Hasil Penelitian yang Relevan

2.7 Hasil Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang pengaruh model IKRAR terhadap kemampuan berpikir kritis siswa ini dilatarbelakangi oleh beberapa penelitian sebelumnya tentang pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada pemecahan masalah open-ended , kaitan pembelajaran matematika yang berorientasi pada pemecahan masalah open-ended dengan kemampuan berpikir kritis siswa, kemudian berkembang pada penelitian model IKRAR yang menjadi jawaban atas beberapa kelemahan dalam pembelajaran berorientasi pemecahan masalah open-ended tersebut. Selain itu, dipaparkan juga perkembangan penelitian pendidikan berorientasi kearifan lokal yang telah dilakukan. Penelitian tersebut dijelaskan dalam pemaparan berikut ini.

65 Pendekatan pembelajaran matematika berorientasi pendekatan masalah

telah diteliti oleh banyak ahli. George Polya merupakan salah satu ahli yang pertama menetapkan tahap-tahap dalam menyelesaikan masalah. Dalam menyelesaikan suatu masalah matematika, Polya pada tahun 1973, melalui bukunya yang berjudul “How To Solve It” (dalam Nuralam, 2009) membagi tahapan penyelesaian masalah ke dalam empat fase yang terdiri atas: (1) memahami masalah, yaitu apa yang dicari, apa yang diketahui, apa syarat-syarat yang bisa dipenuhi dan cukup untuk mencari yang tidak diketahui, membuat gambar/grafik, (2) merencanakan pemecahannya, yaitu apakah soal tersebut sudah pernah dilihat sebelumnya, apakah masalah yang sama pernah dilihat dalam bentuk berbeda, apakah diketahui soal lain yang terkait dengan soal yang diberikan, apakah tahu teorema yang mungkin berguna, memperhatikan unsur yang tidak diketahui dan memikirkan soal yang sudah dikenal dan mempunyai unsur yang tidak diketahui yang sama, (3) menyelesaikan masalah sesuai rencana langkah kedua, yaitu merencanakan penyelesaiannya, mengecek setiap langkah, apakah langkah-langkahnya sudah benar, dan (4) memeriksa kembali hasil yang diperoleh untuk mengecek hasil yang dicari dengan cara lain.

Strategi yang diungkapkan Polya ini memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatan dari stategi pemecahan masalah oleh Polya ini adalah strategi tersebut memuat pemecahan masalah yang sadar terhadap langkah yang signifikan dalam proses pemecahan suatu masalah dan strategi tersebut menyajikan kerangka kerja bagi masalah-masalah yang kompleks dan membantu dalam mengorganisasinya. Sedangkan keterbatasannya adalah ketidakmampuan strategi ini untuk menyelesaikan masalah yang bersifat lebih kompleks dengan banyaknya tindakan

66 yang harus dilakukan untuk menyelesaikan masalah dan kemungkinan

bervariasinya penyelesaian suatu masalah. Stategi pemecahan masalah open-ended dalam pembelajaran matematika awal mulanya dikembangkan di Jepang sejak tahun 70-an oleh Shimada (Sudiarta, 2008). Menurut Shimada, pendekatan open-ended ini berawal dari pandangan bagaimana mengevaluasi kemampuan siswa secara objektif dalam berpikir tingkat tinggi. Melalui pembelajaran matematika dengan pendekatan open-ended, siswa akan dihadapkan pada masalah terbuka yang akan memberikan kesempatan untuk menggunakan kemampuan berpikir siswa. Shimada (dalam Sudiarta, 2008) menyatakan masalah matematika open-ended sebagai masalah matematika dengan satu solusi dan banyak metode penyelesaian, atau banyak solusi dan banyak metode penyelesaian.

