Perubahan Bentuk Baishun Dalam Sejarah Jepang

(1)

PERUBAHAN BENTUK BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG

NIHON NO REKISHI NI BAISHUN NO HENKEI SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat

Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh : JEFRY SITEPU

100708064

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

PERUBAHAN BENTUK BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG

NIHON NO REKISHI NI BAISHUN NO HENKEI SKRIPSI

Skripsi ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk Melengkapi Salah Satu Syarat

Ujian Sarjana dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh : JEFRY SITEPU

100708064

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. Drs. Amin Sihombing NIP : 19580704 1984 12 1 001 NIP : 19600403 1991 03 1 001

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

Disetujui oleh :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Medan, Oktober 2014 Departemen Sastra Jepang Ketua,

Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum NIP : 19600919 1988 03 1 001


(4)

PENGESAHAN Diterima Oleh :

Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang Pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

Pada Hari : Tanggal : Pukul :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dekan,

Dr. Syahron Lubis, M.A NIP. 19511013 1976 03 1 001

Panitia Ujian:

No. Nama Tanda Tangan

1.

2.


(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa menyertai penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini guna memperoleh gelar Sarjana Sastra di Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Adapun yang menjadi judul skripsi ini

adalah “PERUBAHAN BENTUK BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG”.

Selama proses penelitian dan penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan baik moril, materi dan ide dari berbagai pihak. Oleh sebab itu pada kesempatan kali ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih, penghargaan dan penghormatan kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdyana, M.Hum, selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S., Ph.D. selaku Pembimbing I, yang selalu memberikan waktu dan pemikirannya dalam membimbing, mengarahkan serta memberikan saran – saran kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini hingga selesai.

4. Bapak Drs. Amin Sihombing selaku Pembimbing II, yang selalu memberikan waktu dan tenaga sedemikian besarnya untuk membimbing, memeriksa serta memberikan saran – saran kepada penulis dalam rangka penyempurnaan skripsi ini hingga selesai.


(6)

5. Bapak dan Ibu dosen, serta Staf Pegawai di Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang dengan penuh kesabaran telah memberikan ilmu yang berguna bagi penulis serta dukungan dalam menyelesaian skripsi ini.

6. Terima kasih yang tidak terhingga kepada ayahanda Jaripin Sitepu dan ibunda Anna Heppy Girsang yang selalu memberi dukungan baik moril maupun materil dan selalu mendoakan sampai penulis dapat menyelesaikan studinya dan dapat menyelesaikan skripsi ini. Dan juga kepada adik-adikku tersayang Rismian Sitepu dan Putrian sitepu yang telah mendukung dan senantiasa memberikan semangat kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan studinya.

7. Seluruh keluarga besar penulis yang telah memberikan dukungan dalam segala hal sampai berakhirnya studi ini.

8. Seluruh abang-abang 2008 dan 2009, Jono SS, Lono SS, Mars Alfredo Silaen SS, Febro Star SS, Riko Ananda Putra SS, Nugraha Alimurty, dan senior- senior lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang selalu senantiasa memberikan dorongan dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Seluruh rekan-rekan seperjuangan Sastra Jepang 2010, Onesi Banjar nahor, Baim Iki, Ridho Handoko, Budi Setiawan, Rauf Mazarie, Pandi Steel,

Ferdian Liem, Tira Mahardika, M. Risky, Barry, Freico “Cico”, Dila,

Pedro, Liska, Echa, Dian, Chusam, Putti, dan rekan- rekan stambuk 2010 lainnya yang selalu mengingatkan dan memberi semangat penulis agar segera menyelesaikan skripsi ini.


(7)

10.Serta kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu – persatu, yang telah memberikan bantuan sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Hanya Tuhan yang dapat membalas kebaikan anda semua.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari isi maupun uraiannya. Oleh karena itu, penulis mengharapkan masukan kritik dan saran yang membangun. Akhir kata, semoga skripsi ini nantinya dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis, pembaca khususnya mahasiswa/ mahasiswi Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera lainnya.

Medan, Desember 2014 Penulis,


(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ...1

1.2 Rumusan Masalah ...5

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan ...6

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori ...6

1.4.1 Tinjauan Pustaka ...6

1.4.2 Kerangka Teori ...7

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...8

1.5.1 Tujuan ...8

1.5.2 Manfaat Penelitian...8

1.6 Metode Penelitian ...9

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG 2.1Definisi Baishun ...10

2.2Kebijakan Pemerintah yang Mempengarui Baishun ...11

2.2.1 Kemiskinan dikalangan Petani ...11

2.2.2 Pembentukan Yukaku ...14

2.2.3 Pembentukan Rumah Bordil Pasca Perang Dunia II ...17

2.2.4 Pengesahan Undang-undang anti baishun (売 春 防止 法, ba ishun boushi hou) ...18


(9)

2.3Ba ishun dalam Sejarah Jepang ...21

BAB III PERUBAHAN BENTUK BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG 3.1 Bentuk-bentuk Baishun dalam sejarah Jepang ...30

3.1.1 Baishun Tradisional...30

3.1.2 Karayuki-san ...34

3.1.3 Baishun Masa Pasca Perang Dunia II ...35

3.1.4 Baishun Setelah Disahkannya Undang-Undang Anti Baishun di Jepang ...36

3.2 Penyebab perubahan bentuk Baishun di Jepang ...40

3.2.1 Penyebab Munculnya Baishun Tradisional Jepang ...40

3.2.2 Penyebab Munculnya Karayuki-san ...42

3.2.3 Penyebab Munculnya Baishun Pada Masa Perang Dunia ke II .45 3.2.4 Penyebab Munculnya Baishun Setelah Disahkannya Undang-Undang Anti Baishun di Jepang ...46

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ...51

4.2 Saran ...53 DAFTAR PUSTAKA


(10)

ABSTRAK

PERUBAHAN BENTUK BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG

Pelacuran adalah adaptasi kebudayaan yang salah digunakan oleh manusia dalam kehidupan mereka. Pelacuran berkembang mengikuti budaya tiap zaman. Di Jepang pelacuran sangat berkembang. Pelacuran dalam bahasa Jepang modern adalah Baishun. Baishun terdiri dari dua kanji, yakni bai (売) dan shun (春). Secara harafiah arti baishun adalah menjual pemuda.

Awal pelacuran di Jepang bekedok budaya. Dari zaman Nara sampai zaman feodal Edo, tidak terdapat hukum yang mengatur baishun. Peraturan tentang baishun mulai muncul pada akhir pemerintahan Toyotomi Hideyoshi, peraturan tersebut membatasi ruang baishunfu, tetapi tidak membatasi jumlahnya. Toyotomi Hideyoshi membangun sebuah daerah khusus baishun, yakni Shinamachi yukaku dan Shimabara yukaku. Pada periode berikutnya, Tokugawa membangun Yoshiwara yukaku. Alasan utama banyaknya jumlah baishunfu pada masa itu adalah kemiskinan. Banyak kebijakan pemerintah yang memojokkan kaum petani. Petani dibebani pajak yang tinggi sehingga rela menjual anak perempuan mereka untuk melunasi pajak dan mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Pada zaman Meiji, pemerintah mulai melarang kegiatan baishun. Banyak tempat berlisensi ditutup. Namun, baishun swasta tidak dilarang karena alasan kemauan diri sendiri. Karena tidak mempunyai pekerjaan, banyak mantan ba ishunfu berlisensi beralih ke baishunfu swasta untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Pada zaman Meiji Jepang membuka diri terhadap dunia luar.


(11)

Masyarakat Jepang dibebaskan keluar-masuk Jepang. Hal ini menyebabkan kesempatan menjual diri keluar negeri. Perempuan Jepang yang menjual diri ke luar negeri pada masa itu lazim disebut san. Penyebab utama karayuki-sa n juga karena kemiskinan. Perempuan Jepang melirik keluar negeri karena pada waktu itu negara-negara luar negeri lebih makmur dari Jepang. Jepang mulai dikenal dunia setelah ikut menang dalam perang dunia I. Atas desakan organisasi penolakan baishun, Jepang memulangkan wanita-wanita yang menjadi kar ayuki-sa n dari luar negeri.

Pada akhir perang dunia II jepang mengalami kekalahan. Hancurnya beberapa kota besar menyebabkan kelumpuhan total bidang ekonomi Jepang. Masyarakat menderita kemiskinan yang parah. Akhir perang dunia II Jepang diduduki Amerika dengan pimpinan jendral MacArthur. Karena takut akan masa lalu jepang yang membuat perbudakan seks di negara jajahannya, Jepang menyediakan tempat untuk melayani nafsu tentara Amerika. Kebijakan pemerintah ini memberikan pilihan bagi perempuan Jepang untuk menjadi ba ishunfu. Pada masa ini, selain baishunfu berlisensi ada pula baishunfu jalanan (pa n-pan). Banyaknya penyakit kelamin yang disebabkan baishunfu Jepang ini membuat jendral MacArthur melarang baishun. Bersama- sama dengan organisasi penolakan baishun, MacArthur mempelopori undang-undang anti baishun. Akhirnya pada tanggal 21 mei 1956 disahhkanlah undang-undang anti baishun dan mulai berlaku pada 1 April 1957.

Setelah disahkannya undang-undang anti baishun, baishun tetap berkembang di Jepang. Banyak kelonggaran dalam undang- undang tersebut.


(12)

Industri seks berkembang sangat pesat di Jepang memanfaatkan kelonggaran undang-undang anti baishun tersebut. Alasan utama untuk memasuki baishun pada masa ini bukan lagi kemiskinan, melainkan konsumerisme yang tinggi dikalangan perempuan Jepang. Perempuan ingin memiliki barang-barang luar negeri yang mahal, namun mereka tidak memiliki uang. Mereka kemudian menjadi baishunfu untuk bisa memiliki barang mahal tersebut. Pada zaman modern ini banyak perempuan non-Jepang yang bekerja sebagai baishunfu. Mereka biasanya berasal dari negara-negara berkembang. Mereka biasanya berangkat dengan sukarela, namun ada juga dari mereka adalah korban penipuan. Menurut Japan Times 29 april 2007, industri seks Jepang dapat menghasilkan 24 miliar dollar per tahun.


