Figur Mimikri Sang Liyan

resistensi perempuan terhadap Barat, yang dilakukan melalui proses mimikri terhadap diskursus Barat dan patriarki itu sendiri.

4.4. Figur Mimikri Sang Liyan

Resistensi bukanlah sebuah utopia. Mengacu pada pendapat Stuart Hall, resistensi bukanlah sebuah realitas tunggal maupun universal, namun resistensi dapat mendefinisikan dirinya sendiri, kapan pun, di mana pun. Resistensi merupakan sebuah aktivitas yang memproduksi nilai-nilai ideologis, sama halnya dengan argumentasi Bennett yang mengkarakteristikkan resistensi sebagai wujud respon virtual terhadap kekuasaan Barker, 2000:342, 343. Penelitian ini mengindikasikan bahwa resistensi perempuan dalam ruang performa menghadirkan sebuah ruang negosiasi antara kelompok yang tersubordinasi dengan kelompok yang memiliki kekuasaan, dengan kata lain, antara perempuan [Timur] dengan Barat. Resistensi ini merupakan sebuah perjuangan untuk eksis di tengah-tengah maraknya Barat, dan uniknya, resistensi ini tidak hadir sebagai sebuah konfrontasi terhadap Barat namun justru menghadirkan sebuah relasi mediasi. Inilah permainan performa, sebuah usaha untuk membingkai kembali re-frame relasi yang tidak seimbang antara perempuan [Timur] dengan Barat. Gambar 4.1. Resistensi Perempuan: Figur Mimikri Sang Liyan Mimicry Passing Pastiche Mediation Mixture Sumber: Hasil pengamatan penelitian mengacu pada Gambar 1.3 Mimikri merupakan sebuah perjuangan ideologis perempuan untuk melakukan resistensi. Perempuan dapat dengan sadar melakukan mimikri, strategi ini dianggap sebagai satu-satunya cara untuk membalikkan wacana eksploitasi terhadap dirinya. Melalui mimikri, perempuan masuk dalam logika Barat. Ia bercermin pada perempuan Barat, berdandan seperti perempuan Barat, berpakaian seperti perempuan Barat, berbicara dalam bahasa yang umum digunakan di belahan dunia Barat, mengeskpresikan tubuh seperti perempuan Barat, dan bermain dengan instrumen sejarah yang sama dengan Barat. Itulah yang dilakukan perempuan, merepetisi hal-hal yang sama dengan tujuan membuat untuk mengubah yang invisible menjadi visible. Dengan logika yang semacam ini, seperti yang telah digambarkan di atas, perempuan dalam K- Pop MV pada akhirnya menciptakan figur mimikri yaitu passing merujuk pada tabel Figures of Mimicry. Passing merupakan sebuah usaha untuk mengambil atau meminjam kategori sosial seseorang yang berbeda dari yang dimiliki Kroløkke dan Sørensen, 2006:131. Dengan kata lain, pola passing ini dimaknai sebagai sebuah kemampuan untuk menjadi seperti danatau melampaui apa yang ditirunya. Passing ini memperlihatkan aktifitas penyamaan identitas untuk meniadakan relasi yang tidak seimbang inequality, yaitu relasi antara perempuan [Timur] dengan Barat. Passing merupakan salah satu premis penting dalam teori performa poststrukturalis yang memperlihatkan bagaimana seorang mimik berpura-pura menjadi sesuatu yang lain untuk bisa diterima. Idealnya, pola ini akan menghasilkan mimesis proses peniruan yang melampaui lebih baik dari apa yang yang ditirunya. Dengan kata lain, mimesis yang dihasilkan dari passing adalah pastiche, yaitu pola yang disusun dari elemen-elemen yang dipinjam dari pelbagai sumber dari masa lalu. Pastiche mengambil kepingan-kepingan sejarah, mencabutnya dari semangat zamannya dan menempatkannya dalam konteks masa kini Hidayat, 2012:129. Pastiche merupakan praktik netral dari mimikri yang dilakukan tanpa adanya maksud parodi tersembunyi. Dengan kata lain, pastiche merupakan parodi yang kosong