Ruang Terbuka Hijau

5.5 Ruang Terbuka Hijau

5.5.1 Tipe ruang terbuka hijau di Kota Semarang

Ruang Terbuka adalah adalah ruang-ruang dalam kota/wilayah yang lebih luas, baik dalam bentuk area memanjang/jalur dimana dalam penggunaannya lebih bersifat terbuka, yang pada dasarnya tanpa bangunan. Melihat pengertian ini, maka Ruang Terbuka menjadi lahan potensial untuk pengembangan Ruang Terbuka Hijau. Jenis Ruang Terbuka Hijau eksisting di Kota Semarang terbagi menjadi dua tipe yaitu tipe hijau dan tipe biru. Yang termasuk dalam Ruang Terbuka Tipe Hijau adalah Taman Kota, lapangan olahraga, hutan, kebun campur,perkebunan, tegalan, sawah dan kuburan. Sedangkan yang termasuk dalam Ruang Terbuka Tipe Biru adalah sungai, rawa, danau, polder, tambak dan kolam ikan. Untuk sungai yang terdapat di Kota Semarang diantaranya sungai Babon, Banjir Kanal Timur, Banjir Kanal Barat, Kaligarang, Silandak, Beringin, Kali Kreo, dan Kali Mangkang.

5.5.2 Ruang terbuka hijau Kota Semarang

Pada penelitian ini dilakukan analisis dan penghitungan luasan penggunaan tipe penutupan lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kota Semarang pada periode tahun 2001 dan 2006. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kecukupan dan perubahan RTH di Kota Semarang dari perhitungan luasannya melalui citra landsat 7 ETM selama periode tersebut. Tabel 9. Perubahan luasan Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang

tahun 2001-2006

No Penutupan Lahan

1 Area Terbangun

35.58 3121.7 8.06 2 Badan Air

5.77 -352.3 -0.91 3 Lahan Terbuka

12.85 1641.51 4.24 4 Ruang Terbuka Hijau

45.81 -3628.2 -9.37 5 Tidak Ada Data

2.02 0 0.00 -782.73 -2.02 TOTAL

- - - Keterangan : (+) luas wilayah meningkat dan (-) luas wilayah menurun

Berdasarkan hasil interpretasi dan analisis yang dapat dilihat pada Tabel 9, proporsi RTH yang berada di wilayah Kota Semarang (vegetasi rapat, vegetasi campuran, ladang, dan sawah) yang mempunyai luasan area 21.365,3 Ha (55.18%) pada tahun 2001 dan 17.737,1 Ha (45,81%) pada tahun 2006 dari luas keseluruhan Kota Semarang, maka luasan RTH yang ada sudah mencukupi berdasarkan luasannya menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Luas RTH yang ditetapkan sebesar 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota.

Dari tahun 2001-2006, RTH di Kota Semarang telah mengalami perubahan terhadap luasan wilayahnya. Berdasarkan analisis dan interpretasi citra landsat 7 ETM selama periode tahun 2001-2006, perubahan RTH terjadi penurunan luasan wilayah yang tersaji pada Tabel 9, diatas. Berdasarkan peraturan pemerintah yang tercantum dalam UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menetapkan proporsi Ruang Terbuka Hijau sebesar 30% dari luas keseluruhan kota, dengan terjadinya perubahan penurunan luasan wilayah RTH dari 55.18% tahun 2001 turun menjadi 45,81% tahun 2006 masih

tetap memenuhi. Selama periode 2001-2006 diketahui laju perubahan RTH yang terjadi pada tiap tahunnya sebesar 1,87% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Hal ini perlu diwaspadai dan tetap mempertahankan proporsi RTH terhadap perubahan penggunaan lahan di Kota Semarang yang banyak mengkonversi lahan-lahan RTH dan bila perlu menghentikan laju perubahan yang menyebabkan berkurangnya luasan RTH dalam proses pembangunan Kota. Salah satu usaha untuk menghentikan laju perubahan lahan yang menyebabkan alih fungsi RTH dengan membangun bangunan secara vertikal (bersusun atau bertingkat) seperti rumah susun.

