Janji dan Pemenuhan
Janji dan Pemenuhan
Definisi Pendekatan kedua disebut pendekatan janji dan pemenuhan (Promise and Fulfillment). Di dalam Alkitab, konsep janji dan pemenuhan dapat dikatakan memenuhi dan menjalin tiap bagiannya. McComiskey menyatakan bahwa, “The theme of promise is
interwoven throughout the Old and New Testament.” 75 Tema ini merupakan pengikat
yang menjalin dua bagian Alkitab menjadi satu kesatuan.
Definisi janji sendiri cukup menarik untuk dipahami. Secara umum janji dipahami sebagai:
73 Tinjauan John T. Willis terhadap tulisan Peter C. Craigie, The Problem of War in the Old Testament, Restoration Quarterly 24, no. 2 (1981), 111-12.
74 Tinjauan Leo G. Perdue terhadap tulisan Peter C. Craigie, The Problem of War in the Old Testament, Journal of Biblical Literature 99, no. 3 (1980), 446-48.
75 Thomas Edward McComiskey, The Covenants of Promise (Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 1985), 15.
a. A declaration that one will do or refrain from doing something specified.
b. A legally binding declaration that gives the person to whom it is made a right to except or to claim the performance or forbearance of a specified act.
c. Reason to except something or ground for expectation of success improvement or excellence. 76
d. Indication that something may be expected to come or occur; likelihood or hope of something.
e. Indication of future success or good result. 77
Pemahaman ini begitu ragam, namun dapat kita simpulkan secara umum bahwa janji berhubungan dengan beberapa hal: tindakan, waktu, dan pengharapan. Dalam hal tindakan, janji dapat merupakan sebuah ikatan yang mengharuskan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu. Dalam hal waktu, janji berhubungan dengan sesuatu yang dibuat di masa lalu atau masa kini, yang mengikat kita untuk melakukan sesuatu hingga mencapai hasil tertentu di masa depan. Dan dengan sebuah tujuan untuk sebuah hasil tertentu di masa depan, maka janji bisa dikatakan sebagai landasan dari pengharapan itu sendiri.
Konsep janji memiliki perbedaan dengan konsep prediksi ataupun nubuatan. Menurut James Barr, prediksi berbicara mengenai sesuatu yang akan terjadi di masa
depan secara spesifik. 78 Sedangkan menurut Baker, nubuat bersifat lebih luas daripada
76 Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, ed. ke-10, s.v. “Promise”.
77 Oxford Advanced Learner’s Encyclopedic Dictionary, s.v. “Promise”.
78 James Barr, Old and New in Interpretation: A Study of the Two Testaments (London: SCM, 1966),
118-26.
prediksi. Nubuat merupakan suatu pesan yang diterima dari Allah dan disampaikan kepada komunitas atau bangsa untuk mengingatkan mereka akan masa lalu dan menantang mereka akan masa kini serta mempersiapkan mereka untuk masa akan
datang. 79 Lebih spesifik, Hasan Sutanto melihat nubuat sebagai sesuatu yang bersifat progresif dimana ada bagian yang mungkin berulang, bertambah, dan bersifat melanjutkan nubuatan sebelumnya dengan tetap menyimpan sisi misteri tertentu dimana nubuatan dapat terjadi secara literal namun juga dapat dipahami secara simbolik untuk
menggambarkan realita yang akan datang. 80 Sedangkan konsep janji di dalam Alkitab,
menurut Moltmann, adalah sebuah deklarasi tentang sesuatu yang realita yang belum terjadi, bersifat mengikat, dan menciptakan jarak antara realitas janji dan realisasi atau pemenuhan dari janji tersebut, serta bergantung penuh kepada Allah sebagai pihak yang
menginisiasi janji tersebut. 81 Dalam hal ini, janji dapat dilihat sebagai sesuatu yang
bersifat lebih luas daripada prediksi maupun nubuatan, sebab janji memiliki ikatan antar dua pihak, dalam hal ini Allah dan manusia, dimana memungkinkan prediksi dan nubuatan menjadi satu bagian untuk menjelaskan mengenai penggenapan yang akan terjadi atas janji yang ada.
79 Baker, Two Testaments, One Bible, 212.
80 Hasan Sutanto, Hermeneutik: Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab (Malang: Literatur SAAT, 2007), 399-407.
