Baishun dalam Sejarah Jepang

21

2.3 Baishun dalam Sejarah Jepang

Baishun dikatakan profesi tertua umat manusia, tetapi untuk membahas asal dari baishun sangatlah sulit. Menurut salah satu teori, asal keinginan untuk kenikmatan seksual manusia dimulai dari prehominid serebral, yakni dimana manusia telah mencapai tingkat kebosanan dan untuk menutup kebosanan teersebut melakukan hubungan seksual yang tidak bertujuan untuk reproduksi Ono 2011: 3. Awal baishun Jepang terlihat dalam profesi penghibur. Goodwin menyebutkan bahwa yang paling mencolok diantara mereka adalah asobi juga dikenal sebagai Yukun sering ditemukan menghibur wisatawan di pelabuhan laut dan sungai. Kelompok penting lainnya adalah perempuan dari kelompok - kelompok dalang disebut kugutsu dan penari yang dikenal sebagai shirabyoushi yang muncul diakhir periode Heian. Kita tahu tentang wanita ini karena banyak dari mereka yang terhibur dan menjadi pasangan seksual orang terkemuka yang pengalamannya dicatat dalam buku harian pria atau dalam laporan yang ditulis orang lain Goodwin 2007:1. Sayangnya, menghitung baishunfu adalah tugas yang hampir mustahil untuk sejarawan, bahkan mereka yang bekerja pada periode data statistik modern tersedia. Dalam kasus Tokugawa Jepang, kesulitan diperbesar. Tidak ada kelengkapan, sensus negeri dan catatan penduduk dari berbagai yurisdiksi yang terpisah- pisah. Selain itu, penjaga rumah bordil yang ingin menghindari peraturan atau menghindari pajak sering berbohong tentang berapa banyak pelacur yang mereka pekerjakan. Ibukota keshogunan Edo atau sekarang Tokyo memiliki Universitas Sumatera Utara 22 sekitar satu juta penduduk dipertengahan abad ke-19, sekitar 60 persen diantaranya adalah rakyat jelata. Daftar penduduk dipertengahan tahun 1840-an sebanyak tujuh ribu yujo di Yoshiwara dan sekitar seribu pelayan gadis meshimori onna di stasiun posting dipinggiran kota, menghasilkan sekitar delapan ribu baishunfu resmi diakui. Mengenal baishun pada zaman Edo tidak terlepas dari Yoshiwara. Yoshiwara adalah rumah bordil yang paling terkenal di Zaman Edo. Pada tahun 1612 pengusaha sebuah rumah bordil yang bernama Jin’emon mengajukan petisi kepada keshogunan Tokugawa meminta pemerintah baru untuk mengenali bisnis dan memberinya sebidang tanah dimana ia dan rekan-rekannya bisa menjalankan perdagangan mereka. Dia menyusun penjelasannya dengan hati- hati. Ketika rekan- rekannya telah mengajukan petisi ke shogun untuk diakui sebagai serikat pada tahun 1605, para hakim telah menjawab bahwa mereka tidak melihat alasan untuk memperpanjang hak-hak istimewa untuk pengusaha rumah bordil. Kali ini Jin’emon ingin memastikan bahwa permintaannya akan dipertimbangkan , sehingga ia mengajukan banding terhadap kepentingan keshogunan dalam melestarikan tatanan sosial dan politik. Pertama, dia mengambil stok situasi di pertumbuhan kota benteng, yang memiliki peningkatan pesat dan populasi didominasi oleh kaum laki-laki. Ini telah menciptakan permintaan yang kuat terhadap jasa seks, yang pengusaha rumah bordil bersemangat menyediakannya. Tapi, perdagangan seks yang tidak diatur menyebabkan sejumlah masalah, yang dipastikan Jin’emon untuk menguraikan secara rinci; gadis-gadis muda dari keluarga “baik” bisa diculik dan dijual kerumah bordil, samurai bisa merencanakan pemberontakan di apartemen pribadi pelacur, dan pedagang Universitas Sumatera Utara 23 magang bisa menghamburkan- hamburkan upah mereka dengan pesta pora bersama wanita. Setelah menekankan bahaya meninggalkan pasar yang berkembang tidak diat ur, Jin’emon mengusulkan solusi: jika shogun memberinya sebidang tanah dan monopoli pada perdagangan seks, dia akan menjamin menahan bahaya ini. Sebagai gambaran etikad baik, pemilik bordil akan membatasi operasi