Kemiskinan dikalangan Petani Kebijakan Pemerintah yang Mempengaruhi Baishun

11 buy a body. This has taken the onus offwomen initiating the exchange of sex for money Chalmers 2002:93. Terjemahan Kata untuk prostitusi, baishun, berarti menjual tubuh seseorang makna harafiah shun adalah musim semi dan metaforit dari gadis yang boleh kawin telah diubah kepengucapan yang sama tetapi yang memakai awal kanji yang berbeda yang berarti membeli tubuh. Ini ditujukan untuk perempuan yang memulai pertukaran seks untuk uang Chalmers 2002:93.

2.2 Kebijakan Pemerintah yang Mempengaruhi Baishun

2.2.1 Kemiskinan dikalangan Petani

Kemiskinan adalah salah satu penyebab munculnya baishun. Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan hidup membuat perempuan memilih jalan dengan menjual tubuh mereka. Di zaman feodal Jepang banyak orang tua menjual anak perempuan mereka demi memenuhi kebutuhan keluarga. Penjualan anak perempuan ini dilazimkan karena Jepang menganut sistem patriarkhi yang memiliki landasan legal konfusianis seperti yang dijalankan masyarakat pada zaman Tokugawa, membuat kaum perempuan terpinggirkan dan menjadi warga masyarakat kelas dua Wulandari 2013:79. Sebelum zaman Meiji, yaitu pada zaman Tokugawa 1603-1868, pemerinta menggolongkan masyarakat kedalam kelas shi-no-ko-sho yaitu bushi militer, noomin petani, kosakunin tukang, dan shoonin pedagang. Saat itu jumlah kaum bushi sekitar 7, petani 84, tukang dan pedagang 6, sisanya adalah kelompok diluar keempat golongan itu, misalnya para pendeta, kaum ninggrat, dan golongan yang dianggap sangat bawah seperti para penjaga kubur Universitas Sumatera Utara 12 dan penyembelih binatang. Jumlah mereka yang besar seharusnya juga menguntungkan, tetapi secara politik kedudukan mereka ternyata lemah, karena pemerintahan dikuasai oleh kaum militer dengan shogun sebagai pemimpin tertinggi. Petani dibebani pajak tahunan nengu berupa hasil panen yang besarnya 50-60 dari hasil panen, bahkan beberapa han wilayah kekuasaan para tuan tanahdaimyo ada yang mencapai 70. Ini berarti bagian yang harus diserahkan kepada pemerinta sebagai pajak dapat mencapai lebih dari setengah hasil panen secara keseluruhan. Sisanya yang kurang dari setengahnya digunakan untuk kebutuhan keluarga. Akibat kebijakan ini, kaum petani yang merupakan mayoritas penduduk, termasuk di daerah asal karayuki-san yaitu Amakusha dan Shimabara tetap hidup dalam kemiskinan Pangastoeti 2009:141. Pada zaman Edo, pemerintahan Tokugawa mengeluarkan kebijakan politik sankin koutai. Sankin koutai adalah kebijakan yang mewajibkan bahwa daimyo shimpan dan fudai untuk tinggal di Edo selang 6 bulan. Sedangkan bagi Tozama Daimyo diwajibkan tinggal di Edo selang setahun. Kewajiban inilah yang memperberat ekonomi wilayah, karena biaya hidup rombongan tuan mereka untuk tinggal di Edo harus diantar oleh anak buah mereka Situmorang 2011:89. Keramaian jalan lintas antar kota lain ke Edo melahirkan bisnis- bisnis pingir jalan yang salah satunya juga baishun. Tempat –tempat itu digunakan sebagai peristirahatan rombongan daimyo dalam perjalanan ke Edo dan akan mengeluarkan uang lebih lagi untuk persinggahan tersebut. Untuk menutupi biaya tersebut pemerintah menaikkan pajak bagi petani. Universitas Sumatera Utara 13 Para rentenir kemudian memanfaatkan keadaan kaum petani yang miskin. Mereka merekrut anak perempuan petani untuk menjadi pelacur dengan mengatur kedatangan perekrutan. Mereka datang bertepatan ketika petani lokal sangat miskin: awal musim semi ketika toko-toko makanan yang menipis dan akhir musim panas ketika pembayaran pajak yang jatuh tempo. Memasuki zaman Meiji 1868-1912, kondisi petani tidak banyak berubah. Modernisasi yang dilakukan oleh pemerinta Meiji lebih diarahkan untuk mencapai sasaran fukoku kyoohei negara kaya, militer kuat. Dalam masa modernisasi yang ditandai oleh perkembangan industri ini, pemerintah memang berusaha juga untuk memperhatikan para petani dengan memperbaiki peraturan pajak chiso kaisei dari hasil panen menjadi uang tunai sebesar 3 dari harga tanah dan membebankan pajak ini kepada pemilik tanah jinushi. Namun, para pemilik tanah melemparkan tanggung jawab ini kepata petani penggarap kosakunin dengan memaksa mereka untuk menyerahkan lebih dari 60 hasil panennya kepada pemilik tanah. Kondisi ini akhirnya menyebabkan banyak petani meninggalkan lahan garapan mereka, kemudian pergi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Kepergian mereka selain dibebani kewajiban untuk menghidupi diri sendiri juga harus menanggung keluarganya di kampung, sehingga di kota pun mereka harus bekerja keras. Namun selain bertani, mereka tidak mempunyai keterampilan lain. Bagi laki-laki memang dapat bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisiknya, tetapi bagi perempuan kesempatan yang tersedia hanya menjadi buruh di pabrik pemintalan dan menjadi pelacur. Di pabrik pemintalan pun upahnya kecil, sehingga mereka yang harus menanggung keluarga Universitas Sumatera Utara 14 di kampung tidak mempunyai pilihan lain selain menjadi pelacur Pangastoeti 2009:141.

2.2.2 Pembentukan Yukaku