Konsep Perang dalam Alkitab Sebuah pende
SEKOLAH TINGGI TEOLOGI REFORMED INDONESIA KONSEP PERANG DALAM ALKITAB:
SEBUAH PENDEKATAN KONTINUITAS DAN DISKONTINUITAS
SKRIPSI INI DIAJUKAN KEPADA SENAT STT REFORMED INDONESIA UNTUK MEMENUHI PERSYARATAN MENCAPAI GELAR SARJANA TEOLOGI OLEH DOULA ALEP RUSTIANTO JAKARTA DESEMBER 2015
UCAPAN TERIMA KASIH
Sebuah karya tercipta bukan tanpa beban atau tujuan. Karya tangan manusia terlahir dari perjuangan serta ketekunan. Dan syukur pada Allah Tritunggal yang telah meletakkan beban serta mengaruniakan ketekunan pada penulis untuk dapat mengawali pergumulan ini hingga paripurnanya. Dalam hari dan bulan yang dilalui, serta tiap jatuh bangun proses yang dihadapi, Ia terus menyertai dan memberi ketertarikan serta kerinduan untuk terus menggali dan mencari tahu misteri agung ini. Hingga akhirnya karya ini menjadi sebagaimana adanya, semua hanya karena anugerah-Nya.
Ungkapan terimakasih juga tak lupa penulis sampaikan kepada beberapa figur penting yang ada bagi penulis dalam melalui proses kepenulisan tugas akhir ini.
1. Terimakasih kepada kedua orangtua penulis yang tak pernah lelah memberi kesempatan serta dukungan untuk penulis memulai kembali dari setiap kegagalan dan terus memberikan semangat dalam doa dan perhatian yang tak mungkin tergantikan.
2. Terimakasih untuk Pdt. Yakub B. Susabda, Ph.D sebagai Rektor STTRI yang memberikan penulis kepercayaan, teladan, dan juga didikan hingga penulis boleh mendapat kesempatan untuk kembali menapaki jalan panggilan Tuhan.
3. Terimakasih untuk Ev. Inawaty Teddy, B.Com., M.Th dan Ev. Simeon Theojaya, M.T.S, yang dengan penuh kasih, menolong, membimbing, mengoreksi, serta menjadi rekan diskusi penulis dalam proses penyelesaian skripsi ini.
4. Terimakasih untuk Ev. Ina Hidayat, Th.M. yang telah menjadi dosen penguji sekaligus editor bagi penyelesaian tulisan ini hingga layak cetak dan menjadi bagian dari karya skripsi STTRI.
5. Terimakasih untuk Bapak dan Ibu dosen STTRI: Esther Susabda, Ph.D., Yuzo Adhinata, Ph.D., Emil Salim, S.E., M.Div., Ph.D., Lanny Pranata, B.A., M.Th., Ir. Asriningrum, M.Th., Andreas H. Simeon, M.Th., Samuel B. Prasetya, M.Si., Ir. Siska A. Tampenawas, M.Th., Pdt. Agus Santoso, Dr. Theol., Yason Budiprasetya, M.Div., Yuliwaty Rukiah, S.Th., M.Ed., dlsb., yang telah membimbing serta mengajarkan berbagai hal yang penulis perlukan untuk memperlengkapi penulis, bukan hanya sebagai hamba Tuhan namun juga sebagai manusia yang seutuhnya.
6. Terimakasih untuk Pdt. Joas Adiprasetya, D.Th., Nindyo Sasongko, S.Th., M.A., Hans Abdiel Harmakaputra, S.Th., M.A., Toar Banua Hutagalung, S.Th., M.A., Daniel Sihombing, M.Th., dan Yohanes Krismantyo, M.Th., yang telah menjadi guru, kakak, rekan diskusi, juga kawan yang dikagumi oleh penulis.
7. Terimakasih juga untuk kakak dan rekan seperjuangan di STTRI: Freddy Gunawan, Fanny Puspita, Mesrawati Ziliwu, Septiana Iskandar, Nina Hutagalung, Dede K. Sanjaya, Jessica Lin, dan Lisa Yulianti.
8. Terimakasih untuk kedua adik penulis, Evangelista Elfania dan Tri Agatha Iolana, yang terus menjadi semangat dan sumber kegembiraan bagi penulis.
9. Terakhir, namun bukan yang paling akhir, penulis sampaikan terimakasih untukmu, sang Cinta, yang menjadi alasan semua upaya penyelesaian skripsi ini. Terimakasih bahwa engkau sudah dan aku harap akan kembali mewarnai kehidupanku. Terimakasih telah mengajarkanku arti bertahan, setia, kehilangan, dan cinta.
Kiranya Tuhan sajalah yang membalas setiap kebaikan Bapak, Ibu, Saudara sekalian yang telah menjadi warna, cerita, dan juga pesona dalam kehidupan ini. Amin.
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN
iii
UCAPAN TERIMA KASIH
iv
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perang Secara Umum
Pemahaman Keliru tentang Perang
Pemahaman Kristen tentang Perang
Ragam Pendekatan
Pernyataan Tesis
Pembatasan Masalah
Metode Penelitian
Tujuan dan Manfaat Penulisan
II. TEORI RELASI ANTAR PERJANJIAN
Karakteristik Tipologi
Landasan Teologis
Penggunaan Tipologi dalam Memahami Konsep Perang
Janji dan Pemenuhan
Karakteristik Janji dan Pemenuhan
Landasan Teologis
Penggunaan Janji dan Pemenuhan
dalam Memahami Konsep Perang
Kontinuitas dan Diskontinuitas
Karakteristik Kontinuitas dan Diskontinuitas
Alasan Memilih Kontinuitas dan Diskontinuitas
III. PEMILIHAN DAN EKSPOSISI TEKS-TEKS PERANG
Teks-Teks Perjanjian Lama
Eksposisi Keluaran 15:1-21
Eksposisi Ulangan 20
Kitab Sejarah Pra-Kerajaan
Eksposisi Yosua 5:13-6:27
Eksposisi Hakim-Hakim 4-5
Kitab Sejarah Masa Kerajaan dan Pembuangan
Eksposisi 1 Samuel 4-6
Eksposisi 1 Raja-Raja 22:1-40
Eksposisi Ester 8-9
Kitab Nabi-Nabi
Eksposisi Yesaya 42:10-43:7 (Kepenulisan Tunggal)
Eksposisi Yesaya 42:10-43:7 (Versi Deutero-Yesaya)
Eksposisi Zakharia 14
Kitab Sastra
Eksposisi Mazmur 46
Teks-Teks Perjanjian Baru
Kitab Injil
Eksposisi Matius 24:3-14
Surat Paulus
Eksposisi Efesus 6:10-20
Kitab Apokaliptik
Eksposisi Wahyu 16
Eksposisi Wahyu 20
IV. KONTINUITAS DAN DISKONTINUITAS PEMAHAMAN PERANG 163 Kontinuitas Perang
Diskontinuitas Perang
Sintesis Biblikal-Teologis tentang Perang dalam Alkitab
Perang sebagai Bentuk Ibadah
Perang sebagai Jalan Pembebasan
Perang sebagai Bentuk Penghukuman
Perang sebagai Masalah Iman
Perang sebagai Bagian dari Misi Allah
Perang sebagai Penyataan Kehadiran Kerajaan Allah
V. PENUTUP
Kesimpulan dan Relevansi
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK KONSEP PERANG DALAM ALKITAB: SUATU PENDEKATAN KONTINUITAS DAN DISKONTINUITAS
Realitas perang merupakan realita yang tak terhindarkan dalam sejarah kehidupan manusia. Realitas ini muncul dengan berbagai alasan, mulai dari alasan politik hingga religius. Perdebatan etis mengenai perang juga hadir secara ragam, mulai dari pemahaman perang adil (just war) hingga pemahaman cinta damai (pacifism). Dalam kenyataan ini, pemahaman teologis mengenai perang mengambil tempat penting dalam pengambilan keputusan etis. Lebih lanjut, pembentukan pemahaman teologis mengenai perang dipengaruhi oleh pendekatan yang digunakan terhadap teks Alkitab, mulai dari pendekatan tipologi, janji dan pemenuhan, atau kontinuitas dan diskontinuitas. Dengan mempertimbangkan hadirnya teks perang yang tersebar di berbagai masa yang berbeda dalam Alkitab, maka dipilihlah pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas sebagai metode untuk membentuk pemahaman mengenai perang.
