Distribusi Spasial Suhu Permukaan dan Ke

DISTRIBUSI SPASIAL SUHU PERMUKAAN DAN KECUKUPAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA SEMARANG PUJI WALUYO DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

DISTRIBUSI SPASIAL SUHU PERMUKAAN DAN KECUKUPAN RUANG TERBUKA HIJAU DI KOTA SEMARANG PUJI WALUYO SKRIPSI

sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Istitut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

SUMMARY

PUJI WALUYO (E34104054). The Spatial Distribution of Surface Thermal and Green Space Capacity in Semarang. Under Supervision of LILIK BUDI

PRASETYO and ENDES N. DAHLAN.

Semarang is one of cities that become center of public activity which is always developing in many aspects such as settlement, , roads, industries and other infrastructures. Unfortunately, The development seems to ignore environmental sustainability, in which large of green open space are converted into other land uses. The conversion will lead micro climate changes resulted in Urban Heat Island and green house effect. Those phenomenon can be observed by utilizing Geographic Information System and remote sensing. The objectives of the research are as follows : (1) land cover type identification and surface thermal of spatial distribution, , (2) the relationship between surface thermal with Green Space capacity, open land and built areas. (3) the relationship between surface thermal with Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), through interpretation and landsat Imaginery 7 ETM.

The research area situated at in Semarang City and data used were Landsat Imaginery 7ETM path/row 120/065 acquiring on April 2001 and June 2006. Landsat imagery were analyzed using an Arc View 3.2 and ERDAS Imagine 8.5 software. Surface temperature were estimated using band 6. Those analysis were aimed to identify relationship between surface thermal with Green Space, the open land, built area and NDVI.

Semarang city with 38.721.70 Ha are dominated by land cover, such as built area 27.52% on year 2001 and 35,58% in 2006. The biggest land cover changes happened on built area and with advancing is 8.06%. Thermal Surface

distribution were found ranges from <20 o C - ≥34

C. The area which have thermal surface value of ≥34 o

C was expanded from 16.80 % in 2001 to 25.68% in 2006. However, green space capacity areal are still covering 30%, inline with proportion based on UU. No.26 on 2007 about areal governance.

The relationship between surface thermal with Green Space and other land uses were identified. It showed that surface temperature of open space area is lower than other landuses such as bare land and settlement. Moreover, It analysis result showed that surface temperature will infllence by NDVI, in which the surface temperature will increase by the lowering NDVI and vice versa.

Keywords : Semarang city, landcover, thermal surface, green space, NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)

RINGKASAN

PUJI WALUYO (E34104054). Distribusi Spasial Suhu Permukaan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang. Dibimbing oleh LILIK BUDI PRASETYO dan ENDES N. DAHLAN.

Kota Semarang merupakan pusat aktivitas manusia yang selalu mengalami perkembangan dari berbagai segi, salah satunya segi fisik dengan ditandai pembangunan infrastruktur kota berupa pembangunan gedung, pemukiman, jalan dan industri. Dalam pembangunan kota, kenyataan yang dilihat selalu mengesampingkan kelestarian lingkungan yang baik dengan terjadinya alih fungsi lahan seperti lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi lahan pemukiman atau industri. Perubahan lahan tersebut akan mengancam keberadaan RTH (green space) dan menyebabkan perubahan iklim mikro yaitu suhu udara semakin meningkat dan terjadi fenomena alam seperti Urban Heat Island (UHI) dan green house effect. Aplikasi Sistem Informasi Geografi (SIG) merupakan salah satu sistem yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui (1) tipe penutupan lahan, distribusi spasial suhu permukaan, kecukupan RTH, dan perubahan luasannya, (2) hubungan antara suhu permukaan dengan RTH, lahan terbuka dan area terbangun, dan (3) hubungan antara suhu permukaan dengan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI), melalui interpretasi dan analisis citra Landsat 7 ETM.

Penelitian ini dilakukan dengan pemilihan lokasi Kota Semarang dan pengolahan data citra satelit Landsat 7ETM path/row 120/065 acquiring bulan April 2001 dan bulan Juni 2006. Pengolahan data citra satelit Landsat 7ETM dengan menggunakan software ArcView 3.2 dan ERDAS Imagine 8.5 yang meliputi image restoration, subset image, image classification, dan estimasi nilai suhu permukaan pada band 6 dengan pembangunan model. Analisis dilakukan untuk mengetahui hubungan antara suhu permukaan dengan RTH, lahan terbuka, area terbangun dan NDVI.

Kota Semarang dengan luas 38.721,70 Ha didominasi oleh penutupan lahan berupa area terbangun 27,52% tahun 2001 dan 35,58% tahun 2006. Perubahan penutupan lahan terbesar terjadi pada area terbangun dengan peningkatan luas wilayah sebesar o o 8,06%. Distribusi spasial suhu permukaan dengan nilai selang <20

C - ≥34 C. Nilai suhu permukaan tertinggi yaitu ≥34 o C mendominasi dengan luas distribusi paling besar,

tahun 2001 seluas 16,80% menjadi 25,68% pada tahun 2006. RTH di Kota Semarang tahun 2001 seluas 55,18% dari luas wilayah kota terjadi penurunan menjadi 45,81% tahun 2006. Luas RTH yang ada masih memenuhi proporsi sebesar 30% berdasarkan UU. No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Hubungan antara suhu permukaan dengan RTH, lahan terbuka dan area terbangun diketahui untuk nilai suhu permukaan pada RTH lebih rendah dibandingkan dengan suhu permukaan pada lahan terbuka dan area terbangun masing-masing sebesar

31 o C – 34 C, dan ≥34 C. Sedangkan hubungan antara suhu permukaan dengan NDVI berdasarkan hasil korelasi regresi linear sederhana menunjukkan hubungan berkebalikan, yaitu kenaikan suhu permukaan disertai penurunan NDVI atau sebaliknya.

oo

Kata kunci : Kota Semarang, penutupan lahan, suhu permukaan, Ruang Terbuka Hijau, NDVI (Normalized Difference Vegetation Index)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Distribusi Spasial

Suhu Permukaan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang”

adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 24 Februari 2009

Puji Waluyo NRP. E 34104054

Judul Skripsi : Distribusi Spasial Suhu Permukaan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang Nama

: Puji Waluyo NIM

: E 34104054

Menyetujui, Komisi Pembimbing

Ketua, Anggota,

Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS. NIP. 131760841

NIP. 130875594

Mengetahui, Dekan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Hendrayanto, M. Agr NIP. 131578788

Tanggal Lulus :

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian serta dapat menyusun skripsi tersebut dengan baik. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan pada junjungan Nabi Muhammmad SAW beserta para keluarga, sahabat serta para pengikut beliau yang senantiasa menjaga sunah beliau hingga akhir zaman.