mereka yang baru dibuat “kuartal kesenangan” dimana mereka akan merekam datang dan perginya pelanggan dan melaporkan kegiatan yang mencurigakan. Permintaan Jin’emon bukan tanpa presenden, pada tahun 1589, 2 samurai tidak bertuan ronin telah mengajukan proposal yang mirip kepada Hideyoshi yang menguasai ibukota Kyoto, dan Hideyoshi memberikan mereka sebuah hadiah menguntungkan yakni tanah dipusat kota, Jin’emon mengharapkan penyelesaian serupa di Edo. Setelah menunggu jawaban selama 5 tahun, akhirnya pada tahun 1617 pemerintah memberikan permintaannya, memberikannya sebidang tanah yang nyaman tapi berawa di pinggiran kota. Menjelaskan bahwa hadiah itu bergantung pada tawaran Jin’emon membatasi kekacauan yang terkait dengan baishun. Shogun menegaskan bahwa pemilik bordil harus mematuhi peraturan sumtuary, tindakan memantau pelanggan, dan melarang perempuan mereka untuk bekerja di luar kabupaten Stanley 2012:45-46. Selama periode Tokugawa 1600-1868 sebagian besar dari produksi budaya dikelilingi perdagangan seks, membuat kesenangan membayangkan bordil diakses oleh khalayak luas. Baishun tidak hanya lembaga sosial yang memungkinkan orang untuk menikmati seksual dan estetika hiburan; itu juga bisnis yang bergantung pada tenaga kerja perempuan miskin. Dalam hal ini, dampak ekonomi sangat besar. Karena baishun tidak menciptakan produk yang Universitas Sumatera Utara 24 nyata, tidak ada bal beras, gulungan sutera, tas garam, atau baut kain katun untuk dihitung sebagai ruang lingkup. Sebaliknya, pengaruh harus diukur dalam jangkauan geografis dan jumlah perempuan yang bekerja Stanley 2012:1. Pada zaman feodal, kaum petani yang berekonomi rendah menyebabkan penyakit sosial. Untuk bertahan hidup, para petani dan nelayan miskin menjual anak gadisnya ke agen dengan dalih adopsi untuk dijadikan geisha, bahkan pelacur. Praktik penjualan anak gadis merupakan suatu hal yang lumrah sejak abad empat belas, dan menjadi semakin intensif sejak industri Jepang mulai berkembang pada abad ke sembilan belas. Seperti yang dinyatakan Sheldon Garon dalam Wulandari bahwa, praktik penjualan anak perempuan menjadi suatu hal yang biasa di kalangan petani- petani miskin yang tidak dapat memberi makan anak- anaknya. Akibatnya terjadi ledakan populasi urban buruh di kota-kota, diikuti dengan tumbuhnya rumah- rumah pelacur di pusat- pusat industri. Tidak hanya kemiskinan yang menjadi alasan adanya baishun dimasa feodal Jepang. Banyak faktor yang menunjukkan bahwa kondisi ini didukung oleh sufficient condition berupa kondisi sosial dan kultural. Pertanyaan “bagaimana” sangat penting dikemukakan, terutama untuk mengungkap sufficient condition yang antara lain berupa penculikan, perdagangan manusia, dan perbudakan terselubung. Dua unsur pertama banyak dilakukan oleh para perantara atau broker di kampung halaman dan di wilayah atau pelabuhan transit, dan unsur ketiga banyak dilakukan oleh para mucikari yang menjadi oyakata majikan atau oleh “tuan””suami” mereka ketika menjadi istri simpanan. Universitas Sumatera Utara 25 Pada masa pemerintahan Meiji, banyak terjadi imigrasi masyarakat Jepang ke negara- negara lain. Menurut Yano dalam Pangastoeti, pada zaman Meiji 1868-1962, untuk mendukung program utama yang disebut fukoku kyoohei negara kaya militer kuat, pemerintah Jepang menekankan pembangunan sektor industri dan hubungan dengan negara- negara barat. Asia selain Cina bukanlah wilayah yang diangga penting karena banyak yang sedang dalam penguasaan negara- negara barat. Namun tidak berarti sama sekali tidak ada orang Jepang yang melakukan kontak dengan negara Asia, dan pemerintah Meiji pun sebenarnya mengakui hal ini Pangastoeti 2009:138. Dengan program terbukanya Jepang terhadap negara- negara luar, maka semakin