81 Jürgen Moltmann, Theology of Hope: On the Ground and the Implications of a Christian Eschatology (Minneapolis, Minnesota: Fortress, 1993), 102-06.
Selain itu, dalam konsep janji dan penggenapan ditemukan sifat conditional dan unconditional. Baker menjelaskan bahwa dasar dari pendekatan ini adalah Perjanjian Allah dengan Israel, Ia menetapkan hukum dan ketentuan yang harus ditaati supaya janji
Allah dipenuhi bagi Israel. 82 Dalam kondisi taat inilah pemenuhan akan janji Allah
dinyatakan, sebaliknya dalam pemberontakan Israel, janji Allah tidak terpenuhi. Pemahaman ini menunjukkan bahwa adanya kondisi-kondisi tertentu yang menjadi syarat terpenuhinya janji, conditional promise, contoh konsep berkat kutuk dalam Perjanjian Lama. Sekalipun demikian, ada juga janji Allah yang tidak terpengaruh oleh hadirnya kondisi tertentu, seperti janji keselamatan. Dalam janji keselamatan, Allah bekerja secara total untuk menghadirkan keselamatan melalui Yesus tanpa mengharapkan terlebih dahulu adanya kondisi ketaatan Israel. Oleh karena itu, sifatnya lebih unconditional.
Karakteristik Janji dan Pemenuhan Pendekatan janji dan pemenuhan, sebagai bagian dari cara memahami relasi Perjanjian Lama dan Baru, memiliki karakteristik dan penekanan yang unik dalam melihat keterkaitan antar Perjanjian. Tiga karakteristik penting dalam pendekatan janji dan pemenuhan adalah pemahaman kesejarahan yang dilihat dalam frame janji Allah dan pemenuhannya, progresifitas dari janji Allah yang terus berkembang dan ketentuan serta jaminan dari janji dan pemenuhan yang terjadi.
Pemahaman Kesejarahan
Memahami konsep janji dan pemenuhan tidak terlepas dari bagaimana pembaca Alkitab melihat sejarah yang tercatat di dalam Alkitab. Bagi pandangan ini, sejarah Alkitab hendaknya dipahami dalam keunikannya masing-masing. Berbeda dengan tipologi yang memahami sebuah peristiwa dimasa lampau sebagai bayang-bayang akan sebuah realitas yang baru, pendekatan janji dan pemenuhan melihat dua realitas dari masa lampau dan masa kini sebagai sesuatu yang berdiri sendiri pada dirinya. “The old revelation had a reality and a validity in its own right. The new, too, had a validity and a
reality in its own right.” 83 Dalam hal ini tidak ada sebuah keberulangan sejarah yang
bersifat sama, yang ada hanyalah sebuah realitas baru yang berada satu level lebih tinggi dibandingkan yang lama.
Dalam tampilnya realitas-realitas sejarah yang ada dalam Alkitab, realitas ini tidak tampil dalam kehampaan namun ada sebuah ruang sejarah yang menjadi wadah pembingkai. Dalam hal ini realitas sejarah coba dibingkai dalam ruang janji atau pemenuhan. Realitas janji dan pemenuhan ini juga tidak bersifat total, namun tampil secara bertahap dan progresif. Baker menyatakan “What God promises he fulfils, and, because the fulfilment is only partial, it contains within it an unfulfilled promise that
points forward to a new fulfilment.” 84 Dalam bentuk yang bertahap inilah maka
keterkaitan antar satu peristiwa dengan peristiwa lain, dalam bingkai janji dan pemenuhan, bersifat progresif. Satu janji dalam bagian tertentu dapat dipenuhi lebih dari