Skripsi ini berjudul “Distribusi Spasial Suhu Permukaan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang” diharapkan memberi manfaat bagi banyak pihak dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada program studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan skripsi ini banyak terdapat kekurangan dan kelemahannya. Untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar menjadi lebih baik. Semoga penyusunan skripsi ini dapat bermanfaat tidak hanya bagi penulis sendiri namun juga bagi para pembaca.

Bogor, 24 Februari 2009

Puji Waluyo NRP. E 34104054

UCAPAN TERIMA KASIH

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak menerima bantuan serta bimbingan yang sangat berharga dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak dan Ibu tercinta, Mas Jatmiko dan keluarga, Mbak Pipin dan keluarga, Mas Bhakti dan keluarga, yang senantiasa memberikan do’a, kasih sayang, dukungan, perhatian, kesabaran dan pengorbanannya, semoga Allah SWT membalas dengan surga-Nya.

2. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, MSc dan Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS selaku dosen pembimbing atas segala pengarahan, bimbingan, nasihat, kesabaran, serta perhatian yang begitu berarti bagi penulis sampai skripsi ini diselesaikan, semoga Allah SWT membalasnya dengan yang lebih baik.

3. Prof.Dr.Ir. I Ketut Nuridja Pandit, MS. selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dan Dr.Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F.Trop. selaku dosen penguji dari Departemen Manajemen Hutan atas koreksi, saran, nasehat, untuk kesempurnaan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS. sebagai Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata beserta seluruh dosen, staf pengajar dan KPAP di DKSHE serta seluruh dosen dan staf di Fakultas Kehutanan dan di IPB, atas ilmu dan amal baktinya

5. Keluarga besar Asrama Sylvasari IPB pada umumnya, khususnya angkatan 41 : Sulfan, Inama, Fahmi, Dwi, Ajid, Husein, Embang, Aan, Febia, Yogi, Heru, Edo, Budiyanto, Rio, Adi, Patria, Tomi, Arief, Hendri, Sahab, Ardhi atas perjuangan, persahabatan, kekeluargaan dan warna-warni kehidupan.

6. Keluarga besar KSHE’41 atas persahabatan dan kerjasamanya dan rekan-rekan seperjuangan penelitian (Sukma, Nira, Ajid, Puteri, Afin, Katheryn, Rini, Ariyanto, dan LILIK’ers lainnya), PKLP (Husein, Febia, Sulfan, Lala, dan Puteri), serta yang ada di NK dan IC camp, tetap semangat dan jangan lupakan kenangan yang telah kita ukir bersama.

7. Seluruh mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB, khususnya Rimbawan angkatan 41 baik Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Teknologi Hasil Hutan, Manajemen Hutan, serta Silvikultur, serta mahasiswa IPB atas persahabatan dan kerjasamanya.

8. PPLH IPB Divisi Eko-Manajemen, Mas Tri Permadi, dan Mas Syarif Indra atas kerja sama, pengalaman, ilmu, tawa, canda, nasihat dan motivasi yang telah diberikan.

9. Keluarga besar Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial DKSHE atas perjuangan dan kerjasamanya, khusus Mas Nanang dan Mas Bhilal atas ilmu dan nasehatnya.

10. Keluarga besar HIMAKOVA atas perjuangan dan kerjasamanya.

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Puji Waluyo, lahir di Kabupaten Semarang, Jawa Tengah pada tanggal 14 Desember 1985 dan merupakan anak ke-empat dari keluarga pasangan Udiroso dan Sutrimah.

Pendidikan penulis berawal dari TK. Pertiwi Jambu dan selesai pada tahun 1992, kemudian melanjutkan ke SD. Negeri Jambu I dan lulus pada tahun 1998. Penulis melanjutkan ke SLTP Negeri I Jambu dan lulus tahun 2001, dan melanjutkan ke SMU Negeri I Ambarawa lulus tahun 2004. Pada tahun yang sama, penulis lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di program studi Konservasi Sumberdaya Hutan, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yakni sebagai staf Departemen Kewirausahaan DKM Ibaadurrahmaan tahun 2006, anggota Himpunan Mahasiswa Konservasi Sumberdaya Hutan (HIMAKOVA) tahun 2005-2007 pada Kelompok Pemerhati Flora dan Herpetofauna, pengurus Asrama Mahasiswa IPB Sylvasari pada Departemen Hubungan Masyarakat tahun 2006, Departemen Rumah Tangga tahun 2007, dan menjadi Ketua Asrama Mahasiswa IPB Sylvasari tahun 2008. Kegiatan praktek yang pernah diikuti penulis adalah Praktek Pengenalan dan Pengelolaan Hutan (P3H) di Baturaden-Cilacap dan KPH Ngawi pada tahun 2007. Penulis juga pernah mengikuti Studi Konservasi Lingkungan (SURILI) tahun 2007 di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Makasar, Sulawesi Selatan. Pada bulan Februari–April 2008 penulis mengikuti kegiatan Praktek Kerja Lapang Profesi (PKLP) di Taman Nasional Meru Betiri, Jawa Timur.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Distribusi Spasial Suhu Permukaan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau di Kota Semarang” dibimbing oleh Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. dan Dr. Ir. Endes N. Dahlan, MS.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perkembangan kota akibat pembangunan infrastruktur yang berupa pembangunan fisik harus tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem dan kualitas lingkungan yang baik. Tapi dalam kenyataannya hal demikian tidak pernah dijumpai dalam kegiatan pembangunan infrastruktur kota. Perkembangan kota seperti ini telah mengubah iklim mikro dalam kota. Hal ini dapat terjadi di kota-kota besar seperti di Kota Semarang.