Uraian akan difokuskan pada beberapa teks perang dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dengan mempertimbangkan waktu kesejarahan yang berbeda dari setiap teks serta genre sastra yang digunakan. Dari uraian ini akan terlihat kontinuitas dan diskontinuitas dalam pemahaman mengenai perang di Alkitab. Kontinuitas perang ini akan menjadi sintesis biblikal-teologis tentang pemahaman perang dalam Alkitab, sedangkan aspek diskontinuitas dari pemahaman perang akan menunjukkan perubahan yang terjadi dari perang fisik menuju spiritual.
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perang Secara Umum Perang adalah salah satu fenomena sosio-politik yang terjadi dalam sejarah kehidupan manusia. The Cambridge Dictionary of Sociology mendefinisikan perang sebagai “a type of violent social conflict between two or more armed powerful organizations, in which each aims to prevail by destroying the other’s power, primarily
through the deliberate use of armed force.” 1 Kenyataan adanya konflik sosial antar dua
kelompok atau lebih dapat dipicu oleh berbagai alasan. The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought menyatakan bahwa perang dapat dipicu oleh perebutan
daerah teritori, konflik politik bahkan perbedaan ideologi. 2 Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa perang didefinisikan sebagai sebuah bentuk konflik sosial yang mengandung kekerasan yang muncul dalam relasi dua atau lebih kelompok yang dapat timbul akibat adanya kepentingan politik, teritorial, ataupun ideologi.
Meresponi adanya fenomena perang, beberapa kelompok memandang perang dalam berbagai sisi yang cukup berbeda. Kalangan besar seperti Lutheran, Reformed, dan Anglikan melihat perang sebagai sesuatu yang diperbolehkan, sebab melalui perang yang adil (Just War) maka kejahatan di dalam dunia dapat ditahan kuasanya dan peperangan
1 The Cambridge Dictionary of Sociology, s.v. “War”.
2 The Palgrave Macmillan Dictionary of Political Thought, s.v. “War”.
diperbolehkan hanya demi tujuan kemanusiaan dan iman. 3 Di sisi lain, Duane Cody
memahami perang sebagai tindakan arogan dimana penindasan didasarkan pada persepsi bahwa sebagian kelompok merasa lebih layak secara moral dan lebih unggul sehingga diperbolehkan menerima hak istimewa untuk berperang dan sebagian yang lain dianggap lebih bodoh, pasif, dan bahkan kurang bermoral sehingga layak untuk menerima serangan
atau diperangi. 4
Baik untuk sebuah alasan ideologis maupun kekuasaan, kenyataan adanya perang sebagai sebuah konflik yang mengandung kekerasan memberikan sebuah dampak yang nyata bagi masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya, bahkan bagi pihak lain yang ada di sekitarnya. Leo Tolstoy menggambarkan perang dengan ungkapan, “What a
terrible thing war is, what a terrible thing! Quel terrible chose que la guerre!” 5 Perang
adalah sesuatu yang sangat mengerikan. Kengerian dari perang tergambarkan melalui kematian, kehilangan, rasa sakit, bahkan kebencian yang ditimbulkan akibat perang. Steven Mintz dalam artikel online di The Gilder Lehrman Institute mengungkapkan data bahwa selama masa perang dunia pertama ada sekitar sembilan juta tentara, pelaut, dan penerbang, serta 5 juta penduduk sipil meninggal dunia. Selain itu secara ekonomi, Perang Dunia Pertama juga membawa kerugian langsung sebesar 186 milliar dolar
3 Roland H. Bainton, Christian Attitudes toward War and Peace: A Historical Survey and Critical Re-evaluation (Nashville, Tennessee: Abingdon, 1990), 14-15.
4 Deane Curtin, “Berdamai dengan Bumi: Pertanian Pribumi dan Revolusi Hijau”, dalam Etika Terapan 1: Sebuah Pendekatan Multikultural, ed. Larry May (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), 299-
5 Leo Tolstoy, War and Peace, terj. Richard Pevear dan Larissa Volokhonsky (London: Vintage Classics, 2009), 198.
Amerika dan kerugian tak langsung 151 milliar dolar Amerika. 6 Lebih lanjut, anggapan
bahwa kemenangan dalam perang dapat menghasilkan kedamaian tidak selamanya menjadi kenyataan. Immanuel Kant dalam Perpetual Peace menulis,
[F]or this would mean calling down on themselves all the miseries of war, such as doing the fighting themselves, supplying the costs of the war from their own resources, painfully making good the ensuing devastation, and, as the crowning evil, having to take upon themselves a burden of debt which will embitter peace itself and which can never be
paid off on account of the constant threat of new wars. 7
Dengan demikian, ada kemungkinan munculnya perang yang baru akibat adanya dendam dan luka yang ditimbulkan akibat perang sebelumnya.
Pemahaman yang Keliru tentang Perang dalam Alkitab Fenomena perang bukan hanya hadir dalam sejarah dunia secara umum, tetapi secara khusus, Alkitab juga mencatat tentang kisah-kisah peperangan yang pernah maupun yang akan terjadi dalam sejarah kehidupan umat Allah. Kisah-kisah seperti keluarnya bangsa Israel dari tanah Mesir, peperangan Israel melawan Yerikho, peperangan Israel merebut Kanaan, perang antar Israel dan Yehuda, hingga peperangan antara Anak Domba Allah dan si Ular Tua menjadi beberapa kisah peperangan yang tercatat di Alkitab.
