48
B. Pengaturan nasab dalam hukum Islam
Pengertian nasab secara bahasa diartikan dengan kerabat, keturunan atau menetapkan keturunan.
59
Menurut Wahbah az Zuhayly dalam kitabnya al-Fiqhul Islamiyyu wa Adillatuh, nasab adalah salah satu dari hak anak yang lima, yakni:
nasab, ridha susuan, hadhanah pemeliharaan, walayah perwalian
perlindungan dan nafkah.
60
1. Ketentuan dalam al-Qur’an Al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 4 yakni tentang hukum zhihar dan kedudukan
anak angkat, Allah SWT berfirman 4. “Tidaklah Allah menjadikan isteri yang kamu dhihar itu menjadi seperti
ibumu, dan tidak Allah menjadikan anak angkat itu menjadi seperti anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu
saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukan jalan yang benar”
Pada ayat 5 surat al-Ahzab ini dijelaskan : “Panggillah anak-anak angkat itu dengan nama ayah-ayah mereka, yang
demi kian itu lebih adil disisi Allah. Apabila kamu tidak mengetahui ayah- ayah mereka, maka anak angkat itu adalah saudaramu dalam agama, dan
maulamu orang dekatmu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi yang ada dosanya apa yang disengaja oleh
hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
2. Ketentuan dalam al-Hadist
59
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Yayasan Penyelenggara, Jakarta, 1973, hlm. 449.
60
http:www.google.comsearch?ie=UTF-8oe=UTF- 8sourceid=navclientgfns=1q=mengupas+permasalahan+istilhaq+dalam+hukum+islam
diakses 2 June 2010
Universitas Sumatera Utara
49 Sebagaimana dikutip oleh Mukhsin Asyrof
61
dari sabda Nabi Muhammad SAW
“tentang nasab seorang anak yakni anak yang lahir dinasabkan pada suami, sedangkan untuk pelaku zina adalah batu”
Masalah nasab ini juga yang dikutip oleh Mukhsin Asrof dari Hadist Nabi Muhammad SAW diriwayatkan, bahwasanya dia bersabda :
“barang siapa dipanggil kepada selain nama ayahnya sedangkan dia mengetahui, maka sorga haram baginya”
3. Menurut Fiqih Islam Dalam hukum islam, asal usul seorang anak nasab dapat diketahui dari salah
satu diantara tiga sebab, yaitu : a Dengan cara al-firasy, yaitu berdasarkan kelahiran karena adanya perkawinan
yang sah; b Dengan cara iqrar, yaitu pengakuan yang dilakukan oleh seseorang terhadap
seorang anak dengan menyatakan bahwa anak tersebut adalah anaknnya; c Dengan cara bayyinah, yakni dengan cara pembuktian bahwa berdasarkan
bukti-bukti yang sah seorang betul anak sipulan. Dalam hal yang terakhir ini termasuk juga anak yang lahir dari wathi’ syubhat dan anak yang lahir dari
nikah fasid. Dengan hal ini dapat diketahui bahwa dalam hukum Islam anak dibagi kepada dua bagian, yaitu anak yang diketahui hubungan darah dengan
bapaknya. Anak yang tidak diketahui hubungan darah denga bapaknya dengan sendiri mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya yang melahirkannya
dan bisa mempunyai hubungan keperdataan dengan bapaknya, jika bapaknya itu mengakuinya.
62
Terjadi perbedaan yang prinsip tentang motivasi pengakuan anak menurut hukum Islam. Dalam hukum perdata barat pengakuan anak dapat dilakukann oleh
61
H. A Mukhsin Asyrof, Mengupas Permasalahan Istilhaq dalam Hukum islam, Makalah Pada Rakernas Akbar Mahkamah Agung Ri, Agustus 2008, Pekan baru. Hlm. 7
62
Iman Jauhari, advokasi hak-hak anak, Op. Cit., Hlm. 182. lihat juga Fatchur rahman, Op. Cit., hlm. 72
Universitas Sumatera Utara
50 seseorang yang merupakan kebutuhan hukum bagi pasangan yang hidup bersama
tanpa nikah. Sedangkan motivasi pengakuan anak menurut hukum islam adalah
63
: a Demi kemaslahatan anak yang diakui;
b Rasa tanggung jawab dan taklief ijtimai; c Menyembunyikan aib karena anak tersebut terlahir di luar kawin orang
tuanya; d Antisipasi terhadap datangnya mudharat yang lebih besar di masa yang akan
datang apabila anak tersebut tidak diakuinya. Hukum islam hanya memberikan akibat hukum kepada anak dengan orang tua berdasarkan
pernikahan, tetapi untuk menutupi aibnya syariat islam menganjurkan agar orang mengakui anak yang jelas ayahnya.