83 H. H. Rowley, The Unity of the Bible (London, England: Lutterworth, 1968), 94.
dua peristiwa di masa yang akan datang dan dalam level yang berbeda. Hal ini selaras dengan pendapat Zimmerli bahwa
Even though it is precisely in these important passages that the ceremonious formula of promise appears, nevertheless the formula does not remain fixed, but evinces a turbulent
history of extension and re-interpretation on a deeper level. 85
Tidak ada sebuah formula yang pasti dari sebuah janji dan pemenuhan, yang ada hanyalah sebuah pergolakan sejarah yang semakin luas dan terus ditafsirkan kembali ke level yang lebih dalam. Dengan demikian, ada sebuah kemungkinan untuk menafsirkan sebuah janji di masa yang lalu dari lebih dari satu peristiwa pemenuhan di masa selanjutnya dengan melihat korelasi-korelasi tertentu dari masing-masing sisi yang berbeda. Sebagai contoh, janji Allah memberikan Abraham keturunan dipenuhi ketika Ishak lahir, namun lebih luas lagi janji itu dipenuhi kembali oleh Israel, dan kemudian Paulus menunjukkan bahwa janji Allah pada Abraham kembali tergenapi di dalam Kristus (Galatia 3:16). Dalam hal ini keterkaitan Ishak, Israel, dan Yesus tidak bisa dipandang secara tipologis, akan tetapi, baik Ishak, Israel, dan Yesus berdiri sendiri dalam keunikan peristiwa mereka dan menjadi bingkai untuk menafsirkan janji Allah pada Abraham mengenai keturunan, sehingga kemungkinan adanya dua bahkan tiga lapis pemenuhan dari sebuah janji bergantung pada cara menafsirkan kembali peristiwa sejarah yang terjadi di Alkitab. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemahaman sejarah dalam konteks janji dan pemenuhan dapat dilihat sebagai sesuatu yang bersifat progresif, unik dalam setiap peristiwa, dan memungkinkan untuk memiliki beberapa lapisan pemenuhan dari janji tersebut dalam sejarah Alkitab.
85 Walther Zimmerli, “The Interpretation of Old Testament: The Promise and Fulfillment”,
Progresivitas Janji dan Pemenuhan
Progresivitas janji dan pemenuhan bukan hanya bekerja secara kronologis namun juga hadir dalam isi dari janji dan pemenuhan tersebut. Progresivitas ini ditunjukkan dengan adanya beberapa pengulangan, penambahan, pengurangan, bahkan pemenuhan yang terjadi berkaitan dengan isi dari janji tersebut. Baker menyatakan bahwa “the basic divine promise to the patriarchs is given, repeated, almost retracted, renewed, and
partially fulfilled.” 86 Dalam hal ini, pengulangan yang terjadi tidak bersifat sirkular
namun spiral, dimana ada sebuah perkembangan pemikiran dan makna dalam relasi janji dan pemenuhan. Menambahkan hal ini B.F. Westcott menyatakan bahwa setiap janji
yang dipenuhi membawa pengertian kepada sebuah janji yang lebih besar. 87
Perkembangan pemikiran dan makna yang terjadi berhubungan dengan konsep partikularitas dari pemenuhan itu sendiri. Reuther menyatakan bahwa
On the other hand, the New Testament witness to fulfillment is rooted precisely in the eschatological vision and in the belief that the future of the Lord, albeit in a hidden and fragmentary way, is present in our midst in the form of signs, first fruits, foretaste and so
on. 88
Kenyataan tentang pemenuhan akan janji Allah berakar pada sebuah keyakinan eskatologis dimana janji itu dipenuhi melalui cara yang tidak sepenuhnya komplit dan hadir dalam bentuk tanda-tanda sebagai sebuah kecapan awal akan konsumasi janji Allah. Dalam hal ini, kecapan awal dari janji Allah tetap dipandang sebagai sebuah pemenuhan dari janji itu sendiri. Dengan demikian, pemahaman ini memberikan ruang besar bagi
86 Baker, Two Testaments, One Bible, 218.
87 B.F. Westcott, The Epistle to the Hebrew (Eugene, Oregon: Wipf and Stock, 1889), 482.
88 Isaac C. Rottenberg, “Fulfillment Theology and the Future of Christian-Jewish Relations”, Christian Century 97, no. 3 (1960): 68.