(13)

要 旨

日 本 歴史 売 春 変形

淫 売 人間 生活 間 遊い使 用さ 文 化 適応 あ 淫売 各

時 代 文化 い 発遉 淫売 日 本語 現代 的 売 春 言わ

売 春 売 春 漢字 作 直訳的 売 春 若 者

売 意味

始 日本 売 春 文化 奈 良時代 江戸封 時

代 売春 整え 規則 い 売 春 規則 豊臣 政治 時代 終わ

現 そ 規則 売春 婦 場 所 制限 数 い 豊臣

島原 く 階町 く い う特 別 所 次 政治 徳川

原 く い う所 そ 時 代 売 春婦 く さ 一番 原因

貧乏 あ 政府 決 定 農 民 負わせ 農民 高い 税金 負わ

せ 日曜生 活 需要 満 税 金 払 う 女 子 売

許 可

明 治時 代 政府 売 春 禁 始 特別 所 くさ 閉

立 売春 禁 い 仕 く 日 常生活 需

要 満 特別 売春 婦 立 売春婦 変 わ 多い 明治

時 代 日本 鎖国 破 日 本社会 日 本 出 入

外 国へ 売春 機会 開 外 国へ 自分 売 い 日本


(14)

因 貧 乏 あ 日 本女 性 外 国 日本 発 遉 外 国へ

売 春 日本 第一 次世 界大戦 い 勝 あ 世界 知

始 売春拒 絶連 対 日本 外 国 ーさ

い 女性 遉 帰 せ

第 次 世界大 戦 終わ 日 本 負 数 大都市 破 壊さ

日 本 経済 全く 止 う 社会 貧乏 第 次 世界大 戦

終 わ 日 本 アメ カ MacArthur 大 将 握 い 日 本

ア メ カ 軍 人 欲情 満足 特別 所 準備 政 府

決 定 日本 女性 売春 婦 機会 あ 時 代 特別 売

春 婦以 外 パ ンー パン いう 売春婦 あ 日 本 売春府 性 病 多 く

結局 MacArthur 大 将 売 春 禁 MacArthur 売 春 拒絶 連

い 反売 春 法 律 作 結局 五月 十 一日一 九五 六年 反売

春 法律 批准 さ 五月 一日一 九五七 年 適 用 始

反 売春 法律 批 准さ あ 売春 日 本 発 遉 そ

法律 弱 多 い そ 反 売春法 律 弱 日 本 水 商売 急速 発

遉 売春 入 一番 原 因 貧 乏 わ く 消費 生活 日本 女性

あ 日本 女性 金 い 値段 高 い外国 品 欲

そ そ 外 国品 買え う 売 春婦 う 現代 売春

婦 外 国女 性 多 い 発 遉 国 来 ふ う 自分


(15)

十九 日 千 七年 日本 水商 売 一 年間 十 四十 億米ド 得


(16)

BAB I

PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang Masalah

Manusia adalah mahluk sosial yang dalam kesehariannya berinteraksi dengan sesamanya dengan menghasilkan apa yang disebut dengan peradaban. Semenjak terciptanya peradaban dan seiring dengan terus berkembangnya peradaban tersebut, melahirkan berbagai macam bentuk kebudayaan.

Ienaga Saburo dalam Situmorang (2009:2) membedakan pengertian kebudayaan (bunka) dalam arti luas dan arti sempit. Dalam arti luas kebudayaan adalah seluruh cara hidup manusia. Dia juga menjelaskan bahwa kebuadayaan ialah keseluruhan hal yang bukan alamiah. Misalanya ikan adalah suatu benda alamiah, tetapi dalam suatu masyarakat ikan tersebut dibakar atau ikan pepes atau shashimi tersebut adalah kebudayaan.

Sedangkan pengertian kebudayaan dalam arti sempit menurut Ienaga adalah terdiri dari ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan dan seni. Oleh karena itu di sini Ienaga mengatakan kebudayaann dalam arti luas adalah segala sesuatu yang bersifat konkrit yang diolah manusia untuk memenuhi kebutuhannya. Sedangkan kebudayaan dalam arti sempit adalah sama dengan pengertian budaya yang diuraikan diatas. Yaitu kebudayaan dalam arti sempit menurut Ienaga Saburo adalah sama dengan budaya yang berisikan sesuatu yang tidak ketara atau yang bersifat semiotik.

Sehingga dapat ditarik suatu pengertian yaitu kebudayaan adalah segala hasil karya cipta dan gagasan manusia yang mengalami suatu proses adaptasi sehingga menciptakan suatu sistem dalam masyarakat, baik itu berupa ilmu


(17)

pengetahuan, nilai, norma dan juga sistem kepercayaan di dalam kehidupan masyarakat.

Pelacuran adalah adaptasi dari kebudayaan yang salah digunakan oleh manusia dalam kehidupan mereka. Terlihat jelas dalam sejarah perkembangan pelacuran yang bersanding erat dengan kepercayaan keagamaan. Ada istilah

“pelacur kuil” (temple prostitues). pelacuran model ini ditemukan pada kebudayaan zaman Babilonia, Mesir Kuno, Palestina Kuno, Yunani, dan Romawi. Para pelacur ini berkeliaran dijalan-jalan dan dikedai-kedai minuman, mencari mangsa laki-laki. Kemudian, penghasilannya diserahkan kepada para pendeta untuk membantu pembangunan kuil. (Ihsan 2004:130)

Bonger dalam bukunya yang berjudul Versprede Gerchiften mengatakan bahwa

Prostitutie het ma a tsha pelijke vershijnsel da t vrowen zich beroepsma tig tot hel plegen va n sexuele ha ndelingen.

Terjemahan :

Pelacuran adalah gejala sosial, dimana wanita menyediakan dirinya untuk perbuatan sexual sebagai mata pencahariannya.

Commenge dalam Soedjono (1977) pelacuran adalah suatu kegiatan dimana seorang wanita memperdagangkan atau menjual tubuhnya, untuk memperoleh pembayaran dari laki-laki yang datang membayarnya dan wanita tersebut tidak ada matapencaharian nafkah lain dalam hidupnya kecuali yang diperoleh dengan melakukan hubungan sebentar-sebentar dengan banyak orang.


(18)

Pelacuran dalam bahasa Jepang disebut baishun (売春). Baishun berasal dari kanji menjual (売) dan kanji musim semi (春), yang dalam arti harafiah berarti menjual pemuda. Baishun mengalami perubahan bentuk disetiap zamannya.

Sejarah Jepang terbagi dari beberapa zaman, zaman awal sejarah Jepang dimulai dari adanya pemerintahan di Jepang. Zaman Nara adalah zaman awal sejara Jepang. Di Zaman Nara juga mulai muncul baishun yang berkedok pementasan budaya. Kemudian dikarenakan tidak terkontrolnya jumlah baishun di jalanan kota, pemerintahan Toyotomi Hideyoshi membangun yukaku pertama di Osaka dan Kyoto, dan pada masa pemerintahan Tokugawa, yoshiwara yukaku dibangun di Edo.

Kemiskinan adalah alasan yang utama di Jepang pada masa feodal sampai pasca perang dunia ke II untuk masuk kedalam baishun. Banyak kaum petani yang menjual anak perempuan mereka ke yukaku demi mencukupi kebutuhan keluarga. Hal ini dimaklumi karena Jepang menganut sistem patriarkhi yang menomorduakan kehidupan perempuan sebagai warga masyarakat.

Pada tahun 1945 Jepang kalah dalam perang dunia II. Beberapa kota besar Jepang hancur oleh bom atom yang menyebabkan kelumpuhan ekonomi total di Jepang pada saat itu. Kebijakan pemerintah membangun rumah bordil yang dikususkan untuk melayani militer Amerika memberikan pilihan kepada perempuan- perempuan Jepang untuk memasuki kegiatan baishun. Mereka tidak mempunyai pilihan kerja lain kecuali menjadi baishun. Hanya lisensinya yang berbeda, apakah menjadi baishun berlisensi negara atau pan-pan (pelacur jalanan). Jepang jauh lebih pragmatis dari pada dunia barat dalam hal seksualitas. Seks tidak tabu didalam ajaran agama Shinto, dan wanita Jepang tidak diajarkan


(19)

untuk memikirkan seks sebagai hal yang menakutkan dan memalukan seperti wanita barat. Baishun mempunyai sejarah panjang di Jepang. Sampai pada tahun 1617 baishun benar-benar legal di Jepang, tetapi pada akhir tahun itu keshogunan Tokugawa mengeluarkan perintah untuk membatasi baishun ke daerah-daerah tertentu di pinggiran kota. Pada masa itu terdapat klasifikasi baishun, yojo (wanita kesenangan) dan oiran derajatnya yang tertinggi dari gadis-gadis rumah bordil yang pada dasarnya adalah budak. Oiran mulai berkurang jumlahnya dan digantikan oleh geisha pada abad 18 dan benar-benar menghilang pada tahun 1761. Pada akhir abad 18 geisha secara hukum dibedakan dari pelacur, geisha dilarang menjual seks sama sekali. Baishun Jepang juga terjadi diluar negeri yang dikenal dengan karayuki-san, dimana wanita-wanita Jepang mencari pekerjaan diluar negeri dengan melacurkan dirinya yang dimulai dari zaman Meiji. Karena ba ishun didalam negeri yang amatir dan kurang teliti tentang penggunaan kondom, tingkat penyakit kelamin dikalangan tentara Amerika melonjak. Dibawah tekanan kuat dari Amerika, pemerintah Jepang secara hukum melarang baishun untuk pertama kalinya pada tahun 1956.

Pada tanggal 21 Mei 1956 pemerintah mengesahkan undang-undang anti baishun dan berlaku pada tanggal 1 April 1957. Selanjutnya pemerintah mengambil kebijakan untuk melindungi mantan baishunfu. Pemerintah memberikan alokasi dana fiskalnya untuk membina dan melindungi mantan ba ishunfu. Undang- undang anti baishun seharusnya membuat baishun ilegal, namun pada kenyataannya undang- undang ini mempunyai banyak celah sehingga pada zaman sekarang industri seks adalah industri yang paling menguntungkan di Jepang.


(20)

Penulis memilih menganalisis perubahan bentuk baishun dalam sejarah Jepang karena penulis tertarik dengan baishun yang tetap berkembang walaupun telah diberlakukannya undang-undang anti baishun (売 春 防止法, ba ishun boushi hou) tahun 1956. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk mengambil judul “PERUBAHAN BENTUK BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG”.

1.2Rumusan Masalah

Guba dalam Moleong (2007:93) mendefinisikan masalah sebagai suatu keadaan yang bersumber dari hubungan antara 2 faktor atau lebih yang menghasilkan situasi lain yang menyeret mereka dalam hubungan yang rumit yang mereka sendiri sulit memahaminya.

Baishun adalah profesi paling tua di dunia. Disetiap negara pasti mengalami masalah terhadap adanya kegiatan baishun. Demikian pula di Jepang, negara dibagian timur yang memiliki norma-norma yang kuat dalam kehidupan bermasyarakat pastilah memiliki masalah dengan baishun (dalam bahasa Jepangnya adalah Baishun). Masalah itu yang membuat baishun berubah bentuknya dari zaman ke zaman. Penulis menggunakan teori pendekatan historis sebagai acuan untuk menganalisa perubahan bentuk baishun dalam sejarah Jepang.

Berdasarkan penguraian diatas, maka penulis mengangkat permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana bentuk-bentuk baishun dalam sejarah Jepang?


(21)

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dari permasalahan-permasalahan yang ada, perlu adanya ruang lingkup dalam pembatasan masalah tersebut. Hal ini bertujuan agar penelitian ini tidak menjadi luas dan tetap terfokus pada masalah yang ingin diteliti.

Dalam analisis ini, penulis hanya fokus pada perubahan dan penyebab perubahan bentuk baishun dalam sejarah Jepang, dan baishun yang diteliti adalah baishun dari wanita. Penulis tidak membahas budak seks yang dibentuk Jepang pada masa penjajahannya yang disebut ianfu. Penulis menganalisis penelitian ini dengan menggunakan pendekatan historis sebagai acuan.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Ketika kita mendengar masalah sosial, hal yang terngiang dipikiran kita adalah kemiskinan, waria, pelacur, anak jalanan ataupun tindakan anarkisme. (Tangdilintin 2003). Masalah merupakan suatu hambatan yang kita hadapi, jika suatu masalah tidak hanya mengancam atau meresahkan individu dan keluarga, melainkan lebih luas lagi menyangkut jumlah keluarga – keluarga yang lebih banyak, C.Weight Mills menyebutnya sebagai keresahan umum. Menurut Mills (1959) suatu masalah dapat digolongkan sebagai keresahan umum jika masalah itu telah berpengaruh secara luas dan menjadi perdebatan umum. Perbedaan antara masalah personal dengan keresahan umum menurut Mills memperlihatkan dimensi yang menjadi ciri khas masalah sosial yang dapat membedakannya dengan masalah personal. Paling tidak ada 3 dimensi yang dapat dilihat dari


(22)

penjelasan itu yang memberi ciri sosial kepada suatu masalah sehingga memenuhi kriteria sosial. Pertama, keresahan itu mencerminkan bahwa masalah itu terkait dengan kesadaran moral anggota–anggota masyarakat. Kedua, keresahan umum juga berarti bahwa dalam masyarakat itu telah mulai terbentuk persamaan presepsi terhadap ancaman yang ditimbulkan oleh adanya masalah. Masalah sosial selalu terkait dengan kestabilan dan keadaan normal masyarakat itu. Selalu terkait dengan nilai-nilai dan harapan luhur bersama masyarakat tersebut. Ketiga, adalah mulai berkembangnya kesadaran bahwa masalah ini tidak dapat diatasi sendiri– sendiri tetapi harus dilakukan dengan menggalang kerjasama diantara anggota– anggota masyarakat yang mengalaminya.