Pendekatan pemecahan masalah open-ended ini berkembang pesat di Eropa dan Amerika. Di Eropa, terutama di Jerman dan Belanda, pendekatan pembelajaran ini mendapat perhatian luas seiring dengan tuntutan pergeseran paradigma pendidikan matematika disana (Sudiarta, 2008). Studi pendahuluan mengenai pembelajaran matematika berorientasi masalah open-ended telah dilakukan melalui serangkaian studi kasus di beberapa sekolah dasar Negara Bagian Niedersachen Jerman dalam kurun waktu 1999-2003. Dalam penelitiannya ini, Sudiarta memperluas definisi masalah matematika open-ended oleh Shimada bukan saja sebagai masalah matematika dengan satu solusi dan banyak metode penyelesaian, atau banyak solusi dan banyak metode penyelesaian, tetapi juga berupa closed problem biasa tetapi dengan beberapa variabel yang disembunyikan dalam bentuk pernyataan-pernyataan tambahan. Secara umum, hasil penelitian

67 Sudiarta di Sekolah Dasar Elisabeth Schule Osnabrueck Jerman (1999-2003)

menyimpulkan bahwa pendekatan masalah open-ended dalam pembelajaran matematika dapat mengembangkan kemampuan berpikir siswa terutama dalam melakukan konstruksi-rekonstruksi konsep-konsep matematika secara mandiri (Sudiarta, 2008:70).

Penelitian di atas kemudian dilanjutkan dengan sebuah penelitian yang berjudul “Pengembangan Pembelajaran Matematika Berorientasi Pemecahan Masalah Matematika Open-Ended di Sekolah Dasar di Propinsi Bali” yang dikembangkan oleh Sudiarta (2004-2007). Melalui penelitian tersebut, Sudiarta menemukan latar belakang pembelajaran matematika di Indonesia, khususnya di Bali, yaitu siswa umumnya cukup berminat terhadap matematika, namun, (1) belum mampu memecahkan masalah matematika yang lebih kompleks, yang menuntut kemampuan berpikir divergen dan kritis, (2) sebagian besar guru masih mengajar secara mekanistis menjelaskan konsep-memberikan contoh dan latihan menekankan keterampilan berhitung, (3) masalah matematika yang digunakan umumnya berbentuk masalah tertutup, yaitu yang memiliki satu jawaban yang pasti, satu langkah yang pasti, satu langkah pemecahan, dilengkapi dengan petunjuk dan informasi yang lengkap agar siswa dapat menjawab dengan baik, mirip dengan contoh yang ada di buku, (4) siswa mengalami masalah dalam melakukan pemecahan masalah, menerapkan dalam konteks yang lebih luas, dan dalam konteks kehidupan sehari-hari, dan (5) pembelajaran ditekankan untuk mencari jawaban yang benar saja, belum sampai pada alasan mengapa suatu strategi atau prosedur menghasilkan jawaban yang benar atau salah.

68 Hasil lain dari penelitian Sudiarta (2007) adalah ditemukannya kesulitan

dalam menerapakan model pembelajaran berorientasi pemecahan masalah yang disebabkan oleh: (1) kelemahan didaktis, yakni bagaimana guru mempersiapkan masalah matematika yang dapat dijadikan sarana untuk merangsang kompetensi matematis tingkat tinggi siswa yang meliputi kompetensi berpikir dan bertindak kritis dalam melakukan analisis, sintesis, dan evaluasi, (2) kelemahan pedagogis, yakni bagaimana guru menampilkan dirinya sebagai fasilitator, melakukan intervensi dan memberikan scaffolding yang tepat, serta memberikan dorongan dan dukungan terjadinya interaksi mental antar siswa, dan (3) kelemahan dalam mengakomodasi struktur kognitif siswa terutama yang berkaitan dengan pola pikir, yakni bagaimana konsep-konsep matematika sebelumnya dibangun, dikonstruksi dan direkonstruksi, diaplikasikan, dan akhirnya direfleksikan secara mendalam.

Berdasarkan hasil penemuan yang dijabarkan di atas, Sudiarta kemudian mengembangkan sebuah model pembelajaran berorientasi masalah yang disebut dengan IKRAR. Penelitian yang dilakukan terkait dengan penerapan model pembelajaran IKRAR dalam kegiatan pembelajaran dilakukan oleh Santosa (2010) melalui penelitian yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran IKRAR dalam Pembelajaran Matematika Terhadap Kompetensi Matematis Tingkat Tinggi Siswa Kelas VII SMP Negeri 4 Singaraja”. Hasil penelitian ini adalah model pembelajaran IKRAR dalam pembelajaran matematika berpengaruh positif terhadap kompetensi matematis tingkat tinggi siswa.