pemahaman eskatologi dalam menanggapi realitas dunia saat ini dan akan datang. Di sisi yang lain, partikularitas dari pemenuhan janji Allah membawa pada sebuah pengukuhan
akan pemahaman already but not yet sebagai bingkai dari Kerajaan Allah. 89 Dengan
memahami perkembangan yang ada dari janji dan pemenuhan sebagai satu kesatuan dari kisah yang Allah berikan, maka tidak berlebihan jika ada ungkapan yang menyatakan “There is only one God, and the key to God’s revelation is the story of promise and
fulfillment.” 90
Ketentuan dan Jaminan dari Janji dan Pemenuhan
Karakteristik yang ketiga dari pendekatan ini berbicara mengenai ketentuan dan jaminan dari janji dan pemenuhan. Sebagai sebuah cara untuk melihat kesatuan Perjanjian Lama dan Baru, pendekatan ini memberikan kesadaran tentang adanya ketentuan dan jaminan yang berlaku diantaranya. Ini merupakan sebuah realitas yang tak terhindarkan dari konsep janji itu sendiri. Westermann memahami janji sebagai jaminan dari keselamatan (Assurance of salvation), maklumat keselamatan (Announcement of
salvation), dan sebagai gambaran dari keselamatan (Portrayal of Salvation). 91
Sebagai jaminan, konsep janji dihubungkan secara erat dengan kesetiaan Allah. “Sebab itu haruslah kauketahui, bahwa TUHAN, Allahmu, Dialah Allah, Allah yang setia, yang memegang perjanjian dan kasih setia-Nya terhadap orang yang kasih kepada-
89 Bdk. Johannes Weiss, Jesus’ Proclamation of the Kingdom of God (San Fransisco, California: Scholars, 1985), 67-74.
90 Dictionary of Theological Interpretation, s.v. “Patristic Biblical Interpretation”.
91 Baker, Two Testaments, One Bible, 210.
Nya dan berpegang pada perintah-Nya, sampai kepada beribu-ribu keturunan” (Ulangan 7:9). Dalam kesetiaan-Nya inilah janji itu dikerjakan Allah di dalam dan melalui sejarah hidup manusia untuk menghadirkan kehendak-Nya. Bahkan lebih lagi, Zimmerli menyatakan bahwa “the category promisefulfillment serves to secure the
irrevocable validity of the gift bestowed by God.” 92 Dalam jaminan akan kesetiaan Allah, anugerah itu dinyatakan oleh-Nya secara pribadi melalui penggenapan yang Ia kerjakan
dalam sejarah hidup manusia. Hal ini nampak dari peran Tuhan mengarahkan dan terus menuntut umat manusia untuk mengenal Dia dan masuk dalam rencana Allah lewat sejarah, baik lewat kondisi damai maupun perang. Hingga puncaknya, janji Allah itu digenapi secara nyata di dalam dan melalui Kristus Yesus.
Sebagai pemberitahuan, janji juga mengandung peraturan dan ketentuan yang perlu ditaati. Oleh sebab itu, janji Allah bukan sekedar berbicara masalah anugerah namun juga menuntut respon kesetiaan dari umat-Nya (Keluaran 19:5-6). Hal ini tentu berbeda dengan konsep prediksi atau nubuatan yang seringkali hadir tanpa sebuah
peraturan ataupun tuntutan akan respon manusia. 93
Salah satu contoh akan pentingnya respon ketaatan pada janji Allah nampak pada kisah Yosua. Dalam Yosua 6, Allah memerintahkan Yosua untuk melakukan segala hal yang difirmankan-Nya agar janji akan tanah Perjanjian menjadi nyata bagi Israel. Dan menarik sekali, bagaimana Allah dalam bagian ini menunjukkan penggenapan janji-Nya untuk memberikan Israel tanah Perjanjian dengan merobohkan tembok Yerikho. Akan
92 Zimmerli, “The Promise and Fulfillment”: 315.
93 Samuel H. Kellogg, The Jews or Prediction and Fulfillment: An Argument for the Times (Scottdale, Pennsylvania: The Evangelical Fellowship, 1956), 25.
tetapi, janji kemenangan Israel dalam perang tidak selamanya berjalan dengan baik. Dalam bagian selanjutnya, diceritakan bagiamana Akhan melanggar peraturan Allah dan menyebabkan Israel mengalami kekalahan dalam perang (Yosua 7). Hal ini menunjukkan bahwa janji kemenangan dalam perang, yang Allah berikan, dapat tidak tergenapi apabila Israel tidak berespon dengan tepat pada perintah Allah. Hal ini menunjukkan kembali adanya sifat kondisional dari janji Allah.
Sebagai gambaran, Rottenberg menyatakan janji dan pemenuhan yang diberikan merupakan bagian dari cicipan awal yang saat ini belum mencapai puncak kepenuhannya
yang maksimal. 94 Pemenuhan yang sempurna akan terjadi ketika nanti Kristus datang kali
kedua untuk memerintah sebagai raja dalam kekekalan. Oleh sebab itu, sifat penggenapan dari janji Allah, baik dalam Perjanjian Lama maupun Baru, masih berupa lapisan-lapisan yang akan terus berproses mencapai kesempurnaannya. Meski masih sebagai gambaran akan kesempurnaan yang akan datang, namun hal ini dapat memberikan jaminan bagi iman kita untuk terus berpegang pada-Nya dan melihat proses itu berjalan dalam sejarah hidup manusia.