Syarat penetapanpenghubungan nasab dan keturunan adalah : a Kandungan tersebut masih dalam status perkawinan yang sah diantara suami
dan isteri b Masa kandungan tidak kurang dari enam bulan dan tidak lebih dari empat
tahun menurut jumhur ulama dan dua tahun menurut Abu Hanifah atau lima tahun menurut Imam Malik
c Terjadi Senggama yang hakiki di antara suami isteri, kecuali pendapat Abu Hanifah : Aqad yang sah saja sudah cukup untuk menghubungkan
nasabketurunan d Nasabketurunan dapat dihubungkan kepada suami, apabila ia tidak
menafikanmenolak nasab anak tersebut
64
Menurut hamdan Abbas bahwa seseorang yang sengaja memasukan sepermanya kepada wanita yang bukan isterinya, anak yang terjadi dari seperma
tersebut tidak dapat dinasabkan kepada yang empunya seperma itu. Akan tetapi laki- laki dan wanita tersebut harus di hukum ta’zir, karena perbuatan itu termasuk
pelanggaranjinayat.
65
63
Abdullah Ali Husein, Muqaranah Tasyri’iyah Minal Qawarninul Wadh’iyyah...” seperti dikutip Iman Jauhari Advokasi Hak-Hak Anak ditinjau dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang-
Undangan, Op. Cit., 2008, hlm. 182..
64
H. Hamdan Abbas, “Peminjaman Rahim untuk Kandungan Bayi Ditinjau Dari Segi Islam”, dam Meminjamkan Rahim Untuk Kandungan Bayi, Universitas Washliyah, Medan 1987, hlm. 81.
65
Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam, Op. Cit., hlm. 17
Universitas Sumatera Utara
51 Menurut Iman Jauhari sebab-sebab yang menimbulkan nasab adalah :
a. Perkawinan yang sah. b. Istilhaq iqrar yaitu : seorang ayah atau saudara mengaku bahwa si A adalah
anaknya atau saudaranya dan dibenarkan si A apabila ia sudah dewasa, atau diakui oleh waris bahwa si A itu waris mereka. Maka hubungan nasab yang
demikian itu disahkan oleh syari’at Islam c. Al-bayyinah yaitu dua orang waris menjadi saksi bahwa si A anak dari ayah
mereka atau dilahirkan oleh isteri ayah mereka, walaupun dibantah oleh waris yang lain demikianlah salah satu sebab senasab dalam Islam
d. Al-qaifah seorang ahli firasat, yaitu seorang ahli firasat yang mengetahui nasabketurunan dengan firasatnya, ia melihat kepada si anak dan ayahnya
atau saudaranya, lalu ia benarkan anak dengan ayahnya atau saudara dengan saudaranya sedarah.
66
Sebab-sebab ketetapan nasab anak disebelah ibunya ialah kelahiran, sama sah atau tidak. Adapun sebab-sebab ketetapan nasab disebelah bapak ialah
67
1. Perkawinan yang sah Jumhur fuqaha bersepakat mengatakan bahwa anak yang dilahirkan oleh
perempuan yang mempunyai suami secara sah disambungkan nasab kepada suaminya berpandukan kepada hadist yang lepas artinya, “anak yang lahir sah berhak
ditetapkan nasab keturunanya”
68
Perkawinan yang syah mempunyai beberapa syarat : a. Suami sekurang-kurangnya berumur sepuluh tahun, maka apabila suami umurnya
kurang dari sepuluh tahun tiba-tiba isterinya melahirkan, maka anak tersebut bukan anak suaminya.
b. Anak tersebut lahir sekurang-kurangnya enam bulan setelah aqad nikah, sebab sekurang-kurang mengandung adalah enam bulan. Lain halnya dengan
keguguran, maka dua atau tiga bulan setelah aqad nikah, tetap dibangsakan
66
Iman Jauhari, Kapita Selekta Hukum Islam, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2007, hlm. 3-4
67
Iman Jauhari, Hak-Hak Anak dalam Hukum Islam, Loc. Cit.
68
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
52 kepada suami juga, maka tajhiznya adalah tanggungan suami, jadi masa enam
bulan tersebut diatas adalah bagi anak yang sempurna saja c. Apabila isteri yang masih dalam masa iddah melahirkan sedalam jangka waktu
empat tahun, maka anak tersebut masih dibangsakan kepada bekas suami, sebab selama-lama waktu mengandung adalah empat tahun, kecuali apabila suami me-
li’an isterinya yaitu menuduh isteri berzina serta menghadirkan saksi empat orang atau syahadat empat kali, yang kelima la’nat Tuhan baginya jikalau ia berdusta,
maka anak tersebut tidak anaknya lagi. Tetapi apabila lebih dari empat tahun dari masa perceraian ia melahirkan, maka anak tersebut bukan anak dari bekas
suaminya.
