11
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Anak merupakan
penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut. Ia dianggap sebagai modal untuk
meningkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status sosial orang tua. Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih
hidup, anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian. Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan
dengan orang tuanya, termasuk ciri khas, baik maupun buruk, tinggi, maupun rendah. Anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya. Begitu pentingnya
eksistensi anak dalam kehidupan manusia, maka Allah SWT mensyari’atkan adanya perkawinan.
Pensyari’atan perkawinan memiliki tujuan antara lain untuk berketurunan serta hidup dalam kedamaian
1
, memelihara nasab, menghindarkan diri dari penyakit dan menciptakan kaluarga yang sakinah. Sebagaimana firman Allah SWT.,dalam al-
Qur’an surat al-Rum ayat 21:
1
M. Hasballah Thaib, Marhalim Harahap, Hukum Keluarga dalam Syariat Islam, Universitas Al- Azhar, Medan, 2010, hlm 7.
Universitas Sumatera Utara
12 “Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya adalah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cendrung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
Oleh karena itu agama Islam melarang perzinaan. Hukum Islam memberi sanksi yang berat terhadap perbuatan zina. Karena zina dapat mengakibatkan ketidak
jelasan keturunan. Sehingga ketika lahir anak sebagai akibat dari perbuatan zina, maka akan ada keraguan tentang siapa bapaknya. Hal ini diungkapkan dalam al-
Qur’an surat al-Isra’ : 32: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah
perbuatan keji. Dan suatu jalan yang buruk”. Hadist Nabi, dari Abu Hurairah r.a. berkata : Rasulullah SAW bersabda :
“Anak itu adalah untuk pemilik tilam dan bagi pezina adalah hukuman rajam”
2
Pergaulan bebas antara muda-mudi yang banyak terjadi sekarang ini, seringkali membawa kepada hal-hal yang negatif yang tidak dikehendaki, seperti
hubungan sex luar nikah dan hamil luar nikah. Hal ini disebabkan oleh adanya pergesekan budaya, sehingga pada saat ini menggejala dimasyarakat adanya hidup
bersama antara seorang pria dan wanita tanpa adanya ikatan perkawinan. Anak yang lahir di luar nikah mendapatkan julukan dalam masyarakat sebagai anak haram, hal
ini menimbulkan gangguan psikologis bagi anak, walaupun secara hukum anak
2
Ahmad Mudjab Mahalli dan Ahmad Rodli Hasbullah, Hadis-Hadis Muattafafaq ‘Alaih, bagian munakahat dan mu’amalat Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm. 57.
Universitas Sumatera Utara
13 tersebut tidak mempunyai akibat hukum dari perbuatan orang tuanya, namun banyak
persoalan yang muncul akibat hamil luar nikah tersebut, seperti hubungan nasab antara anak dengan bapak biologisnya, dan lain sebagainya dari berbagai perspektif
hukum. Bencana yang dialami Aceh, juga terjadi di daerah-daerah lain di bumi pertiwi,
kendatipun dengan intensitas yang berbeda. Fenomena alam tersebut, telah, sedang dan akan terus terjadi. Sejarah Indonesia mencatat meletusnya gunung Krakatau
2dua abad yang lalu menimbulkan gelombang laut yang dahsyat sehingga mencapai negara tetangga. Dapat dipastikan bencana tersebut menimbulkan akibat yang tidak
berbeda dengan tsunami di Aceh. Terkait dengan kewenangan pengadilan agama tentang pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam, muncul pula pertanyaan
bolehkah anak-anak korban bencana alam yang tidak diketahui siapa orang tuanya itu dinasabkan oleh pengadilan agama kepada orang tua angkatnya?
Islam adalah agama kebenaran dan keadilan. Kebenaran dan keadilan menunjukan wajib dinisbahkan anak kepada bapak yang sebenarnya, bukan bapak
palsu. Di dalam al-Qur’an pada surat al-Ahzab ayat 4-5 yakni tentang menisbahkan anak kepada bapaknya, Allah SWT berfirman :
“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu
sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak ankatmu sebagai anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu
saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan dia menunjukan jalan yang benar”
Pada ayat 5 surat al-Ahzab ini dijelaskan bahwa :
Universitas Sumatera Utara
14 “Panggilah mereka anak-anak angkat itu dengan memakai nama bapak-
bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka panggilah mereka sebagai saudara-
saudaramu segama dan maula-maulamu” Permasalahan istilhaq atau bisa juga disebut iqraru bin nasab, yang menjadi
aktual untuk dibahas karena berkaitan erat dengan kewenangan mutlak absolute compentence badan peradilan agama tentang penyelesaian asal usul anak dan
pengangkatan anak dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Disamping itu, secara sosiologis, walaupun belum ada penelitian ilmiah dalam hal ini, dirasakan banyaknya anak-anak yang lahir di luar suatu perkawinan yang sah, yang
kemudian antara lain ditelantarkan begitu saja oleh orangtuanya. Kenyataan ini suatu saat, besar kemungkinan akan menjadi kasus yang akan diajukan ke Pengadilan
Agama untuk diselesaikan dalam bentuk pengangatan anak atau pengesahanpengakuan anak.
Permasalahan istilhaq erat kaitannya dengan kedudukan anak luar nikah. Dalam Undang-Undang Nomor: 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat 1 dan 2 disebutkan
bahwa anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sedangkan kedudukan anak luar nikah tersebut
akan di atur dalam suatu Peraturan Pemerintah. Akan tetapi sampai saat ini Peraturan Pemerintah tersebut belum juga terbit.
Berkaitan dengan belum terbitnya Peraturan Pemerintah dimaksud, maka hal tersebut
Universitas Sumatera Utara
15 akan menimbulkan ketidak pastian hukum dan ketidak adilan, terutama dirasakan
pihak anak dan ibu yang melahirkannya. Sedangkan lelaki yang menghamili terkesan kurang mendapat akibat dan tanggung jawab atas perbuatannya yang telah
menyebabkan kelahiran seorang anak yang kemudian disebut anak luar nikah. Deskripsi tersebut di atas menunjukkan bahwa Islam mengajarkan agar orang
Islam peduli dengan sesama umat manusia. Kendatipun anak yang dibuang tersebut diyakini anak zina, Islam tetap menganjurkan agar menyelamatkan nyawanya karena
anak zina terlahir fitrahsuci, dan perlu diselamatkan. Adapun yang salah dan berdosa adalah orang tuanya. Apalagi kalau seorang anak tidak diketahui orang tuanya karena
musibah dan bencana alam, tentulah sangat terpuji menyelamatkan nyawa mereka. Uraian diataslah yang melatar belakangi Penulis untuk mengambil judul Tesis ini
yang penulis beri judul “Pengakuan anak menurut hukum Islam dan Kitab undang- undang Hukum Perdata ”
B. Perumusan Masalah