keluaran 15), Israel dan Yerikho (Yosua 5:13-6:27), Israel dan Kanaan (Hakim-Hakim 4-5), dan lain sebagainya. Sedangkan, perang spiritual lebih banyak muncul dalam Perjanjian Baru, dimana perang spiritual berkaitan erat dengan Secara umum, perang dalam Alkitab dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu perang secara fisik atau spiritual. Perang secara fisik dalam Alkitab terjadi lebih banyak dalam relasi antara Israel dengan bangsa-bangsa lain, sebagai contoh perang antara Israel dan Mesir (Keluaran 15), Israel dan Yerikho (Yosua 5:13-6:27), Israel dan Kanaan (Hakim-Hakim 4-5), dan lain sebagainya. Sedangkan, perang spiritual lebih banyak muncul dalam Perjanjian Baru, dimana perang spiritual berkaitan erat dengan

  Perang sebagai Bentuk Ibadah

  Kehidupan Israel kuno tidak pernah lepas dari kehidupan ibadah. Longman dan Reid menyatakan bahwa “In ancient Israel, all of life was religious, all of life was related to God.” 430 Hal ini juga termasuk permasalahan mengenai perang. Dalam pemahaman Israel kuno, perang dipahami sebagai bagian dari ibadah. Hal ini ditunjukkan melalui penggunaan kata herem dalam beberapa teks perang, salah satunya dalam Ulangan 20:17.

  Penggunaan kata herem dalam Alkitab menunjukkan dua makna, yaitu makna dikhususkan atau ditentukan untuk dihancurkan. Dalam Imamat 27:28 kata herem digunakan dalam konteks persembahan nazar memiliki makna dikhususkan. Hal ini seperti yang terjadi dalam kisah Hana yang mempersembahkan Samuel atau kisah Simson yang dikhususkan bagi Allah. Penggunaan kata herem ini berbeda dengan pemahaman dalam Ulangan 20, dimana dalam konteks perang, kata herem digunakan dalam makna ditentukan untuk dihancurkan, hal ini merujuk pada Ulangan 7:26. Pemahaman ini nampaknya sejalan dengan konsep Timur Dekat Kuno yang tercatat dalam inskripsi Mesha yang berisi;

  So I went by night and fought against it from the break of dawn until noon, taking it and slaying all, seven thousand men, boys, women, girls, and maid-servants for I had devoted them to destruction for (the god) Ashtar-Chemosh, (ANET, 321, trans. W.F. Albright). 431

  430 Tremper Longman III dan Daniel G. Reid, God is a Warrior (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 1995), 32.

  431 Susan Niditch, War in Hebrew Bible: A Study in the Ethic of Violence (Oxford: Oxford

  Pemahaman herem yang merujuk kepada tindakan penghancuran ini nampaknya memiliki kemiripan dengan pemahaman herem mengenai makna dikhususkan untuk dihancurkan. Sekalipun demikian, Niditch melihat ada perbedaan besar antara pemahaman Israel dengan kebudayaan Timur Dekat Kuno dimana penghancuran yang dilakukan oleh Israel bukan semata-mata untuk kehancuran namun lebih dilihat sebagai tindakan ketaatan dan pengabdian (devotion). 432

  Tindakan pengabdian merupakan bagian dari ibadah kepada Allah. Hal ini juga ditemukan oleh Longman dalam penelitiannya mengenai perang dalam Ul. 7, 23, Yos. 5, dan 1 Sam 13 yang menunjukkan bagaimana Israel harus melakukan beberapa hal dalam persiapan sebelum perang. Longman dan Reid menyatakan,

  Many of the acts that preceded a war in the Hebrew Bible indicate the religious nature of the conflict. Sacrifice, circumcision, vows, oracular inquiries, ritual cleanness-each of these elements announced Israel’s understanding that God was present with them in battle. 433

  Tindakan pengorbanan, penyunatan, hingga ritual pembersihan adalah bagian dari ibadah Israel yang secara umum juga dilakukan di luar konteks perang. Tindakan ibadah ini dilakukan dalam perang sebagai bagian dari pemahaman Israel akan kesadaran kehadiran Allah dalam pertempuran. Kehadiran Allah yang Kudus, yang kepadanya Israel diundang untuk menjadi bagian dari tentara Allah yang Kudus, menjadikan Israel wajib juga menguduskan diri mereka dalam ibadah-ibadah sebelum mereka maju dalam perang.

  Perang sebagai tindakan ibadah juga dilihat oleh Niditch dalam penelitiannya mengenai teks-teks perang dalam kitab-kitab Ulangan dan Yosua. Berbeda dengan

  432 Niditch, War in Hebrew Bible, 32.

  433 Longman dan Reid, God is a Warrior, 37.

  Longman, Niditch lebih menekankan pemahaman herem sebagai bentuk ibadah pengorbanan. Niditch menyatakan bahwa

  The ban-as-sacrifice is the ideology behind many of the brief comments on the conquest of cities in Joshua 8 and 10. Humans but not animals or inanimate booty are always devoted under the ban in this context for they are the most valuable offerings. 434

  Dalam pemahaman ini, kehancuran total dari bangsa Kanaan dilihat sebagai bentuk ibadah pengorbanan. Ibadah pengorbanan ini memungkinan merujuk pada korban penebusan dosa dalam Keluaran 30:10. Hal ini dikuatkan dengan fakta bahwa objek yang ditentukan untuk dihancurkan (herem) adalah objek yang berdosa dimana mereka pantas dan layak membayar hasil dari tindakan mereka, yaitu kematian. Hal ini selaras dengan penyataan Paulus dalam Roma 6:23a “Sebab upah dosa ialah maut”. Niditch juga menambahkan bahwa kematian dan perang sebagai bentuk pengorbanan merupakan salah satu cara memuaskan murka Allah atas dosa. 435 Hal ini bukan hanya terjadi bagi umat non-Israel, namun juga terjadi bagi umat Israel yang melakukan dosa, seperti dalam kisah Akhan (Yosua 7).