Peningkatan jumlah penduduk secara cepat setiap tahunnya akan menyebabkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) akan berubah menjadi kawasan pemukiman dan industri. Perubahan penggunaan lahan tersebut mengakibatkan peningkatan suhu udara kota. Menurut Tursilowati (2006) bahan bangunan seperti aspal, semen, dan beton menjadi penyerap dan penyimpan panas matahari. Ditambah lagi dengan penggunaan alat pemanas, pendingin udara, dan pembangkit listrik yang menghasilkan buangan panas. Kenaikan suhu udara juga diakibatkan oleh kegiatan industri, transportasi, dan rumah tangga yang menggunakan bahan bakar fosil. Proses pembakaran yang terjadi menghasilkan

gas CO 2 , NOx, SOx, dan HC; yang menimbulkan efek rumah kaca (greenhouse effect). Suhu pada wilayah perkantoran dan jalan aspal mengalami perubahan suhu permukaan yang tinggi, berbeda dengan kawasan hijau di daerah urban yang memiliki suhu permukaan yang rendah. Hal ini menyebabkan perubahan unsur- unsur iklim terutama di pusat kota dan kawasan industri. Perubahan unsur iklim yang terjadi antara lain suhu, kecepatan angin, radiasi, dan keawanan. Dari keempat unsur tersebut suhu merupakan unsur yang dapat dirasakan langsung perubahannya. Adanya distribusi suhu kota dengan pinggir kota yang sangat berbeda ini kemudian dikenal dengan istilah heat island. Heat island adalah suatu fenomena suhu udara di daerah yang padat bangunan lebih tinggi dari pada suhu udara terbuka sekitarnya (Adiningsih et al, 2001 dalam Wardhana, 2003). Fenomena heat island ditandai dengan adanya suatu daerah yang memiliki suhu gas CO 2 , NOx, SOx, dan HC; yang menimbulkan efek rumah kaca (greenhouse effect). Suhu pada wilayah perkantoran dan jalan aspal mengalami perubahan suhu permukaan yang tinggi, berbeda dengan kawasan hijau di daerah urban yang memiliki suhu permukaan yang rendah. Hal ini menyebabkan perubahan unsur- unsur iklim terutama di pusat kota dan kawasan industri. Perubahan unsur iklim yang terjadi antara lain suhu, kecepatan angin, radiasi, dan keawanan. Dari keempat unsur tersebut suhu merupakan unsur yang dapat dirasakan langsung perubahannya. Adanya distribusi suhu kota dengan pinggir kota yang sangat berbeda ini kemudian dikenal dengan istilah heat island. Heat island adalah suatu fenomena suhu udara di daerah yang padat bangunan lebih tinggi dari pada suhu udara terbuka sekitarnya (Adiningsih et al, 2001 dalam Wardhana, 2003). Fenomena heat island ditandai dengan adanya suatu daerah yang memiliki suhu

Ruang Terbuka Hijau (RTH) merupakan salah satu bagian penting dari suatu kota. Keberadaan RTH seperti hutan kota, taman kota, jalur hijau dan lapangan sangat penting bagi masyarakat kota. Adanya RTH dalam suatu kota, dapat menjadi salah satu faktor untuk mempengaruhi suhu sekitar kota (ameliorasi iklim). Menurut Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota. Luas RTH yang ditetapkan sebesar 30% merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem kota.

Untuk mengetahui luasan distribusi suhu permukaan dan Ruang Terbuka Hijau suatu kota harus didukung dengan perolehan data-data yang ada dan berkesinambungan untuk perumusan program dan kebijakan pemerintahan. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan pemantauan dari data yang diperoleh berupa citra satelit. Citra satelit merupakan data yang diperoleh secara cepat, tepat dan berkesinambungan yang mampu merekam kondisi permukaan bumi setiap periode waktu tertentu sehingga perubahan-perubahan yang terjadi di muka bumi dapat dideteksi dan dipantau setiap saat. Data yang tersedia dapat berupa piktoral maupun digital kemudian diolah untuk mendapatkan informasi yang diperlukan. Informasi yang diperoleh dapat digabungkan dengan data-data yang mendukung ke dalam satu Sistem Informasi Geografi (SIG)

1.2 Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1.Tipe penutupan lahan, distribusi suhu permukaan dan kecukupan Ruang

Terbuka Hijau (RTH) serta perubahan luasannya.

2.Hubungan suhu permukaan dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH), lahan terbuka dan area terbangun 3.Hubungan suhu permukaan dengan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index ) di Kota Semarang dengan persamaan regresi linear sederhana.

melalui analisis dan interpretasi citra landsat 7 ETM tahun 2001 dan 2006.

1.3 Manfaat

Manfaat yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai bahan evaluasi dan menjadikan dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan kebijakan- kebijakan pemerintah untuk pembangunan wilayah perkotaan khususnya daerah Kota Semarang.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Suhu Permukaan

Heat island adalah suatu fenomena dimana suhu udara kota yang padat bangunan lebih tinggi daripada suhu udara terbuka di sekitarnya baik di desa maupun di pinggir kota (Adiningsih et al, 2001 dalam Wardhana, 2003). Pada umumnya suhu udara yang tertinggi akan terdapat di pusat kota dan akan menurun secara bertahap ke arah pinggir kota sampai desa. Suhu tahunan rata-rata di kota

lebih besar sekitar 3 0 K dibandingkan dengan pinggir kota. Heat island terjadi karena adanya perbedaan dalam pemakaian energi, penyerapan, dan pertukaran panas antara daerah perkotaan dengan pedesaan (Landsberg, 1981 dalam Wardhana, 2003).

Menurut Lowry dalam Griffith (1976); Wardhana (2003) terjadinya perbedaan suhu udara antara daerah perkotaan dengan pedesaan disebabkan oleh lima sifat fisik permukaan bumi:

1. Bahan Penutup Permukaan Permukaan daerah perkotaan terdiri dari beton dan semen yang memiliki konduktivitas kalor sekitar tiga kali lebih tinggi dari pada tanah berpasir yang basah. Keadaan ini akan menyebabkan permukaan kota menerima dan menyimpan energi yang lebih banyak daripada pedesaan.

