Kode Kultural cultural code

Dewi goddess merupakan penggambaran dari perempuan magis magical female yang independen secara seksual dan memiliki karakter sebagai pemberi kehidupan. Karakter ‘spiritualitas para dewi’ ini dapat ditemukan dalam seksualitas dan ketelanjangan perempuan yang membentuk karakter yang playful, powerful, kreatif, dan memiliki kekuatan untuk menyembuhkan Roach, 2007:3. Perempuan dimaknai sebagai simbol-simbol kesucian yang memiliki nilai spiritualitas untuk mengontrol laki-laki—mengutip apa yang telah diungkapkan dalam narasi—“Akulah Athena yang akan memberimu kearifan utama”. Hal ini merupakan eksistensi perempuan yang mampu membuat laki-laki menjadi bergantung padanya dan membuat laki-laki jatuh ke dalam ruang hasrat yang suci, di mana keberadaan hasrat di sini merupakan energi yang dikontrol sepenuhnya oleh perempuan.

4.1.3. Kode Kultural cultural code

Kode pembacaan kultural terhadap MV ini memperlihatkan adanya utopia terhadap universalitas budaya. Kenapa demikian? MV ini tidak memperlihatkan adanya nostalgia sejarah budaya Korea Selatan atau budaya ke-Timur-an yang kononnya merupakan konteks kebudayaan nyata di mana MV ini diproduksi. Model setting yang digunakan dalam MV ini mengadopsi model teatrikal Barat, terutama model proscenium, yaitu model teater yang awalnya berkembang dalam seni teater Yunani namun kini dominan digunakan di Broadway, sebuah pusat performa teater yang terkenal di Amerika Serikat. Model setting yang keBarat-baratan ini merupakan wujud penyatuan kultural antara Timur dengan Barat. Dengan demikian, MV ini dilatarbelakangi oleh konteks kebudayaan yang “terbuka”, dalam artian meninggalkan nilai-nilai budaya yang berbasis lokalitas dan berusaha untuk mereproduksi nilai-nilai budaya yang berorientasi pada dunia Barat. Nilai ke-Timuran hadir dalam penggunaan bahasa, meskipun aspek ini sifatnya juga terbuka. Dikatakan terbuka karena narasi MV menoleransi keberadaan bahasa Inggris yang dicampuradukkan dengan bahasa Korea Selatan. Dengan demikian, narasi MV itu sendiri menciptakan adanya dialog di antara dua kebudayaan yang melebur dalam citra kontemporer yang menghasilkan sintesis budaya yang kompleks. Kode kultural dapat juga dibaca melalui konsep kecantikan yang dihadirkan dalam MV The Boys. Kecantikan merupakan standarisasi kultural yang diwariskan secara turun temurun. Salah satu panorama kecantikan yang dihadirkan dalam MV ini adalah bentuk tubuh perempuan. MV ini merupakan kumpulan performa dari sembilan perempuan kurus yang dinamis memainkan tubuhnya tanpa lelah. Kenapa harus kurus? Ternyata, preferensi umum terhadap bentuk tubuh yang kurus muncul sebagai norma yang secara kultural berlaku secara konsisten dalam masyarakat, khususnya masyarakat Barat Wykes dan Gunter, 2005:6. Dalam MV ini, hal ini tampaknya telah menjadi sebuah konsensus yang berlaku universal, dikarenakan sebelumnya MV ini juga memperlihatkan adanya toleransi yang berlebihan terhadap nilai-nilai Barat melalui pemilihan panggung. Dalam kode pembacaan ini, kecantikan dianggap sebagai kode kultural yang memandang kecantikan tersebut melalui konteks kecantikan perempuan Timur, namun ekspresi kecantikan itu ditelan oleh dominasi kecantikan Barat sebagai konsekuensi pengembangan kultural Timur ke arah Barat. Di balik kecantikan yang ditampilkan dalam MV, hadir sebuah dunia yang kontradiksi dengan apa yang ada di dalam versi nyata. Salah satunya adalah penggunaan operasi plastik yang ditujukan untuk memperoleh bentuk wajah V-line, yaitu bentuk wajah yang tirus. Model V-line dianggap sebagai model kecantikan ideal yang diadopsi dari model boneka Barbie. Kenapa demikian? Sudah menjadi rahasia umum bahwa perempuan Korea Selatan ‘gemar’ mengubah bentuk tubuh dan wajah mereka untuk mencapai standar kecantikan kultural Barat yang dianggap sebagai kecantikan yang ideal. Ras Korea, disebut-sebut menyerupai orang Manchuria dan Mongolia dengan ciri- ciri fisik, mata berbentuk almond, rambut hitam, dan tulang pipi yang tinggi Connor, 2009:7. Namun MV ini menampilkan perempuan Korea dalam rupa yang berbeda dengan penciri ras mereka. Hal ini merupakan pembenaran keberadaan “grrrl feminism”, yaitu model feminisme baru yang sifatnya eurosentrisme, di mana salah satu karakteristik dari feminisme ini adalah operasi tubuh operasi plastik Kroløkke dan Sørensen, 2006:17. Hal ini dimaksudkan untuk memberi gambaran universal tentang perempuan, bahwa dengan menjadi cantik, perempuan akan lebih mudah memperoleh haknya dan menghapus identitasnya sebagai sang Liyan. Hal ini merupakan usaha untuk melampaui kecantikan Timur dan