Sebagaimana adanya pandangan yang berbeda terhadap perang dunia, perang di dalam Alkitab juga coba dipahami dari berbagai macam sisi. Salah satu pandangan yang menjadi problem yang cukup serius dipermasalahkan adalah adanya pandangan bahwa
6 Steven Mintz, “The Global Effect of World War I”, The Gilder Lehrman Institute of American History, http:www.gilderlehrman.orghistory-by-eraworld-war-iresourcesglobal-effect-world-war-i
(diakses 20 Januari 2015).
7 Immanuel Kant, “Perpetual Peace: A Philosophical Sketch”, dalam Political Writings, ed. Hans 7 Immanuel Kant, “Perpetual Peace: A Philosophical Sketch”, dalam Political Writings, ed. Hans
Lama adalah Allah yang kejam dan diskriminatif. 8 Pandangan bahwa Allah Perjanjian
Lama adalah Allah yang kejam dianggap oleh beberapa orang sebagai sebuah permasalahan akan konsistensi gambaran Allah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Marcion salah seorang tokoh kekristenan abad mula-mula yang dianggap bidat mempercayai bahwa perbedaan antara tindakan Allah dalam Perjanjian Lama terhadap Israel dan penebusan yang Yesus kerjakan di dalam Perjanjian Baru dilakukan bukan
oleh satu agen yang sama. 9 Dalam hal ini, Marcion membedakan antara Allah Perjanjian
Lama dan Allah Perjanjian baru sebagai dua Allah yang berbeda. Selain Marcion, Tatian salah seorang murid Justin Martyr, menolak Perjanjian Lama sebab Perjanjian Lama menghadirkan Allah yang berbeda. Sebagaimana dikutip oleh Hunt, Clement dari Aleksandria menyatakan tentang Tatian:
Tatian makes a distinction between the old humanity and the new, but it is not ours. We agree with him in that we too say that the old humanity is the Law, the new is the gospel. But we do not agree with his desire to abolish the Law as being the work of a different
god. 10 Sebagai konsekuensi bahwa Allah Perjanjian Lama dan Allah Perjanjian Baru bukanlah satu agen yang sama, menurut John Barton perlu ada penghapusan atau
8 Stanley N. Gundry, “Introduction”, dalam Show Them No Mercy, ed. Stanley N. Gundry (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2003), 7.
9 Mark Edwards, Catholicity and Heresy in the Early Church (Hampshire, England: Ashgate, 2009),
10 Emily J. Hunt, Christianity in the Second Century: The Case of Tatian (London: Routledge, 2003), 10 Emily J. Hunt, Christianity in the Second Century: The Case of Tatian (London: Routledge, 2003),
Esa. 11 Dalam hal ini, baik Marcion maupun Tatian, memilih untuk menghapuskan anggapan bahwa Perjanjian Lama adalah bagian yang sama dan konsisten dengan Kanon Kristen, sehingga mereka tidak kehilangan gambaran Allah yang dinyatakan melalui Yesus. 12 Dalam upaya ini, muncul problem lain yaitu penghapusan Perjanjian Lama
sebagai satu bagian dari kanon Alkitab bertentangan dengan pemahaman tentang doktrin
Alkitab yang dipercaya oleh kekristenan. 13 Meresponi hal ini, Tremper Longman
berpendapat bahwa problem di atas muncul akibat dari adanya kesalahan memahami
teks-teks perang di dalam Alkitab. 14 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adanya
kesalahan memahami teks-teks perang dapat memberikan dampak yang serius bagi pemahaman teologi Kristen.
Pemahaman Kristen tentang Perang dalam Alkitab Dalam upaya untuk membahas permasalahan ini, para ahli menggunakan beberapa pendekatan untuk mencoba menjelaskan mengenai teks-teks perang di dalam Alkitab. Von Rad menyatakan bahwa,
Everything that follows is really intended simply to carry this familiar procedure a stage further by trying to understand that the way in which the Old Testament is absorbed in the
11 John Barton, The Old Testament: Canon, Literature, and Theology (Hampshire, England: Ashgate, 2007), 55.
12 Barton, The Old Testament, 56. Bdk. Hunt, Christianity in the Second Century, 57. The ‘truth’ that Tatian discovers is contained within some ‘barbarian writings’, and these ‘barbarian writings’ are in
fact the Hebrew Scriptures.
13 Bdk. Westminster Confession of Faith, I. ii. Pengakuan iman Westminster menyatakan bahwa “Under the name of Holy Scripture, or the Word of God written, are now contained all the books of the
Old and New Testament.”
New is the logical end of a process initiated by the Old Testament itself, and that its “laws” are to come extent repeated in this final reinterpretation. Initially therefore our method does not begin from the New Testament and its manifold references to the Old Testament. This is a method which has often been adopted, and it is a right and proper one . It has also, of course led all too often to contrasting the one with the other with a sharpness which does not do justice to the great hermeneutic flexibility of the relationship between the two testaments. The method will be an attempt to show one characteristic
way in which the Old Testament leads forward to the New. 15
Melalui pendekatan ini, Gerhard Von Rad kemudian mengasumsikan perang dalam relasi antara iman dan status sebagai umat Allah yang secara historis bergerak dari Perjanjian
Lama hingga Perjanjian Baru dalam sebuah kontinuitas sejarah. 16 Sedangkan bagi
Eichrodt, relasi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dipahami sebagai berikut:
That which binds together indivisibly the two realms of the Old and New Testaments – different in externals though they may be – is the irruption of the Kingship of God into his world and its establishment here. This is the unitive fact because it rests on the action of one and the same God in each case. In addition to this historical movement from the Old Testament to the New, there is a current of life flowing in the reverse direction from
the New Testament to the Old. 17
Eichrodt berargumen bahwa pergerakan sejarah memang terjadi dari Perjanjian Lama menuju Perjanjian Baru, namun untuk memahami makna teologis maka diperlukan juga pembalikan arah dari Perjanjian Baru kepada Perjanjian Lama. Dalam hal ini, Eichrodt berpendapat bahwa perang harus dilihat dalam sebuah kerangka perang Kudus Allah dimana konsep kekudusan dan pengorbanan dalam konteks Perjanjian Allah yang kekal dan penuh kasih karunia menjadi bingkai dalam memahami kenyataan perang dalam Perjanjian Lama, serta sebagai gambaran figuratif dari peperangan Kristus terhadap dosa