  Pemahaman mengenai korban penghapusan dosa dan pendamaian yang dikenakan pada konsep herem nampak dalam Perjanjian Baru melalui kematian Kristus di kayu salib untuk menggenapi nubuatan Yesaya 53. Dalam Yesaya 53 digambarkan bagaimana hamba yang menderita harus dihina, menderita, dan mati untuk menanggung dosa manusia. Hal ini sejalan dengan penyataan Rasul Yohanes, “Dan Ia adalah pendamaian untuk segala dosa kita, dan bukan untuk dosa kita saja, tetapi juga untuk dosa seluruh dunia.” (1Yohanes 2:2) Dalam bagian ini, kematian Kristus di kayu salib untuk

  434 Niditch, War in Hebrew Bible, 37.

  435 Niditch, War in Hebrew Bible, 40.

  menanggung dosa manusia menggenapkan konsep herem sebagai pemuasan murka Allah atas dosa.

  Lebih lanjut, penggunaan kata “rampasan” pada Yesaya 53:12 memberikan indikasi adanya nuansa perang dalam bagian ini. Selain itu, penggunaan kata “rampasan” menunjukkan bahwa kematian Hamba yang menderita dalam Yesaya 53 bukanlah bentuk kekalahan namun justru adalah kemenangan. Oleh sebab itu, kematian Kristus di kayu salib juga merujuk kepada kemenangan total atas dosa. Paulus dalam 1Korintus 15:54c menyatakan “Maut telah ditelan dalam kemenangan.” Hal menggambarkan kematian dan kebangkitan Kristus sebagai kemenangan atas kuasa dosa. Dengan demikian, tidak berlebihan jika dalam konsep penebusan dosa yang Kristus lakukan, umat Kristiani abad pertama menggambarkan kemenangan Kristus dengan gambaran penyambutan seorang pahlawan Perang yang pulang dengan membawa kemenangan (Filipi 2:8-11).

  Perang sebagai Jalan Pembebasan

  Perang bukan hanya dipahami oleh bangsa Israel sebagai bagian dari ibadah pada Allah, namun juga sebagai sebuah pembebasan. Dalam sejarah kehidupan Israel, Allah berulang kali menggunakan perang untuk membawa Israel terbebas dari ancaman musuh. Dimulai dengan perang Allah melawan Mesir hingga pada perang melawan Filistin, Amalek, dan bangsa-bangsa di sekitar Kanaan. Konsep perang sebagai jalan Pembebasan tidak terlalu nampak dalam pembahasan Niditch, sebab penekanan utama dari pembahasan Niditch lebih pada keadilan Allah dan penghukuman Allah. Sedangkan dalam Longman, perang sebagai jalan pembebasan dibahas secara singkat dalam pemahaman Allah sebagai pahlawan perang yang berperang bagi umatNya yang setia.

  Pemahaman perang sebagai jalan pembebasan digambarkan secara jelas dalam kisah keluarnya Israel dari Mesir (Keluaran 14-15). Peristiwa Keluaran menjadi pola bagaimana Allah menggunakan perang untuk membebaskan umatNya dari penindasan. Peristiwa Allah yang menyelamatkan umat yang tak berpengharapan dari perbudakan

  tirani menjadi berita yang tertanam kuat dalam hati Israel. 436 Keyakinan Israel atas Allah yang membebaskan juga terus muncul dalam masa-masa sulit Israel, terkhusus dalam

  berita pengharapan dan nubuatan masa pembuangan. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika gambaran Mesias sebagai pahlawan yang membawa pembebasan bagi umat-Nya sangat kental dalam literatur masa pembuangan, seperti pada Yesaya 42:10- 43:7, bahkan hingga abad pertama Masehi (1 Henokh 52, Barukh 4-5, Mazmur Salomo 17-18).

  Gambaran Mesias yang membawa pembebasan bagi umat-Nya, merupakan perkembangan dari pemahaman mengenai Mesias sebagai anak Daud. Loren T. Stuckenbruck menyatakan bahwa figur Mesias yang berkembang dalam masa pembuangan hingga abad pertama masehi dalam pemikiran umat Yahudi berakar kuat pada figur Daud dan Allah sebagai Pahlawan Perang. 437 Gambaran ini muncul berkaitan dengan kondisi sosial-politik masa pembuangan dan pasca pembuangan, sebagaimana yang ditemukan juga dalam kitab Yesaya dan Zakharia.

  436 Niditch, War in Hebrew Bible, 143.

  437 Loren T. Stuckenbruck, “Messianic Ideas in the Apocalyptic and Related Literature of Early Judaism”, dalam The Messiah in the Old and New Testaments, ed. Stanley E. Porter (Grand Rapids,

  Michigan: Eerdmans, 2007), 112.