blank parody Jameson, 1984:493. Berdasarkan dua tataran pemaknaan semiotika Roland Barthes, penelitian ini mengidentifikasi munculnya ideologi dalam bahasa Barthes disebut mitos resistensi yang menggunakan instrumen mimikri dalam hal: 1 relasi gender, 2 mitologi, dan 3 kecantikan. Masing-masing dari ketiga diskursus ini memperlihatkan adanya pola passing yang mendeskripsikan bagaimana ideologi resistensi muncul melalui mimikri, seperti yang diuraikan sebagai berikut: Tabel 4.1 “Resistensi Perempuan Melalui Mimikri dengan Pola ‘Passing’” Diskursus Mimikri MV Girls’ Generation “The Boys” MV Kara “Pandora” Pola Passing 1 Relasi Gender Membongkar relasi perempuan dengan laki-laki we – you; perempuan digambarkan sebagai subjek. Membongkar relasi perempuan dengan laki-laki I – you; perempuan digambarkan sebagai subjek. Melampaui konsep Barat mengenai “phallogocentrism” yang menganggap laki-laki sebagai the one and only. Perempuan digambarkan sebagai Diri karena telah membalikkan relasi oposisi antara laki-laki dan perempuan. Melampaui logika oposisi biner laki-laki VS perempuan, di mana perempuan menjadi subjek yang dominan yang meniru konsep feminisme liberal mengenai “girls’ power”. Posisi laki- laki Mengacu pada ‘boys’, bukan ‘man’. Hal ini menekankan pada ketidakdewasaan laki-laki boy. Di sisi lain, ruang performa menawarkan ketidakhadiran absence laki-laki sebagai bentuk inferioritas laki-laki terhadap perempuan. Laki-laki sebagai penyelamat perempuan sekaligus sebagai pembawa masalah terhadap diskursus Patriarki, karena telah mengakibatkan perempuan memperoleh kontrol atas dirinya dan atas laki-laki itu sendiri. Posisi perempuan Ekuivalensi antara ‘girl’ dan ‘woman’, dengan memperlihatkan pola aktivasi tubuh seksual. Perempuan digambarkan sebagai heroin yang merupakan sumber kearifan bagi laki-laki. Posisi perempuan sebagai ‘woman’, memperlihatkan kontrol sepenuhnya terhadap tubuh seksual perempuan dengan citra playfulness. Diskursus Mimikri MV Girls’ Generation “The Boys” MV Kara “Pandora” Pola Passing 2 Akar Peradaban Yunani Kuno Yunani Kuno Meniru danatau melampaui tolak ukur kebudayaan Barat, yaitu Yunani Kuno. Pola ini mematahkan dominansi Barat karena dianggap bukan sesuatu yang taken-for-granted, melainkan sama seperti budaya Timur dalam kajian ini, bersifat Eurosentrisme. Intepretasi Mitologis Dewi Athena. Perempuan digambarkan sebagai generasi the city of Athens, yang terdiri dari banyak Athena. Perempuan dalam logika maskulin yang menolong laki- laki dalam menghadapi kehidupan- yang-seperti-perang. Menekankan pada perbedaan kelas antara manusia laki-laki dan Dewi. Pandora Pandora’s Box. Pembalikan mitologis yang mana laki-laki membuka kotak Pandora dan mengeluarkan perempuan dari dalam kotak. Perempuan menggoda laki-laki untuk membuka kotak, dan ketika terbuka, laki-laki terjerat dalam hasratnya terhadap perempuan. 3 Mitos Kecantikan Melampaui konsep kecantikan ideal Barat, dengan bercermin pada kecantikan Dewi Athena. Kecantikan yang bercermin dari kecantikan tokoh mitologis, Pandora, yang kononnya mendapat warisan kecantikan dari Dewi Athena. Konstruksi kecantikan artifisial yang ditiru danatau melampaui konsep kecantikan Barat yang dianggap sebagai ideal[ized] beauty. Sumber kecantikan artifisial menciptakan tubuh palsu yang berbeda dari tubuh yang natural, dan dilengkapi dengan segala atribut artifisial termasuk fashion dan gestur tubuh. Fashion Meniru konsep high fashion dari Barat, dipadu dengan gaya kontemporer. Menerapkan