2. Bentuk dan Orientasi Permukaan Bentuk dan orientasi permukaan kota lebih bervariasi daripada daerah pinggir kota atau pedesaan, sehingga energi matahari yang datang akan dipantulkan berulang kali dan akan mengalami beberapa kali penyerapan serta disimpan dalam bentuk panas (heat). Sebaliknya di daerah pinggir kota atau pedesaan yang menerima pancaran adalah lapisan vegetasi bagian atas. Selain itu, padatnya bangunan di perkotaan juga dapat mengubah pola aliran udara yang bertindak sebagai perombak dan meningkatkan turbulensi.

3. Sumber Kelembaban Di perkotaan air hujan cenderung menjadi aliran permukaan akibat adanya permukaan semen, parit, selokan , dan pipa-pipa saluran drainase.

Di daerah pedesaan sebagian besar air hujan meresap ke dalam tanah sehingga tersedia cadangan air untuk penguapan yang dapat menyejukkan udara.

Selain itu, air menyerap panas lebih banyak sebelum suhu menjadi naik 1 0

C, dan memerlukan waktu yang lama untuk melepaskannya. Hal ini berarti bahwa pohon- pohon yang banyak di pedesaan akan menyerap air dalam jumlah yang banyak dan melepaskannya ke atmosfer sehingga menjaga suhu udara tetap sejuk, serta menyerap lebih banyak panas, dan melepaskannya dalam jangka waktu yang lebih panjang.

4. Sumber Kalor Kepadatan penduduk kota yang lebih tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktivitas dan panas metabolisme penduduk.

5. Kualitas Udara Udara perkotaan banyak mengandung bahan-bahan pencemaran yang berasal dari kegiatan industri dan kendaraan bermotor, sehingga mengakibatkan kualitas udaranya menjadi lebih buruk bila dibandingkan dengan kualitas udara di pedesaan.

Sementara itu, Givoni; Adiningsih et al. (2001) dalam Wardhana (2003) mengemukakan lima faktor berbeda yang tidak terikat satu sama lain yang menyebabkan berkembangnya heat island:

1. Perbedaan keseimbangan seluruh radiasi antara daerah perkotaan dengan daerah terbuka disekitarnya.

2. Penyimpanan energi matahari pada gedung-gedung di kota selama siang hari dan dilepaskan pada malam hari.

3. Konsentrasi panas yang dihasilkan oleh aktivitas sepanjang tahun di perkotaan (transportasi, industri dan sebagainya)

4. Evaporasi dari permukaan dan vegetasi di perkotaan lebih rendah dibandingkan dengan daerah pedesaan

5. Sumber panas musiman, yaitu pemanasan dari gedung-gedung pada musim dingin dan pemanasan dari pendingin ruangan pada musim panas, yang akhirnya akan dilepaskan ke udara kota.

Teori tersebut sesuai dengan pendapat Owen (1971) dalam Wardhana (2003) yang menyebutkan beberapa faktor yang mendorong terciptanya heat island:

1. Adanya lebih banyak sumber yang menghasilkan panas diperkotaan daripada di lingkungan luar kota.

2. Adanya beberapa bangunan yang meradiasikan panas lebih cepat daripada lapangan hijau atau danau.

3. Jumlah permukaan air persatuan luas di dalam perkotaan lebih kecil dari pada di pedesaan, sehingga di kota lebih banyak panas yang tersedia untuk memanaskan atmosfer dibandingkan dengan di luar kota.

Selain itu, keadaan di kota dengan bangunan-bangunan bertingkat dan tingkat pencemaran udara yang tinggi dapat menyebabkan timbulnya suatu kubah debu (dust dome), yaitu semacam selubung polutan (debu dan asap) yang menyelimuti kota. Hal ini disebabkan pola sirkulasi atmosfir di atas kota yang unik dan mengakibatkan terjadinya perbedaan suhu yang tajam antara perkotaan dengan daerah sekitarnya, sehingga udara panas akan berada di atas perkotaan dan udara dingin akan berada di sekitar perkotaan terseebut.

2.2 Ruang Terbuka Hijau (RTH)

2.2.1 Pengertian ruang terbuka hijau

Berdasarkan INMENDAGRI No. 14 Tahun 1988, ruang terbuka hijau adalah bagian dari ruang terbuka kota yang didefinisikan sebagai ruang terbuka yang pemanfaatannya lebih bersifat pada penghijauan tanaman atau tumbuhan secara alamiah ataupun buatan (budidaya tanaman) seperti lahan pertanian, pertamanan, perkebunan, dan lainnya.

Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang mengartikan ruang terbuka hijau merupakan area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Sedangkan menurut PERMENDAGRI 1/2007 Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan merupakan bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yg diisi tumbuhan & tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi & estetika.

Ruang terbuka hijau memiliki kekuatan untuk membentuk karakter kota dan menjaga kelangsungan hidupnya. Tanpa keberadaan ruang terbuka hijau di kota akan mengakibatkan ketegangan mental bagi manusia yang tinggal di dalamnya. Oleh karena itu perencanaan ruang terbuka harus dapat memenuhi keselarasan harmoni antara struktural kota dan alamnya, bentuknya bukan sekedar taman, lahan kosong untuk rekreasi atau lahan penuh tumbuhan yang tidak dapat dimanfaatkan penduduk kota (Simon, 1983 dalam Roslita, 1997).

Menurut INMENDAGRI No. 14 Tahun 1988 tujuan dibentuk atau disediakannnya ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan adalah:

1. Meningkatkan mutu lingkungan hidup perkotaan dan sebagai pengaman sarana lingkungan perkotaan.

2. Menciptakan keserasian lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna bagi kepentingan masyarakat.

2.2.2 Paradigma pembangunan ruang terbuka hijau

a. Paradigma Lama

 Ruang Terbuka Hijau sebagai pendukung Fungsi Ekologi & Ekosistem  Lebih mengedepankan Nilai Estetis & Visual secara Fisik  Keberadaan Ruang Hijau lebih berkesan sebagai suatu Simbol

b. Paradigma Baru  Ruang Terbuka Hijau direncanakan untuk : - Mengembalikan fungsi ekologi dan ekosistem ruang kota

- Mengoptimalkan fungsi estetis dan lansekap - Menciptakan aktivitas sosial masyarakat di tingkat lingkungan - Membuka peluang ekonomi produktif bagi masyarakat kecil

 Ruang Terbuka Hijau dapat menciptakan aktivitas dan menjadi bagian dari fungsi aktivitas ruang publik

 Harus terjadi interaksi antara lokasi, fungsi dan bentuk Ruang Terbuka Hijau dengan Activity Support di ruang kota / kawasan  Ruang Hijau dapat merubah fungsi space menjadi place

2.2.3 Komponen ruang terbuka hijau

Rencana Umum Tata Ruang Jakarta Tahun 1985-2005 dalam Nurcahyono (2003) menetapkan komponen-komponen RTH berdasarkan kriteria, sasaran dan fungsi penting, vegetasi serta intensitas manajemannya dikategorikan dalam:

1. Taman Fungsi utamanya adalah menghasilkan oksigen. Oleh karena itu jenis tanaman yang dibudidayakan dipilih dari jenis-jenis yang menghasilkan oksigen tinggi.

