PDRB Perkapita Daya Beli ICOR

Program TransisiIndikatif tahun 2009 11 Sektor dengan laju pertumbuhan paling cepat pada tahun 2005 adalah sektor Keuangan, Sewa Bangunan dan Jasa Perusahaan 10,68 persen; sektor Pertambangan dan Penggalian 9,32 persen; sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran 9,15 persen; sektor Angkutan dan Komunikasi 5,00 persen; sektor Industri Pengolahan 4,61 persen; dan sektor lainnya. Namun demikian, sektor-sektor yang memberi kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Timur tetap sama, yaitu sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran serta sektor Industri Pengolahan. Pada tahun 2006, seperti telah disinggung dimuka, dampak negatif kenaikan harga BBM mencapai puncaknya terhadap perekonomian Jawa Timur. Ditambah dengan adanya bencana luapan lumpur panas Lapindo, itu semua telah membuat kinerja ekonomi Jawa Timur pada tahun 2006 merosot dibanding tahun 2005. Hal itu diperlihatkan oleh melambatnya laju pertumbuhan ekonomi Jawa Timur, dari 5,84 persen pada tahun 2005 menjadi 5,80 persen pada tahun 2006. Hal ini terutama disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan sektor Industri Pengolahan, sektor Konstruksi, sektor Keuangan, Sewa Bangunan dan Jasa Perusahaan. Namun demikian, tingkat pertumbuhan ekonomi Jawa Timur yang dicapai pada tahun 2006 masih sama dengan target pertumbuhan yang ditetapkan, yaitu 5,80 persen. Dan pada tahun 2007 pertumbuhannya meningkat menjadi 6,02 persen angka sangat sementara.

b. PDRB Perkapita

Tingkat perekonomian Jawa Timur meningkat terus secara mantap dari tahun ke tahun. Hal itu dapat dilihat dari perkembangan PDRB atas dasar harga berlaku ADHB Jawa Timur. Program TransisiIndikatif tahun 2009 12 Pada tahun 2005, PDRB ADHB Jawa Timur adalah Rp 403.392 milyar. Kemudian pada tahun 2006 meningkat menjadi Rp 469.232 milyar. Namun demikian, PDRB ADHB tidak dapat menceritakan keseluruhan cerita mengenai kesejahteraan ekonomi. Karena walaupun menghasilkan lebih banyak barang dan jasa secara umum menguntungkan, kita tidak dapat melihat apakah dalam kondisi ini rata- rata orang menjadi lebih baik atau tidak. Untuk itu kita harus melihat perkembangan suatu indikator yang disebut PDRB perkapita. PDRB perkapita diperoleh dengan cara membagi PDRB ADHB dengan jumlah penduduk pertengahan tahun. Pada tahun 2005, PDRB perkapita adalah Rp 10,8 juta. Kemudian pada tahun 2006 dan 2007 meningkat berturut-turut menjadi Rp 12,5 juta dan 14, 03 juta. Dari data tersebut terlihat bahwa capaian PDRB perkapita pada tahun 2005, 2006 dan 2007 jauh diatas target yang ditetapkan pemerintah, yaitu berturut-turut Rp 7,9 juta, Rp 8,2 juta dan 8,6 juta.

c. Daya Beli

PDRB perkapita belum dapat memperlihatkan daya beli rata-rata masyarakat. Untuk itu diperlukan indikator lain yang disebut Indeks Daya Beli IDB. IDB diperoleh dengan cara mendeflasi PDRB perkapita dengan Indeks Harga Konsumen IHK. Pada tahun 2005 IDB Jawa Timur adalah 119,75. Kemudian pada tahun 2006, IDB tumbuh lebih cepat, sebesar 8,36 persen, menjadi 129,76. Hal ini disebabkan oleh karena turunnya inflasi pada tahun 2006, serta tahun 2007 menjadi 137,87. Pencapaian IDB pada tahun 2005, 2006 dan 2007 selalu jauh berada diatas target yang ditetapkan pemerintah. Program TransisiIndikatif tahun 2009 13

d. ICOR

ICOR merupakan suatu ukuran untuk melihat tingkat efisiensi suatu investasi. ICOR menunjukkan besarnya tambahan kapital investasi baru yang dibutuhkan untuk menaikkanmenambah satu unit output. ICOR Jawa Timur pada tahun 2005 adalah 3,09. Kemudian pada tahun 2006 meningkat menjadi 3,29 serta menjadi 3,12 pada tahun 2007. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa sampai tahun 2005, efisiensi investasi makin membaik. Pada tahun 2006, efisiensi investasi sedikit memburuk di banding tahun 2005. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya harga BBM secara tajam pada tahun 2005. Dan pada tahun 2007 mengalami penurunan yang artinya efisiensi investasi tahun 2007 lebih baik dari tahun 2006. Sejak tahun 2003, capaian ICOR selalu lebih rendah dari target yang ditetapkan, yang artinya bahwa pencapaian efisiensi investasi lebih baik dari target yang ditetapkan.

2.3 PEMERINTAHAN SOSIAL BUDAYA