konsep fashion kontemporer. Gestur Gestur seksual sebagai wujud peniruan terhadap grrrl feminism, di mana perempuan memiliki kontrol sepenuhnya atas tubuh dan seksualitasnya Sumber: Data yang diolah Lebih lanjut lagi, proses mimikri dengan pola passing sebagai sebuah bentuk resistensi perempuan akan dijelaskan sebagai berikut. Pertama, relasi gender. Kedua MV dalam penelitian ini sama-sama mengeksplorasi relasi gender antara perempuan dengan laki-laki dengan tujuan memposisikan perempuan sebagai subjek. Kata pertama “we” dan “I” secara linguistik memposisikan perempuan lebih dominan dibandingkan “you” yang mengacu pada laki-laki. Pola passing menjelajahi relasi gender melampau relasi oposisi biner yang selama ini mengkonstruksikan perempuan sebagai kelompok yang subordinat terhadap laki-laki. Passing memisahkan perempuan dengan objek, dan beralih kepada subjek. Hal ini sejalan dengan kritik Derrida manifestasi filosofi Barat yaitu “phallogocentrism” yang menganggap hierarki binair antara perempuan dan laki-laki merupakan sebuah asumsi beku yang tidak dapat diubah. Kritik Derrida ini menghadirkan sebuah fase yang disebutnya sebagai mirror phase, di mana subjek Dirithe Self dapat dikonstitusikan melalui bahasa. Dengan logika Derrida, other akan berefleksi menjadi mother Kroløkke dan Sørensen, 2006:35-36. Penggunaan bahasa dalam narasi MV merupakan persoalan krusial yang bisa mengalihkan objek menjadi subjek, Liyan menjadi Diri, seperti yang diungkapkan oleh Derrida. Dengan demikian, relasi gender menerima pengaruh yang sangat besar dari bahasa Kroløkke dan Sørensen, 2006:36. Dan secara konsekuen pula, apa yang dihadirkan dalam visualisasi kode sinematik akan menyesuaikan dengan posisi subjek yang dikonstruksikan oleh narasi lirik. Mengutip kembali apa yang diungkapkan Luce Irigaray mengenai konsep mimikri, “to play with mimesis is thus, for a woman, to try to recover the place of her exploitation through discourse, without allowing herself to be simply reduced to it. It means to resubmit herself ..., that are elaborated inby masculine logic, but so as to make ‘visible’, by an effect of playful repetition, what was supposed to remain invisible...” Kroløkke dan Sørensen, 2006:129. Pergerakan feminisme Dunia Ketiga sengaja menggunakan perempuan sebagai pemeran utama dalam panggung performa karena perempuan merupakan peniru yang baik good mimics. Ia dikatakan peniru yang baik karena perempuan [Timur] lahir dari rahim patriarki yang membangun relasi kesenjangan di antara perempuan dan laki-laki. Bagi perempuan [Timur], laki-laki [Barat] adalah pusat peradaban Mohanty, 1994:215, sehingga perempuan harus bergerak menjadi dan melampaui laki-laki untuk memperoleh kekuasaan. Dengan kata lain, perebutan kekuasaan dimungkinkan terjadi jika sang Liyan mampu meniru atau bahkan meniru lebih baik sosok sang pemilik kekuasaan. Pola passing lain yang bisa diidentifikasi dalam relasi gender adalah penyamaan konsep girl’s power antara perempuan Timur dengan perempuan Barat. Konsep ini sesungguhnya berkembang dalam paham feminisme liberal Barat salah satu ikonnya adalah Madonna, lihat bab II. Kedua MV memperlihatkan kecenderungan proses mimikri yang berusaha menyamai perempuan Timur dalam hal kontrol penuh atas tubuh dan seksualitas yang dimiliki oleh perempuan. Akhirnya, relasi gender dalam kedua MV analisis memperlihatkan perjuangan ideologis perempuan [Timur] masuk ke dalam logika maskulin untuk mengambil alih posisi subjek, dan juga menolak bias