Pada Gambar 18 , yaitu peta distribusi RTH, terlihat bahwa distribusi keberadaan luasan RTH untuk Kota Semarang tidak merata. Luasan RTH terbesar didominasi di daerah Semarang atas atau daerah perbukitan yang sedikit dengan jumlah area terbangunnya. Daerah perbukitan di Kota Semarang mempunyai ketinggian antara 5 – <348 meter dpl diatas permukaan laut. Daerah ini juga masih banyak kelas penutupan vegetasi jarang dengan kepadatan pemukiman sedang – rendah. Wilayah ini merupakan wilayah pedesaan (sub urban) dengan aktivitas utama masyarakat yang tinggal di sana masih bertumpu pada aktivitas pengelolaan dan pengolahan sumberdaya alam (pertanian, perkebunan, dan perladangan). Kondisi ini tidak didukung dengan adanya perencanaan yang baik, sehingga banyak fungsi-fungsi penghijauan belum dapat dirasakan manfaatnya secara maksimal. Hal ini yang menjadi permasalahan RTH di Kota Semarang.

Untuk wilayah perkotaan (urban), mempunyai aktivitas masyarakat yang berkembang dengan mengikuti kegiatan di dalam kota. Pusat kota di Kota Semarang mempunyai tingkat kepadatan pemukiman yang tinggi dengan luas area terbangun sebesar 10.656 Ha atau 27.52% tahun 2001 meningkat menjadi 13.777,7 Ha atau (35,58%) dengan laju perubahan sebesar 1,61% pertahun.

5.5.3 Ruang terbuka hijau perwilayah kecamatan

Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Semarang secara umum memenuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah (UU. No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang) yaitu dengan luasan minimal 30% dari luas keseluruhan Kota Semarang. Dalam penelitian ini didapatkan hasil interpretasi dan analisis citra

terhadap luasan RTH Kota Semarang pada wilayah perkecamatan pada periode yang berbeda yaitu tahun 2001 dan 2006 tersaji pada Tabel 11. Selama periode 2001-2006 di Kota Semarang untuk luasan RTH perwilayah kecamatan mengalami perubahan. Perubahan terjadi pada luasan wilayah Ruang Terbuka Hijau pada masing-masing kecamatan berdasarkan hasil analisis dan interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2006 mengalami peningkatan dan penurunan luasan. Pada Tabel 11, terlihat jelas bahwa selama periode 2001-2006, untuk luasan RTH pada masing-masing kecamatan di Kota Semarang secara umum mengalami penurunan luasan. Hal ini berkaitan dengan perubahan lahan yang terjadi di Kota Semarang selama periode 2001-2006 terjadi peningkatan luas wilayah untuk tipe penutupan area terbangun. Terjadi konversi pada penggunaan lahan Ruang Terbuka Hijau untuk area terbangun dan penutupan lahan lainnya. Data alih fungsi penggunaan lahan RTH di Kota Semarang menjadi berbagai tipe penutupan lahan tersaji pada Tabel 10. Tabel 10. Alih fungsi Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang

No. Alih fungsi Ruang Terbuka Hijau Luas (Ha)