  Selain itu, S. Talmon menyatakan bahwa penekanan antara pengalaman historis dan utopianisme mistis juga mewarnai pemahaman dari konsep Mesias dalam masa pembuangan dan pasca pembuangan. 438 Dalam pemahaman inilah nuansa spiritual dalam konsep Mesias berkembang dan mempengaruhi munculnya pemahaman mesianik dalam Perjanjian Baru. Tema-tema seperti hari Tuhan, Kerajaan Allah, dosa, dan penebusan dalam Perjanjian Baru banyak mengandung nuansa spiritual, seperti yang terdapat dalam Matius 24;3-14, Efesus 6:10-20, Wahyu 16, 20. Dalam nuansa spiritual dan eskatologis, pembebasan dikaitkan dengan dosa. Paulus dalam Roma 6:15-23 menjelaskan kuatnya ikatan dosa dengan gambaran perbudakan, dimana orang berdosa diikat dan diperbudak oleh dosa. Dalam perbudakan dosa inilah, Allah menghadirkan Kristus sebagai pembebas. Longman menyatakan bahwa Paulus menggambarkan penebusan Kristus sebagai tipologi dari Keluaran yang baru dimana umat Allah dibebaskan dari ikatan perbudakan dosa melalui kematian dan kebangkitan Kristus. 439 Peristiwa kematian dan kebangkitan Kristus menjadi gambaran peperangan dengan Iblis, dimana kekuatan Iblis dikalahkan dan sengat maut dipatahkan (1Korintus 15:55-57). Oleh sebab itu, perang sebagai jalan pembebasan mengalami pergerakan penekanan, mulai dari pemahaman sosial-politik menuju pembebasan dari perbudakan dosa dan kuasa maut.

  438 Shemaryahu Talmon, “The Concept of Messiah and Messianism in Early Judaism”, dalam The Messiah: Developments in Earliest Judaism and Christianity, ed. James H. Charlesworth (Minneapolis,

  Minnesota; Fortress, 1992), 85.

  439 Longman dan Reid, God is a Warrior, 161-162.

  Perang sebagai Bentuk Penghukuman Perang bukan hanya membebaskan, namun juga dapat digunakan oleh Allah sebagai bentuk penghukuman. Niditch mengatakan bahwa perang bukan menjadi alat untuk memuaskan Allah melalui pengorbanan manusia, namun lebih sebagai

  penghukuman yang adil terhadap keberdosaan manusia. 440 Kisah perang Kanaan menjadi salah satu contoh bagaimana Allah menghukum bangsa Kanaan atas dosa mereka melalui

  umat-Nya Israel. Lebih lanjut, hukuman yang diberikan Allah bukan hanya kepada orang-orang di luar Israel, namun juga bagi kaum Israel. Kisah tentang kekalahan Israel terhadap Ai (Yosua 7), kekalahan Israel dengan Filistin, (1Samuel 4-6), bahkan hingga kisah pembuangan ke Babel menjadi cara Allah menghukum Israel melalui perang.

  Secara unik Longman menggambarkan bahwa dalam keluaran, Allah dilihat sebagai Pahlawan Israel, namun dalam pembuangan, Allah adalah musuh Israel yang hadir dengan penghakimanNya. 441 Kehadiran Allah sebagai hakim yang membawa penghukuman bagi Israel berkaitan dengan pemahaman Perjanjian. Dalam Perjanjian dengan Allah, Israel dituntut untuk setia dan taat. Tindakan kesetiaan dan ketaatan pada Allah adalah bentuk pengabdian Israel pada Allah, sebaliknya pelanggaran Israel terhadap Perjanjian menjadikan Israel sebagai sasaran hukuman Allah. 442 Pemahaman ini digambarkan melalui dua makna dari kata herem, yaitu dipisahkan untuk Allah atau ditentukan untuk dibuang, dihancurkan.

  440 Niditch, War in the Hebrew Bible, 57.

  441 Longman dan Reid, God is a Warrior, 52.

  442 Niditch, War in the Hebrew Bible, 59.

  Pemahaman perang sebagai bentuk hukuman atas dosa manusia juga terus berkembang hingga masa pembuangan. Dalam masa ini, pembuangan dilihat sebagai hukuman terberat bagi Israel, sebab Israel bukan hanya mengalami perang dan kalah, namun juga terbuang dari tanah Perjanjian. Keterbuangan Israel dari tanah Perjanjian menjadi hukuman terberat. Terbuang atau terpisah dari Allah dilihat setara dengan kematian. Dalam Mazmur 46 gambaran Allah sebagai kota benteng yang teguh dimana Israel tinggal di dalamnya menunjukkan kehidupan, sedangkan frasa “dibuang”, “ditinggalkan”, “miskin”, atau “ditolak” menjadi gambaran dari kematian dan hukuman. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika di kayu salib Yesus meneriakkan “"Eli, Eli, lama sabakhtani?” (Matius 27:46) sebagai gambaran dari hukuman terberat yang harus ditanggung-Nya karena dosa kita.