2. Jalur Hijau Termasuk didalamnya adalah pepohonan peneduh pinggir jalan, lajur hijau di sekitar sungai dan hijauan di tempat parkir maupun ruang terbuka hijau lainnya.

3. Kebun dan pekarangan Selain bertujuan untuk produksi, kebun dan pekarangan hendaknya ditanam dengan jenis-jenis yang mendukung kenyamanan lingkungan perkotaan.

4. Hutan Merupakan suatu penerapan beberapa fungsi hutan seperti ameliorasi iklim, hidrologi, dan penangkalan pencemaran. Fungsi-fungsi ini bertujuan mengimbangi kecenderungan menurunnya kualitas lingkungan. Berbagai potensi dan peluang hutan kota akan mengatasi, mencegah dan mengendalikan krisis lingkungan.

5. Tempat-tempat rekreasi

2.2.4 Fungsi ruang terbuka hijau

Menurut Simonds (1983) dalam Wijayanti (2003) fungsi RTH di perkotaan yaitu: (1) sebagai penjaga kualitas lingkungan, (2) sebagai penyumbang ruang bernafas yang segar dan keindahan visual, (3) sebagai paru-paru kota (4) sebagai penyangga sumber air dalam tanah, (5) untuk mencegah erosi, (6) sebagai unsur dan sarana pendidikan.

Selanjutnya dalam INMENDAGRI No. 14 Tahun 1988 manfaat RTH antara lain:

1. Sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistem dan penyangga kehidupan;

2. Sebagai sarana untuk menciptakan kebersihan, kesehatan, keserasian dan kehidupan lingkungan;

3. Sebagai sarana rekreasi;

4. Sebagai pengaman lingkungan hidup perkotaan terhadap berbagai macam pencemaran baik di darat, perairan maupun udara;

5. Sebagai sarana penelitian dan pendidikan serta penyuluhan bagi masyarakat untuk membentuk kesadaran lingkungan;

6. Sebagai tempat perlindungan plasma nutfah;

7. Sebagai sarana untuk mempengaruhi dan memperbaiki iklim mikro;

8. Sebagai pengatur tata air.

2.2.5 Prinsip penataan ruang terbuka hijau

Aspek Fungsional

a. Pelestarian ruang terbuka kawasan

b. Aksesibilitas publik

c. Keragaman fungsi dan aktivitas

d. Skala dan proporsi ruang yang manusiawi dan berorientasi bagi pejalan kaki

e. Sebagai pengikat lingkungan/bangunan

f. Sebagai pelindung, pengaman & pembatas lingkungan/bangunan bagi pejalan kaki

Aspek Fisik dan Nonfisik

a. Peningkatan estetika, karakter dan citra kawasan

b. Kualitas fisik

c. Kelengkapan fasilitas penunjang lingkungan Aspek Lingkungan dan Berkelanjutan

a. Keseimbangan kawasan perencanaan dengan sekitar

b. Keseimbangan dengan daya dukung lingkungan

c. Kelestarian ekologis kawasan

d. Pemberdayaan kawasan

2.2.6 Dasar hukum ruang terbuka hijau

1. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1988, tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di wilayah Perkotaan  Merencanakan, melaksanakan & mengendalikan penyelenggaraan penataan

RTH di wilayah Perkotaan sebagai bagian dari RUTRK  Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan merupakan bagian dari penataan

Ruang Kota yang berfungsi sebagai Kawasan permukiman, Industri, Perdagangan & Jasa, Perkantoran, Pendidikan, OR & Rekreasi, Pesisir, Pertanian & Perkebunan, Pusat Kota, Hinterland/Periferi, Daerah Aliran Sungai, hutan Kota, Permakaman, Prasarana & Sarana Perhubungan, Jaringan Utilitas Kota, Koridor Jalan

2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 63 Tahun 2002, tentang Hutan Kota  Lokasi hutan kota merupakan bagian dari Ruang Terbuka Hijau (RTH)

wilayah perkotaan  Persentase luas hutan kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) dari

wilayah perkotaan dan atau disesuaikan dengan kondisi setempat .  Luas hutan kota dalam satu hamparan yang kompak paling sedikit 0,25

(dua puluh lima per seratus) hektar  Penunjukan Lokasi & Luas Ruang Hijau, didasarkan pada :

a. Luas Wilayah

c. Tingkat Pencemaran

b. Jumlah Penduduk

d. Kondisi Fisik Kota

 Penunjukan lokasi dan luas hutan kota dilakukan oleh Walikota / Bupati berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Perkotaan

3. Permendagri No. 1 Tahun 2007 Tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan / RTHKP  Pembentukan RTHKP disesuaikan dgn bentang alam berdasar aspek biogeografis, Struktur Ruang Kota & Estetika  Luas Ideal RTHKP minimal 20% dari luas kawasan perkotaan, mencakup RTHKP Publik & Privat

4. UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (pasal 29 ayat 1 & 3)  Proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah

kota.

 Proporsi RTH publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota.

 Distribusi RTH publik disesuaikan dengan sebaran penduduk & hierarki

pelayanan dengan memperhatikan rencana struktur & pola ruang.