1. Area Terbangun 4438.71 2. Lahan Terbuka

Berdasarkan Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, untuk proporsi luasan minimal ruang terbuka hijau sebesar 30% jika diberlakukan penetapan ini untuk tiap-tiap luasan kecamatan ternyata ada beberapa wilayah kecamatan di Kota Semarang untuk Ruang Terbuka Hijaunya yang tidak memenuhi. Pada tahun 2001 dan 2006 ada delapan kecamatan yang tidak memenuhi proporsi luasan RTH yang ditetapkan pemerintah. Dari delapan kecamatan pada tahun 2001 dan 2006, ada dua kecamatan yang berbeda yaitu kecamatan Gajahmungkur dan kecamatan Tugu. Untuk kecamatan Gajahmungkur pada tahun 2001 mempunyai proporsi luasan lebih dari 30% yaitu sebesar 34.43% untuk RTHnya, mengalami penurunan luasan RTH pada tahun 2006 menjadi 16.04% sehingga tidak memenuhi proporsi yang telah di tetapkan berdasarkan Undang-undang sebesar 30%. Sedangkan untuk kecamatan Tugu malah sebaliknya, pada tahun 2001 mempunyai luas RTH sebesar 28.58% dari luas keseluruhan kecamatan Tugu mengalami peningkatan luas RTH pada tahun 2006

menjadi 31.43% sehingga memenuhi proporsi yang telah ditetapkan yang pada awalnya tidak memenuhi proporsi 30%. Peningkatan luasan RTH di kecamatan Tugu terjadi pada salah satu tipe RTH yaitu sawah. Sawah di kecamatan Tugu pada tahun 2001 masih belum ditanami tanaman padi dan masih berupa sawah basah, sehingga pada saat penerimaan dan pemantulan gelombang elektromagnetik tipe tutupan yang mendominasi adalah badan air. Sedangkan pada tahun 2006 sawah di kecamatan Tugu sudah ditanami tanaman padi sehingga penerimaan dan pemantulan gelombang elektromagnetik pada system penginderaan jauh didominasi warna hijau.

Tabel 11. Perubahan luas Ruang Terbuka Hijau perwilayah Kecamatan di Kota Semarang Periode 2001-2006

Perubahan No

Luas Wilayah

-424.579 -13.51 2 Candisari

-64.775 -9.54 3 Gajahmungkur

136.615 20.11 Tdk.Memenuhi

10.58 Tdk.Memenuhi

-176.788 -18.39 4 Gayamsari

331.174 34.43 Memenuhi

154.386 16.04 Tdk.Memenuhi

-114.116 -17.18 5 Genuk

196.023 29.51 Tdk.Memenuhi

12.33 Tdk.Memenuhi

-128.148 -4.65 6 Gunungpati

-365.796 -5.89 7 Mijen

-295.545 -5.40 8 Ngaliyan

-1296.518 -28.49 9 Pedurungan

-183.714 -8.24 10 Smg. Barat

-281.295 -12.53 11 Smg. Selatan

562.821 25.07 Tdk.Memenuhi

281.526 12.54 Tdk.Memenuhi

-19.324 -3.04 12 Smg. Tengah

6.82 Tdk.Memenuhi

3.78 Tdk.Memenuhi

-4.814 -0.88 13 Smg. Timur

10.1 1.84 Tdk.Memenuhi

0.96 Tdk.Memenuhi

-19.178 -3.31 14 Smg. Utara

58.381 10.09 Tdk.Memenuhi

6.77 Tdk.Memenuhi

-76.446 -6.45 15 Tembalang

155.345 13.11 Tdk.Memenuhi

6.65 Tdk.Memenuhi

-430.341 -10.25 16 Tugu

87.798 2.85 Keterangan : * Memenuhi dan Tidak Memenuhi berdasarkan UU. No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (-) Luasan Berkurang, (+) Luasan Bertamabah