  Dalam pemahaman ini, Niditch mengkaitkan perang dengan keadilan Allah. Dalam keadilan Allah inilah perang digunakan untuk memisahkan antara yang kudus dan tidak kudus, yang layak untuk diselamatkan dan yang dikhususkan untuk dihancurkan. 443 Sedangkan Longman lebih banyak mengkaitkan tema ini dengan konsep Perjanjian. Dimana tindakan Allah dalam dan melalui perang dilihat sebagai bagian ekspresi dari kondisi Perjanjian. 444

  Sedangkan, secara pribadi, penulis melihat bahwa konsep perang sebagai bentuk hukuman dari Allah justru mengalami pergerakan dimana pada masa-masa pembuangan hukuman Allah tidak dipahami lewat perang namun melalui keterpisahan dengan Allah.

  443 Longman dan Reid, God is a Warrior, 77.

  444 Longman dan Reid, God is a Warrior, 48.

  Gambaran keterpisahan dengan Allah sebagai hukuman Allah semakin dikuatkan dalam Perjanjian Baru, terutama melalui seruan Kristus di kayu salib. Gambaran perang kembali menjadi bentuk penghukuman Allah bagi yang berdosa baru muncul lagi dalam kitab Wahyu sebagai gambaran penghukuman terakhir (Wahyu 16, 20). Hal ini menunjukkan bahwa sekalipun konsep perang sebagai bentuk hukuman Allah sempat tertutupi dengan konsep pembuangan, namun dalam teks-teks eskatologis, perang kembali dimunculkan sebagai bentuk penghukuman terakhir yang sifatnya universal dan spiritual. Selain itu, pemahaman mengenai Israel sebagai Instrumen penghukuman Allah (Yosua 5-6) nampaknya tidak lagi berlaku dalam Perjanjian Baru, sebab dalam perang eskatologis, Allah bertindak secara pribadi dalam menghadirkan penghukuman. Dengan demikian, penulis setuju dengan konsep non-participation yang diajukan oleh Niditch dengan argumen bahwa ada diskontinuitas dalam pemahaman Israel sebagai instrumen penghukuman Allah. 445 Oleh sebab itu, teori just war tidak dapat menggunakan status Israel sebagai instrumen penghukuman Allah untuk melegalkan keikutsertaan orang Kristen dalam perang.

  Perang sebagai Masalah Iman

  Kehadiran perang sebagai bentuk ibadah, maupun sebagai bentuk pembebasan atau penghukuman dari Allah, berkaitan erat dengan permasalahan iman. Niditch juga melihat hal yang sama, dimana perang dapat hadir dalam konteks hukuman Allah maupun perihal bertahan dalam iman. 446 Dalam Ulangan 20 penggunaan frasa “jangan

  445 Niditch, War in the Hebrew Bible, 143.

  takut, sebab Tuhan Allah-mu...” menunjuk pada iman kepercayaan pada Allah. Selain itu, dalam kisah Yosua, ketika Yosua dan Israel harus kehilangan Musa, Allah datang dan menguatkan iman Yosua melalui kehadiran Allah sebagai panglima perang Israel. Bahkan yang menarik, dalam kisah ini, ketaatan dan iman percaya pada Allah jauh lebih penting dibandingkan jumlah tentara ataupun persenjataan perang (Hakim-Hakim 7).

  Kepercayaan kepada Allah bukan hanya ditunjukkan dalam hal jumlah tentara atau teknologi perang yang dimiliki, namun juga berhubungan dengan relasi pribadi. Relasi pribadi dengan Tuhan menunjukkan bagaimana seseorang memahami posisi dirinya dihadapan Allah di dalam peperangan. Hal ini nampak jelas dalam contoh kehidupan Saul dan Daud. Dalam 1Samuel 13, Saul secara sengaja melanggar kekudusan Allah melalui mengorbankan korban bakaran sebelum berperang. Dalam bagian ini nampak Saul memposisikan Allah sebagai ilah yang akan memenuhi perintah dan permintaan Saul jika Saul memberikan korban bakaran. Sebaliknya, Daud mengerti benar bahwa Allah adalah Raja yang sesungguhnya, sehingga dalam perang Daud selalu mengutamakan Allah. Hal ini nampak dalam 1Samuel 17:45, dimana Daud berseru pada Goliat, "Engkau mendatangi aku dengan pedang dan tombak dan lembing, tetapi aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam, Allah segala barisan Israel yang kautantang itu.” (1Samuel 17:45) Dalam bagian ini Daud sadar bahwa kehadirannya dalam perang bukan sebagai yang utama, namun Allah yang utama. Oleh karena itu, ia mengatakan “aku mendatangi engkau dengan nama TUHAN semesta alam.”

  Kesadaran akan posisi Israel dalam relasi dengan Tuhan akan mempengaruhi cara Israel melihat dan menjalani perang. 1Samuel 4-6 menunjukkan secara jelas bagaimana Allah bukan seperti ilah lain yang dapat dipergunakan sebagai jimat untuk memperoleh Kesadaran akan posisi Israel dalam relasi dengan Tuhan akan mempengaruhi cara Israel melihat dan menjalani perang. 1Samuel 4-6 menunjukkan secara jelas bagaimana Allah bukan seperti ilah lain yang dapat dipergunakan sebagai jimat untuk memperoleh

  Dalam bagian ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa perang dalam pemikiran Alkitab bukan sekedar masalah sosial politik namun juga masalah iman. Dalam bagian ini diperlihatkan bahwa kehadiran Allah sebagai pahlawan perang justru lebih untuk menyelesaikan permasalahan spiritual. Selain itu, jika merujuk pada kitab-kitab pasca pembuangan maka pemahaman akan janji keselamatan bagi umat lebih mengarah pada pemulihan relasi spiritual. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika dalam Perjanjian Baru kehadiran Kristus sebagai Mesias bertujuan bukan sebagai restorasi politik, namun restorasi spiritual. Yesus menyatakan bahwa kehadiranNya bukan untuk membentuk kerajaan politik, namun Ia hadir untuk menyelamatkan yang terhilang (Matius 18:11). Kristus mengembalikan relasi manusia dengan Allah yang terputus karena dosa, melalui pengorbanan-Nya di kayu salib. Inilah kemenangan perang yang sesungguhnya.