banyak para pemuda pergi ke barat untuk belajar tentang barat. Dimulai dari utusan Iwakura Tomoni, pemuda- pemuda lain terutama dari golongan elit banyak yang keluar negeri untuk belajar. Namun, ada pula orang-orang dari kalangan rakyat biasa yang pergi ke luar negeri dengan tujuan mencari penghidupan yang lebih baik Wulandari 2013:74. Kalangan rakyat biasa yang pergi keluar negeri pekerjaannya tidak jauh berbeda dengan saat di Jepang itu sendiri. Sebagai contoh, di Indonesia pada tahun Meiji 30 1897 terdapat 125 orang Jepang yang terdiri dari 25 orang laki- laki dan 100 orang perempuan. Sementara itu, menurut survei dari konsulat Jepang di Indonesia, pada tahun Meiji 40 1909 terdapat 614 orang Jepang, terdiri dari 166 orang laki-laki dan 448 orang perempuan. Mereka terlibat dalam aktivitas pertanian, perikanan, perdagangan, dan juga dalam improper trades seperti baishun dan usaha rumah-rumah bordil Pangastoeti 2009:137-138. Universitas Sumatera Utara 26 Pada tahun 1887, diketahui lebih dari 100 pelacur Jepang di Singapura. Selama tahun 1889, Badan legeslatif, badan lokal administrasi Inggrris yang mengurus masalah permukiman di sekitar Selat malaka, telah mengeluarkan 104 izin kepada pelacur Jepang untuk beroperasi. Dengan demikian, baishun di rumah bordil adalah industri Jepang yang paling aktif secara ekonomi di kawasan Asia Tenggara pada pergantian abad ke-20 Wulandari 2013:81. Para pelacur Jepang yang ada di luar negeri ini karayuki-san mengirim penghasilan yang mereka terima dari bisnis mereka kekampung halamannya, artinya mereka turut membangun ekonomi Jepang pada saat itu. Peranan yang mereka mainkan, diakui atau tidak dikatakan luar biasa dalam pertumbuhan ekonomi negara Wulandari 2013:89. Muraoka Iheiji, seorang mucikari besar ingat bahwa karayuki-san asuhannya telah mengirim uang kerumah sekitar 600.000 yen per tahun pada awal 1890-an. Pada tahun 1900, kantor pos Nagasaki telah melaporkan penerimaan lebih dari 200.000 yen per tahun dari karayuki-san di Asia Tenggara. Hal yang sama diakui juga oleh seorang pemikir Jepang terkemuka pada masa Meiji, Fukuzawa Yukichi. Ia menulis bahwa perempuan Jepang yang pergi keluar negeri untuk mencari uang, agar diakui secara resmi migrasinya keluar negeri telah memperkaya ekonomi negara. Selanjutnya ia mengatakan bahwa migrasi keluar negeri adalah jalan keluar untuk mengatasi kemiskinan didalam negeri, karena selam dua dekade abad dua puluh ekonomi Jepang belum cukup kuat untuk bersaing dengan kekuatan barat, dan belum dapat menyerap kelebihan populasi di wilayah pedesaan Wulandari 2013:86. Universitas Sumatera Utara 27 Pada masa perang dunia I dan perang dunia II, kehidupan para pelacur Jepang termasuk dalam periode vakum. Perempuan Jepang dipaksa bekerja di pabrik bidang industrialisasi untuk membantu perang. Mengenai kehidupan seks para tentara Jepang, mereka membuat kata wanita kesenangan, yakni wanita yang secara sukarela memberikan seks kepada tentara Jepang. Namun, dalam faktanya wanita kesenangan itu adalah korban dari kejahatan perang. Mereka dipaksa untuk melayani kebutuhan seks para tentara Jepang, para wanita ini diculik dan diperkosa oleh tentara Jepang. Setelah kekalahan Jepang dalam perang dunia II, Jepang diduduki oleh Amerika kurang lebih selama tujuh tahun Agustus 1945 sampai April 1952. Pada awal 1933, militer Jepang di luar negeri beralih ke metode yang lebih otoriter untuk mengatur layanan seksual yang juga mengandung penyakit. Mereka mendirikan yang mereka kenal dengan “stasiun kenyamanan” yang pada k enyataannya menjadi situs perbudakan seksual Kovner 2012:21. “Stasiun kenyamanan” dibangun karena terjadinya pemerkosaan warga sipil cina yang pertama terjadi pada insiden Shanghai 1932 dan skala yang lebih besar