Landasan Teologis Dengan memahami karakteristik yang ada, pendekatan Janji dan Pemenuhan meletakan pemahaman teologisnya pada konsep perjanjian Allah dengan Abraham. Baker menyatakan bahwa kunci dalam memahami perjanjian Allah dalam Perjanjian Lama terletak pada panggilan Allah kepada Abraham yang di dalamnya terkandung tiga unsur Landasan Teologis Dengan memahami karakteristik yang ada, pendekatan Janji dan Pemenuhan meletakan pemahaman teologisnya pada konsep perjanjian Allah dengan Abraham. Baker menyatakan bahwa kunci dalam memahami perjanjian Allah dalam Perjanjian Lama terletak pada panggilan Allah kepada Abraham yang di dalamnya terkandung tiga unsur
terkandung di dalam panggilan Allah pada Abraham ini dipenuhi di dalam beberapa tahapan kesejarahan. David A. Hubbard menunjukkan bagaimana janji Allah terhadap Abraham digenapi secara bertahap melalui perjalanan Israel menuju Kanaan hingga masa pasca pembuangan secara bertahap dan berkembang ke arah yang lebih besar sesuai
dengan kondisi yang baru. 96 Oleh karenanya, tepat jika Sanderson menyimpulkan
pemahaman Paulus bahwa
If Abraham's seed is to be as numerous as the dust of the earth, then surely "the land" will not be sufficient to contain such a large population. And since Paul is on the threshold of
a new age when the fullness of the Gentiles will be brought in, he legitimately extends the
promise to deal with the new situation. 97
Dalam hal ini, Sanderson melihat Paulus memahami penggenapan janji Allah tentang tanah kepada Abraham dalam bentuk yang lebih luas. Dengan demikian, Janji Allah kepada Abraham tetap menjadi pengikat baik antara Israel di Perjanjian Lama dan Israel Baru di Perjanjian Baru.
Pendekatan janji dan pemenuhan juga menekankan tentang sentralitas Kristus. Baker menyatakan bahwa setiap perkataan yang memiliki signifikansi dalam sejarah keselamatan dan juga kesaksian-kesaksian digenapi di dalam Kristus, bahkan bisa dikatakan keseluruhan janji yang ada di dalam perjanjian yang lama telah dipenuhi di
dalam Kristus. 98 Dengan menekankan Kristus sebagai pemenuhan dari segala janji, maka
95 Baker, Two Testaments, One Bible, 215-16.
96 David A. Hubbard, “Hope in the Old Testament,” Tyndale Bulletin 34 (1983): 33-59. Dalam bagian ini Hubbard juga menunjukkan bagaimana janji Allah pada Abraham tentang tanah, keturunan, dan relasi
dengan Tuhan digenapi secara terus menerus dan berkembang kearah yang lebih global.
97 John W. Sanderson, “Some Thoughts on the Reading of the Old Testament”, Presbyterion 6, no. 2 (1980): 85-95.
perlu sebuah kesadaran akan adanya perubahan pemahaman yang mungkin terjadi dari konteks Perjanjian Lama pada Perjanjian Baru. Moltmann memahami pergerakan relasi janji dan pemenuhan di dalam Kristus sebagai sebuah proses transformasi. Moltman menyatakan
Thus we find promise and history in a process of transformation, in which the traditional accounts of the promises took place in the mastering of the new experiences of history, while the new experiences of history were understood as
transformations and expositions of the promises. 99
Memahami transformasi ini, maka bisa dikatakan bahwa kehadiran Kristus sebagai pengalaman baru dalam sejarah mentransformasi dan juga memberikan penjelasan yang lebih luas akan janji-janji yang sebelumnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sentralitas Kristus menjadi tema teologis yang kuat bagi pendekatan janji dan pemenuhan.