di atas kayu Salib. 18
15 Gerhard Von Rad, Old Testament Theology, jilid 2 (New York: Harper and Row, 1965), 321-22.
16 James L. Crenshaw, Gerhard Von Rad (Waco, Texas: Word Books, 1978), 46.
17 Walter Eichrodt, Theology of the Old Testament, jilid 1 (London: SCM, 1961), 26.
Di pihak yang lain, Brevard Childs yang mencoba melihat Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam sebuah pendekatan kanonikal, mencoba membaca Perjanjian Lama dan Baru dalam keunikan masing-masing tanpa mengunggulkan salah satunya. Childs berargumen bahwa Perjanjian Lama bukan hanya memiliki dimensi horisontal, namun juga dimensi vertikal, di mana Perjanjian Lama juga membawa kesaksian yang unik bagi iman Kristen untuk melihat Perjanjian Lama sebagai janji dan Perjanjian Baru sebagai penggenapan atas janji tersebut. Oleh karena itu, keunikan tiap Perjanjian tidak bisa hanya dilihat dari satu sisi ataupun dihilangkan, namun harus terjadi timbal-balik
pemaknaan untuk memahami keterkaitan dan keunikan masing-masing pesan. 19 Dalam
hal ini, Child berargumen bahwa perang dalam Perjanjian Lama, khususnya dalam Yosua harus dilihat sebagai bagian dari penggenapan janji Allah kepada Israel untuk
memberikan tanah Perjanjian menjadi hak milik pusaka Israel. 20
Ragam Pendekatan Selain bentuk-bentuk pendekatan di atas, harus diakui masih banyak sekali pendekatan-pendekatan lain yang digunakan oleh para penafsir untuk memahami perang dalam konsep kesatuan Perjanjian Lama dan Baru. Dalam upaya ini, secara umum ada tiga pendekatan utama dalam memahami permasalahan perang dalam keseluruhan kanon
Alkitab: 21
19 Brevard Childs, Biblical Theology of Old and New Testamants (Minneapolis, Minnesota: Fortress, 1993), 77-78.
20 Childs, Biblical Theology, 146.
21 David L. Baker, Two Testaments, One Bible (Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 1991), 179- 21 David L. Baker, Two Testaments, One Bible (Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 1991), 179-
b. Pendekatan Janji dan Penggenapan
c. Pendekatan Kontinuitas dan Diskontinuitas Pendekatan tipologi dapat dipahami sebagai relates “the past to the present in
terms of a historical correspondence and escalation in which the divinely ordered
prefigurement finds a complement in the subsequent and greater event” 22 Dimana sebuah
kejadian, tempat, bahkan tokoh di masa lalu memiliki berkorespondensi dan menjadi gambaran bagi sesuatu yang akan datang. Sebagai contoh, Peter Craigie melihat bahwa bahasa perang yang terdapat dalam Perjanjian Baru lebih sering memberikan nuansa figuratif dibandingkan dalam Perjanjian Lama yang cenderung bersifat faktual. Meskipun demikian, Craigie berpendapat bahwa perang dalam Perjanjian Lama tidak hanya dipahami hanya sebagai gambaran perlawanan terhadap musuh yang bersifat duniawi namun dapat menjadi tipologi bagi perang dalam Perjanjian Baru yang menggambarkan
perlawanan pada musuh yang bersifat spiritual. 23
Pendekatan kedua adalah pendekatan Janji dan Penggenapan. Pendekatan ini memiliki berasumsi bahwa Perjanjian Lama bukanlah sesuatu yang bersifat akhir, ia merupakan sebuah proses, bukan sesuatu yang sudah bersifat genap dan selalu diresapi
dengan perasaan belum lengkap. 24 Oleh karena itu, pendekatan Janji dan Penggenapan
adalah suatu rumusan alkitabiah yang mengungkapkan rencana Allah bagi umat-Nya sebagaimana terwujud dalam sejarah melalui sebuah proses historis hingga mencapai
22 Dictionary of Theological Interpretation, s.v. “Typology”.
23 Peter C. Craigie, The Book of Deuteronomy (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1976), 274.
penggenapannya. 25 Sebagai contoh, Tigay dalam The JPS Torah Commentary
menjelaskan bahwa hukum perang dalam Perjanjian Lama harus dilihat dalam konteks perang Israel. Dalam hal ini, perang berhubungan dengan penaklukan tanah sebagai bagian dari Perjanjian Allah dan Israel, dimana janji ini telah digenapi ketika Israel memasuki Kanaan dan akan dipenuhi ketika Mesias hadir untuk menegakan Kerajaan
Daud dan membawa damai (shalom) bagi dunia. 26
Pendekatan ketiga adalah pendekatan Kontinuitas dan Diskontinuitas. Pendekatan ini adalah sebuah pendekatan yang memahami bahwa keseluruhan isi Alkitab adalah sejarah penebusan yang Allah kerjakan bagi manusia, dimana ada sebuah kesinambungan antara Perjanjian Lama dan Baru sebagai satu tindakan Allah yang tunggal dalam sejarah penebusan, namun juga mengakui adanya ketidaksinambungan, perkembangan, bahkan penghilangan beberapa aspek tertentu sebagai konsekuensi dari adanya progressive revelation yang Allah kerjakan dalam penyataan dirinya kepada setiap penulis Alkitab
dalam tiap zaman dan kondisi yang berbeda. 27 Dalam hal ini, pendekatan kontinuitas dan
diskontinuitas akan mencoba melihat perang dan menganalisa perang sebagai satu bagian dari progressive revelation untuk melihat adanya perkembangan pemahaman mengenai Perang dalam Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru.
Adanya keragaman pendekatan relasi antar Perjanjian memberikan dampak pada perbedaan pemahaman mengenai perang. Oleh karena itu, muncul beberapa pandangan
25 Baker, Two Testaments, One Bible, 233.
26 Jeffrey H. Tigay, Deuteronomy (Philadelphia, Pennsylvania: The Jewish Publication Society,
27 Baker, Two Testament, One Bible, 234.
mengenai perang yang coba diusulkan oleh beberapa ahli, antara lain pandangan dari Richard Hess yang menyatakan bahwa perang dalam Perjanjian Lama memiliki dua makna yaitu untuk mempertahankan diri (defensive) serta sebagai sebuah bentuk
demonstrasi ketaatan kepada Allah. 28 Bentuk demonstrasi ketaatan kepada Allah juga
ditunjukkan sebagai klimaks dari kehidupan Kristus sendiri. Dalam Filipi 2:8 dikatakan “Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” Dengan demikian, korelasi kematian Kristus dan perang adalah satu bagian yang sama dari ketaatan kepada Allah yang satu.
Jika Hess melihat bahwa perang adalah sebuah bentuk mempertahankan diri, Miller mengakui bahwa ada aspek perang di dalam Perjanjian Lama, khususnya dalam
perang terhadap Kanaan, sebagai bentuk perang yang menyerang (offensive). 29
Pandangan yang lain juga dinyatakan oleh Susan Nidicth yang menekankan bahwa perang merupakan bentuk penyelamatan yang Allah kerjakan bagi umat-Nya, sehingga
tidak ada partisipasi aktif manusia di dalam perang. 30 Sedangkan bagi Longman, perang di dalam Alkitab adalah bagian dari ibadah kepada Allah. 31 Meski ada beragam
pandangan mengenai perang di dalam Alkitab, namun baik Hess, Niditch, maupun Longman dan Reid memahami Allah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
28 Richard S. Hess, “War in the Hebrew Bible: An Overview”, dalam War in the Bible and Terrorism in the Twenty-First Century, ed. Richard S. Hess dan Elmer A. Martens (Warsaw, Indiana: Eisenbrauns,
29 Patrick D. Miller, The Divine Warrior in Early Israel (Atlanta, Georgia: Society of Biblical Literature, 2006), 157.
30 Susan Niditch, War in the Hebrew Bible: A Study in the Ethics of Violence (Oxford: Oxford University Press, 1993), 154.