Setiap masyarakat di dunia pasti menghadapi masalah sosial. Banyak macam masalah sosial yang terjadi dimasyarakat. Masalah sosial ini terjadi diakarenakan ketidaksesuaian harapan masyarakat dengan kenyataan yang terjadi. Baishun adalah salah satu masalah sosial di masyarakat. Dan masalah sosial dalam masyarakat membuat baishun di Jepang berubah bentuknya disetiap zaman

1.4.2 Kerangka Teori

Kerangka teori menurut Koentjaraningrat (1976:1) berfungsi sebagai pendorong proses berpikir deduktif yang bergerak dari bentuk abstrak kedalam bentuk yang nyata. Dalam penelitian suatu kebudayaan masyarakat diperlukan satu atau lebih teori pendekatan yang sesuai dengan objek dan tujuan dari penelitian ini. Dalam hal ini penulis menggunakan teori pendekatan historis.


(23)

Menurut Koentjaraningrat (1976 :56) pendekatan historis adalah suatu pendekatan yang menekankan tentang pemahaman budaya masyarakat, latar belakang peristiwa sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya wujud-wujud kebudayaan serta tentang bagaimana perkembangan kehidupan penciptaan maupun kebuayaan itu sendiri pada umumnya dari zaman ke zaman. Melalui pendekatan historis ini penulis ingin memberikan gambaran dan penjelasan latar belakang perubahan bentuk baishun dalam sejarah Jepang.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan diatas, maka penulis merangkum tujuan dari penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk baishun dalam sejarah Jepang

2. Untuk mengetahui penyebab perubahan bentuk baishun dalam sejarah Jepang

1.5.2 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini:

1. Bagi peneliti dan pembaca, dapat menambah wawasan mengenai perubahan bentuk baishun dalam sejarah Jepang.

2. Bagi pembaca, dapat menambah bahan bacaan dan sumber penelitian untuk Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya.


(24)

1.6 Metode Penelitian

Dalam penelitian sangat dibutuhkan metode penelitian sebagai bahan penunjang dalam penulisan. Metode adalah cara pelaksanaan penelitian. Di dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode deskriptif analisis.

Menurut Nyoman Kutha ratna (2004:53) metode deskriptif analisi dilakukan dengan cara mendeskripsikan, dengan maksud untuk menemukan unsur-unsurnya, kemudian dianalisis, bahkan juga diperbandingkan. Di dalam metode ini, penulis tidak hanya menguraikan, namun juga memberikan pemahaman dan penjelasan.

Dalam penulisan ini, penulis menjelaskan dengan secermat mungkin apa saja yang menjadi masalah sosial yang berhubungan dengan kegiatan baishun dengan menggunakan teori yang ada. Teori tersebut adalah teori historis dan sosiologis.

Teknik pengumpulan data menggunakan metode pustaka (library research). Untuk mengumpulkan data-data yang berguna untuk mendukung teori, penulis mengumpulkannya dari kepustakaan yang berhubungan dengan penelitian. Sumber-sumber kepustakaan tersebut bersumber dari buku, majalah, hasil-hasil penelitian (skripsi) dan sumber-sumber lainnya yang sesuai (internet).


(25)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP “BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG”

2.1 Defenisi Baishun

Kegiatan baishun(prostitusi) adalah suatu kegiatan yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Prostitusi berasal dari bahasa latin yaitu pro-situare yang berarti membiarkan diri berbuat zina, melakukan perbuatan persundalan, percabulan, pergendakan. Dalam bahasa inggris baishun disebut prostitution yang artinya tidak jauh berbeda dengan bahasa latin yaitu, prostiture persundalan dan ketunasilaan. Orang yang melakukan kegiatan pelacuran disebut pelacur yang dikenal juga dengan WTS atau Wanita Tuna Susila (Kartono 1997:177).

Dalam bahasa Jepang modern prostitusi disebut baishun. Baishun berasal dari 2 kanji, yakni ba i(売) yang artinya menjual dan shun(春) yang artinya musim semi. Secara harafiah arti kata baishun adalah menjual pemuda. Undang-undang anti baishun Jepang (売 春 防 止 法,baishun Boushi hou) yang dikeluarkan pada tahun 1956 pada pasal 2 menyebutkan defenisi dari baishun

売春

、対償

、又

約束

不特定

相手

性交

いう。

売春防止法第

章第

Terjemahan

Pasal 2 (pengertian): "Kata untuk prostitusi yang digunakan di hukum ini dapat berarti persetubuhan yang tidak ditentukan oleh pihak lain untuk bayaran

atau janji untuk dibayar”.

Tidak jauh berbeda dengan yang disebutkan Matsui dalam Chalmers The word for prostitution, baishun, meaning selling one’s body (shun literally meaning ‘spring’ and metaphorically a nubile young girl), has been cha nged to the sa me pronouncia tion but using a different first ka nji mea ning to


(26)

buy a body. This ha s ta ken the onus offwomen initia ting the excha nge of sex for money ( Chalmers 2002:93).

Terjemahan

Kata untuk prostitusi, baishun, berarti menjual tubuh seseorang (makna harafiah shun adalah musim semi dan metaforit dari gadis yang boleh kawin) telah diubah kepengucapan yang sama tetapi yang memakai awal kanji yang berbeda yang berarti membeli tubuh. Ini ditujukan untuk perempuan yang memulai pertukaran seks untuk uang ( Chalmers 2002:93).

2.2 Kebijakan Pemerintah yang Mempengaruhi Baishun

2.2.1 Kemiskinan dikalangan Petani

Kemiskinan adalah salah satu penyebab munculnya baishun. Ketidak mampuan memenuhi kebutuhan hidup membuat perempuan memilih jalan dengan menjual tubuh mereka. Di zaman feodal Jepang banyak orang tua menjual anak perempuan mereka demi memenuhi kebutuhan keluarga. Penjualan anak perempuan ini dilazimkan karena Jepang menganut sistem patriarkhi yang memiliki landasan legal konfusianis seperti yang dijalankan masyarakat pada zaman Tokugawa, membuat kaum perempuan terpinggirkan dan menjadi warga masyarakat kelas dua (Wulandari 2013:79).

Sebelum zaman Meiji, yaitu pada zaman Tokugawa (1603-1868), pemerinta menggolongkan masyarakat kedalam kelas shi-no-ko-sho yaitu bushi (militer), noomin (petani), kosakunin (tukang), dan shoonin (pedagang). Saat itu jumlah kaum bushi sekitar 7%, petani 84%, tukang dan pedagang 6%, sisanya adalah kelompok diluar keempat golongan itu, misalnya para pendeta, kaum ninggrat, dan golongan yang dianggap sangat bawah seperti para penjaga kubur


(27)

dan penyembelih binatang. Jumlah mereka yang besar seharusnya juga menguntungkan, tetapi secara politik kedudukan mereka ternyata lemah, karena pemerintahan dikuasai oleh kaum militer dengan shogun sebagai pemimpin tertinggi. Petani dibebani pajak tahunan (nengu) berupa hasil panen yang besarnya 50%-60% dari hasil panen, bahkan beberapa ha n (wilayah kekuasaan para tuan tanah/daimyo) ada yang mencapai 70%. Ini berarti bagian yang harus diserahkan kepada pemerinta sebagai pajak dapat mencapai lebih dari setengah hasil panen secara keseluruhan. Sisanya yang kurang dari setengahnya digunakan untuk kebutuhan keluarga. Akibat kebijakan ini, kaum petani yang merupakan mayoritas penduduk, termasuk di daerah asal karayuki-san yaitu Amakusha dan Shimabara tetap hidup dalam kemiskinan (Pangastoeti 2009:141).

Pada zaman Edo, pemerintahan Tokugawa mengeluarkan kebijakan politik sa nkin kouta i. Sankin koutai adalah kebijakan yang mewajibkan bahwa daimyo shimpa n dan fudai untuk tinggal di Edo selang 6 bulan. Sedangkan bagi Tozama Da imyo diwajibkan tinggal di Edo selang setahun. Kewajiban inilah yang memperberat ekonomi wilayah, karena biaya hidup rombongan tuan mereka untuk tinggal di Edo harus diantar oleh anak buah mereka (Situmorang 2011:89). Keramaian jalan lintas antar kota lain ke Edo melahirkan bisnis- bisnis pingir jalan yang salah satunya juga baishun. Tempat–tempat itu digunakan sebagai peristirahatan rombongan daimyo dalam perjalanan ke Edo dan akan mengeluarkan uang lebih lagi untuk persinggahan tersebut. Untuk menutupi biaya tersebut pemerintah menaikkan pajak bagi petani.


(28)

Para rentenir kemudian memanfaatkan keadaan kaum petani yang miskin. Mereka merekrut anak perempuan petani untuk menjadi pelacur dengan mengatur kedatangan perekrutan. Mereka datang bertepatan ketika petani lokal sangat miskin: awal musim semi ketika toko-toko makanan yang menipis dan akhir musim panas ketika pembayaran pajak yang jatuh tempo.

Memasuki zaman Meiji (1868-1912), kondisi petani tidak banyak berubah. Modernisasi yang dilakukan oleh pemerinta Meiji lebih diarahkan untuk mencapai sasaran fukoku kyoohei (negara kaya, militer kuat). Dalam masa modernisasi yang ditandai oleh perkembangan industri ini, pemerintah memang berusaha juga untuk memperhatikan para petani dengan memperbaiki peraturan pajak (chiso kaisei) dari hasil panen menjadi uang tunai sebesar 3% dari harga tanah dan membebankan pajak ini kepada pemilik tanah (jinushi). Namun, para pemilik tanah melemparkan tanggung jawab ini kepata petani penggarap (kosakunin) dengan memaksa mereka untuk menyerahkan lebih dari 60% hasil panennya kepada pemilik tanah. Kondisi ini akhirnya menyebabkan banyak petani meninggalkan lahan garapan mereka, kemudian pergi ke kota untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Kepergian mereka selain dibebani kewajiban untuk menghidupi diri sendiri juga harus menanggung keluarganya di kampung, sehingga di kota pun mereka harus bekerja keras. Namun selain bertani, mereka tidak mempunyai keterampilan lain. Bagi laki-laki memang dapat bekerja dengan mengandalkan kekuatan fisiknya, tetapi bagi perempuan kesempatan yang tersedia hanya menjadi buruh di pabrik pemintalan dan menjadi pelacur. Di pabrik pemintalan pun upahnya kecil, sehingga mereka yang harus menanggung keluarga


(29)

di kampung tidak mempunyai pilihan lain selain menjadi pelacur (Pangastoeti 2009:141).