5. UU No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung dan PP No. 36 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Bangunan Gedung (pasal 25 ayat 1)  Keseimbangan, keserasian & keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung & RTH yang seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya

6. Rencana Strategis Departemen Pekerjaan Umum 2005-2009  Ruang Terbuka Hijau merupakan salah satu kegiatan yang perlu ditangani Bidang Cipta Karya

7. KTT Bumi Rio De Janeiro, Brasil (1992) dan KTT Johannesburg, Afrika (2002)  Disepakati bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas RTH minimal 30% dari total luas kota

2.3 Penginderaan Jauh

2.3.1 Pengertian penginderaan jauh

Penginderaan jauh dalam arti luas adalah pengukuran atau pemerolehan informasi dari beberapa sifat obyek atau fenomena, dengan menggunakan alat perekam yang secara fisik tidak terjadi kontak langsung atau bersinggungan dengan obyek atau fenomena yang dikaji (Manual of Remote Sensing, 1983 dalam Howard. 1996). Lo (1995) mendefinisikan bahwa penginderaan jauh merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik. Biasanya tehnik ini menghasilkan beberapa bentuk citra yang selanjutnya diproses dan diinterpretasikan guna membuahkan data yang bermanfaat untuk aplikasi di bidang pertanian, arkeologi, kehutanan, geografi, geologi, perencanaan dan bidang-bidang lainnya.

Tujuan utama dari penginderaan jauh adalah mengumpulkan data sumberdaya alam dan lingkungannya. Informasi tentang objek disampaikan kepada pengamat melalui energi elektromagnetik yang merupakan pembawa

informasi dan sebagai penghubung komunikasi. Oleh karena itu kita dapat menganggap bahwa data penginderaan jauh pada dasarnya merupakan informasi intensitas panjang gelombang yang perlu diberikan kodenya sebelum informasi tersebut dapat dipahami secara penuh. Proses pengkodean ini setara dengan interpretasi citra penginderaan jauh yang sangat sesuai dengan pengetahuan kita mengenai sifat-sifat radiasi elektromagnetik. Penginderaan jauh biasanya dibatasi hanya pada penginderaan yang menggunakan spektrum elektromagnetik. Penginderaan jauh tersebut menggunakan energi yang berfungsi sama dengan sifat cahaya dan tidak hanya meliputi spektrum tampak, tetapi juga meliputi spektrum ultraviolet, inframerah dekat, inframerah tengah, inframerah jauh dan gelombang radio (Howard, 1996). Secara umum penginderaan jauh pada saat ini diterima tidak hanya terbatas sebagai alat pengumpul data mentah, tetapi pemrosesan data mentah secara manual dan terotomasi, dan analisis citra serta penyajian hasil informasi yang diperoleh.

2.3.2 Proses penginderaan jauh.

Dalam penginderaan jauh, karakteristik suatu objek dapat dibedakan dengan melihat radiasi gelombang elektromagnetik yang dipancarkan oleh objek kisaran radiasi gelombang elektromagnetik yang umum digunakan dalam penginderaan jauh adalah ultraviolet dekat (0,3-0,4 μm), sinar tampak (0,4-0,7 μm), gelombang pendek dan inframerah thermal (14 μm) serta gelombang mikro (1mm-1m) (Japan Association on Remote Sensing (1999) dalam Triasary (2004).

Paine (1993) dalam Triasary (2004) menjelaskan batasan penegrtian yang lebih tepat tentang penginderaan jauh yang meliputi teknik-teknik yang digunakan untuk perekaman dan evaluasi deteksi energi elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan sebuah objek pada suatu jarak yang jauh tanpa sentuhan fisik. Tiga sistem sensor yang digunkan dalam penginderaan jauh untuk dapat menghasilkan suatu citra antara lain adalah kamera, scannergaris dan radar.

Penginderaan jauh meliputi dua proses utama, yaitu pengumpulan data dan analisis data (Lillesand dan Kiefer, 1997). Elemen proses pengumpulan data meliputi: a) sumber energi, b) perjalanan energi melalui atmosfer, c) interaksi anatara energi dengan kenampakkan di muka bumi, d) sensor wahana pesawat

terbang dan/ atau satelit, dan e) hasil pembentukan data dalam bentuk piktoral dan/ atau bentuk numerik. Berarti proses penginderaan jauh menggunakan sensor untuk merekam berbagai variasi pancaran dan pantulan energi elektromagnetik oleh kenampakan di muka bumi. Proses analisis data meliputi pengujian data dengan menggunakan alat interpretasi dan alat pengamatan untuk menganalisis data piktoral, dan/ atau komputer untuk menganalisis data sensor numerik. Data rujukan tetang sumberdaya yang dipelajari (seperti peta tanah, data statistik tanaman, atau data uji medan) digunakan dimana dan kapan saja bila tersedia untuk membantu di dalam analisi data. Dengan bantuan data rujukan analisis mengambil informasi tentang jenis, bentangan lokasi, dan kondisi berbagai sumberdaya yang dikumpulkan oleh sensor. Informasi ini kemudian disajikan, biasanya dalam bentuk peta, tabel, dan suatu bahasan tertulis atau laporan. Akhirnya, informasi tersebut diperuntukkan bagi para pengguna yang memanfaatkannya untuk proses pengambilan keputusan.

2.3.3 Aplikasi penginderaan jauh satelit Landsat TM (Thematic Mapper)

Sistem Landsat dimanfaatkan untuk penelitian bagi para pakar lingkungan. Landsat merupakan suatu hasil program sumberdaya bumi yang dikembangkan oleh NASA Amerika Serikat pada awal tahun 1970-an sebagai ERT-I (Eart Resource Technology Satelite) yang kemudian diganti namanya dengan menjadi Landsat I. Pada satelit Landsat dipasang tiga alat sensor, yaitu : kamera Return Beam Vidicom (RBV), Multi Spectral Scanner (MSS), dan Thematic Mapper (TM).

Landsat 4 yang diluncurkan mengawali generasi baru satelit sumberdaya dengan resolusi tinggi, yang menampilkan suatu perbaikan dibandingkan dengan generasi model sebelumnya. Pada Landsat 4 ini dipasang satu generasi sistem sensor baru, yang bertujuan untuk perbaikan resolusi spasial, pemisahan spektral, kecermatan data radiometrik dan ketelitian geometrik, maka ditambah Thematic Mapper (TM) pada empat saluran multispectral scanner (Salomonson dan Park, 1979 dalam Lo, 1995). Satelit memakan waktu 16 hari untuk meliput seluruh bumi (kecuali kutub). Resolusi geometrik linier sensor TM adalah 2.6 kali lebih teliti dari pada sensor MSS, sedangkan resolusi spasial cukup tinggi yaitu 30 x 30

meter.Thematic Mapper (TM) merupakan suatu sensor optik penyiaman yang beroperasi pada saluran tampak dan inframerah bahkan saluran spektral. Sensor ini bekerja dengan prinsip dasar yang sama dengan MSS, namun menghasilkan resolusi radiometrik dan spasial yang lebih baik (Lo, 1995).