31 Tremper Longman III, “The Case for Spiritual Continuity”, dalam Show Them No Mercy, ed.
bukanlah Allah yang berbeda. 32 Dengan memahami banyaknya pandangan serta
pendekatan terhadap konsep perang di dalam Alkitab, maka penulis memilih untuk membatasi penelitian ini pada pembahasan mengenai teks-teks perang di dalam Alkitab melalui pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas.
Penulis menyadari bahwa upaya memahami perang dalam pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas sudah banyak dikerjakan oleh beberapa ahli sebelumnya. Dalam penelitian yang terdahulu, Longman meneliti perang melalui pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas dengan lebih banyak memfokuskan penelitian teks pada kitab Yosua dan Wahyu, serta melewatkan pembahasan dalam kitab Ulangan maupun kitab-kitab
sejarah. 33 Dalam disertasinya, Bethancourt juga menggunakan pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas dalam membaca teks-teks perang. Akan tetapi, ia lebih banyak membahas mengenai tema Kristus sebagai prajurit perang, sedangkan pembahasan tentang teks-teks perang hanya menjadi jembatan untuk memahami gambaran tentang
Kristus dan bukan mengarah kepada perang itu sendiri. 34 Selain itu ada pula nama-nama
seperti Gregory A. Boyd dan Susan Niditch yang juga mencoba menjelaskan mengenai perang di dalam Alkitab melalui pendekatan yang sama. Dimana Boyd lebih banyak
32 Dalam God is Warrior, Longman dan Reid menjelaskan bahwa Allah dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru digambarkan sebagai Pahlawan Perang Ilahi yang membawa keselamatan bagi Israel
maupun bagi umat Allah dalam Perjanjian Baru. Gambaran Allah sebagai prajurit perang merupakan penghubung antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tremper Longman III dan Daniel G. Reid, God Is
a Warrior (Grand Rapids, Michigan: Zondervan, 2010), 16-17. Bdk. Hess, “War in the Hebrew Bible: An Overview”, 24.
33 C. S. Cowles, “A Response to Tremper Longman III”, dalam Show Them No Mercy, (Grand
Rapids, Michigan: Zondervan, 2003), 191-92. Bdk. Longman, “The Case for Spiritual Continuity”, 163-87.
34 Bdk. Phillip Ross Bethancourt, “Christ the Warrior King: A Biblical, Historical, and Theological Analysis of the Divine Warrior Theme in Christology.” (Ph.D. diss., The Southern Baptist Theological 34 Bdk. Phillip Ross Bethancourt, “Christ the Warrior King: A Biblical, Historical, and Theological Analysis of the Divine Warrior Theme in Christology.” (Ph.D. diss., The Southern Baptist Theological
hubungannya dengan keadilan dan etika non-partisipasi. 36 Sekalipun telah banyak tokoh
mencoba memaparkan perihal perang, namun belum ada pembahasan mengenai teks-teks perang di dalam Alkitab melalui pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas yang memberikan penjelasan mengenai pergerakan konsep perang dari Perjanjian Lama menuju Perjanjian Baru secara lebih terinci, dengan mengambil teks-teks perang yang cukup beragam dari beberapa genre dan rentang kesejarahan yang berbeda.
Oleh karena itu studi ini disasarkan untuk memaparkan pergerakan konsep perang di dalam Alkitab dengan menggunakan pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas. Mengapa teks-teks perang? Sebab teks-teks perang dalam Alkitab, terkhusus dalam Perjanjian Lama, merupakan salah satu bagian yang sering kali disalahtafsirkan sebagai pengajaran tentang kekerasan yang tidak konsisten dengan pengajaran tentang kasih yang kental di bahas dalam Alkitab. Oleh karena itu, skripsi ini akan berusaha untuk memahami apa yang menjadi konsep teologis dari teks-teks perang di dalam Alkitab dan melihat apakah ada pengembangan pemahaman mengenai perang yang terjadi sepanjang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Dengan pemahaman ini diharapkan agar kesalahan konsep mengenai makna perang di dalam Alkitab serta konsep-konsep lain yang terkait
dengan hal ini dapat diperkecil. 37
35 Lih. Gregory A. Boyd, God at War: the Bible and Spiritual Conflict (Downers Grove, Illinois: InterVarsity, 1997).
36 Lih. Niditch, War in the Hebrew Bible, 151-55.
37 Kesalahan dalam memahami konsep perang di dalam Alkitab dapat mempengaruhi pemahaman mengenai Allah, kanonisasi Alkitab, bahkan masalah iman pada Allah yang satu. Akan tetapi,
Pernyataan Tesis
Konsep perang di dalam Alkitab mengalami pergerakan pemahaman, baik secara teologis maupun praktis, dari Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru, di mana ada aspek-aspek yang tetap berlanjut (kontinu) dan ada aspek-aspek tertentu yang berhenti (diskontinu).
Pembatasan Masalah
Penelitian dibatasi pada teks-teks perang dalam Alkitab dari beberapa genre dan waktu kesejarahan yang berbeda dan tidak akan membahas perdebatan mengenai perbedaan pemahaman tentang Allah dalam Perjanjian Lama dan Baru serta masalah kanonisasi Alkitab.
Metode Penelitian
Penulis akan melakukan penelitian literatur dengan membandingkan terlebih dahulu pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas dengan dua pendekatan yang lain, yaitu pendekatan tipologi dan pendekatan janji dan penggenapan, untuk melihat keunikan yang ditekankan masing-masing pendekatan dan menunjukkan alasan atau keunggulan dari pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas. Setelah itu, penulis akan menggunakan pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas untuk memberikan analisis biblikal-teologis guna memahami makna perang serta pergerakan pemahaman mengenai perang dalam Perjanjian Lama dan Baru.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan serta menelusuri pergerakan pemahaman mengenai perang dalam Perjanjian Lama hingga Perjanjian Baru dengan memperhatikan perubahan yang terjadi dari sisi politik, sosial, fisikal, hingga perang secara spiritual yang ditemukan dalam keunikan masing-masing teks perang yang telah dipilih.
Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tiga manfaat: Pertama, secara akademis penelitian ini akan memberikan sumbangsih dalam
pemahaman mengenai perang dalam Alkitab melalui perspektif yang lebih rinci dan perbandingan terhadao studi mengenai perang yang telah dikerjakan oleh para ahli terdahulu.