880.476 28.58 Tdk.Memenuhi

968.274 31.43 Memenuhi

Pihak Pemerintah Daerah Kota Semarang telah melakukan penyusunan pembangunan ruang terbuka hijau dalam Rencana Besaran Prosentase Luasan Minimal Ruang Terbuka Hijau di wilayah Kota Semarang. Ada dua wilayah yang menjadi prioritas pembangunan ruang terbuka hijau yaitu wilayah ruang perkotaan dan wilayah ruang pedesaan. Pada wilayah perkotaan, karena luasan ruang terbuka semakin kecil akibat meningkatnya lahan terbangun dan kepadatan bangunan, maka besaran luasan ruang terbuka hijau diarahkan minimal sebesar 15% – 30% dari total luas wilayah. Kondisi ini diarahkan pada wilayah Kota Semarang yang meliputi kecamatan : Semarang Utara, Semarang Barat, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Selatan, Genuk, Pedurungan, Gayamsari, Gajahmungkur, Candisari dan Tugu. Sedangkan untuk wilayah ruang pedesaan, dengan melihat kondisi potensi luasan ruang terbuka masih cukup besar dan kepadatan bangunan masih relatif cukup kecil, maka besaran luasan ruang terbuka hijau diarahkan minimal sebesar 30% - 40% dari total luas wilayah. Kondisi ini diarahkan pada wilayah Kotamadya Semarang yang meliputi kecamatan Ngaliyan, Mijen, Gunungpati, Banyumanik dan Tembalang.

Dengan melihat kondisi luas wilayah perkecamatan yang cukup kecil dibandingkan dengan kepadatan bangunan, dan kondisi ini tidak memungkinkan adanya cadangan ruang terbuka sebagai pengembangan ruang terbuka hijau untuk memenuhi kekurangan luasan ruang terbuka hijau pada masing-masing kecamatan berdasarkan rencana besaran prosentase luasan minimal ruang terbuka hijau dilakukan dengan mengoptimalkan dari pekarangan lahan terbangun. Sedangkan untuk wilayah kecamatan dengan luasan ruang terbuka hijau yang memenuhi proporsi 30% sebagai luasan minimal tindakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah Kota Semarang yaitu dengan tetap mempertahankan potensi ruang terbuka dan RTH, mempertahankan KDB (Koefisien Dasar Bangunan) yang telah ditetapkan.

Gambar 18. Peta Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang tahun 2001 dan 2006

5.5.4 Pendekatan penentuan kerapatan ruang terbuka hijau di Kota Semarang

Karakteristik Kepemilikan Lahan di Kota Semarang terdiri dari Lahan Milik Perorangan (Private Sector) dan Lahan Milik Umum (Public Sector). Masing-masing lahan tersebut memiliki peran serta yang sama dalam menyediakan Ruang Terbuka, serta Ruang Terbuka Hijau / Penghijauan. Agar terjadi keseimbangan ekologis dan lingkungan terkait dengan pembangunan yang semakin meningkat dan potensi gangguan lingkungan yang semakin besar, maka masing-masing lahan, baik pada ruang publik maupun pada ruang private memiliki kewajiban dan tanggung jawab bersama dalam menyediakan Ruang Terbuka Hijau / Penghijauan di masing-masing wilayahnya, dimana besarnya kerapatan penghijauan tersebut ditentukan oleh Nilai Kerapatan Ruang Terbuka Hijau / Penghijauan, sebagai berikut :

1. Untuk Ruang Publik/Public Sector, kerapatan Ruang Terbuka

Hijau/Penghijauan ditentukan sebesar 10% dari Luas Ruang Publik yang ada.

2. Untuk Ruang Private/Private Sector, kerapatan Ruang Terbuka Hijau/Penghijauan ditentukan sebesar 30% dari Luas Pekarangan Ruang Private yang ada.

Tabel 12. Arahan dan rencana besaran persentase luasan Ruang Terbuka Hijau perwilayah Kecamatan di Kota Semarang.

Persentase No.

Luas Wilayah (Ha)