Tabel 1. Aplikasi dan saluran spektral (band) thematic mapper (Lo,1995)

Saluran Panjang (Band)

Gelombang (μm) Potensi Pemanfaatan

Dirancang untuk membuahkan peningkatan penetrasi kedalam 1 0,45-0,52

tubuh air, dan juga untuk mendukung amalisis sifat khas penggunaan lahan, tanah, dan vegetasi. Dirancang untuk mengindera puncak pantulan vegetasi. Saluran ini berada pada spektrum hijau yang terletak diantara dua

2 0,52-0,60 saluran spektral serapan klorofil. Tanggapan pada saluran ini dimaksudkan untuk menekankan pembedaan vegetasi dan penilaian kesuburan. Saluran terpenting untuk memisahkan vegetasi. Saluran ini

3 0,63-0,69 berada pada salah satu bagian serapan klorofil dan memperkuat kontras antara kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi, juga menajamkan kontras antara kelas vegetasi

Tanggap terhadap sejumlah biomassa vegetasi yang terdapat pada daerah kajian. Hal ini akan membantu identifikasi

4 0,76-0,90 tanaman dan akan memperkuat kontras antara tanaman-tanah, dan lahan-air Saluran yang dikenal penting untuk penentuan jenis tanaman,

5 1,55-1,75 kandungan air pada tanaman, dan kondisi kelembaban tanah. Saluran inframerah thermal yang penggunaanya untuk

6 2,08-2,35 perekaman vegetasi, diskriminasi kelembaban tanah dan pemetaan thermal. Saluran yang penting untuk pemisah formasi batuan Saluran inframerah thermal yang dikenal bermanfaat untuk klasifikasi vegetasi, analisis gangguan vegetasi, pemisahan

7 10,40-12,50 kelembaban tanah, dan sejumlah gejala lain yang berhubungan dengan panas. Saluran yang diseleksi karena potensinya untuk membedakan tipe batuan dan untuk pemetaan hidrotermal.

2.3.4 Analisis digital data Landsat 7 ETM

Menurut Lillesand dan Kiefer (1997), penganalisisan data Landsat dengan menggunakan komputer dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Pemulihan Citra (Image Restoration) Tujuan dari pemulihan citra ini adalah untuk memperbaiki data citra yang mengalami distorsi ke arah gambaran yang lebih sesuai dengan gambar aslinya. Kegiatannya meliputi pengkoreksian berbagai distorsi radiometrik dan geometrik yang mungkin ada pada data citra asli.

2. Penajaman citra (Image Enhancement)

Proses penajaman citra dilakukan untuk menguatkan tampilan kontras antar objek pada sebuah citra. Pada berbagai terapan, langkah ini dapat meningkatkan jumlah informasi yang dapat diinterpretasikan secara visual dari data citra.

3. Klasifikasi Citra Teknik kuantitatif dapat diterapkan untuk interpretasi secara otomatik data citra digital. Tiap pengamatan pixel (picture element) dievaluasi dan ditetapkan pada suatu kelompok informasi. Jadi mengganti arsip data citra dengan suatu matriks jenis kategori.

Upaya klasifikasi terdiri dari serangkaian keputusan untuk mengubah data citra menjadi kelas tertentu yang khas dan memberikan informasi. Klasifikasi citra menurut Lillesand dan Kiefer (1997), dibagi kedalam dua pendekatan dasar yaitu klasifikasi terselia/terbimbing (supervised classification) dan klasifikasi tak terbimbing/tak terselia (unsupervised classification). Pada klasifikasi terbimbing proses pengklasifikasian dilakukan dengan prosedur pengenalan pola spektral dengan memilih kelompok atau kelas-kelas informasi yang diinginkan dan selanjutnya memilih contoh-contoh kelas (training area) yang mewakili setiap kelompok, kemudian dilakukan perhitungan statistik terhadap contoh-contoh kelas yang digunakan sebagai dasar klasifikasi. Apabila kelas yang dipilih oleh analisis dapat dipisahkan spektral dan bila daerah yang dipilih benar-benar mewakili seluruh rangkaian data, proses klasifikasi yang dilakukan biasanya akan berhasil, sedangkan klasifikasi tak terbimbing merupakan proses pengklasifikasian dimulai dengan pemeriksaan seluruh pixel dan membagi ke dalam kelas-kelas berdasarkan pada pengelompokan nilai-nilai citra seperti apa adanya. Hasil dari pengklasifikasian ini disebut kelas-kelas spektral. Kelas-kelas spektral tersebut kemudian dibandingkan dengan dengan kelas-kelas data referensi untuk menentukan identitas dan nilai informasi kelas spektral tersebut.

2.3.5 Uji ketelitian

Menurut Purwadhi (1996) penelitian menggunakan data dan metode tertentu perlu dilakukan uji ketelitian, karena hasil uji ketelitian sangat mempengaruhi besarnya kepercayaan pengguna terhadap setiap jenis data maupun

analisisnya. Uji ketelitian interpretasi yang disarankan oleh Short (1982) dalam Purwadhi (1996) dapat dilakukan dalam empat cara, yaitu:

1. Melakukan pengecekan lapangan serta pengukuran beberapa titik (sampel area) yang dipilih dari setiap bentuk penggunaan lahan yang homogen.

2. Menilai kecocokan hasil interpretasi setiap citra dengan peta referensi atau foto udara pada daerah yang sama dan waktu yang sama.

3. Analisis statistik dilakukan pada data dasar dan citra hasil klasifikasi. Analisis dilakukan terutama terhadap kesalahan setiap penggunaan lahan yang disebabkan oleh keterbatasan resolusi citra (khususnya resolusi spasial karena merupakan demenensi keruangan).

4. Membuat matriks dari perhitungan setiap kesalahan (confusion matrix) pada setiap bentuk penggunaan lahan dari hasil interpretasi citra penginderaan jauh.