2.2.2 Pembentukan Yukaku

Istilah yang paling umum bagi seorang wanita yang bekerja di sebuah rumah bordil (yukaku) yang berarti wanita yang bermain, yu berasal dari kata kerja asobu yang berarti untuk bermain (Swington 1995:58). Gadis-gadis dan wanita yang bekerja disana mendapat pemeriksaan kesehatan dan makanan dan tempat tinggal sebagai imbalan untuk menjual tubuh mereka, tetapi mereka dijual kerumah bordil untuk setidaknya sepuluh tahun, yang setidaknya menjadi standar. Untuk pekerjaan yang mereka tampilkan, mereka mendapat seperti uang muka untuk layanan sepuluh tahun, tetapi mereka berusaha mencari pelamar kaya yang bersedia membayar untuk pembebasan mereka dan menjadi gundik atau istri. Kebanyakan yujo ini berhasil keluar lebih awal, karena selama zaman Edo pria

kalah jumlah dari wanita, dan bahkan untuk “bebek jelek”, menemukan seorang

pria untuk menikah bukan perbuatan susah (Helgadottir 2011:36).

Untuk yujo dari rumah bordil di Yoshiwara, kehidupan seorang gadis dimulai saat tiba di rumah bordil, dimana dia diperiksa oleh dokter dan dinyatakan siap untuk mulai bekerja. Biasanya gadis- gadis mendapat gelar kamoro (gadis-gadis remaja pembantu perempuan kelas atas) tapi setelah terus menerus dinilai, mereka mendapat peringkat yujo, yang berarti bahwa mereka bisa memulai pembelajaran mereka, tetapi dalam istila itu ada berbagai jajaran yang diberikan secara teratur tergantung pada nilai mereka untuk yukaku tersebut. Kehormatan tertinggi dari yujo biasanya dijuluki ta yu, status yang begitu tinggi dan pria sangat


(30)

mengincar perhatian mereka. Tepat dibawah mereka adala koshi yang mengira mereka juga berpangkat tinggi tetapi hanya sepertiga dari harga tayu. Berikutnya adalah sancha , perempuan yang dulunya bekerja sebagai pelayan di rumah teh tetapi ternyata pelacur dan biaya mereka adalah sepertiga dari koshi. Wanita yang berasal dari salah satu dari tiga yang disebutkan diatas biasa menyebut diri mereka oira n (pangkat tinggi pelacur), tetapi dibawah mereka ada tsubone, pelacur yang bekerja dari kamar mereka sendiri dan yang terendah adalah hashi yang biayanya begitu sedikit, sekitar seperseratus dari harga tayu (Helgadottir 2011:37).

Toyotomi Hideyoshi membangun yukaku dengan alasan mengumpulkan banyaknya yujo yang berkeliaran di kota guna merapikan Osaka dan Kyoto dan mengawasi yujo lebih efisien. Yukaku pertama di Jepang dibangun di Osaka dan Kyoto. Ini adalah asal-usul Shimabara Yukaku di Kyoto dan Shinamachi Yukaku

di Osaka dan nantinya dipanggil “Tiga Yuka ku Besar” bersama-sama dengan Yoshiwara Yukaku di Edo.

Pada zaman Edo, Tokugawa membangun Yoshiwara Yukaku. Yoshiwara adalah rumah bordil yang paling terkenal di zaman Edo. Pada tahun 1612

pengusaha sebuah rumah bordil yang bernama Jin’emon mengajukan petisi kepada keshogunan Tokugawa meminta pemerintah baru untuk mengenali bisnis dan memberinya sebidang tanah dimana ia dan rekan-rekannya bisa menjalankan perdagangan mereka. Dia menyusun penjelasannya dengan hati- hati. Ketika rekan- ekannya telah mengajukan petisi ke shogun untuk diakui sebagai serikat pada tahun 1605, para hakim telah menjawab bahwa mereka tidak melihat alasan untuk memperpanjang hak-hak istimewa untuk pengusaha rumah bordil. Kali ini


(31)

Jin’emon ingin memastikan bahwa permintaannya akan dipertimbangkan, sehingga ia mengajukan banding terhadap kepentingan keshogunan dalam melestarikan tatanan sosial dan politik. Pertama, dia mengambil stok situasi di pertumbuhan kota benteng, yang memiliki peningkatan pesat dan populasi didominasi oleh kaum laki-laki. Ini telah menciptakan permintaan yang kuat terhadap jasa seks, yang pengusaha rumah bordil bersemangat menyediakannya. Tapi, perdagangan seks yang tidak diatur menyebabkan sejumlah masalah, yang

dipastikan Jin’emon untuk menguraikan secara rinci; gadis-gadis muda dari

keluarga “baik” bisa diculik dan dijual kerumah bordil, samurai bisa

merencanakan pemberontakan di apartemen pribadi pelacur, dan pedagang magang bisa menghamburkan- hamburkan upah mereka dengan pesta pora bersama wanita. Setelah menekankan bahaya meninggalkan pasar yang

berkembang tidak diatur, Jin’emon mengusulkan solusi: jika shogun memberinya

sebidang tanah dan monopoli pada perdagangan seks, dia akan menjamin menahan bahaya ini. Sebagai gambaran etikad baik, pemilik bordil akan membatasi operasi mereka yang baru dibuat “kuartal kesenangan” dimana mereka akan merekam datang dan perginya pelanggan dan melaporkan kegiatan yang

mencurigakan. Permintaan Jin’emon bukan tanpa presenden, pada tahun 1589, 2

samurai tidak bertuan (ronin) telah mengajukan proposal yang mirip kepada Hideyoshi yang menguasai ibukota Kyoto, dan Hideyoshi memberikan mereka

sebuah hadiah menguntungkan yakni tanah dipusat kota, Jin’emon mengharapkan

penyelesaian serupa di Edo. Setelah menunggu jawaban selama 5 tahu n, akhirnya pada tahun 1617 pemerintah memberikan permintaannya, memberikannya sebidang tanah yang nyaman tapi berawa di pinggiran kota. Menjelaskan bahwa


(32)

hadiah itu bergantung pada tawaran Jin’emon membatasi kekacauan yang terkait

dengan baishun. Shogun menegaskan bahwa pemilik bordil harus mematuhi peraturan sumtuary, tindakan memantau pelanggan, dan melarang perempuan mereka untuk bekerja di luar kabupaten (Stanley 2012:45-46).

2.2.3 Pembentukan rumah bordil pasca perang dunia II

Perang berakhir bagi Jepang setelah pengumuman penyerahan Kaisar Showa Hirohito disiarkan oleh radio pada tanggal 15 Agustus 1945. Pendudukan Jepang oleh sekutu (terutama orang- orang dari Amerika) resmi dimulai pada 1 september 1945 dan tetap berlaku sampai 1952. Jendral U.S Douglas MacArtur dan staf birokrasi militer Amerika (disebut sebagai Supreme Command for the Allied Power, SCAP) mengambil pendudukan. SCAP melaksanakan berbagai reformasi politik, termasuk mengeluarkan sebuah konstitusi baru yang mempromosikan kesetaraan hak bagi perempuan. Konstitusi baru memberikan perempuan hak pilih sebagai warga negara hukum penuh untuk pertama kalinya.

Setelah perang dunia II, namun bukannya penjajah, Jepang menjadi dijajah. Pemerintah jepang menganggap bahwa kejahatan seks tentara Jepang yang telah dilakukan di negara yang mereka jajah mungkin terjadi di Jepang, akibatnya pemerintah mendukung sistem prostitusi untuk melayani pasukan militer Amerika Serikat.

Pemerintah Jepang melembagakan sistem prostitusi dari tahun 1945. Pertama, menurut pakar hukum Wakao Noriko, segera setelah Jepang kalah dalam perang, pada 18 Agustus 1945, pemerintah Jepang secara sukarela membahas


(33)

pembentukan dari “comfort institutions” bentuk pelacuran sistematis untuk militer Amerika, lembaga- lembaga ini akhirnya disebut “orga nized houses” dan tempat dimana pelacur swasta berkumpul di daerah berlisensi. Pemerintah Jepang juga

membangun “Recrea tiona l Amusement Associa tion/R.A.A” untuk merekrut pelacur untuk melayani personil militer Amerika Serikat. R.A.A membuat iklan di koran dengan teks-teks seperti, “PERLU WANITA JEPANG BARU!BEKERJA UNTUK TRANSAKSI PASCA-PERANG DI LEMBAGA NASIONAL YANG

MENDESAK”

Keadaan Jepang setelah perang dunia II sangat miskin. Beberapa kota besar di Jepang hancur oleh bom atom yang mengakibatkan kelumpuhan ekonomi total. Kebijakan pemerintah membuka rumah bordil untuk melayani militer Amerika seperti memberikan pilihan bagi perempuan-perempuan Jepang untuk menjadi baishun. Seperti di Hiroshima, lima bulan setelah bom atom telah memiliki 566 pekerja seks yang terdaftar di 7 rumah di kota dan sekitarnya.

2.2.4 Pengesahan Undang-undang anti baishun (売 春 防止 法, baishun boushi hou)

Zaman Nara sampai akhir zaman feodal, Jepang tidak mempunyai hukum yang mengatur tentang pencegahan baishun. Pemerintah bahkan membuat sebuah daerah perkumpulan pasa baishunfu yang disebut yukaku. Memasuki Zaman Meiji, pemerintah mulai memperhatikan masalah sosial masyarakat tersebut. Fujime dalam Harada menyebutkan bahwa pemerintahan Meiji resmi meninggalkan lisensi pelacuran pada tahun 1872 saat pemerintah juga menjanjikan penghapusan perdagangan manusia. Pemerintah percaya bahwa negara- negara beradab tidak


(34)

memanfaatkan baishun berlisensi di Jepang modern yang menunjukkan Jepang keterbelakangan dan pra-modernitas (Harada 2002:9). Namun, sistem ini dihapuskan dalam nama saja dan sebenarnya direorganisasi dibawah kedok baru bisnis. Sistem modern baishun di Jepang membatasi pelacur tanpa ijin selama periode Meiji, namun pemerintah diam-diam mengijinkan baishunfu swasta untuk mlanjutkan bisnis mereka dengan pembenaran bahwa perempuan mendapat penghasilan tambahan dan terlibat dalam baishun atas kehendak bebas mereka. Banyak baishunfu berlisensi menjadi baishunfu swasta karena mereka terlibat hutang berat dan tidak mempunyai cara lain untuk hidup.

Masyarakat Jepang telah lama menyadari bahwa baishun adalah kegiatan yang merusak moral masyarakat. Kesadaran ini muncul karena masuknya pemikiran-pemikiran dari dunia barat terlebih ajaran-ajaran Kristen yang dibawa missionaris, namun negara memelihara baishun sebagai pemasukan uang kas negara yang membuat perkembangan baishun tidak banyak terganggu.banayk gerakan- gerakan yang telah dibuat demi melawan baishun. Tahun 1886 The

Women’s Christian Temperance Union-WCTU/Nihon Kir isutokyo Kyofukai mulai

beroperasi di Tokyo dan bergabung dengan Salvation Army (Kyuseigun) di tehun 1900. Pada tahun 1891 muncul gerakan penghapusan baishun nasional (Zenkoku Ba isho Domeika i) dan gerakan- gerakan umum lainnya. Semakin lama gerakan ini semakin gencar melawan prostitusi, termasuk pemulangan karayuki-san dari luar negeri karena didukung oleh organisasi-organisasi yang memiliki pemikiran barat pada saat itu.


(35)

Yuka ku modern yang diciptakan Jepang untuk melayani militer Amerika pada masa pendudukan banyak menyebarkan penyakit kelamin. MacArthur bersama dengan gerakan- gerakan penolakan baishun mendesak pemerintah Jepang untuk menghapuskan sistem baishun berlisensi karena kegiatan ini tidak bermoral. Pemerinta Jepang mulai menerima bahwa kenyataannya bahwa kegiatan ba ishun berlisensi tidak bermoral. Pada sore hari tanggal 5 maret 1949, sidang publik pertama untuk Tokyo anti baishun (Baishunto Torisimari Jorei) berlangsung di gedung majelis Meropolitan yang mendatangkan audiens yang termasuk komisaris polisi serta pemilik baishun berlisensi. Setelah proses perjuangan penghapusan baisun yang begitu panjang, pada tanggal 21 Mei 1956 disahkanlah undang-undang anti baishun dan mulai berlaku pada 1 April 1957.