Kedua, secara praktis melalui penelitian ini dapat menjadi salah satu sarana untuk menyaring pandangan-pandangan yang keliru mengenai gambaran Allah yang berbeda dari masing-masing Perjanjian sebagai akibat dari kesalahan memahami teks-teks perang dalam Alkitab dan pola pergerakan konsep perang dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Ketiga, dengan memahami adanya kontinuitas maupun diskontinuitas konsep perang dalam Alkitab, pembaca dapat menyaksikan bahwa konsep perang merupakan bagian dari progressive revelation yang Allah berikan sesuai dengan konteks masing- masing penulis yang unik.
BAB II TEORI RELASI ANTAR PERJANJIAN
Pemahaman mengenai relasi antar Perjanjian dapat memberikan pengaruh dalam pembentukan sebuah teologi Alkitabiah. Reventlow menyatakan bahwa hubungan relasional antara Perjanjian Lama dan Baru adalah urusan yang sangat penting dan
menjadi salah satu kunci dari permasalahan teologis abad 20. 38 Ridderbos juga
menegaskan bahwa hubungan antar Perjanjian bukan hanya sekedar menyangkut
keseluruhan cerita namun juga berisi keseluruhan teologi. 39 Melihat pentingnya
pemahaman mengenai relasi Perjanjian dan kaitannya dengan teologi, maka penulis akan mencoba membahas dan membandingkan tiga pendekatan antar Perjanjian — yaitu tipologi, janji dan pemenuhan, serta kontinuitas dan diskontinuitas — guna memahami keunggulan dan kelemahan tiap pendekatan bagi pembentukan teologi.
Tipologi
Definisi
Tipologi berasal dari kata Yunani typos (τύπος) atau dalam bahasa Inggris disebut type. 40 Menurut Greek Dictionary of the New Testament kata typos bisa berarti tanda,
38 Henning Graf Reventlow, Problems of Biblical Theology in the Twentieth Century (Minneapolis, Minnesota: Fortress, 1986), 11.
39 Reventlow, Problems of Biblical Theology in the Twentieth Century, 11.
40 Baker, Two Testaments, One Bible, 185.
bentuk, corak mode atau gaya bahasa, kemiripan, contoh juga model. 41 Sedangkan
Oxford Advanced Learning Encyclopedic Dictionary memahami type sebagai pribadi, benda, atau kejadian yang diperhitungkan sebagai sebuah representatif atau contoh dari
kelas atau grup tertentu. 42 Dalam hal ini pemaknaan typos (τύπος) didefinisikan sebagai
prinsip kesamaan sedangkan type lebih merujuk pada sebuah penerapan akan prinsip kesamaan yang dapat dilihat dalam pribadi, benda, maupun kejadian. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika C. T. Fritsch mendefinisikan tipologi sebagai “an institution, historical event or person, ordained by God, which effectively prefigures some truth
connected with Christianity”. 43 Melengkapi bagian ini, penulis mengutip Dictionary of
Theological Interpretation yang mendefinisikan tipologi sebagai sebuah korespondensi kesejarahan dari masa lalu ke masa sekarang, yang tak jarang mengalami penambahan makna di mana penggambaran yang terdahulu diambil sebagai pelengkap untuk
memahami peristiwa selanjutnya yang lebih besar. 44 Dalam definisi ini, relasi tipe dan
antitipe dipahami bukan sebagai bentuk relasi identik, akan tetapi antitipe dilihat mengandung pemaknaan yang lebih luas atau lebih mendalam.
41 Greek Dictionary of the New Testament, s.v. “τύπος”.
42 Oxford Advanced Learning Encyclopedic Dictionary, s.v. “Type”.
43 Charles T. Fritsch, "Biblical Typology," Bibliotheca Sacra, vol. 104 (1947): 87-100.
44 Dictionary of Theological Interpretation, s.v. “Typology”.
Karakteristik Tipologi
Pemahaman mengenai tipologi sebagai sebuah pendekatan dalam memahami teks- teks Alkitab tampaknya sudah sangat umum dipakai sejak abad pertama kekristenan. Goppelt menyatakan bahwa,
Typology and the typological method have been part of the church’s exegesis and
hermeneutics from the very beginning. Obviously this is due to the influence of the NT
and it is attested by the writings of the Apostolic Fathers. 45
Meski umum digunakan namun pemahaman mengenai tipologi seringkali menjadi rancu dengan pendekatan alegoris maupun simbolisme. Baker menyatakan bahwa, “However the fact that the term ‘typology’ has been confused with allegorical and symbolic exegesis, and applied to trivial correspondence, does not invalidate it as a principle if
properly used.” 46 Dengan demikian, perlu adanya sebuah pemahaman yang tepat
mengenai karakteristik dari tipologi agar tidak terjadi kerancuan dalam memahami dan menerapkan pendekatan ini terhadap teks. Dalam hal ini, karakteristik-karakteristik yang nampak dari pendekatan tipologi antara lain adalah:
Korespondensi Kesejarahan
Baker menyatakan bahwa,
First, typology is historical. Its concern is not with words but with historical facts: events, people, institutions. It is not a method of philological or textual study, but a way of
understanding history. 47
45 Leonhard Goppelt, Typos: The Typological Interpretation of the Old Testament in the New (Grand Rapids, Michigan: Eerdmans, 1982), 4.
46 Baker, Two Testaments, One Bible, 193. Bdk. John J. O’Keefe dan R. R. Reno, Sanctified Vision: An Introduction to Early Christian Interpretation of the Bible (Baltimore, Maryland: Johns Hopkins University
Press, 2005 ), 90. Seringkali alegori dan tipologi dipandang serupa sebab sama-sama berfokus pada kode atau figur tertentu yang menyatukan Perjanjian Lama dengan Baru.
Fokus tipologi kepada fakta-fakta sejarah menjadi salah satu ciri penting yang berbeda dengan penafsiran alegoris maupun simbolis. Menurut O’Keefe dan Reno,
Allegories are basically interpretations that claim that the plain or obvious sense of a given text is not the true meaning, or at least not the full meaning. The words, event, and characters, so the allegorist claims, stand for something else; they speak for another
reality, another realm of meaning. 48
Dalam hal ini, bagi penafsiran alegoris yang terpenting bukan fakta sejarah, kata atau tokoh dalam cerita, namun realitas dan makna lain yang tersembunyi dibalik teks. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penafsiran alegoris mengandung asumsi negatif terhadap sejarah teks maupun peristiwa, hal ini berbeda dengan pendekatan tipologi. Pendekatan tipologi justru berusaha mencari pola berulang yang terjadi dalam sejarah
Alkitab, terkhusus dalam relasi Allah beserta umat-Nya. 49 Pencarian pola berulang tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, melalui korespondensi atau analogi. Dalam poin ini, korespondensi dalam pendekatan tipologi dipahami dalam bentuk relasi antar ide dari peristiwa kesejarahan. Gopplet berpendapat bahwa korespondensi yang terjadi dalam pendekatan tipologi terjadi dalam tataran ide
kesejarahan yang membentuk pola cyclical dari peristiwa-peristiwa kesejarahan. 50 Lampe
menambahkan, bahwa sebuah peristiwa seringkali hadir dengan ‘berbaju’ Perjanjian Lama sebagai penggambaran Alkitabiah yang menghadirkan kekayaan makna dan signifikansi terhadap kisah sejarah bangsa Ibrani, nubuatan bahkan liturgi keagamaan
48 O’Keefe dan Reno, Sanctified Vision, 89.
49 G. W. H. Lampe dan K. J. Wo Ollcombe, Essays on Typology (London: SCM, 1917), 26.
50 Goppelt, Typos, 226-27. Pola cyclical adalah sebuah pola peristiwa yang terjadi lagi dan lagi dalam tatanan yang sama.
sebagai bagian proklamasi Injil. 51 Oleh sebab itu, korespondensi yang ada dalam
pendekatan tipologi hadir melalui kedekatan naratif sebagai bukti keterkaitan sejarah antara teks Perjanjian Baru dan Lama.
