babak baru dari performa perempuan sebagai diri yang tidak lagi termarginalisasi, namun justru sebagai pahlawan yang dominan yang mampu menaklukkan apa pun
di hadapannya termasuk menaklukkan laki-laki. Identifikasi simbol lain yang terkait dengan perempuan adalah burung
merpati. Keberadaan merpati putih dalam MV membalikkan konvensi mitologis Yunani yang mana sang Dewi Athena biasanya dipadankan dengan burung
peliharaan disayanginya—burung hantu owl. Sebaliknya dalam MV ini, perempuan-perempuan yang mengaku diri adalah Athena tidak memperlihatkan
simbolisasi burung hantu melainkan menggantinya dengan burung merpati. Kenapa? Tidak ada perempuan yang ingin disamakan dengan hantu. Ia jelas
memilih penggambaran visual seekor merpati putih yang cantik, mulus, dan tidak bercacat. Merpati merupakan penggambaran dari tubuh-tubuh tak bernoda. Ia juga
mewakili kemurnian dan kepolosan seorang Athena yang masih perawan. Dengan cara yang seperti ini, perempuan memperlihatkan kekuatannya untuk merayu laki-
laki melalui usahanya untuk mempercantik diri, berganti-ganti kostum dari fashion yang satu ke fashion lainnya. Banyaknya model fashion yang digunakan
dalam MV ini merupakan simbol virtual dari pernyataan perfect dress for perfect body pakaian yang sempurna untuk tubuh yang sempurna.
4.1.5. Kode semik codes of semes
Kode pembacaan ini mengungkapkan keberadaan ideologis di antara ruang-ruang kebudayaan Timur dan Barat. Perjuangan ideologis dalam MV ini mengarah pada
konflik abadi yaitu relasi konflik antar gender laki-laki dan perempuan. Dalam
logika dunia maskulin, perempuan seharusnya tidak bisa ‘berbicara’, ia merupakan oknum sang Liyan yang memiliki status sebagai kelas subordinat yang
tidak memiliki kekuasaan. Konflik ini juga menarik persoalan rasial dan seksualitas, sehingga mau tidak mau, semua faktor tersebut bermain bersama
interplay. Permainan performa yang dihadirkan di dalam panggung performa merupakan relasi budaya-budaya, antara yang terjajah dengan yang menjajah.
Status sebagai ‘yang terjajah’ dari masa lalu dikukuhkan sebagai status perempuan. Sementara itu, status ‘yang menjajah’ merupakan status kebanggaan
kaum laki-laki. Namun kode semik tidak mendefinisikan relasi ‘yang terjajah’ dan ‘yang
menjajah’ hanya berdasarkan relasi gender. Kode semik mengajak sedikit lebih jauh ke arah masa lalu kolonialisme. Status sebagai ‘sang penjajah’ memiliki
identitas ganda, yaitu laki-laki, serta—dan konteks postkolonialisme—Barat. Perempuan merupakan manusia postkolonial yang mengusung identitas sang
Liyan sejak masa lalu. Perempuan Timur secara khusus dianggap sebagai kelompok manusia yang mengalami kolonialisme ganda karena ia diasumsikan
dijajah oleh laki-laki, dan bersamaan dengan itu, ia juga dijajah oleh manusia- manusia Barat.
Kode pembacaan semik ini mencoba membongkar makna yang ada di balik makna. Ada persoalan ideologis yang hadir ketika MV ini lebih memilih untuk
menampilkan perempuan daripada laki-laki meskipun judul MV ini adalah “The Boys”. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, ketakhadiran laki-laki adalah
makna bahwa laki-laki seharusnya ada di sana. Logika maskulin membenarkan
bahwa penamaan the boys dan the girls tidak sekedar berusaha mendeskripsikan jenis kelamin namun juga mendefinisikan siapa yang punya kekuasaan.
Laki-laki dengan sadar telah memberikan posisi subjek kepada perempuan. Kenapa demikian? Lirik lagu “The Boys” ditulis oleh laki-laki, namun diceritakan
dengan gaya bahasa perempuan. Hal ini membentuk resistensi melalui pola mimikri yang cara meminjam diskursus patriarki. Perempuan meminjam identitas
laki-laki dan masuk ke dalam logika laki-laki. Sosok perempuan pun ditampilkan dalam sosok yang maskulin Athena. Mimikri direpetisi terus-menerus hingga
akhirnya “The Boys” muncul seolah-olah merupakan ekspresi logika perempuan. Selain itu, perempuan juga melakukan mimikri dengan meminjam diskursus
Barat. Perempuan Timur merupakan manusia postkolonial yang lahir dari budaya patriarki yang sangat kuat sehingga sangat sulit bagi mereka untuk menanggalkan
identitas Liyan kecuali mereka membuka diri terhadap pola-pola kutural Barat. Perempuan Timur mulai masuk ke dalam diskursus Barat ketika mereka
menegosiasikan Diri-nya ke dalam girls’ power yang jauh sebelumnya sudah berkembang di Barat, di era feminisme liberal. Perbedaan multikultural membuat
perempuan Timur ketinggalan jauh di belakang dan pada akhirnya membuang dirinya ke dalam Barat itu sendiri. Perempuan meminjam banyak hal dari
diskursus Barat dan ditampilkan di atas panggung performa: setting, teknik kamera dan editing, kostum, bahasa tubuh, dan sebagainya.
Penggabungan mimikri dari dua diskursus ini menciptakan sosok perempuan yang menjebak laki-laki dalam ilusi kesenangan. Dua konteks mimikri
yang berbeda ini direpetisi secara terus-menerus sehingga menghasilkan apa yang
disebut Butler sebagai drag show pertunjukan paksaan Kroløkke dan Sørensen, 2006:130. Artinya, mimikri yang dilakukan bergerak melampaui identitas yang
sesungguhnya dan menghadirkan performa ilusi identitas dalam tubuh yang palsu. Kepalsuan ini menciptakan tubuh-tubuh imitasi yang baru, yang berbeda dari
yang asli dan yang dimimikri. Performa the flawless nine merupakan perwujudan dari drag show karena menciptakan model kecantikan yang baru, yang
menyerupai namun tidak sama dengan Barbie dan juga tidak sama dengan kecantikan alami yang dimiliki oleh ras Korea Selatan.
Resistensi melalui
mimikri ini
menjadi sempurna
ketika MV
memperlihatkan deklarasi perempuan sebagai Diri yang berperang. Konsep peperangan ini ditiru perempuan dari Dewi Athena yang dikenal sebagai dewi
peperangan. Perempuan Timur berusaha memperoleh pengakuan dalam panggung performa dengan cara menegosiasikan identitas kultural Korea Selatan ke dalam
identitas yang berbeda yaitu Yunani Kuno. Perempuan dalam hal ini terperangkap dalam fase yang disebut Freud sebagai fase narsistik mengacu pada mitos Yunani
tentang Narcissus, di mana Diri jatuh cinta pada bayangannya sendiri O’Donnell, dkk, 2009:68. Perempuan meminjam identitas yang berbeda dengan
identitasnya, yaitu menjadi Athena, dan kemudian sang perempuan jatuh cinta pada karakter yang ditiru olehnya. Dengan cara yang seperti ini, perempuan
bermain dengan mimikri, ia menghadirkan identitas fantasi yang diimprovisasi seolah-olah menjadi sesuatu yang nyata.
4.2. Pandora: “Up and Up ah ah”