Kebijakan pemerintah setelah pengesahan undang-undang anti baishun adalah melindungi mantan baishunfu. Pada tahun 1962, 476.080.000 yen dialokasikan untuk anggaran tahun fiskal sebagai dana yang akan digunakan untuk melindungi mantan baishunfu. Dari jumlah tersebut, 11.000.000 yen dialokasikan untuk membangun koloni mereka (The Fusae Ichikawa Memorial association 1962:No.66,1). Pencapaian besar hukum anti baishun adalah untuk membuat baishun ilegal, meskipun tidak mungkin untuk membeli dan menjual wanita sekarang, namun berbagai celah hukum dan longgarnya penegakannya telah memungkinkan industri seks mencapai kesejahteraan.


(36)

2.3Baishun dalam Sejarah Jepang

Ba ishun dikatakan profesi tertua umat manusia, tetapi untuk membahas asal dari baishun sangatlah sulit. Menurut salah satu teori, asal keinginan untuk kenikmatan seksual manusia dimulai dari prehominid serebral, yakni dimana manusia telah mencapai tingkat kebosanan dan untuk menutup kebosanan teersebut melakukan hubungan seksual yang tidak bertujuan untuk reproduksi ( Ono 2011: 3).

Awal baishun Jepang terlihat dalam profesi penghibur. Goodwin menyebutkan bahwa yang paling mencolok diantara mereka adalah asobi (juga dikenal sebagai Yukun) sering ditemukan menghibur wisatawan di pelabuhan laut dan sungai. Kelompok penting lainnya adalah perempuan dari kelompok - kelompok dalang disebut kugutsu dan penari yang dikenal sebagai shirabyoushi yang muncul diakhir periode Heian. Kita tahu tentang wanita ini karena banyak dari mereka yang terhibur dan menjadi pasangan seksual orang terkemuka yang pengalamannya dicatat dalam buku harian pria atau dalam laporan yang ditulis orang lain (Goodwin 2007:1).

Sayangnya, menghitung baishunfu adalah tugas yang hampir mustahil untuk sejarawan, bahkan mereka yang bekerja pada periode data statistik modern tersedia. Dalam kasus Tokugawa Jepang, kesulitan diperbesar. Tidak ada kelengkapan, sensus negeri dan catatan penduduk dari berbagai yurisdiksi yang terpisah- pisah. Selain itu, penjaga rumah bordil yang ingin menghindari peraturan atau menghindari pajak sering berbohong tentang berapa banyak pelacur yang mereka pekerjakan. Ibukota keshogunan Edo (atau sekarang Tokyo) memiliki


(37)

sekitar satu juta penduduk dipertengahan abad ke-19, sekitar 60 persen diantaranya adalah rakyat jelata. Daftar penduduk dipertengahan tahun 1840-an sebanyak tujuh ribu yujo di Yoshiwara dan sekitar seribu pelayan gadis (meshimori onna ) di stasiun posting dipinggiran kota, menghasilkan sekitar delapan ribu baishunfu resmi diakui.

Mengenal baishun pada zaman Edo tidak terlepas dari Yoshiwara. Yoshiwara adalah rumah bordil yang paling terkenal di Zaman Edo. Pada tahun

1612 pengusaha sebuah rumah bordil yang bernama Jin’emon mengajukan petisi

kepada keshogunan Tokugawa meminta pemerintah baru untuk mengenali bisnis dan memberinya sebidang tanah dimana ia dan rekan-rekannya bisa menjalankan perdagangan mereka. Dia menyusun penjelasannya dengan hati- hati. Ketika rekan- rekannya telah mengajukan petisi ke shogun untuk diakui sebagai serikat pada tahun 1605, para hakim telah menjawab bahwa mereka tidak melihat alasan untuk memperpanjang hak-hak istimewa untuk pengusaha rumah bordil. Kali ini

Jin’emon ingin memastikan bahwa permintaannya akan dipertimbangkan ,

sehingga ia mengajukan banding terhadap kepentingan keshogunan dalam melestarikan tatanan sosial dan politik. Pertama, dia mengambil stok situasi di pertumbuhan kota benteng, yang memiliki peningkatan pesat dan populasi didominasi oleh kaum laki-laki. Ini telah menciptakan permintaan yang kuat terhadap jasa seks, yang pengusaha rumah bordil bersemangat menyediakannya. Tapi, perdagangan seks yang tidak diatur menyebabkan sejumlah masalah, yang

dipastikan Jin’emon untuk menguraikan secara rinci; gadis-gadis muda dari

keluarga “baik” bisa diculik dan dijual kerumah bordil, samurai bisa merencanakan pemberontakan di apartemen pribadi pelacur, dan pedagang


(38)

magang bisa menghamburkan- hamburkan upah mereka dengan pesta pora bersama wanita. Setelah menekankan bahaya meninggalkan pasar yang berkembang tidak diatur, Jin’emon mengusulkan solusi: jika shogun memberinya sebidang tanah dan monopoli pada perdagangan seks, dia akan menjamin menahan bahaya ini. Sebagai gambaran etikad baik, pemilik bordil akan

membatasi operasi mereka yang baru dibuat “kuartal kesenangan” dimana mereka

akan merekam datang dan perginya pelanggan dan melaporkan kegiatan yang

mencurigakan. Permintaan Jin’emon bukan tanpa presenden, pada tahun 1589, 2

samurai tidak bertuan (ronin) telah mengajukan proposal yang mirip kepada Hideyoshi yang menguasai ibukota Kyoto, dan Hideyoshi memberikan mereka

sebuah hadiah menguntungkan yakni tanah dipusat kota, Jin’emon mengharapkan

penyelesaian serupa di Edo. Setelah menunggu jawaban selama 5 tahun, akhirnya pada tahun 1617 pemerintah memberikan permintaannya, memberikannya sebidang tanah yang nyaman tapi berawa di pinggiran kota. Menjelaskan bahwa

hadiah itu bergantung pada tawaran Jin’emon membatasi kekacauan yang terkait

dengan baishun. Shogun menegaskan bahwa pemilik bordil harus mematuhi peraturan sumtuary, tindakan memantau pelanggan, dan melarang perempuan mereka untuk bekerja di luar kabupaten (Stanley 2012:45-46).

Selama periode Tokugawa (1600-1868) sebagian besar dari produksi budaya dikelilingi perdagangan seks, membuat kesenangan membayangkan bordil diakses oleh khalayak luas. Baishun tidak hanya lembaga sosial yang memungkinkan orang untuk menikmati seksual dan estetika hiburan; itu juga bisnis yang bergantung pada tenaga kerja perempuan miskin. Dalam hal ini, dampak ekonomi sangat besar. Karena baishun tidak menciptakan produk yang


(39)

nyata, tidak ada bal beras, gulungan sutera, tas garam, atau baut kain katun untuk dihitung sebagai ruang lingkup. Sebaliknya, pengaruh harus diukur dalam jangkauan geografis dan jumlah perempuan yang bekerja (Stanley 2012:1).

Pada zaman feodal, kaum petani yang berekonomi rendah menyebabkan penyakit sosial. Untuk bertahan hidup, para petani dan nelayan miskin menjual anak gadisnya ke agen dengan dalih adopsi untuk dijadikan geisha, bahkan pelacur. Praktik penjualan anak gadis merupakan suatu hal yang lumrah sejak abad empat belas, dan menjadi semakin intensif sejak industri Jepang mulai berkembang pada abad ke sembilan belas. Seperti yang dinyatakan Sheldon Garon dalam Wulandari bahwa, praktik penjualan anak perempuan menjadi suatu hal yang biasa di kalangan petani- petani miskin yang tidak dapat memberi makan anak- anaknya. Akibatnya terjadi ledakan populasi urban buruh di kota-kota, diikuti dengan tumbuhnya rumah- rumah pelacur di pusat- pusat industri.

Tidak hanya kemiskinan yang menjadi alasan adanya baishun dimasa feodal Jepang. Banyak faktor yang menunjukkan bahwa kondisi ini didukung oleh

sufficient condition berupa kondisi sosial dan kultural. Pertanyaan “bagaimana”

sangat penting dikemukakan, terutama untuk mengungkap sufficient condition yang antara lain berupa penculikan, perdagangan manusia, dan perbudakan terselubung. Dua unsur pertama banyak dilakukan oleh para perantara atau broker di kampung halaman dan di wilayah atau pelabuhan transit, dan unsur ketiga banyak dilakukan oleh para mucikari yang menjadi oyakata (majikan) atau oleh


(40)

Pada masa pemerintahan Meiji, banyak terjadi imigrasi masyarakat Jepang ke negara- negara lain. Menurut Yano dalam Pangastoeti, pada zaman Meiji (1868-1962), untuk mendukung program utama yang disebut fukoku kyoohei (negara kaya militer kuat), pemerintah Jepang menekankan pembangunan sektor industri dan hubungan dengan negara- negara barat. Asia (selain Cina) bukanlah wilayah yang diangga penting karena banyak yang sedang dalam penguasaan negara- negara barat. Namun tidak berarti sama sekali tidak ada orang Jepang yang melakukan kontak dengan negara Asia, dan pemerintah Meiji pun sebenarnya mengakui hal ini (Pangastoeti 2009:138).

Dengan program terbukanya Jepang terhadap negara- negara luar, maka semakin banyak para pemuda pergi ke barat untuk belajar tentang barat. Dimulai dari utusan Iwakura Tomoni, pemuda- pemuda lain terutama dari golongan elit banyak yang keluar negeri untuk belajar. Namun, ada pula orang-orang dari kalangan rakyat biasa yang pergi ke luar negeri dengan tujuan mencari penghidupan yang lebih baik (Wulandari 2013:74).

Kalangan rakyat biasa yang pergi keluar negeri pekerjaannya tidak jauh berbeda dengan saat di Jepang itu sendiri. Sebagai contoh, di Indonesia pada tahun Meiji 30 (1897) terdapat 125 orang Jepang yang terdiri dari 25 orang laki-laki dan 100 orang perempuan. Sementara itu, menurut survei dari konsulat Jepang di Indonesia, pada tahun Meiji 40 (1909) terdapat 614 orang Jepang, terdiri dari 166 orang laki-laki dan 448 orang perempuan. Mereka terlibat dalam aktivitas pertanian, perikanan, perdagangan, dan juga dalam improper trades seperti baishun dan usaha rumah-rumah bordil (Pangastoeti 2009:137-138).


(41)

Pada tahun 1887, diketahui lebih dari 100 pelacur Jepang di Singapura. Selama tahun 1889, Badan legeslatif, badan lokal administrasi Inggrris yang mengurus masalah permukiman di sekitar Selat malaka, telah mengeluarkan 104 izin kepada pelacur Jepang untuk beroperasi. Dengan demikian, baishun di rumah bordil adalah industri Jepang yang paling aktif secara ekonomi di kawasan Asia Tenggara pada pergantian abad ke-20 (Wulandari 2013:81).