Aspek Literal
Selain korespondensi kesejarahan dalam bentuk ide dan narasi, McCarthy dan Prince juga melihat kemungkinan adanya korespondensi antar teks melalui kedekatan
gramatikal. 52 Hal serupa juga dinyatakan oleh Lampe, bahwa ada bentuk tipologi lain
yang berdasarkan pada relasi makna literal, sebagai jembatan menuju realitas spiritual. 53
Kedekatan gramatikal yang dimaksud dalam bagian ini lebih mengarah pada penggunaan kata tertentu atau terminologi tertentu yang menjadi pengait antar teks untuk memahami konsep yang hendak disampaikan secara lebih utuh.
Dalam aspek ini, unsur literal merupakan bagian yang penting karena didalamnya terkandung kaitan antara yang tertulis (gramatikal) dan yang terjadi dalam sejarah (Historikal) sebagai alat pengungkap fakta yang memuat dan merekam peristiwa, tokoh,
maupun lembaga tertentu. 54 Hal ini membedakan dengan pendekatan alegoris yang
melihat teks sebagai lambang atau simbol yang menyimpan doktrin tertentu yang
51 Lampe dan Ollcombe, Essays on Typology, 19.
52 John. J. McCarthy dan Alan S. Prince, Faithfulness and Identity in Prosodic Morphology (Amherst, Massachusetts: Graduate Linguistic Student Association University of Massachusetts, 1995),
https:rucore.libraries.rutgers.edurutgers-lib41852PDF1 (diakses tanggal 8 Maret 2015). Kedekatan gramatikal yang dimaksud adalah kedekatan tata bahasa dan terminologi yang memberikan keterkaitan antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lain dalam pemaknaan yang lebih kaya.
53 Lampe dan Ollcombe, Essays on Typology, 30.
54 Stanley N. Gundry, “Typology as a Means of Interpretation: Past and Present,” Journal of the 54 Stanley N. Gundry, “Typology as a Means of Interpretation: Past and Present,” Journal of the
literal inilah yang menjadi jembatan antara beberapa pemahaman dalam Perjanjian Lama
dan Baru, contoh kata “sunat”. 56
Keterpusatan pada Perjanjian Baru
Dalam sebuah relasi, hubungan dari dua pihak atau lebih tidak selalu berjalan dalam kondisi yang sejajar, demikian pula dalam pendekatan tipologi. Relasi antara Perjanjian Lama dan Baru dalam pendekatan ini cenderung dilihat lebih mengunggulkan Perjanjian Baru. Fakta ini didasarkan pada asumsi bahwa Perjanjian Lama bersifat incomplete. Foulkes menyatakan bahwa kita harus menerima kenyataan bahwa Perjanjian Lama adalah satu bagian utuh yang berdiri sendiri dalam sejarahnya dan sistemnya, namun juga harus menerima bahwa Perjanjian Lama adalah satu bagian yang belum
lengkap dan perlu dilihat melalui terang Kristus dalam Perjanjian Baru. 57 Dalam hal ini,
muncul sebuah pengindikasian bahwa ada sebuah kebergantungan tidak langsung antara Perjanjian Lama kepada Perjanjian Baru.
Dalam ketergantungan Perjanjian lama kepada Perjanjian Baru, maka Baker melihat relasi tipologis antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dalam sebuah bentuk retrospective. Ia menyatakan bahwa,
55 Baker, Two Testaments, One Bible, 190.
56 Penggunaan konsep sunat dalam Perjanjian Lama sebagai bentuk inisiasi menjadi umat Allah secara fisik diperluas dalam Perjanjian Baru dengan konsep sunat hati sebagai tanda spiritual.
57 Francis Foulkes, The Acts of God: A Study of the Basis of Typology in Old Testament (London: Tyndale, 1958), 39.
The Bible gives no exhaustive list of types and implies no developed method for their interpretation. On the contrary, there is a great freedom and variety in the outworking of
the basic principle that the Old Testament is a model for the New. 58
Dengan demikian, Baker melihat bahwa relasi tipologis antara Perjanjian Lama dan Baru tidak secara prospective dimana pemaknaan Perjanjian Lama harus ditarik menuju Perjanjian Baru, namun justru dilihat bahwa Perjanjian Baru sebagai lensa untuk membaca model-model atau tipe-tipe yang tersebar dalam Perjanjian Lama. Dalam hal ini, interpretasi terhadap teks justru bergerak dari Perjanjian Baru menuju Perjanjian Lama. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa pendekatan tipologi menempatkan Perjanjian Baru sebagai pusat dari interpretasi, baik sebagai sesuatu yang dianggap lebih lengkap maupun sebagai lensa untuk membaca sejarah sebelumnya.
Hubungan Analogis
Dalam hubungan antara teks Perjanjian Lama dan Baru, baik secara prospektive maupun retrospektive, dipahami bahwa ada sebuah keterhubungan rahasia yang terletak di dalam setiap kisah yang ditulis oleh tiap penulis di setiap jamannya. Archbishop Trench pernah menyatakan,
The parable or other analogy to spiritual truth appropriated from the world of nature or man, is not merely ilustration, but also in some sort proof. It is not merely that these analogies assist to make the truth intelligible… Their power lies deeper than this, in the harmony unconciously felt by men, which all deeper minds have delighted to trace, between the natural and the spiritual worlds, so that analogies from the first are felt to be more something more than illustrations, happily but yet arbitrarily chosen… They belong to one another, the type and the thing typified, by an inward necessity; they were linked
together long before by the law of a secret affinity. 59
58 Baker, Two Testaments, One Bible, 191.
59 Baker, Two Testaments, One Bible, 187. Ada kemungkinan penggunaan frasa “…yet arbitrarily chosen” ingin menunjukkan bahwa relasi tipologi yang terjadi antara tipe dan yang di-tipe-kan tak jarang
Sekalipun Trench tidak menyatakan bahwa perumpamaan dan sistim analogi dalam tipologi sebagai dua hal yang sama, namun ia melihat bahwa kedua hal ini dapat menunjukkan adanya pertalian antara satu kisah dengan kisah lain sebagai tipe dan yang ditipekan.
