Alasan Memilih Kontinuitas dan Diskontinuitas

Alasan Memilih Kontinuitas dan Diskontinuitas

  Setelah membahas karakteristik dari setiap pendekatan, penulis menyadari bahwa setiap pendekatan memiliki keunikan tersendiri dalam melihat relasi Alkitab dan penggunaannya dalam teks perang. Meski demikian, untuk tujuan tertentu dari skripsi ini Setelah membahas karakteristik dari setiap pendekatan, penulis menyadari bahwa setiap pendekatan memiliki keunikan tersendiri dalam melihat relasi Alkitab dan penggunaannya dalam teks perang. Meski demikian, untuk tujuan tertentu dari skripsi ini

  Pendekatan yang pertama, tipologi, merupakan pendekatan yang menekankan kesamaan pola dan korespondensi antar tiap teks dalam Perjanjian Lama maupun Baru. Pendekatan ini memiliki kekuatan dalam menunjukkan keterkaitan dan kesatuan dari relasi antar perjanjian. Sedangkan, pendekatan yang kedua yaitu pendekatan janji dan pemenuhan secara unik juga menunjukkan konsep kesatuan Perjanjian Lama dan Baru. Yang menarik, kesatuan dan keberlanjutan dari pemahaman Perjanjian Lama menuju Perjanjian Baru dilihat bukan dalam kesamaan pola atau korespondensi yang ada, namun pada progresivitas dari pemenuhan janji. Kedua hal ini memiliki kesamaan dalam menekanan pada aspek keberlanjutan dari Perjanjian Lama menuju Perjanjian Baru, namun tidak terlalu memberikan penekanan pada perbedaan yang terjadi antara Perjanjian Lama dan Baru. Hal ini juga yang dinyatakan oleh Eugene Roop, “Throughout church history, the relationship between the Testaments has been understood in three main ways, the allegorical and typological, the doctrinal, and the historical. The first two emphasize continuity and the third discontinuity.” 122 Sekalipun Roop tidak mengasosiasikan secara langsung bahwa pendekatan doktrinal sebagai pendekatan janji dan pemenuhan, namun dalam penjelasan mengenai pendekatan doktrinal ini ia menggunakan konsep Perjanjian sebagai dasar dari kesatuan doktrin antara Perjanjian

  122 Feinberg, “System of Discontinuity”, 64.

  Lama dan Baru. 123 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa hanya pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas saja yang mencoba memberikan keseimbangan dengan menyatakan secara lugas adanya diskontinuitas yang terjadi antara Perjanjian Lama dan Baru. Inilah alasan pertama mengapa penulis memilih pendekatan ketiga sebagai bingkai kerja dalam memahami konsep perang.

  Alasan kedua, Pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas secara tepat berhasil menggambarkan keunikan dari bagian Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Baru. Jika dalam pendekatan Janji-Pemenuhan, relasi antar perjanjian ditekankan pada bentuk mutual dependence, dimana masing-masing Perjanjian saling bergantung dan tidak dapat berdiri sendiri. 124 Maka, dalam pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas, relasi antar perjanjian digambarkan lebih objektif dan berimbang. Bright menjelaskan bahwa

  The continuity lies in the obvious fact that Christianity is historically a development out of Judaism; the discontinuity in the equally obvious fact that Christianity is not a continuation, or even a radical reform, of Judaism, but an entirely separate religion….In a word, the two Testaments are continuous within the unity of God’s redemptive purpose; but their discontinuity is the discontinuity of two aeons. 125

  Sekalipun secara kesejarahan, kekristenan merupakan hasil dari perkembangan Yudaisme, namun jelas ada sebuah pemisahan pemahaman antara kekristenan dengan Yudaisme. Sehingga, secara tak langsung, pendekatan ini mengakui bahwa kedua bagian Alkitab memang memiliki keterkaitan satu dengan yang lain, namun juga dapat berdiri sendiri dalam keunikan masing-masing. Karenanya, ketegangan antara dependency dan

  123 Feinberg, “System of Discontinuity”, 65.

  124 Baker, Two Testaments, One Bible, 231-32.

  independency justru harus dipelihara sebagai upaya memahami keutuhan dan keunikan dari kedua perjanjian ini.

  Cara pandang ini seringkali dianggap membingungkan, namun sesungguhnya hanya melalui perspektif ini kita dimungkinkan untuk melihat keunikan dari kehadiran Kristus Yesus sebagai Mesias dan alasan mengapa umat Yahudi sulit untuk menerima kemesiasan-Nya. Selain itu, melalui bingkai ini juga, kita dapat menilai bagaimana keunikan Israel sebagai umat Allah dan Gereja sebagai umat Allah dalam keterkaitan maupun perbedaan yang ada. Sehingga penafsir dapat meminimalisir bias yang ada, yang tanpa sadar menjadikan Perjanjian Lama seolah Perjanjian Baru ataupun sebaliknya, seperti yang tanpa sadar dilakukan oleh pendekatan tipologi. Dengan demikian, keunikan masing-masing Perjanjian dapat tetap terjaga, namun juga kaitan antar kedua bagian ini dapat tetap dijembatani.

  Dengan melihat dua keunggulan ini, maka penulis memilih pendekatan kontinuitas dan diskontinuitas sebagai bingkai berpikir dalam meneliti dan melihat konsep perang dalam keunikan masing-masing Perjanjian dan kaitan yang dihadirkan dalam relasi kedua bagian Alkitab tersebut dalam memahami realitas perang.