Selain penelitian Santosa, pada tahun 2010 Diputra juga melakukan penelitian terkait model pembelajaran IKRAR dengan judul penelitian “Pengaruh

69 Model IKRAR dalam Pembelajaran Matematika Terhadap Motivasi dan Prestasi

Belajar Matematika Siswa Kelas IV SD Negeri 3 Banjar Jawa”. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah pembelajaran dengan menggunakan model IKRAR dapat: 1) menimbulkan keaktifan siswa selama mengikuti proses pembelajaran matematika, 2) melatih siswa berpikir kritis dan kreatif sehingga pemahaman konsep matematika siswa menjadi lebih bermakna, 3) meningkatkan keterampilan siswa dalam melakukan proses pemecahan suatu masalah matematika, dan 4) menumbuhkan minat dan ketertarikan siswa terhadap pelajaran matematika.

Selain penelitian yang telah dijabarkan di atas, ada pula penelitian pendahulu yang mengkaji penerapan kearifan lokal, khususnya kearifan lokal masyarakat Bali, dalam pembelajaran. Beberapa hasil penelitian yang relevan dengan bidang kajian ini contohnya adalah penelitian yang dilakukan Sadra (2007a) yang berjudul “Model Pembelajaran Matematika Berwawasan Lingkungan dalam Pelatihan Guru Kelas Satu Sekolah Dasar” yang salah satunya mengkaji penerapan Tri Pramana dan Catur Paramita dalam pembelajaran di kelas. Kemudian penelitian Ardana (2007) yang berjudul “Peningkatan Efektivitas Pembelajaran Matematika Melalui Pembelajaran Berorientasi Konsep Jengah dan Konstruktivis”. Konsep jengah dalam penelitian tersebut didefinisikan sebagai konsep kearifan lokal Bali yang mendasari pola pikir seseorang dalam belajar, yang menekankan pada kemampuan dasar, kedisiplinan, dan motivasi intrinsik yang dimiliki siswa. Selain itu, Subagia dan Wiratma (2007) melakukan sebuah penelitian yang berkenaan dengan kearifan lokal dengan judul “Pengembangan Model Siklus Belajar Berdasarkan Potensi-potensi Kearifan Lokal Masyarakat

70 Bali dalam Bidang Pendidikan (Studi Pengembangan Model Siklus Belajar

Berbasis Budaya)”. Hasil penelitian ini adalah adanya model siklus belajar yang dikembangkan dari kearifan lokal Tri Pramana. Selanjutnya Pujawan dan Sugiarta (2010) memanfaatkan kearifan lokal nyepi dan Tri Kaya Parisudha dalam pembelajaran, melalui penelitian yang berjudul “Pengembangan Model Pembelajaran Matematika Berdasarkan Kearifan Lokal Nyepi dan Tri Kaya Parisudha Berbantuan Modul untuk Meningkatkan Kualitas Perkuliahan Analisis Real 2”. Penelitian ini kemudian dikembangkan kembali dengan penelitian yang berjudul “Pengembangan Model dan Perangkat Pembelajaran Matematika Berdasarkan Kearifan Lokal Nyepi dan Tri Kaya Parisudha untuk Siswa SD di Provinsi Bali” oleh Sugiarta dan Pujawan (2011) dengan hasil berupa penyempurnaan model pembelajaran STAR yang telah dikembangkan pada penelitian sebelumnya, menjadi model pembelajaran STTAR, yang terdiri atas Silent , Think, Talk, Act, dan Reflect. Penambahan komponen model pembelajaran ini terjadi pada tahap Think yang artinya berpikir. Tahap ini juga merupakan bentuk implementasi manacika. Dengan adanya tahapan ini, implementasi ajaran Tri Kaya Parisudha menjadi lebih optimal.

Melihat dari penjabaran hasil penelitian-penelitian pendahulu yang memberdayakan potensi kearifan lokal dalam pembelajaran terbukti bahwa kearifan lokal memberikan hasil yang baik bagi pembelajaran matematika yang dilakukan siswa.