  Perang sebagai Bagian dari Misi Allah

  Perang sebagai bagian dari misi Allah, frasa ini nampaknya mengundang banyak perdebatan. Bagaimana Allah yang adalah kasih menggunakan kekerasan sebagai upaya untuk membuat manusia percaya padaNya? Bagaimana Allah yang Kudus dan maha Kuasa adalah juga Allah yang digambarkan penuh dengan darah? Oleh sebab itu, baik Longman maupun Niditch tidak menunjukkan adanya pemahaman misi dalam perang. Sekalipun demikian, mengutip pernyataan Walter C. Kaiser, bahwa rencana agung Allah untuk membawa keselamatan bagi dunia mendominasi keseluruhan pemahaman teologi dan kisah-kisah di Alkitab. 447 Di tambah hasil dari penelitian sejarah mengenai pemahaman Timur Dekat Kuno tentang kemenangan perang, konsep tentang Allahdewa, serta hasil penafsiran yang muncul dalam bab tiga, membuat penulis melihat bahwa tema ini cukup beralasan untuk diungkapkan.

  Pemahaman perang sebagai bagian dari misi Allah berhubungan erat dengan konsep perang dalam pemikiran Timur Dekat Kuno. Dalam mitos Timur Dekat Kuno, perang dilihat sebagai konflik spiritual dan kosmik antara Allah dan kekuatan jahat, dimana pemenang dari perang ini akan menjadi raja dan kepada segala hormat dan pujian diberikan. 448 Dalam hal ini, tidak jarang bahwa kemenangan sebuah bangsa dalam perang terhadap bangsa lain juga membawa pertobatan bagi pribadi-pribadi tertentu dari bangsa yang ditaklukkan. Hal ini nampak pada Keluaran 12:48 dimana frasa “seorang asing telah menetap padamu” kemungkinan besar berkaitan dengan orang-orang non-Israel yang ikut

  447 Walter C. Kaiser, Mission in the Old Testament (Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 2000),

  448 Longman dan Reid, God is a Warrior, 83-85.

  keluar dari Mesir. Pada bagian ini juga dikatakan bahwa orang asing ini juga ingin merayakan Paskah dan oleh karenanya mereka harus disunat agar mereka masuk menjadi satu dengan umat Perjanjian. Dari kesaksian Alkitab, hal ini jelas bukan sekedar merujuk masalah politik namun lebih kepada pengakuan spiritual akan keilahian Allah Israel.

  Selain itu, dalam peperangan Timur Dekat Kuno, pihak yang kalah biasanya akan dibunuh atau dijadikan budak oleh pihak yang menang. 449 Hal ini juga nampak dalam kemenangan Musa melawan Midian, dimana budak tawanan merupakan bagian dari barang rampasan perang (Bilangan 31:11). Kehadiran konsep budak masa itu, bukan sekedar menuruti perintah tuan, namun tidak jarang juga budak-budak ini akan mengikuti kepercayaan dari sang tuan. Tradisi ini nampak jelas dalam kisah pembuangan Babel, dimana Nebukadnezar memerintahkan semua orang termasuk budak dan orang-orang tawanan untuk menyembah patung yang ia dirikan (Daniel 3). Pemaksaan kepercayaan ini adalah bagian yang wajar dalam budaya Timur Dekat Kuno dimana perubahan kepercayaan bisa menjadi bagian dari klausul damai antara pihak yang menang (Suzerain) dan yang kalah (Vassal). 450

  Konsep ini digunakan Paulus dalam Perjanjian Baru untuk menggambarkan bagaimana Yesus telah menang dalam peperangan melawan Iblis dan ia mengambil kita serta memerdekakan kita dari hamba dosa menjadi hamba Allah (Roma 6:17-18). Selain itu, penggunaan frasa “ditangkap” (κατελήμφθην) dalam Filipi 3:12 juga memiliki makna dimenangkan atau direbut dengan keras. Hal ini merujuk pada kemenangan Kristus di atas kayu Salib dalam Filipi 2:5-11, serta sebagai penggambaran dari kesaksian

  449 Niditch, War in the Hebrew Bible, 67.

  pertobatan Paulus dalam Filipi 3:7-11. Oleh sebab itu, Paulus melihat bahwa konsep perang dan hamba merupakan bagian yang dapat digunakan untuk menggambarkan misi Allah.