patriarki yang menganggap bahwa perempuan tidak memiliki kebebasan atas dirinya. Kedua, mitologi. Mitologi di sini mengacu pada kumpulan kisah mitos dalam peradaban Yunani Kuno. Mitologi menjadi sebuah persoalan ideologis dalam penelitian ini karena uniknya, kedua MV analisis dengan sengaja memasukkan unsur-unsur mitologi Yunani ke dalam produk budaya populer K- Pop. Kode hermeneutika sebelumnya telah mempertanyakan, mengapa Yunani?. Salah satu intepretasi passing dalam persoalan mitologi ini adalah karena ‘sejarah’ memiliki sejarah. Kalimat ini diungkapkan oleh Bertens dalam buku terjemahan berjudul ‘Panorama Filsafat Modern’ 2005 untuk menyatakan bahwa manusia berkembang dari dimensi historis yang berlapis. Meskipun Bertens berbicara dari sudut pandang filsafat, namun hal ini menjadi persoalan yang penting dalam penelitian ini mengingat perempuan Timur yang dikaji dalam K- Pop MV di YouTube ditandai oleh eksistensi sejarah dalam persoalan Liyan yang diperolehnya sebagai manusia postkolonial. History berasal dari bahasa Yunani yaitu historein yang artinya ‘menyelidiki’ Bertens, 2005:229. Apa yang perlu diselidiki? Sejarah di balik sejarah. Yunani kuno merupakan bagian dari masa lampau yang menjadi titik tumpu pengetahuan masa kini yang dikembangkan oleh Barat. Kenapa demikian? Barat banyak menyandarkan eksistensi manusianya kepada pengetahuan- pengetahuan yang telah terlebih dahulu dibangun dalam dimensi sejarah, yaitu masa Yunani Kuno. Filsafat Barat, misalnya, meresap ke dalam masyarakat dan kebudayaan Yunani Kuno dan menyaksikan pahlawan-pahlawan mitologi yang memiliki kehendak dewa-dewi yang tak terelakkan Bertens, 2005:233. Barat juga banyak bertumpu pada ahli pikir seperti Herodotus Phytagoras, Socrates, Hippocrates, Archimedes, dan Plato. Dan tak jarang, nama dewa-dewi seperti Apollo, Poseidon, Hermes, dan yang lainnya sering dimanfaatkan oleh Barat. Barat bersandar pada dimensi sejarah yang dirintis oleh Yunani. Dengan demikian, dominasi yang dimiliki Barat selama ini bukanlah sesuatu yang taken- for-granted, namun merupakan proses perkembangan kontinuitas. Di sisi lain, dilihat dari sudut pandang feminisme multikultural, pergerakan feminisme Dunia Ketiga baca: Timur yang ditampilkan dalam kedua MV ini sengaja menyodorkan perempuan untuk mencari titik temu resistensi Timur terhadap Barat. Resistensi terhadap kebudayaan Barat membuat Timur melakukan kalkulasi kebencian, dan menarik kebudayaan kembali pada akar dari kebudayaan Barat itu sendiri—Yunani Kuno. Feminisme kemudian bergerak untuk meminjam sejarah masa lampau dari Yunani kuno untuk menentang budaya Barat. Resistensi ini terjadi untuk “menciptakan leluhur yang sama” sehingga melahirkan logika kebudayaan yang sama. Perempuan bergerak melampaui dirinya dan berpura-pura menjadi bagian dari sesuatu yang ada di luar dirinya identitasnya sebagai Athena dan Pandora. Dengan demikian, ruang performa memberi penawaran ideologis tentang resistensi—sebuah proses mimikri yang bergerak melampaui sejarah peradaban Barat dengan tujuan untuk menyamakan diri dengan Barat itu sendiri. Industri kebudayaan raksasa Korea Selatan untuk selanjutnya, perlahan-lahan akan berkembang dan menjadi sejalan dengan industri budaya Barat karena keduanya bergerak dari ruang dan waktu yang sama—mitologi Yunani kuno. Ketiga, kecantikan. Konsep ini sesungguhnya telah menjadi persoalan ideologis dalam pergerakan feminisme di berbagai wilayah. Idealnya, Barat disebut-sebut sebagai standar kecantikan bagi