2.4 Sistem Informasi Geografis

2.4.1 Pengertian Sistem Informasi Geografi

Sistem informasi geografis merupakan suatu sistem berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani data yang bereferensi geografi (georeference) dalam hal pemasukan, manajemen data, memanipulasi dan menganalisis serta pengembangan produk dan percetakan (Aronoff, 1989). Sedangkan Bern (1992) dalam Prahasta (2001) mengemukakan bahwa sistem informasi geografis merupakan sistem komputer yang digunakan untuk memanipulasi data geografi. Sistem ini diimplementasikan dengan perangkat keras dan perangkat lunak komputer untuk 1. Akusisi dan verifikasi data, 2. Kompilasi data, 3. Penyimpanan data, 4. Perubahan dan updating data, 6. Manajemen dan pertukaran data, 7. Manipulasi data, 8. Pemanggilan dan presentasi data, 9. Analisa data

Menurut Rind (1992) dalam Prabowo (2005) menyatakan bahwa sistem informasi geografis merupakan sekumpulan perangkat keras komputer (hardware), perangkat lunak (software), data-data geografis, dan sumberdaya manusia yang terorganisir, yang secara efisien mengumpulkan, menyimpan,

meng-update, memanipulasi, menganalisa, dan menampilkan semua bentuk data yang bereferensi geografis.

SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain di tingkat fungsional dan jaringan. Sistem SIG terdiri dari beberapa komponen berikut (Gistut, 1994 dalam Prahasta, 2001) :

1. Perangkat keras

2. Perangkat lunak

3. Data dan informasi geografi

4. Manajemen Sistem informasi geografi telah mengalami perkembangan yang cukup pesat sehingga teknologi dan informasinya dapat diaplikasikan pada berbagai bidang kehidupan. Contoh aplikasi SIG pada berbagai bidang diantaranya bidang sumberdaya alam, perencanaan, kependudukan, lingkungan, utility, pariwisata, ekonomi, bisnis dan marketing, biologi, telekomunikasi, kesehatan dan militer.

2.4.2 Komponen Sistem Informasi Geografi (SIG)

Menurut Lo (1995) Sistem Informasi Geografi (SIG) paling tidak terdiri dari subsistem pemprosesan, subsistem analisis data dan subsistem menggunakan informasi. Subsistem pemprosesan data mencakup pengambilan data, input dan penyimpanan. Subsistem analisis data mencakup perbaikan, analisis data dan keluaran informasi dalam berbagai bentuk. Subsistem yang memakai informasi memungkinkan informasi relevan diterapkan pada suatu masalah.

Dalam rancangan SIG komponen input dan output data memiliki peranan dominan membentuk arsitektur suatu sistem. Hal tersebut penting untuk memahami kedalam prosedur yang dipakai dalam kaitannya dengan masalah input/output data, juga organisasi data dan pemprosesan data. Ada 3 kategori data secara luas untuk input pada suatu sistem, yaitu : Alfanumerik, Piktorial atau grafik dan data penginderaan jauh dari bentuk digital (Lo, 1995).

Gistut (1994) dalam Prahasta (2001) SIG merupakan sistem kompleks yang biasanya terintegrasi dengan lingkungan sistem-sistem komputer yang lain ditingkat fungsional dan jaringan. Sistem terdiri dari beberapa komponen, yaitu :

1. Perangkat keras SIG tersedia untuk berbagai platform perangkat keras mulai dari PC desktop, workstation, hingga multiuser host yang dapat digunakan oleh banyak orang secara bersamaan dalam jaringan komputer yang luas, berkemampuan tinggi, memiliki ruang penyimpanan (harddisk) yang besar, dan mempunyai kapasitas memori (RAM) yang besar. Walaupun demikian, fungsionalitas SIG tidak terikat secara ketat terhadap karakteristik-karakteristik fisik perangkat keras ini sehingga keterbatasan memori pada PC pun dapat diatasi. Adapun perangkat keras yang sering digunakan untuk SIG adalah komputer (PC), mouse, digitizer, printer, plotter, dan scanner.

2. Perangkat Lunak SIG juga merupakan sistem perangkat lunak yang tersusun secara modular dimana basisdata memegang peranaan kunci. Setiap subsistem diimplementasikan dengan menggunakan perangkat lunak yang terdiri dari beberapa modul sehingga tidak mengherankan jika ada perangkat SIG yang terdiri dari ratusan modul program (*.exe) yang masing-masing dapat dieksekusi sendiri.

3. Data dan Informasi Geografi SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data dan informasi yang diperlukan baik secara tidak langsung dengan cara meng-Import-nya dari perangkat-perangkat lunak SIG yang lain maupun secara langsung dengan cara mendigitasi data spasialnya dari peta dan memasukkan data atributnya dari tabel- tabel dan laporan dengan menggunakan keyboard.

4. Manajemen Suatu proyek SIG akan berhasil jika dimanage dengan baik dan dikerjakan oleh orang-orang yang memiliki keahlian yang tepat pada semua tingkatan.

2.4.3 Cara kerja Sistem Informasi Geografi (SIG)

SIG dapat mempresentasikan real world (dunia nyata) diatas monitor komputer yang kemudian mempresentasikan keatas kertas. Tetapi, SIG memiliki kekuatan lebih dan fleksibelitas daripada lembaran peta kertas. Obyek-obyek yang dipresentasikan diatas peta disebut unsur peta atau map features (contohnya taman, sungai, kebun, jalan dan lain-lain). Peta yang ditampilkan bisa berupa titik,

garis dan poligon serta juga menggunakan simbol-simbol grafis dan warna untuk membantu mengidentifikasi unsur-unsur berikut deskripsinya.

SIG menyimpan semua informasi deskriptif unsur-unsurnya sebagai atribut-atribut basisdata. Kemudian, SIG membentuk dan menyimpannya dalam table-tabel. Setelah itu SIG menghubungkan unsur-unsur di atas dengan tabel- tabel bersangkutan. Dengan demikian, atribut-atribut dapat diakses melalui lokasi- lokasi unsur-unsur peta dan sebaliknya unsur-unsur peta juga dapat diakses melalui atributnya. Karena itu, unsur itu bisa dicari dan dapat ditemukan berdasarkan atribut-atributnya.