Penggunaan Janji dan Pemenuhan dalam Memahami Konsep Perang Perang dalam Alkitab merupakan bagian dari sejarah keselamatan, dimana Allah terus bekerja di dalam dan melaluinya untuk memenuhi janji-Nya. Duane L. Christensen dalam bukunya Prophecy and War in Ancient Israel mencoba menggunakan pendekatan janji dan pemenuhan sebagai sebuah metodologi dalam mendekati teks-teks nubuatan melawan bangsa-bangsa lain. 100 Dalam buku ini, Christensen melihat bahwa teks-teks
98 Baker, Two Testaments, One Bible, 227.
99 Moltmann, Theology of Hope, 111.
100 Duane L. Christensen, Prophecy and War in Ancient Israel (Berkeley, California: BIBAL, 1975), 9- 100 Duane L. Christensen, Prophecy and War in Ancient Israel (Berkeley, California: BIBAL, 1975), 9-
Melalui pendekatan janji dan pemenuhan, Christensen menekankan bahwa perang merupakan sebuah instrumen dari politik luar negeri di masa Timur Dekat Kuno yang berkaitan erat dengan kekuatan keagamaan dan perkembangan gerakan kenabian. 102 Keterkaitan erat antara perang dengan agama dan nabi nampak pada beberapa kisah seperti kisah Saul ketika memanggil roh Samuel (1Samuel 28:3-25). Dalam kisah ini, kehadiran Samuel sebagai nabi Allah dalam perang nampaknya menjadi sesuatu yang penting untuk diperhitungkan, sebab para nabi seringkali memberikan nubuatan atau pesan langsung dari Allah kepada umatnya mengenai perang yang akan terjadi. Perkataan atau pesan Allah yang disampaikan oleh para nabi sering dilihat sebagai sebuah janji dan bukan sekedar prediksi. McKenzie menegaskan hal yang sama dengan menyatakan bahwa tujuan utama dari nubuatan atau ramalan para nabi lebih utama sebagai sebuah
101 Christensen, Prophecy and War, 13-14.
102 Christensen, Prophecy and War, 18.
pemberitahuan akan apa yang terjadi selanjutnya (forthtelling) dan bukan sekedar prediksi ke depan (foretelling). 103
Dengan memahami hal ini, peran dari sebuah perkataan atau janji Allah menjadi sesuatu yang penting dalam konsep perang. Dalam Perjanjian Lama, ketika Israel dijanjikan oleh Allah akan menerima tanah Perjanjian melalui janji Allah kepada Abraham, janji ini juga diteruskan Allah melalui Yosua (Yosua 1:6). Yang menarik, bahwa kegenapan janji Allah untuk membawa Israel memasuki tanah Kanaan dilambangkan dengan kehadiran Allah sebagai Panglima Perang (Yosua 5:13-15). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perang merupakan bagian dari instrumen Ilahi yang Allah sengaja pakai masa itu untuk menggenapi janjinya kepada Abraham. Christensen juga menyimpulkan hal yang serupa bahwa motif dari beberapa nyanyian perang Israel kuno menunjukkan adanya konsep bahwa Pahlawan perang Ilahi akan memimpin umatnya dalam pertempuran sebagai bagian dari kewajiban Perjanjian. 104 Hal ini akan mengalami progresivitas hingga pada akhirnya Allah hadir sebagai Pahlawan perang secara ilahi untuk memimpin dan membebaskan dunia dari belenggu musuh yang lebih subtle, yaitu si Ular Tua (Wahyu 20).
Melalui pendekatan ini, pemahaman perang dikaitkan secara khusus dalam konteks Perjanjian dengan berfokus pada penggenapan janji Allah pada Abraham dan keturunannya. Dalam pendekatan ini, titik berat pada penggenapan progresif dari janji menjadi bagian yang menonjol untuk diperhitungkan. Dengan demikian, lewat perspektif
103 Steven L. McKenzie, How to Read the Bible (Oxford, New York: Oxford University Press, 2005),
ini pendekatan terhadap perang dilihat secara pertahap berdasarkan bentuk pemenuhan dari janji yang mendasari perang yang terjadi. Di sisi lain, fokus terhadap konsep janji juga membawa pada pemahaman kondisional dan non-kondisional dari janji Allah. Hal ini dipengaruhi oleh sikap taat dari umat Israel pada Allah. Sehingga, bentuk pemenuhan dari janji Allah dalam realitas perang memasuki kotak sempit yang dibatasi oleh unsur- unsur lain diluar kenyataan perang yang ada, seperti masalah kekudusan dan perjanjian Allah. Sekalipun demikian, pendekatan ini secara menarik mampu memberikan perspektif lain berkaitan dengan nubuatan dan janji Allah dalam konteks Perjanjian.