Para pelacur Jepang yang ada di luar negeri ini (karayuki-san) mengirim penghasilan yang mereka terima dari bisnis mereka kekampung halamannya, artinya mereka turut membangun ekonomi Jepang pada saat itu. Peranan yang mereka mainkan, diakui atau tidak dikatakan luar biasa dalam pertumbuhan ekonomi negara (Wulandari 2013:89). Muraoka Iheiji, seorang mucikari besar ingat bahwa karayuki-san asuhannya telah mengirim uang kerumah sekitar 600.000 yen per tahun pada awal 1890-an. Pada tahun 1900, kantor pos Nagasaki telah melaporkan penerimaan lebih dari 200.000 yen per tahun dari karayuki-san di Asia Tenggara. Hal yang sama diakui juga oleh seorang pemikir Jepang terkemuka pada masa Meiji, Fukuzawa Yukichi. Ia menulis bahwa perempuan Jepang yang pergi keluar negeri untuk mencari uang, agar diakui secara resmi migrasinya keluar negeri telah memperkaya ekonomi negara. Selanjutnya ia mengatakan bahwa migrasi keluar negeri adalah jalan keluar untuk mengatasi kemiskinan didalam negeri, karena selam dua dekade abad dua puluh ekonomi Jepang belum cukup kuat untuk bersaing dengan kekuatan barat, dan belum dapat menyerap kelebihan populasi di wilayah pedesaan (Wulandari 2013:86).


(42)

Pada masa perang dunia I dan perang dunia II, kehidupan para pelacur Jepang termasuk dalam periode vakum. Perempuan Jepang dipaksa bekerja di pabrik (bidang industrialisasi) untuk membantu perang. Mengenai kehidupan seks para tentara Jepang, mereka membuat kata wanita kesenangan, yakni wanita yang secara sukarela memberikan seks kepada tentara Jepang. Namun, dalam faktanya wanita kesenangan itu adalah korban dari kejahatan perang. Mereka dipaksa untuk melayani kebutuhan seks para tentara Jepang, para wanita ini diculik dan diperkosa oleh tentara Jepang.

Setelah kekalahan Jepang dalam perang dunia II, Jepang diduduki oleh Amerika kurang lebih selama tujuh tahun (Agustus 1945 sampai April 1952). Pada awal 1933, militer Jepang di luar negeri beralih ke metode yang lebih otoriter untuk mengatur layanan seksual yang juga mengandung penyakit. Mereka

mendirikan yang mereka kenal dengan “stasiun kenyamanan” yang pada

kenyataannya menjadi situs perbudakan seksual (Kovner 2012:21). “Stasiun

kenyamanan” dibangun karena terjadinya pemerkosaan warga sipil cina yang

pertama terjadi pada insiden Shanghai 1932 dan skala yang lebih besar pada perang habis-habisan 1937. Pengalaman di luar negeri ini menyebabkan para pejabat Jepang takut bahwa pasukan pendudukan akan terlibat dalam pemerkosaan massal perempuan Jepang, sehingga mereka mengambil keputusan

untuk mengatur “stasiun kenyamanan” bagi tentara Amerika (Kovner 2012:22).

Didukung oleh banyaknya penyakit yang disebabkan baishun Jepang dan didorongnya kesadaran akan kemunduran moral akibat adanya baishun oleh aktivis Kristen di Jepang, maka pada tanggal 21 Mei 1956 pemerintah Jepang


(43)

mengeluarkan undang-undang anti baishun. Hal ini sesuai dengan tujuan dari undang- undang anti baishun Jepang pada pasal yang ke-1, yakni mengingat fakta bahwa baishun merusak martabat manusia, merusak moral seks, dan merusak akhlak yang baik dari masyarakat, untuk mencegah baishun dengan tindakan hukum, dll. Mempromosikan baishun dan pada saat yang sama dengan mengambil langkah- langkah untuk bimbingan sifat, perlindungan dan rehabilitasi perempuan seperti yang ditangkap dari karakter mereka dan perilaku dan lingkungan melacurkan (Wakabayashi 2003:164).

Banyak yang percaya alasan utama perempuan beralih ke baishun adalah

“kemiskinan”. Namun, pada tahun 1986 dan tahun 1997 survei pemerintah

menunjukkan bahwa lebih dari 80 persen pelacur Jepang berasal dari kelas menengah (Wakabayashi 2003:152). Tingkat konsumerisme penduduk Jepang pada saat itu sangat tinggi. Keinginan para wanita Jepang untuk memiliki barang- barang mewah tidak sesuai dengan upah gaji yang didapatnya dari pekerjaan. Ada perbedaan kekuatan ekonomi yang signifikan antara pria dan wanita di Jepang. Pada tahun 2002, upah rata-rata wanita adalah 66,5 persen dari upah rata-rata pria (Wakabayashi 2003:152).

Ba ishun akibat konsumerisme juga terjadi di kalangan siswi Jepang. Sebagai contoh, yang ditulis Kuronuma Katsushi dalam Liska, Yumi dan Sawako berusia 15 tahun dan merupakan siswi tahun ke-3 sekolah menengah pertama di suatu sekolah katholik khusus putri di Tokyo. Ayah Yumi adalah seorang lulusan sekolah hukum dan bekerja sebagai pegawai diperusahaan besar, sedangkan ayah Sawako adalah seorang insinyur. Yumi dan Sawako setiap bulan menerima


(44)

20.000 yen. Namun, menurut mereka uang saku tersebut tidak cukup memenuhi semua kebutuhan mereka, termasuk untuk pergi bermain serta berbelanja pakaian dan alat rias. Melalui setiap transaksi enjokosai mereka bisa mendapatkan minimal 50.000 yen. Sedangkan dalam kondisi terbaik, mereka bisa melakukan enjokosai tiga kali dalam sehari, sehingga dalam sebulan mereka dapat mengumpulkan sekitar 400.000- 500.000 yen (Liska 2011:65).

Ba ishun di Jepang sekarang dipenuhi oleh orang-orang luar negeri, kebanyakan negeri-negeri yang sedang berkembang. Seperti yang disebutkan dalam bangkok post 25 desember 2013, The Polaris Project, sebuah organisasi non-pemerintah, memperkirakan bahwa ada sampai 54.000 korban perdagangan manusia yang dibeli dan dijual di Jepang setiap tahun. Laporan tersebut menyoroti kasus-kasus dimana perempuan dari Filipina, Thailand, dan korea selatan diperdagangkan ke Jepang untuk bekerja di Industri baishun.

Kutipan dalam Deutsche Wele 1 desember 2007, juga menerangkan bahwa wanita asal Filipina yang bekerja di industri baishun Jepang mengirim sekitar 100 juta dolar pertahun kembali kekeluarga mereka. Hal ini menunjukkan betapa besar penghasilan yang diterima Jepang dari industri baishun. Menurut berbagai laporan pendapat, diperkirakan industri baishun di Jepang menghasilkan 24 miliar dolar (2,3 triliun yen) pertahun (Japan Times, 29 april 2007).


(45)

BAB III

PERUBAHAN BENTUK BAISHUN DALAM SEJARAH JEPANG

3.1 Bentuk-bentuk Baishun dalam Sejarah Jepang

Dokumentasi paling awal dari baishun ditemukan setidaknya dari periode Nara (abad ke-8). Pelacur ini milik yurisdiksi kepala tertentu dari stasiun posting yang menyarankan mereka untuk mencari nafkah dengan menghibur orang, terutama wisatawan di kota- kota padat penduduk seperti Kyoto. Selama periode Kamakura, meningkatnya jumlah wisatawan antara Kyoto dan wilayah Kanto menyebabkan pertumbuhan perdagangan baishun. Sebagai populasi mereka yang meningkat, wanita kesenangan datang untuk diselenggarakan dibawah pemasok tertentu baishun seperti choja (kepala pelacur) atau selir penguasa lokal.

3.1.1 Baishun Tradisional 1. Asobi

Hampir tidak ada undang- undang tentang perdagangan seks dan komersiaalisasi lengkap ekonomi membuat sulit untuk membedakan pelacur yang dibayar dari mitra seksual yang diberi hadiah. Bahkan, banyak literatur tentang interaksi seksual dengan perempuan seperti asobi dipertahankan setidaknya dengan kesan bahwa yang mereka terima dianggap hadiah, bukan pembayaran. Namun, meskipun beberapa ahli berpendapat bahwa seks tidak diperdagangkan sampai abad ke empat belas, beberapa abad ke sebelas rekening mengacu pada

pertukaran layanan seks untuk pembayaran sebagai “dijual” oleh kali pertengahan

Heian, dengan kata lain tubuh seksual perempuan dapat diperlakukan sebagai komoditas dan layanan seksual perempuan sebagai tenaga kerja untuk menyewa.


(46)

Dalam hal ini asobi dan yang lain dapat dianggap sebagai baishun (Goodwin 2007:3).

Ada 2 teori yang menjelaskan awal mulanya asobi. Teori pertama berpendapat bahwa asobi ditelusuri garis keturunan mereka dari dukun perempuan yang beralih ke usaha sekuler hiburan dan baishun. Teori yang lain berpendapat bahwa tradisi menggabungkan performance dan baishun berasal dari benua asia dan dibawa ke Jepang oleh imigran benua.

Wamyosho merupakan sebuah kamus yang memberikan pengucapan dan etimologi istilah yang ditulis dalam aksara cina. Wamyosho berisi 3 istilah untuk perempuan yang memperdagangkan seks, yakni ukarame, asobi dan yahochi. Menurut salah satu sumber, mereka yang berkeliaran disiang hari disebut asobi, sementara mereka yang menunggu sampai waktu malam dan kemudian menawarkan seks terlarang (inbon) disebut yahochi. Sedangkan ukarame adalah asobi yang dikembangkan, disusun dalam kelompok, diperluas praktek mereka diluar perjamuan resmi, menetap di lokasi tertentu, yang diadopsi metode tanda tangan dan praktek melakukan dan menambahkan layanan seksual sebagai komponen rutin dalam paket hiburan mereka (Goodwin 2007:12).

2. Yujo

Pada zaman Edo, Tokugawa mengeluarkan perintah bahwa baishun dibatasi di daerah tertentu yang disebut Yukaku. Pelacur pada zaman edo dikenal dengan Yujo. Mereka ahli dalam tarian, musik, percakapan, dan hiburan lainnya, dan mereka beroperasi ditempat berlisensi seperti, Yoshiwara di Edo, Shimabara di Kyoto, Shinmachi di Osaka, Maruyamu di Nagasaki, dan Furuichi di dekat Ise.


(47)

Menurut Yuji, seorang wanita terlatih dalam musik dan menari yang tugasnya adalah menghibur dan melayani di perjamuan dan kadang-kadang tidur dengan pelanggan, dia disebut asobime/ yujo. The founder of japanese foklor Kunio Yanagida mengemukakan teori bahwa teori yujo berasal dari ichiyazuma yang berarti teman tidur semalam, dilakukan oleh miko, seorang wanita yang biasanya melayani dewa sebagai istri dewa di festifal malam dalam rangka mempromosikan kebebasan seksual (shinto tidak salam dalam hubungan seks sebagai hal yang rahasia, tetapi menganggap hal berpikiran terbuka dan menyenangkan). Sementara, sejarahwan Sadakiti Kita mengajukan teori sistem mingi korea yang datang ke Jepang. Mingi adalah seorang wanita korea yang perannya sama persis dengan yujo (Yuji 2004:1). Dengan mengacu pada pendapat tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa yujo adalah perkembangan dari asobi.