  Pemahaman perang sebagai bagian dari misi Allah juga dapat dilihat dari kisah 1Samuel 4-6 dan Ester 8-9. Dalam bagian ini misi Allah melalui perang dapat dilihat lewat pengakuan dan penghormatan yang diberikan bangsa Filistin kepada Tabut Allah. Sekalipun bangsa Filistin tidak menjadi bagian dari umat Allah, namun dalam kisah ini Filistin sebagai bangsa asing justru memberikan penghormatan dan pengakuan kepada Allah Israel sebagai Allah yang sejati, pemenang perang yang sesungguhnya, hal ini nampak dari pemberian Filistin ketika mereka mengembalikan tabut TUHAN. Selain itu, penggunaan frasa “tabut TUHAN” pada 1Samuel 6:2 menunjukkan adanya perubahan pemahaman bangsa Filistin tentang siapa Allah Israel. Perubahan ini nampak jika dibandingkan dengan 1Samuel 4:7 dimana orang Filistin menggunakan kata elohim untuk menunjuk pada Allah Israel (םי ִִ֖הלֱֹא), frasa ini lebih bersifat umum, sedangkan kata TUHAN dalam 1Samuel 6:2 menggunakan kata Yahweh (הָָ֑והְי) yang lebih memberikan nuansa Allah sebagai Allah Perjanjian. Perubahan ini menunjukkan bahwa adanya pengenalan yang lebih mendalam tentang siapa Allah Israel dalam kehidupan bangsa Filistin.

  Dalam kitab Ester, misi Allah dapat dilihat melalui ketakutan yang dihadirkan oleh Mordekhai dan orang Yahudi, sehingga dikatakan banyak pembesar, wakil-wakil pemerintah, bupati, dan orang-orang berpengaruh saat itu memilih untuk mendukung orang Yahudi. Ketakutan yang dialami oleh orang-orang non-Yahudi menjadi gambaran dari hadirnya kuasa Allah. Pemahaman mengenai kuasa Allah yang membawa ketakutan Dalam kitab Ester, misi Allah dapat dilihat melalui ketakutan yang dihadirkan oleh Mordekhai dan orang Yahudi, sehingga dikatakan banyak pembesar, wakil-wakil pemerintah, bupati, dan orang-orang berpengaruh saat itu memilih untuk mendukung orang Yahudi. Ketakutan yang dialami oleh orang-orang non-Yahudi menjadi gambaran dari hadirnya kuasa Allah. Pemahaman mengenai kuasa Allah yang membawa ketakutan

  Dalam bagian ini, kehadiran misi Allah dalam perang juga mengalami pergerakan dari kehadiran yang bersifat politik, melalui tradisi perbudakan, hingga menuju pada kehadiran misi Allah secara spiritual melalui pemahaman dan pengenalan tentang kuasa dan pribadi Allah.

  Perang sebagai Penyataan Kehadiran Kerajaan Allah

  Sebagai bangsa, pemahaman mengenai perang tidak dapat lepas dari konstruksi politik dan sosial yang ada. Pergerakan pemahaman perang Israel dari Mesir menuju Kanaan juga mengalami sebuah perkembangan pemahaman dari perang untuk merebut wilayah menuju perang sebagai upaya mempertahankan wilayah. Pemahaman perang ini berhubungan dengan pergerakan sosial-politik yang terjadi dalam kehidupan Israel, dari bangsa yang dibebaskan menuju kerajaan yang menetap (stable). Selain itu, munculnya identitas sebagai bangsa pilihan serta kenangan akan keagungan kerajaan Daud menyebabkan munculnya pemahaman tentang kerajaan impian, yaitu Kerajaan Allah. Sekalipun demikian, tema Kerajaan Allah justru lebih banyak muncul di masa Sebagai bangsa, pemahaman mengenai perang tidak dapat lepas dari konstruksi politik dan sosial yang ada. Pergerakan pemahaman perang Israel dari Mesir menuju Kanaan juga mengalami sebuah perkembangan pemahaman dari perang untuk merebut wilayah menuju perang sebagai upaya mempertahankan wilayah. Pemahaman perang ini berhubungan dengan pergerakan sosial-politik yang terjadi dalam kehidupan Israel, dari bangsa yang dibebaskan menuju kerajaan yang menetap (stable). Selain itu, munculnya identitas sebagai bangsa pilihan serta kenangan akan keagungan kerajaan Daud menyebabkan munculnya pemahaman tentang kerajaan impian, yaitu Kerajaan Allah. Sekalipun demikian, tema Kerajaan Allah justru lebih banyak muncul di masa

  Dalam kaitan dengan konsep hari Tuhan, penyataan Kerajaan Allah hadir sebagai pengharapan akan pembebasan dari perbudakan dan kemenangan dalam perang. Hal ini berhubungan dengan keadaan sosial-politik dari Israel, dimana kehancuran Yerusalem dan pembuangan ke Babel menandai era kerajaan. Kondisi Israel yang tanpa raja dan tentara perang membangkitkan ingatan Israel akan sejarah keluarnya Israel dari Mesir, dimana muncul pengharapan akan hadirnya seorang pahlawan yang akan membebaskan Israel dan menegakkan kembali kerajaan Daud. 451 Hal ini diyakini akan terjadi pada hari Tuhan, hari dimana Tuhan melawat umatNya dan membawa pembebasan bagi umat PerjanjianNya.