pada perang habis-habisan 1937. Pengalaman di luar negeri ini menyebabkan para pejabat Jepang takut bahwa pasukan pendudukan akan terlibat dalam pemerkosaan massal perempuan Jepang, sehingga mereka mengambil keputusan untuk mengatur “stasiun kenyamanan” bagi tentara Amerika Kovner 2012:22. Didukung oleh banyaknya penyakit yang disebabkan baishun Jepang dan didorongnya kesadaran akan kemunduran moral akibat adanya baishun oleh aktivis Kristen di Jepang, maka pada tanggal 21 Mei 1956 pemerintah Jepang Universitas Sumatera Utara 28 mengeluarkan undang-undang anti baishun. Hal ini sesuai dengan tujuan dari undang- undang anti baishun Jepang pada pasal yang ke-1, yakni mengingat fakta bahwa baishun merusak martabat manusia, merusak moral seks, dan merusak akhlak yang baik dari masyarakat, untuk mencegah baishun dengan tindakan hukum, dll. Mempromosikan baishun dan pada saat yang sama dengan mengambil langkah- langkah untuk bimbingan sifat, perlindungan dan rehabilitasi perempuan seperti yang ditangkap dari karakter mereka dan perilaku dan lingkungan melacurkan Wakabayashi 2003:164. Banyak yang percaya alasan utama perempuan beralih ke baishun adalah “kemiskinan”. Namun, pada tahun 1986 dan tahun 1997 survei pemerintah menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen pelacur Jepang berasal dari kelas menengah Wakabayashi 2003:152. Tingkat konsumerisme penduduk Jepang pada saat itu sangat tinggi. Keinginan para wanita Jepang untuk memiliki barang- barang mewah tidak sesuai dengan upah gaji yang didapatnya dari pekerjaan. Ada perbedaan kekuatan ekonomi yang signifikan antara pria dan wanita di Jepang. Pada tahun 2002, upah rata-rata wanita adalah 66,5 persen dari upah rata-rata pria Wakabayashi 2003:152. Baishun akibat konsumerisme juga terjadi di kalangan siswi Jepang. Sebagai contoh, yang ditulis Kuronuma Katsushi dalam Liska, Yumi dan Sawako berusia 15 tahun dan merupakan siswi tahun ke-3 sekolah menengah pertama di suatu sekolah katholik khusus putri di Tokyo. Ayah Yumi adalah seorang lulusan sekolah hukum dan bekerja sebagai pegawai diperusahaan besar, sedangkan ayah Sawako adalah seorang insinyur. Yumi dan Sawako setiap bulan menerima Universitas Sumatera Utara 29 20.000 yen. Namun, menurut mereka uang saku tersebut tidak cukup memenuhi semua kebutuhan mereka, termasuk untuk pergi bermain serta berbelanja pakaian dan alat rias. Melalui setiap transaksi enjokosai mereka bisa mendapatkan minimal 50.000 yen. Sedangkan dalam kondisi terbaik, mereka bisa melakukan enjokosai tiga kali dalam sehari, sehingga dalam sebulan mereka dapat mengumpulkan sekitar 400.000- 500.000 yen Liska 2011:65. Baishun di Jepang sekarang dipenuhi oleh orang-orang luar negeri, kebanyakan negeri-negeri yang sedang berkembang. Seperti yang disebutkan dalam bangkok post 25 desember 2013, The Polaris Project, sebuah organisasi non-pemerintah, memperkirakan bahwa ada sampai 54.000 korban perdagangan manusia yang dibeli dan dijual di Jepang setiap tahun. Laporan tersebut menyoroti kasus-kasus dimana perempuan dari Filipina, Thailand, dan korea selatan diperdagangkan ke Jepang untuk bekerja di Industri baishun. Kutipan dalam Deutsche Wele 1 desember 2007, juga menerangkan bahwa wanita asal Filipina yang bekerja di industri baishun Jepang mengirim sekitar 100 juta dolar pertahun kembali kekeluarga mereka. Hal ini menunjukkan betapa besar penghasilan yang diterima Jepang dari industri baishun. Menurut berbagai laporan pendapat, diperkirakan industri baishun di Jepang menghasilkan 24 miliar dolar 2,3 triliun yen pertahun Japan Times, 29 april 2007. Universitas Sumatera Utara 30 BAB III PERUBAHAN BENTUK BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG

3.1 Bentuk-bentuk Baishun dalam Sejarah Jepang