Menurut samurai archieve, peringkat yujo dibagi atas 2 periode yakni sebelum tahun 1750 dan setelah tahun 1750.

a. Peringkat yujo sebelum tahun 1750 yakni Tayu

(

)

, Koshi

(

子), Tubone

(

)

dan yang terakhir adalah Hashi

(

)

.

b. Peringkat yujo setelah tahun 1750 yakni Oiran

(

花 魁

)

, Chusa n Yobida shi

(

呼出昼 三), Chusa n

(

昼三

)

, Tsukema wa shi

(

)

, Za shikimochi

(

座敷 持), Heya mochi

(

部屋 持), Shinzo

(


(48)

3. Pelacur jalanan

Pelacur jalanan adalah pelacur illegal yang memperdagangkan seks tidak pada tempat yang disediakan shogun. Di kota- kota pelabuhan, perempuan yang sering menjual seks dikenal dengan Gejo (hamba perempuan). Dikota sekitar kompleks candi/kuil di Konpira, pelacur dikenal dengan chatate onna (gadis penyeduh teh), dan shakutori onna (gadis penuang minuman). Di Niigata perempuan yang menjual seks sering dijuluki goke (janda). Sedangkan shogun menyebut pelacur yang bekerja di perusahaan tetapi tidak di wilayah yang ditentukan sebagai meshi-mori onna (pelayan perempuan) dan sentaku onna (gadis loundry) (Stanley 2012:13).

4. Geisha dan Kabuki

Cobb dalam Maharani menyebutkan bahwa Geisha dapat diartikan terpisah menurut bentuk huruf kanjinya, yang berasal dari kantai kanji (huruf kanji dari masa Edo) yaitu gei dan sha . Gei brarti kemahiran atau penampilan. Sha berarti orang, jadi geisha berarti orang yang menampilkan atau memamerkan keterampilan atau kemahiran mereka. Sistem geisha timbul disekitar pertengahan periode Edo (1600-1868) dimasa feodal Jepang ini para samurai dan bangsawan memerlukan selingan dari tugas mereka sehingga mencari hiburan (Maharani 2005:13). Namun, geisha yang bekerja di Fukagawa okabasho, serta kabupaten yang lebih kecil seperti Yotsuya dan Ryogoku, yang melakukan apapun untuk mencari nafkah, dan mereka terkenal karena berhubungan seks dengan klien (Stanley 2012:67). Onmitsu Mawari, seorang inspektur rahasia shogun khawatir dengan meningkatnya popularitas perempuan yang bekerja sebagai geisha atas inisiatif sendiri. Dia melaporkan bahwa pekerjaan utama mereka mengajar


(49)

bernyanyi dan belajar shamisen, tetapi mereka akan menambah penghasilan mereka dengan keluar untuk menghibur di kapal dan di kedai teh dan kadang-kadang terlibat seks gelap dengan klien mereka.

Ka buki adalah kesenian tradisional Jepang yang berbentuk drama klasik yang bertahan sampai saat ini masih digemari oleh rakyat Jepang. Kesenian ini muncul sebagai kesenian rakyat kota terutama kelas para pengrajin dan pedagang pada zaman Edo dalam pemerintahan Shogun Tokugawa (Renariah 2008:1). Tarian Okuni disebut Kabuki Odori, yang menggambarkan suatu kemegahan yang menjadi amat populer, tetapi di sisi lain para pemainnya melayani para pria penggemarnya sehingga terjadi baishun, sebagai akibat dari hal tersebut maka pada tahun 1629 Tokugawa melarang pertunjukkan kabuki wanita penghibur yang disebut Onna kabuki, karena shogun khawatir akan pengaruh sosial yang lebih buruk, dan sebagai pengganti dari Onna kabuki adalah wakashu kabuki (Renariah 2008:7)

3.1.2 Karayuki-san

Menurut kanjinya, karayuki-san berasal dari kata kara , yuki, dan san. Kara adalah suatu terminologi kuno yang memiliki makna pergi ke Cina sedangkan yuki bermakna pergi, tujuan atau “seorang yang pergi”. Sedangkan sa n adalah akhiran yang ditempelkan dibelakang nama atau profesi seseorang (wulandari 2013:72). Karayuki-san identik dengan baishun. Sone dalam Pangastoeti menyebutkan baishun yang dilakukan oleh perempuan-perempuan Jepang diluar negaranya pada masa itu (Zaman Meiji) lazim disebut karayuki-san. Unsur hubungan seksual dan pembayaran memang dua hal yang terkait erat denga n


(50)

profesi karayuki-san karena mereka akan menerima pembayaran setelah melayani pelanggan. Jumlah karayuki san pada awal Meiji sekitar 100.000 orang, tersebar di enam wilayah yaitu Siberia, Manchuria, Kwantung, daratan Cina, Asia Tenggara, Amerika Utara, Amerika Selatan, Oceania, dan Afrika (Pangastoeti 2009:139).

3.1.3 Baishun Masa Pasca Perang Dunia II

Pada masa pasca perang dunia II, pemerintah membangun tempat baishun untuk melayani tentara sekutu yang menduduki Jepang. Tempat baishun terdiri dari red line dan blue line. Berdirinya red line sering disebabkan oleh bekas kuartal berlisensi sedangkan blue line diduga berdiri untuk bar baru dan restoran (Kovner 2012 :90).

Berbeda dengan pa npa n, yakni pekerja seks yang berkeliaran di jalan (Kovner 2012:76) . Panpa n adalah fenomenea baru dengan arti pekerja seks di masa pasca perang dunia ke-II. Tokyo yang dimana 65 persen dari tempat tinggal hancur, taman Ueno menjadi tempat bagi masyarakat miskin dan tunaisma datang dan tempat terkonsentrasi dari pa npa n. Bahkan beberapa mengatakan bahwa itu adalah tempat budaya pa npa n berasal (Kovner 2012:79).

Penggunaan istilah populer panpan dalam pers yang terbagi atas youpan (western pan, dengan kata lain panpan khusus untuk orang asing) dan wapan (pan yang mengambil pelanggan orang Jepang) memperlihatkan bahwa panpan terlibat seks dengan laki-laki Jepang dan laki-laki asing (Kovner 2012:76)

Kanzaki Kiyoshi (aktivis sosial, wartawan, dan penulis pada masa pasca perang) membagi kriteria dari panpan. Dimulai dengan pa npa n tingkat rendah,


(51)

yakni yama no pan atau pa npa n yang tinggal diketinggian bukit-bukit di taman. Kelompok berikutnya adalah shita no pan, yakni panpan yang bekerja di taman dengan arah keluar dari selatan stasiun Asakusa. Kanzaki menganggap mereka lebih modern dengan menggambarkan mereka mengenakan pakaian barat yang norak, sepatu, dan beberapa memakai kimono yang berkualitas rendah. Kanzaki juga menguraikan yang lain, kategori yang kurang diinginkan, yang ia sebut dengan three-mat room (sanjou no heya ) yaitu kamar yang hanya berukuran enam belas meter persegi (Kovner 2012:80).

3.1.4 Baishun Setelah Disahkannya Undang-Undang Anti Baishun Jepang Menurut survei dari kantor perdana menteri, baishun di Jepang beroperasi dalam 5 kategori, yaitu 1. Pejalan kaki (geishogata ), 2. Hostes di bar dan tempat berlisensi lainnya yang diatur dalam hukum tentang perusahaan yang mempengaruhi moral publik (fuzokueigyougata ), 3. Petugas kamar mandi (koshitsu yokujogata ), 4. Hostes atau karyawan jenis baru dari tempat hiburan dewasa, seperti kamar mandi pribadi atau panti pijat (shin fuzokutengata ), 5. Gadis panggilan (hakengata ) yang datang ke hotel dan diatur melalui telepon (Wakabayashi 2003:153-154).

Dalam pertengahan tahun 1980-an, kantor perdana menteri memperkirakan bahwa streetwalkers menyumbang 15% dari pelacur, bar hostes 12%, kamar pembantu mandi pribadi 20%, hiburan hostes dewasa 11% dan gadis panggilan menyumbang 42% dari semua baishun (Wakabayashi 2003:154).

Sejalan dengan kategori yang dibuat oleh kantor perdana menteri, jenis-jenis industri seks di Jepang. Yang terdiri dari:


(52)

1. Soa pland

Setelah undang-undang anti baishun disahkan pada tahun 1956, ba ishun tanpa ijin cepat berkembang. Beberapa rumah tua yang paling terkenal di Yoshiwara menutup rumah bordil mereka, kebanyakan diubah menjadi Toruko (Turki) atau Toruko buro (permandian Turki). Toruko buro adalah pendahulu soapland. Pada tahun 1955 layanan seks beberapa toruko buro mulai beroperasi. Pada tahun 1984 seorang pemuda Turki memprotes bahwa nama negaranya ditunjuk untuk fasilitas baishun melalui duta besar Turki. Setelah protes oleh duta besar Turki tersebut, Toruko Buro berubah menjadi soapland. Diruangan soapland tersedia kamar mandi, kursi, dan tempat tidur. Seorang wanita sering menawarkan pijat telanjang dengan tubuh mereka (payudara, lidah dan pinggang) dan “layanan

penuh” yang berarti hubungan seksual yang illegal. Pelanggan membayar dimeja petugas untuk mandi tetapi membayar wanita secara seorangan untuk “layanan Penuh”.

2. Hea lth fa shion dan pink salons

Health fashion adalah panti pijat yang menawarkan oral seks. Dan pink salons yang disebut juga pin salo ini tidak dapat didefenisikan sebagai baishun karena wanita melayani seorang pria dengan lidah dan tidak berada dibawah hukum anti baishun. Sama seperti health fashion , hanya membutuhkan 30 menit atau satu jam diruang kecil yang berharga 10.000 yen. Tentang pink salons, pelanggan sedang minum minuman beralkohol di salon, lalu wanita datang ke pelanggan itu lalu ia melayani pelanggan dengan lidahnya di bawah kursi.


(53)

3. Ima ge club

Pelanggan tidak puas dengan seks yang didapat dengan mudah. Image club datang dengan inovasi wanita yang menyamar sebagai perawat dan siswi sekolah menengah atas untuk menambah kepuasan pelanggan.

4. Deri-Heru

Ini muncul pada akhir tahun 1990-an. Pijat zona sensitif seksual disebut seikan massage. Mereka beroperasi melalui jasa pengiriman kesehatan. Mereka pergi ke pelanggan di rumah maupun di hotel. Ini tidak mudah didefenisikan sebagai baishun. Berdasarkan kasus per kasus, beberapa wanita

memberikan layanan seks karena negosiasi. Pada masa itu di Jepang “servis”

menggunakan lidah wanita menguntungkan.

5. Kyuba kura dan kya ba jo (host Kyuba kura )

Kyuba kura adalah tempat hiburan dan kyabajo tidak selalu berarti pelacur. Klub hostes adalah fitur umum di industri malam Jepang, instansi yang mempekerjakan staf terutama perempuan dan melayani laki-laki yang mencari minuman dan percakapan yang penuh perhatian. Kyabakura yang paling populer biasanya set biayanya mencapai 5000-9000 yen. Hostes yang disebut kyabajo umumnya disewa dari penampilan mereka atau kepribadian mereka. Dalam beberapa kyabakura , pelanggan dapat memeriksa wajah gadis (kyabajo) itu dipintu masuk. Mereka lalu menyalakan rokok, menuangkan minuman, menawarkan percakapan yang genit, dan bernyanyi di karoke dalam upaya menjaga pelanggan tetap terhibur. Hostes dapat dilihat sebagai mitra modern dari geisha, memberikan hiburan untuk upah.


(54)

6. Enjo Kosa i (baishun remaja di Jepang)

Jumlah pelacur remaja mulai naik sekitar tahun 1974. Di tahun 1984 jumlahnya mencapai tingkat yang mengkawatirkan dan masih akan terus menaik. Badan Statistik Kepolisian Nasional di tahun 1995 menunjukkan bahwa anak dibawah umur mencapai 5841 orang perempuan terlibat di klub telepon atau kegiatan yang berhubungan dengan seks. Seperempat dari gadis-gadis itu masih duduk dibangku sekolah menengah pertama.