perempuan-perempuan non-Barat. Hal ini tentu saja meninggalkan jejak perbedaan di antara keduanya. Kedua MV dalam penelitian ini muncul dengan nilai ideologis kecantikan yang berbeda dengan kecantikan Barat yang diagung-agungkan. Dilihat dari pola passing-nya, kecantikan yang ditampilkan dalam kedua MV bergerak melampaui konsep kecantikan ideal. Dengan meminjam kisah mitologis Yunani, perempuan dalam MV pun turut meminjam kecantikan Dewi Athena dan sosok Pandora yang memperlihatkan identitas cantik yang tidak biasa. Menjadi cantik dalam hal ini menjadi sebuah persoalan ideologis karena dituntut untuk menciptakan tubuh palsu yang berbeda dari tubuh yang natural. Eksistensi kecantikan yang seperti ini merupakan kecantikan artifisial yang dilengkapi dengan segala atribut artifisial termasuk fashion dan gestur tubuh. Pola passing, dalam teori poststrukturalis performa, merupakan sebuah sumber krusial bagi strategi komunikasi performa Kroløkke dan Sørensen, 2006:135. Passing merupakan sebuah konstruksi Diri the Self yang aktif karena proses mimikri dengan pola ini memungkinkan perempuan bergerak dari satu identitas ke identitas lain, sesuai dengan apa yang ingin ditirunya. Itulah sebabnya mengapa mimikri dengan pola passing ini disebut pula sebagai usaha untuk melakukan mediasi. Proses ini tidak membentuk resistensi sebagai realitas yang universal, namun ia menjadi strategi mediasi yang mencoba membingkai kembali relasi kesenjangan antara Liyan dan Diri. Akhirnya, perempuan dalam hal ini digambarkan sebagai “Diri yang tercabut dari wilayahnya”. Istilah ini ditujukan untuk menggambarkan keinginan untuk menjadi bebas bergerak melampaui masa lalu untuk menghancurkan kultur dominasi O’Donnell, dkk, 2009:76-77. Perempuan meninggalkan posisi yang selama ini telah diwariskan secara turun-temurun dalam budayanya, dan pada satu titik, perempuan memanfaatkan performa untuk menata-ulang persoalan ideologis seputar diri perempuan, sekaligus menentang dominasi kebudayaan Barat.

BAB V REFLEKSI TERHADAP PERFORMA PEREMPUAN:

“DARI SUNYI MENJADI BUNYI” i “I imagine a postcolonial Asia constructed through the flows of popular culture where the term “Korean Wave” will be used together with the “Indonesian Wave”, etc., since it provides us with new “contact zones” to reflect upon them and myself who have been “othered” for so long in modern history.” ~ Cho Hae-Joang, 2005 ~ Ketika Timur dipertemukan dengan Barat, apa yang mungkin terjadi? Ruang ketiga. Dalam pandangan postkolonialis Homi Bhabha, ruang ketiga diistilahkan dengan “liminality”, “in-between” atau “third-space”, yaitu ruang perjumpaan perbedaan-perbedaan kultural dan sekaligus ruang penciptaan identitas di mana terjadi gerak interaktif terus-menerus antara status-status yang berbeda, yaitu di antara “mereka yang merasa diekslusi” dengan mereka yang dituduh “mengesklusi” Sutrisno dan Putranto, 2004:95. Barat dan Timur dalam hal ini bertemu dalam sebuah platform bernama situs YouTube, implikasi yang dimunculkannya adalah hadirnya ruang ketiga yang sifatnya berada di antara in between. Aktor dalam ruang ini adalah perempuan Timur yang menjadi ramuan utama melakukan perjuangan untuk membunuh identitasnya sebagai Liyan. Industri budaya Barat telah lama mendominasi ruang-ruang kebudayaan multikultural Timur dan memonopoli ideologi sehingga Barat dianggap sebagai sebuah kebenaran. Namun monopoli yang ditanamkan dalam sebuah industri budaya, tidak terlepas dari kemungkinan kecil munculnya resistensi, terlebih 218