  Kehadiran hari TUHAN digambarkan dengan kondisi yang penuh kekacauan. Dalam Yesaya 13:9a dikatakan “Sungguh, hari TUHAN datang dengan kebengisan, dengan gemas dan dengan murka yang menyala-nyala” Bagian ini selaras dengan gambaran Yeremia 46:10

  Hari itu ialah hari Tuhan ALLAH semesta alam, hari pembalasan untuk melakukan pembalasan kepada para lawan-Nya. Pedang akan makan sampai kenyang, dan akan puas minum darah mereka. Sebab Tuhan ALLAH semesta alam mengadakan korban penyembelihan di tanah utara, dekat sungai Efrat. (Yeremia 46:10)

  Gambaran kehancuran dan perang yang hadir pada hari TUHAN juga muncul pada bagian Yesaya 42:10-43:7 dan Zakharia 14 dimana kehancuran dan pembalasan yang Tuhan kerjakan pada hari TUHAN bukan hanya melalui perang, namun juga melalui Gambaran kehancuran dan perang yang hadir pada hari TUHAN juga muncul pada bagian Yesaya 42:10-43:7 dan Zakharia 14 dimana kehancuran dan pembalasan yang Tuhan kerjakan pada hari TUHAN bukan hanya melalui perang, namun juga melalui

  Perang yang terjadi di hari TUHAN merupakan peperangan besar, dimana Allah hadir dengan penghukuman dan pembebasan. Berkaitan dengan ini Von Rad menyatakan

  bahwa “Day of Yahweh encompasses a pure event of war.” 452 Perang yang terjadi pada hari TUHAN merupakan bentuk tradisi awal dari perng kudus Allah dalam pemikiran

  Israel kuno. Dalam peperangan ini, Israel tidak mengambil peran apapun dan hanya Allah yang berperang untuk Israel. Longman menyatakan hal yang sama, dimana peperangan yang terjadi dalam kaitannya dengan hari TUHAN menonjolkan peran dari pahlawan perang Ilahi dalam nuansa kosmik. 453 Kehadiran dari figur pahlawan perang Ilahi serta ingatan akan kebesaran kerajaan Israel masa Daud membentuk pengharapan mesianik tentang pemerintahan Allah.

  Yesaya 9:6 menggambarkan kehadiran Mesias sebagai Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai (Yesaya 9:6). Niditch menyatakan bahwa pengharapan Mesias yang seperti ini merujuk kepada gambaran Daud sebagai raja dan panglima perang. 454 Gambaran Daud yang dikaitkan dengan figur Mesias, secara politik memperlihatkan adanya pengharapan pembebasan dan berdirinya kembali kerajaan Israel yang telah hancur. Pengharapan akan pembebasan dan berdirinya kembali kerajaan Israel dinyatakan oleh Yesaya, Daniel dan beberapa nabi lain. Dalam Yesaya 44 dikatakan

  Akulah yang menguatkan perkataan hamba-hamba-Ku dan melaksanakan keputusan- keputusan yang diberitakan utusan-utusan-Ku; yang berkata tentang Yerusalem: Baiklah

  452 Gerhard Von Rad, ”The Origin of the Concept of then Day of Yahweh,” Journal Semitic Studies 4 (1959): 97-108.

  453 Longman dan Reid, God is a Warrior, 70.

  ia didiami! dan tentang kota-kota Yehuda: Baiklah ia dibangun, Aku mau mendirikan kembali reruntuhannya! (Yesaya 44:26)

  Jelas bahwa ada janji Allah tentang berdirinya kembali kerajaan Israel yang telah hancur. Bahkan Daniel menggambarkan bahwa kerajaan yang dibangun oleh Allah pada hari TUHAN adalah kerajaan yang kekal.

  Tetapi pada zaman raja-raja, Allah semesta langit akan mendirikan suatu kerajaan yang tidak akan binasa sampai selama-lamanya, dan kekuasaan tidak akan beralih lagi kepada bangsa lain: kerajaan itu akan meremukkan segala kerajaan dan menghabisinya, tetapi kerajaan itu sendiri akan tetap untuk selama-lamanya, (Daniel 2:44)

  Hal ini menunjukkan adanya pengharapan tentang hadirnya kerajaan Allah yang mengatasi segala kerajaan dan memerintah secara kekal.

  Dalam perjanjian Baru, pengharapan Mesianik ini dipenuhi melalui figur Kristus. Dalam Matius 1:1 ditekankan bahwa Yesus adalah keturunan Daud. Hal ini berkaitan dengan pemahaman Mesias sebagai keturunan Daud (Yeremia 33:17), yang juga dinyatakan kembali dalam Lukas 1:68-70 lewat nubuatan Zakharia. Kehadiran Yesus sebagai Mesias anak Daud juga menggenapi janji Allah pada Daud dalam 2Samuel 7:9-

  16, dimana melalui keturunan Daud kerajaan Israel akan kokoh untuk selama-lamanya. Dalam hal ini, kehadiran Yesus sebagai Mesias anak Daud memiliki tujuan untuk mengokohkan kembali kerajaan Israel.

  Sekalipun Yesus menyadari bahwa kehadiranNya dalam dunia adalah untuk meneguhkan kembali kerajaan Israel, namun pemahaman kerajaan Israel dalam hal ini bukanlah secara politik namun lebih secara spiritual. Oleh sebab itu, Yesus menyatakan bahwa Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini (Yohanes 18:36a). Mengutip Longman, “Berita Injil adalah berita kemenangan Allah atas kekuatan jahat yang memerintah dunia.” 455

  Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa perlawanan yang dihadapi pemerintahan Yesus bukanlah perlawanan dari kekuatan politik, namun lebih kepada kekuatan jahat yang bersifat supranatural yang memerintah dunia. Oleh karena itu, tidaklah salah jika Paulus mengatakan bahwa karena “perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu- penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara.” (Efesus 6:12) Sebab pemerintahan Yesus bukan bersifat politik, namun lebih bersifat spiritual dan peperangan yang terjadi adalah peperangan spiritual.