Sepertiga dari laporan kasus baishun di Jepang adalah remaja siswi sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas. Mereka disebut Enjo Kosa i yang merupakan eufinisme yang digunakan di Jepang untuk baishun gadis remaja. Seorang pria usia pertengahan (sekitar 40-50 tahun) akan mengencani gadis yang cukup muda untuk menjadi puterinya. Mereka mengenal satu sama lain melalui terekura (klub telepon yang merupakan jenis pink phone) yang sangat populer dikalangan remaja perempuan untuk menambah uang saku. Pria ini mungkin pergi ke restoran dan mengobrol atau pergi ke bioskop maupun ke hotel.

7. Pariwisata seks (tur)

Beberapa pria Jepang menggunakan wisata seks untuk membeli gadis-gadis remaja dan perempuan di negara-negara berkembang dengan alasan kurang ajar bahwa mereka membeli wanita untuk membantu kemiskinan di negara berkembang. Jika mereka pergi kesana dengan wisata seks, kerumunan perempuan berkumpul untuk menjual tubuh mereka di hotel.

Almarhum Yayori Matsui, seorang wartawan, mengatakan “jika


(55)

ada banyak cara kecuali melacur. Saya ragu apakah pria tersebut dapat menghormati perempuan yang mereka beli.

8. Perempuan non-Jepang

Meskipun laki-laki Jepang merupakan jumlah terbesar dari wisata seks asia, sebanyak 150.000 perempuan non-Jepang bekerja di baishun di Jepang, kebanyakan mereka bereasal dari Thailand, Filipina, dan wanita rusia. Mereka umumnya datang ke Jepang dengan alasan jalan-jalan atau belajar untuk menghindari hukum imigrasi yang kaku di Jepang dan mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan dari kabaret, penari atau pelacur sesuai dengan yang diberikan oleh makelar mereka.

3.2 Penyebab Perubahan Bentuk Baishun di Jepang 3.2.1 Penyebab Munculnya Baishun Tradisional Jepang

Munculnya baishun tradisional di Jepang berasal dari profesi penghibur yang muncul pada zaman Heian. Misalnya, pelacur pertama, disebut yukojofu (secara harafiah berarti gelandangan atau perempuan main-main), shir abyusi (penari dan penyanyi wanita) dan kugutsu (dalang).

Mereka muncul untuk mengharapkan hadiah dari hasil kerja mereka. Seperti dalam kasus yang dibuat Stanley, Yorinaga memanggil asobi dan kemudian ia menidurinya dan memberinya nasi dan beberapa hadiah bagus lainnya (Stanley 2006:26). Di kasus ini asobi tidak memainkan perannya sebagai penari tetapi membawa peran penarinya demi mendapat hadiah.

Kemiskinan pada masa feodal Jepang merupapakan satu alasan berkembangnya baishun di Jepang. Kaum petani sangat merasakan kemiskinan


(1)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN

Dari uraian- uraian yang telah dipaparkan diatas maka kita dapat mengambil beberapa kesimpulan yaitu :

1. Penyebab munculnya baishun dari zaman feodal Jepang sampai pasca perang dunia II sebagian besar karena kemiskinan masyarakat Jepang. Walaupun ideologi Jepang pada waktu itu merendahkan status sosial wanita, kemiskinan lah yang membuat seorang ayah tega untuk menjual anak kandungnya sendiri.

2. Banyak kebijakan- kebijakan shogun yang memberatkan para petani di zaman feodal maupun zaman Meiji. Pajak petani yang lebih dari 50% yang dikeluarkan pemerintah Tokugawa membuat mereka tidak dapat mencukupi kebutuhan anak istri mereka. Sedangkan pada zaman Meiji, pemerintah hanya fokus kepada industrialisasi Jepang.

3. Kemenangan Jepang dalam perang dunia I membuat Jepang hampir setara dengan negara Eropa lainnya. Pemerintah mengeluarkan perintah untuk memulangkan para pelacur Jepang di luar negeri demi gengsi Jepang pada saat itu. Tetapi kekalahan Jepang pada masa perang dunia II membuat Jepang miskin dan banyak perempuan beralih ke baishun sebagai cara untuk mencari nafkah. Hal ini didukung oleh keputusan pemerintah untuk menyediakan tempat baishun legal untuk memenuhi kebutuhan biologis tentara Amerika.


(2)

4. Masuknya anggota keluarga ke dunia baishun dapat menunjang ekonomi keluarga. Pekerjaan untuk wanita selain bidang baishun memiliki upah yang minim, sehingga kurang mencukupi kebutuhan keluarga. Hal ini lah yang mendorong wanita untuk mengeluti pekerjaan di bidang baishun. Pelacur jalanan pada masa pasca perang dunia II sangat banyak, namun pemerintah seakan-akan melegalkan mereka karena mereka juga menunjang ekonomi keluarga.

5. Di zaman feodal, pelacur disebut- sebut sebagai artis. Hal ini menambah keinginan para perempuan Jepang untuk memasuki ba ishun. Tujuan utama para pelacur adalah untuk menjadi pelacur kelas tinggi yang diingini para pria kaya di Jepang.

6. Setelah Jepang memasuki masa kemakmuran di zaman modern dan setelah disahkannya undang-undang anti baishun, baishun tetap ada di Jepang. Kemiskinan tidak lagi menjadi alasan utama untuk memasuki baishun. Konsumerisme yang tinggi sebagai alasan utama para remaja jepang memasuki baishun. Keinginan wanita Jepang untuk memiliki barang-barang buatan luar negeri yang mahal membuat mereka harus bekerja lebih keras demi mendapatkan uang, dan jalan untuk mendapatkan uang banyak adalah dengan memasuki baishun.

7. Ba ishun perempuan dari luar negeri yang ada di Jepang kebanyakan disebabkan oleh penipuan para pencari tenaga kerja. Mereka biasanya berasal dari negara- negara berkembang yang ingin mencari pekerjaan di Jepang.


(3)

4.2 SARAN

1. Skripsi ini mempunyai banyak kekurangan, baik dari segi isi, pemahaman konsep, penulisan dan analisis data. Bagi rekan-rekan yang ingin melanjutkan pembahasan tentang baishun alangkah lebih baik mempersempit ruang lingkup pembahasan agar kekurangan dalam pembahasan semakin berkurang.

2. Pada masa pemerintahan Toyotomi Hideyoshi, sebelum yukaku berdiri baishunfu sangat banyak memperdagangkan tubuhnya di jalanan kota besar. Dengan jumlah baishunfu yang banyak tersebut keadaan kota semakin padat dan tidak terkendali sehingga menyebabkan masalah baru bagi penduduk kota. Sama halnya seperti di Indonesia, lokalisasi pelacuran sangat berguna untuk membatasi ruang gerak para pelacur sehingga tidak mengganggu kehidupan kota. Ditutupnya lokalisasi pelacuran dapat menyebabkan hal yang sama seperti di Jepang pada masa sebelum dibentuknya yukaku, yakni semakin banyak pelacur yang menjajakan diri di jalanan pusat kota. Jadi, penutupan lokalisasi pelacuran tidak menyelesaikan masalah pelacuran tetapi menambah tugas pemerintah memerangi pelacur- pelacur jalanan yang bertebaran di jalanan kota. 3. Dalam memerangi pelacuran, pemerintah harus membuat peraturan yang

jelas tentang pelacuran. Peraturan yang mempunyai banyak celah membuat pelacuran malah semakin berkembang. Pemerintah tidak dapat memaksakan rakyatnya untuk tidak berbuat jahat, namun peraturan yang ketat dan menghukum dapat mengurangi niat rakyatnya untuk berbuat jahat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Chalmers, Sharon.2002. Emerging Lesbian Voicer from Japan. London and New York : RoulledgeCurzon.

Goodwin, Janet R. 2006. Selling Song and Smiles: The Sex Trade in Heian and Ka ma kura Ja pan. Honolulu. University of Hawai Press.

Harada, Kazue. 2002. Good Bad Girls: Male Writers Romanticization of Prostitutes in The Post Wa r Era. The University of British Colombia. Helgadottir, Svanhildur. 2011. Pleasure Women : Court Ladies, Courtesans and

Geisha , a s seen through the eyes of Fema le Authors. Leibeinandi: Gunnella Porgeirsdottir.

Ihsan, Soffa. 2004. In The Name of Sex : Santri, Dunia Kelamin, dan Kitab Kuning. Surabaya: JP Books.

Koentjaraningrat. 1976. Metode Penelitian Masyarakat. Yogyakarta : Gadjahmada University Press.

Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Antropologi I. Jakarta : Universitas Indonesia. Kovner, Sarah. 2012. Occupying Power: Sex Worker and Servicemen in Postwar

Ja pan. California. Stanford University Press.

Liska, Marisa. 2011. Konsumerisme sebagai Faktor Penarik Ter jadinya Fenomena Enjokosa i da la m Ma sya ra ka t Jepa ng Kontenporer. Depok: FIB UI(skripsi)

Moleong, Lexy J. 2007. Metode Penelitian Kualitatif (Cetakan Ke-23). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.


(5)

Renariah, Kabuki. 2008

Sanderson, Stephen K. 2000. Makro Sosiologi. Jakarta : PT Raja Grafindo. Situmorang, Hamzon. 2009. Ilmu KeJepangan 1. Medan : USU press.

Soedjono D. 1977. Pelacuran Ditinjau dari Segi Hukum dan Kenyataan dalam Ma sya ra ka t. Karya Nusantara, Bandung.

Stanley, Amy. 2012. Selling Women: Prostitution, Markets, and The Household in Ea rly Modern Ja pa n. Berkeley. University of California Press.

Suherman, Eman. Dinamika Masyarakat Jepang dari Masa Edo hingga Pasca Pera ng Dunia II. Yogyakarta, Universitas Gadjah Mada.

Sunarto, Kasmanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta : Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

Soekanto, Soerjono. 1989. Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum Terhadap Masalah-Ma sa la h Sosia l. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Tadashi, Fukutake. 1988. Masyarakat Jepang Dewasa Ini. Jakarta: Gramedia.

Tangdilintin, Paulus.2003.Materi Pokok Masalah Ma sa la h Sosia l.Jakarta:UT Chiyoka, Torii. The Conparative Studies : Indian and Japanese Prostitutes and

Society.

Pangastoeti, Sri. 2009. Dari Kyuusuu ke Ran’in: Karayuki-sa n dan Prostitusi Jepa ng di Indonesia (1885-1920).

Swington, Elizabeth de Sabato. 1995. The Women of Pleasure Quarter: Ja panese Pa intings a nd Prints of The Floa ting Wor ld. New York: Hudson Hills


(6)

W.A Bonger.---. Versprede Gerchiften

Wulandari, Endah H. 2013. Karayuki-san: Representasi Perempuan Jepang Mela lui Ja ringa n Tra nsna siona l Dia spora Jepa ng Hindia -Bela nda (1887-1930). Simposium Nasional Asosiasi Study Jepang di Indonesia. Yuji. Geisha,Okiya,Hanamachi and so on. 2004

PUBLIKASI ELEKTRONIK

Wakabayashi, Tsubasa. 2003. Enjokosai in Japan: Rethingking The Dual Image of Prostitutes in Ja pa nese and America n La w. UNCLA Women’s Journal. http://escholarship.org/uc/item/8gc4h12r

http://ms4857.wordpress.com/2011/07/25/Sejarah-Baishun-Jepang/

http://maggiemcneill.wordpress.com/2010/10/21/Japanese-Prostitution/

http://pekerjasosialtuban.wordpress.com/masalah-sosial/

http://id.wikipedia.org/wiki/Baishun_di_Yunani_kuno

http://www.kesimpulan.com/2009/04/baishun.html

http://www.anehdidunia.com/2013/09/sejarah-profesi-baishun-dunia.html

http://nazlavieka.blogspot.com/2013/01/makalah-baishun.html