Kecamatan

Luasan RTH

1 Banyumanik 3144.73 40% - 60% 2 Candisari

679.22 10% - 15% 3 Gajahmungkur

962.33 10% - 15% 4 Gayamsari

664.54 15% - 25% 5 Genuk

2768.30 30% - 40% 6 Gunungpati

6208.12 60% - 75% 7 Mijen

5455.24 60% - 75% 8 Ngaliyan

4549.21 40% - 60% 9 Pedurungan

2231.66 15% - 30% 10 Semarang Barat

2245.44 30% - 40% 11 Semarang Selatan

635.89 30% - 40% 12 Semarang Tengah

549.27 10% - 15% 13 Semarang Timur

578.86 10% - 15% 14 Semarang Utara

1185.64 10% - 15% 15 Tembalang

4203.70 40% - 60% 16 Tugu

3080.91 30% - 40% Sumber: BAPPEDA Kota Semarang 2007

Bahwa penurunan Daya Tampung Lahan akibat berkembang pesatnya proses pembangunan yang membutuhkan ketersediaan lahan, secara alamiah memang harus terjadi dalam kondisi kota yang semakin berkembang pesat ke arah kemajuan. Meskipun secara fisik, hal ini tidak menguntungkan bagi kelestarian ekologi dan lingkungan, tetapi secara konseptual harus disikapi dengan bijaksana.

Oleh karena itu sebagai keseimbangan agar daya tampung lahan yang semakin berkurang itu tidak merusakkan sistem lingkungan dan ekosistem yang ada, maka harus diimbangi dengan merencanakan peningkatan kerapatan luasan Ruang Terbuka Hijau/penghijauan pada lahan-lahan potensial yang ada. Dan harus diingat pada perencanaan peningkatan kerapatan Ruang Terbuka Hijau/penghijauan, ditekankan bahwa semakin besar perubahan lahan menjadi Lahan Terbangun/Kawasan Budidaya, maka semakin besar pula kerapatan Ruang Terbuka Hijau/penghijauan yang harus disediakan.

5.5.5 Pendekatan pengembangan tata ruang untuk peningkatan kuantitas ruang terbuka hijau

Berdasarkan pola penyebaran kegiatan kawasan, maka pengembangan Ruang Terbuka Hijau Kota Semarang disesuaikan dengan pola pengembangan struktur tata ruang Kota, yang diarahkan sebagai berikut :

1) Kelompok kegiatan Hunian, berupa kawasan permukiman penduduk yang memiliki pola penyebaran konsentris terhadap fasilitas kota, terutama di sepanjang jalur utama kota, dimana tingkat kepadatannya meningkat ke arah pusat kota.

2) Kelompok kegiatan Internal yang berskala kota, dimana sebagian besar terkonsentrasi di daerah pusat kota. Sedangkan yang berskala lingkungan yang lebih kecil tersebar di pusat-pusat lingkungan sehingga dapat memacu pertumbuhan pada daerah-daerah yang perkembangannya lemah.

3) Kegiatan yang berfungsi eksternal, antara lain kegiatan pemerintahan, perdagangan dan jasa komersial serta pelayanan transportasi, dimana sebagian besar terkonsentrasi di pusat-pusat kota serta memiliki akses di sepanjang jalur utama Kota Semarang.

Berkaitan dengan Ruang Terbuka Hijau, Rencana Tata Guna Tanah mengarahkan sebagai berikut :

1) Rencana wilayah ruang terbuka tersebar di seluruh wilayah Kecamatan di Kota Semarang, berdampingan dengan wilayah kawasan permukiman dengan tujuan bahwa skala pelayanan ruang terbuka di kawasan permukiman masih cukup terjangkau luasannya untuk melayani kebutuhan penduduk di tingkat komunitas sesuai standar luasan Ruang Terbuka Hijau pada skala permukiman penduduk.

2) Rencana daerah pengembangan ruang terbuka sebagai salah satu lahan potensi Ruang Terbuka Hijau ditempatkan pada daerah pinggiran kota (hinterland) dengan tujuan luasan masih terjangkau, karena kepadatan penduduk dan kepadatan bangunan masih rendah.

3) Nodes-nodes Ruang Terbuka Hijau yang terdiri dari taman kota, hutan kota, lapangan olah raga dan lapangan lingkungan serta tanah permakaman sebagai potensi utama Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang, tetap dipertahankan keberadaannya serta besaran luasannya. Sehingga diharapkan potensi eksisting nodes-nodes RTH tidak akan berkurang sampai batas tahun perencanaan 2027.

4) Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di kawasan pusat kota (bagian bawah wilayah Kota Semarang) diarahkan pada Intensifikasi lahan (peningkatan kualitas lahan). Sementara pengembangan Ruang Terbuka Hijau di kawasan pengembangan kota/hinterland dan periferi Kota (bagian atas wilayah Kota Semarang) diarahkan pada Ekstensifikasi lahan (peningkatan kuantitas luasan lahan terbuka).

5.5.6 Pemanfaatan ruang terbuka hijau di Kota Semarang

a. Daerah Perkotaan

Pada wilayah ruang perkotaan, karena luasan ruang terbuka semakin kecil akibat meningkatnya lahan terbangun dan kepadatan bangunan, maka besaran luasan Ruang Terbuka Hijau diarahkan minimal sebesar 15%-30% dari total luas wilayah. Kondisi ini diarahkan pada wilayah Kota Semarang yang meliputi Kecamatan : Semarang Utara, Semarang Barat, Semarang Timur, Semarang

Tengah, Semarang Selatan, Genuk, Pedurungan, Gayamsari, Gajah Mungkur, Candisari dan Tugu.

Pada daerah perkotaan, pemanfaatan ruang terbuka hijau diarahkan dapat mendukung kegiatan perkotaan dan secara langsung akan merupakan bagian dari struktur fungsional yang direncanakan. Dengan demikian konsep pendekatannya berdasar pada aspek ekonomis, aspek fungsional, aspek manfaat, aspek optimal, aspek ekologis berwawasan lingkungan, aspek kemudahan dalam penerapan.

b. Daerah Pinggiran (Transisi Desa-Kota)

Pada Wilayah Ruang Perdesaan, karena potensi luasan Ruang Terbuka masih cukup besar dan kepadatan bangunan masih relatif cukup kecil, maka besaran luasan Ruang Terbuka Hijau diarahkan minimal sebesar 30%-40% dari total luas wilayah. Kondisi ini diarahkan pada wilayah Kota Semarang yang meliputi Kecamatan : Ngaliyan, Mijen, Gunungpati, Banyumanik dan Tembalang

Pada daerah pinggiran atau daerah transisi antara daerah pedesaan dengan daerah perkotaan, pemanfaatan RTH sebagai daerah produktif pertanian kota atau kegiatan-kegiatan lain diutamakan yang mendukung pelestarian alam dan mendukung kegiatan perkotaan. Hal tersebut dipertimbangkan bahwa daerah pinggiran merupakan daerah sumberdaya alam pendukung kota. Dengan demikian konsep pendekatannya berdasar pada aspek keseimbangan ekologis, aspek manfaat, aspek pelestarian alam, dan aspek berwawasan lingkungan.

c. Sabuk Jalur Hijau Kota (Green Belt)

Pemanfaatan berdasar pada kondisi ekologis kota dan kondisi terbentuknya struktur ruang kota, maka untuk melindungi daerah perkotaan dan mendukung kegiatan perkotaan yang merupakan wadah berlangsungnya proses sosial dan ekonomi secara terpadu. Pemanfaatan tersebut merupakan suatu arahan terpadu dari pemanfaatan satuan-satuan ekosistem dengan satuan-satuan kegiatan fungsional perkotaan-pedesaan, dengan melakukan arahan sabuk jalur hijau (ring belt) pada seluruh daerah pinggiran, yang berada pada dataran rendah perbukitan. Arahan yang direncanakan dengan meningkatkan intensitas penghijauan (tata hijau) pada masing-masing satuan fungsional yang terkena konsep sabuk jalur hijau. Dengan demikian tujuan untuk melindungi daerah perkotaan terhadap kepesatan perkembangan kota dapat terkendali, sekaligus melakukan pelestarian

sumberdaya alam bagi daerah-daerah yang berfungsi sebagai penyangga kehidupan perkotaan