bertransformasi ke dalam model kecantikan Barat. Cantik dalam sejarah Korea Selatan, biasanya dimiliki oleh kelompok perempuan penghibur, yang dikenal dengan sebutan kisaeng atau gisaeng. Seorang kisaeng tidak memiliki kebebasan atas hidupnya sendiri, biasanya kelas tertinggi yang bisa dicapai oleh seorang kisaeng adalah menjadi gundik bagi laki- laki kaya. Peran perempuan dalam sejarah Korea Selatan juga dibatasi. Perempuan tidak diperbolehkan untuk mengecap pendidikan dan menjadi setara dengan laki-laki. Selain menjadi kisaeng, perempuan merupakan masyarakat biasa commoners. Kadang, perempuan hanya diperlakukan sebagai budak atau sebagai shaman penyihir Connor, 2009:183. Uniknya, kode kultural dalam MV ini memperlihatkan pergeseran kelas perempuan ke arah yang positif. Fenomena kaum elit, yang direpresentasikan dalam model pakaian high fashion dan glamour memperlihatkan adanya pengukuhan akan keberadaan kelas aristokrat modern di kalangan perempuan- perempuan Timur. Bukti lainnya juga dapat dilihat melalui penggunaan bahasa dalam narasi MV. Dikotomi antara “kami” dan “kalian” we dan you merupakan salah satu kode kultural lainnya yang di dalamnya melekat norma perbedaan antara manusia yang satu dengan manusia yang lainnya. Hal ini mengacu pada pembedaan antara perempuan sebagai subjek we dan laki-laki sebagai objek you. Dalam budaya patriarki yang dianut oleh bangsa Korea Selatan, hierarki masyarakat memperlihatkan bahwa kekuasaan sebagai aristokrat dipegang oleh laki-laki disimbolkan dengan kaisarking. Namun MV ini memperlihatkan degradasi kekuasaan laki-laki dan akhirnya menimbulkan ketidakpastian arah kekuasaan di antara dua dikotomi gender tersebut. MV ini menampilkan perempuan dalam hierarki kelas sosial aristokrat melalui deskripsi tubuh yang dibalut dengan pakaian-pakaian yang classy. Tampilan classy ini membuat perempuan hadir bukan sebagai masyarakat biasa commoners, melainkan dihadirkan sebagai ratu terlihat dengan penggunaan mahkota pada beberapa karakter performa. Dalam konteks kultural yang seperti ini, perempuan sebagai subjek aktif yang terkesan menyingkirkan laki-laki. Meniadakan laki-laki sama halnya dengan membunuh satu identitas penjajah, meskipun ketidakhadiran laki-laki dalam MV ini hanya dimaknai secara parsial saja laki-laki hadir dalam narasi yang diimajinasikan. Konteks kultural lainnya yang bisa dilihat dalam kode pembacaan ini adalah Athena. Dewi Athena, dalam mitologi Roma, mirip dengan karakter Minerva. Keduanya merupakan dewi kebijakan dan peperangan goddess of wisdom and war Loewen, 1998:8. Penggambaran karakter ini juga sejalan dengan sang Srikandi dalam legenda Jawa. Uniknya, MV ini sengaja meminjam mitos yang berasal dari akar budaya yang berbeda dari Korea Selatan. Hal ini memperlihatkan bahwa budaya Yunani Kuno sebagai asal usul mitologi yang digunakan dalam MV ini merupakan akar kebudayaan yang dianggap penting yang digunakan perempuan sebagai alat resistensi terhadap budaya Barat. Performa perempuan bergerak ke arah Eurosentris. Mengapa? Karena ia meminjam sejarah Eropa yaitu Yunani Kuno yang juga merupakan akar sejarah peradaban Barat. Sejarah Korea Selatan tidak menawarkan kisah semacam Athena, Hawa, atau Srikandi. Namun sejarah Korea mencatat satu perempuan yang paling berpengaruh di sepanjang monarki, Queen Sondak. Ia memerintah Korea di masa 632-647 M, dan merupakan satu dari tiga perempuan yang pernah memimpin kekaisaran di Korea Selatan. Sebagai bangsa patriarki, Korea Selatan pada dasarnya tidak mentoleransi kekuasaan dipegang oleh perempuan. Ratu Sondak sendiri diterima rakyatnya sebagai pemimpin bukan karena nilai keperempuanannya, melainkan karena sistem garis-keturunan yang mana Sondak merupakan satu-satunya keturunan kaisar sebelumnya Connor, 2009:194-196. Dari sejarah budaya ini, dapat dilihat bahwa perempuan hanya akan diakui ketika ia memiliki darah seorang noble bangsawan. Jika tidak, ia dianggap sebagai lowborn lahir dalam kelas yang rendah. Relasi antara perempuan dan laki-laki merupakan relasi subordinasi yang telah melekat menjadi hukum moral dalam masyarakat. Bahkan dalam penyebutan identitas diri nama, perempuan Korea tidak dipanggil dengan nama mereka sendiri melainkan diidentifikasi berdasarkan posisi dalam relasi mereka dengan laki-laki Connor, 2009:198. Identitas Athena dalam MV ini dengan demikian merupakan sebuah usaha untuk meniadakan identitas sang Liyan perempuan. Dengan memakai nama Athena, perempuan mendeklarasikan diri tidak sekedar menjadi bangsawan namun menjadi dewi yang memiliki kekuasaan untuk mengatur dunia.

4.1.4. Kode simbolik symbolic code