  Peperangan melawan kuasa-kuasa supranatural ini terus berlanjut hingga pada pemahaman perang secara eskatologis. Perang antara kerajaan Allah melawan kerajaan si jahat yang digambarkan dalam kitab Wahyu sebagai peperangan terakhir. Dalam bagian ini, kehadiran figur-figur seperti Anak Domba yang disembelih atau Pengendara kuda putih menjadi simbol dari Kristus sebagai pahlawan perang Ilahi. Kehadiran figur pahlawan perang Ilahi dalam kitab Wahyu menunjuk pada penghakiman terakhir bagi musuh-musuh Israel dan kuasa jahat yang mencoba melawan kerajaan Allah. Menambahkan hal ini, Longman melihat bahwa kehadiran pahlawan perang Ilahi juga menunjukkan kemahakuasaan dan otoritas kerajaan yang Ilahi. 456 Oleh karena itu, meskipun kuasa binatang dalam kitab Wahyu mampu untuk menundukkan kerajaan- kerajaan dunia untuk melawan kerajaan Allah, namun kitab Wahyu tetap menunjukkan bahwa otoritas kerajaan Allah selalu lebih tinggi dan lebih berkuasa.

  456 Longman dan Reid, God is a Warrior, 186.

  Perseteruan antara otoritas kerajaan Allah dengan kerajaan Iblis adalah realitas yang tidak dapat dihindari. Justru melalui perseteruan inilah kuasa Allah ditunjukkan dan kerajaan Allah menjadi nyata pada akhirnya. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika Longman mengatakan salah satu fungsi perang adalah untuk menyatakan kekuasaan dan

  memelihara keberlangsungan kekuasaan. 457 Hal ini juga terlihat dalam pemahaman Yohanes, bahwa perang eskatologi harus terjadi mendahului kehadiran kerajaan Allah,

  Yerusalem yang baru. Oleh sebab itu, dalam Wahyu 20 Allah sengaja melepaskan Iblis untuk mengumpulkan semua musuh Allah dan menyelesaikan perseteruan melalui peperangan terakhir (Wahyu 20:7-8). Dan setelah perang terakhir inilah kerajaan Allah yang damai itu dihadirkan (Wahyu 21). Kehadiran kerajaan damai yang dinyatakan setelah peperangan besar juga menjadi pola dalam Mazmur 46 dimana dalam kekuasaanNya Allah mengakhiri perang dan menghadirkan kerajaan damai dengan mematahkan busur panah, menumpulkan tombak, membakar kereta-kereta perang (Mazmur 46:10). Kehadiran kerajaan damai ini menggenapi pengharapan Israel tentang gambaran pemerintahan Allah (Yesaya 2:3-4), dimana setiap suku bangsa akan datang bersujud dihadapan Allah, menyembah dan belajar padaNya. Gambaran ini dipenuhi dalam Wahyu 21:1-4, bahwa setelah masa perang besar maka kerajaan Allah akan hadir sebagai kerajaan Damai dimana setiap suku bangsa akan menjadi bagian dari umat Allah dan saat itu tidak ada lagi perang ataupun air mata, tidak ada perkabungan dan ratapan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa realita perang merupakan bagian yang tidak terhindarkan untuk menghadirkan kerajaan Allah di muka bumi. Meskipun demikian, Yerusalem yang baru. Oleh sebab itu, dalam Wahyu 20 Allah sengaja melepaskan Iblis untuk mengumpulkan semua musuh Allah dan menyelesaikan perseteruan melalui peperangan terakhir (Wahyu 20:7-8). Dan setelah perang terakhir inilah kerajaan Allah yang damai itu dihadirkan (Wahyu 21). Kehadiran kerajaan damai yang dinyatakan setelah peperangan besar juga menjadi pola dalam Mazmur 46 dimana dalam kekuasaanNya Allah mengakhiri perang dan menghadirkan kerajaan damai dengan mematahkan busur panah, menumpulkan tombak, membakar kereta-kereta perang (Mazmur 46:10). Kehadiran kerajaan damai ini menggenapi pengharapan Israel tentang gambaran pemerintahan Allah (Yesaya 2:3-4), dimana setiap suku bangsa akan datang bersujud dihadapan Allah, menyembah dan belajar padaNya. Gambaran ini dipenuhi dalam Wahyu 21:1-4, bahwa setelah masa perang besar maka kerajaan Allah akan hadir sebagai kerajaan Damai dimana setiap suku bangsa akan menjadi bagian dari umat Allah dan saat itu tidak ada lagi perang ataupun air mata, tidak ada perkabungan dan ratapan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa realita perang merupakan bagian yang tidak terhindarkan untuk menghadirkan kerajaan Allah di muka bumi. Meskipun demikian,

  Sebagai kesimpulan teologis, maka penulis melihat perang dalam Alkitab memiliki enam makna yang dapat saling terkait, yaitu:

  1. Perang sebagai bentuk ibadah

  2. Perang sebagai jalan pembebasan