Keterhubungan ini, baik disadari maupun tidak oleh penulis kitab, merupakan bagian dari sebuah karya Allah yang mengatur sejarah. Foulkes menyatakan bahwa karya Allah dalam mewahyukan diri-Nya melalui Alkitab dapat terlihat dalam tindakan Allah yang tidak terprediksi dan dapat berulang untuk menunjukkan konsistensi prinsip-prinsip-
Nya. 60 Keberulangan tindakan Allah ini dapat bersifat repetisi total, seperti kisah Israel menyeberang laut merah dengan kisah Israel menyeberang sungai Yordan. Atau sebuah keberulangan yang bersifat analogis, contoh kisah Abraham mempersembahkan Ishak dengan kematian Kristus. Dalam hal ini, hubungan analogis lebih menekankan kepada persamaan prinsip yang ada dari satu kisah sejarah dalam Perjanjian Lama yang digunakan sebagai penggambaran atau kiasan bagi satu peristiwa dalam Perjanjian Baru.
Landasan Teologis
Dengan memahami keunikan dari karakteristik yang ada, tak bisa dihindarkan, perlu juga adanya pengakuan akan landasan teologis tertentu yang menjadi presuposisi awal yang membentuk pemahaman dan karakteristik dari tipologi. Dalam hal ini, minimal ada tiga landasan teologis yang membentuk pendekatan tipologis. Landasan teologis yang pertama adalah sejarah keselamatan. Oscar Cullmann menyatakan bahwa
60 Foulkes, The Acts of God, 9-10.
“typology presupposes a wider salvation-historical framework and connects two points
on this background.” 61 Dalam hal ini, Cullmann mengakui bahwa dalam melihat
korespondensi kesejarahan dari dua titik yang berbeda perlu dilandasi oleh satu bentuk pemahaman yang sama akan makna dari sejarah itu sendiri. Dan dalam hal ini pendekatan tipologi melihat bahwa sejarah yang tercatat di dalam Alkitab merupakan sebuah sejarah keselamatan yang Allah kerjakan.
Dalam hal ini, perlu dipahami bahwa pengertian sejarah keselamatan berbeda dengan pemahaman sejarah secara umum. Sejarah secara umum dipahami sebagai
“systematic description of past events,” 62 atau sebagai “a chronological record of
significant events often including an explanation of their cause.” 63 Dalam pemahaman di
atas sejarah hanya dilihat sebagai bagian dari objective events yang terjadi di masa lampau, yang sering disebut dengan historie, atau sebagai catatan dari peristiwa-peristiwa penting semata, yang sering disebut dengan geschichte. Namun berbeda dari dua pandangan umum di atas, sejarah keselamatan di dalam Alkitab dipahami sebagai,
A term used by some biblical scholars to mark the history of Israel and the subsequent Christian church as God's "salvation history" being worked out as God's plan in the midst
of human history as a whole. 64
Dalam hal ini muncul sebuah asumsi teologis bahwa sejarah tidak lepas dari campur tangan dan kinerja Allah yang menjalankan rencana dan kehendak-Nya di dalam sejarah hidup manusia. Oleh karena itu, pendekatan tipologi melihat bahwa setiap peristiwa yang
61 Oscar Cullmann, Salvation in History (New York: Harper and Row, 1967), 132.
62 Oxford Advanced Learner’s Encyclopedic Dictionary, s.v. “History”.
63 Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, Ed. ke-10, s.v. ”History”.
64 Westminster Dictionary of Theological Terms, s.v. ”Heilsgeschichte”.
terjadi di dalam Alkitab adalah bagian dari rencana, kehendak, dan cara Allah mengejawantahkan diriNya untuk dikenali oleh manusia. Landasan teologis mengenai sejarah keselamatan ini berhubungan erat dengan pemahaman yang lain bahwa Allah adalah penulis Alkitab yang sesungguhnya.
Allah sebagai penulis Alkitab yang sesungguhnya juga menyatakan konsistensi rencana keselamatan-Nya melalui bentuk-bentuk yang unik dalam Alkitab, yang dikenali di dalam tipologi melalui korespondensi sejarah. Melalui korespondesi sejarah yang terjadi dari satu peristiwa kepada peristiwa lain menjadi sebuah tanda dari adanya sebuah pola dari tindakan Allah yang konsisten dalam sejarah hidup manusia. Baker menyatakan bahwa “the basis of typology is God’s consistent activity in the history of his chosen
people.” 65 Aktivitas Allah yang konsisten dalam sejarah hidup umat pilihan-Nya menjadi
sebuah pemahaman yang berlawanan dengan konsep deisme. Dalam deisme, allah sang pencipta adalah allah yang membuat dunia dan kemudian meninggalkannya untuk bergerak sendiri namun teologi Kristen memahami bahwa Allah sang Pencipta atau Theos justru masuk dan aktif dalam sejarah manusia untuk membawa manusia pada jalan dan rencana-Nya. Roma 8:28 menyatakan “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” Dalam konsep seperti inilah tipologi bergerak dan memahami korespondensi kesejarahan yang terjadi antara Perjanjian Lama dan Baru.
Penggunaan Tipologi dalam Memahami Konsep Perang Dengan memahami penekanan teologis dan karakteristik dari pendekatan ini, Peter C. Craigie, salah seorang penafsir Perjanjian Lama mencoba menggunakan pendekatan tipologi untuk menyelesaikan problem perang di Perjanjian Lama. Meskipun tidak secara langsung menyatakan bahwa ia menggunakan pendekatan tipologi, namun dalam salah satu komentari yang ditulisnya kita dapat menemukan bagaimana Craigie menggunakan pemahaman perang dalam Perjanjian Lama sebagai gambaran figuratif tentang Yesus dan penebusan-Nya di Perjanjian Baru.
Mengawali argumennya, Carigie menyatakan bahwa The essence of the covenant, it must be stressed, lies in the relationship between God and
man, and though God is the first and free mover in establishing that relationship, nevertheless a relationship requires response from man. The operative principle within the relationship is that of love; God moved first toward his people in love and they must respond to him in love. The law of the covenant expresses the love of God and indicates
the means by which a man must live to reflect love for God. 66
Dengan menekankan konsep Perjanjian, ia memahami perang di Alkitab, terkhusus dalam nuansa Perjanjian Lama sebagai bagian dari sejarah keagamaan Timur Dekat Kuno. Dalam konteks sejarah Timur Dekat Kuno pemahaman bahwa tiap negara memiliki dewa yang disembah dan melindungi serta berperang bagi negara tersebut menjadi sesuatu yang umum dipahami. Oleh karena itu, Craigie menyatakan
Thus the Song of the Sea marks the inception of the idea of the Lord as the Warrior, and of an ideology of war on an international level, which was dominant in early Israelite religious thought. Closely related to the conception of God as Warrior is the expression of
the kingship of Yahweh. 67