69
Maksud firasy adalah perempuan yang dijadikan hamparan laki-laki dan bersedap-sedap denganya. Hukum yang demikian itu adalah dengan beberapa syarat
a Suami dari orang yang boleh menyebabkan isteri hamil, pada kebiasaanya adalah seorang yang baliqh pada pandangan ulama “Maliki dan Syafi’I”. pada
pendapat ulama Hanafi seseorang itu dikira muda remaja murahiq ketika berusia 12 tahun, menurut ulama Hanbali ialah mereka yang menjangkau
umur 10 tahun. Karena itu tidak ada ketetapan nasab dari anak-anak kecil yang belum baliqh sekalipun seorang anak itu dilahirkan oleh ibunya lebih
dari enam bulan dari tarikh aqad perkawinan. Tidak ada ketetapan nasab dari orang yang terpotong zakar dan dua buah zakarnya pada pendapat ulama
Maliki. Bagi orang yang terpotong dua buah zakarnya, atau sebiji yang kiri sahaja, maka kedudukannya dijurukan kepada para doktor yang pakar. Jika
mereka berpendapat bahwa ia boleh menyebabkan kehamilan, maka boleh ketentuan nasab daripadanya, sebaliknya jika doktor berpendapat bahwa ia
tidak boleh menyebabkan perempuan hamil, maka tidak ada ketetapan nasab daripadanya.
Manakala ulama Syafi’I dan Hanbali berpendapat boleh ditetapkan nasab dari orang yang terpotong zakar saja tetapi masih ada dua buah zakarnya, dan
orang yang mempunyai zakar saaja walaupun dua buah zakarnya tiada. Tidak ada penetapan nasab kepada orang yang terpotong zakar dan tidak ada kedua-
dua zakarnya. b Anak itu dilahirkan setelah enam bulan dari masa aqad perkawinan pada
pendapat ulama Hanafi, sementara pendapat jumhur ialah setelah enam bulan dikira masa ia dibolehkan melakukan persetubuhan. Jika anak itu dilahirkan
kurang dari waktu minimum masa mengandung, yaitu enam bulan, maka ulama berpendapat tidak ada ketetapan nasab dari si suami, dan ia merupakan
bukti bahwa kehamilan itu berlaku sebelum aqad perkawinan, kecuali sekiranya suami mendakwa anak itu adalah anaknya, karena dakwaanya itu
69
Ibid
Universitas Sumatera Utara
53 diandaikan bahwa perempuan adalah hamil denganya sebelum aqad
perkawinan sama dengan berasaskan aqad yang fasid, ataupun berlaku persetubuhan syubhat. Dakwaan si suami itu didasarkan dengan berasaskan
demi menjaga kemashlahatan anak dan menutup keaiban marwah seseorang. c Membolehkan pertemuan antara suami isteri setelah belaku aqad perkawinan.
Syarat ini disepakati oleh para fuqaha. Cuma mereka memperhatikan tentang maksud yang dikehendaki denganya, adakah ia bermaksud membolehkan
pertemuan pada gambaran pemikiran ataupun bertemu pada realita dan kebiasaan.
70
Ulama Hanafi berpendapat bahwa yang menjadi syaratnya ialah membolehkannya bertemu pada gambaran pemikiran. Bila ada kemungkinan suami
isteri itu berjumpa pada pandangan akal, maka ketetapan nasab anak dari si suami kiranya si isteri melahirkan anak setelah enam bulan dari mulai aqad perkawinan,
sekalipun tidak ada ketetapan nasab anak dari si suami kiranya si isteri melahirkan anak setelah enam bulan dari mulai aqad perkawinan, sekalipun tidak ada ketetapan
pertemuan mereka pada zahirnya. Jika seorang lelaki dari barat berkawin dengan seroang perempuan yang berada di timur dan mereka berdua tidak berjumpa pada
zahir dalam waktu setahun, dan si isteri melahirkan anak setelah enam bulan dari mulai perkawinan, anak itu ketetapan nasabnya dari suami karena kemungkinan yang
dipandang dari segi keramat. Keramat wali-wali adalah suatu yang benar. Kadangkala zahir keramat dapat memendekan jarak yang jauh dalam waktu yang sedikit, dan
mungkin suami terdidiri dari golongan orang yang dapat melipat bumi. Pendapat
70
Ibid., hlm. 18-19.
Universitas Sumatera Utara
54 yang shahih disisi ulama Hanafi ialah ketetapan nasab dikira dari mulai aqad
perkawinan
71
Sekalipun tidak wujud kemungkinan bersetubuh. Ini sebagai langkah berjaga- jaga bagi hak anak supaya tidak hilang nasabnya, menjaga marwah dan mengelak dari
wujud masalah anak-anak buangan. Justeru itu, maka disambungkan pertalian nasab anak dengan orang yang ada hubungan suami isteri yang sah. Jika si suami yakin
bahwa anak itu buka dari padanya, maka bolehklah ia menafikanya secara li’an. Logika ini tidak dapat diterima oleh para Imam yang tiga Malik, Syafi’I, dan
Ahmad. Mereka berpendapat bahwa syarat di atas bermaksud membolehkan bertemu secara realita pada kebiasaanya dan membolehkan berlaku persetubuhan. Sebabnya
kemungkinan mereka bertemu dengan berpandukan akal fikiran saja jarang berlaku. Ia tidak sah diambil kiran perananya dalam aqad yang zahir dalam hukum ditegakan
di atas perkara yang selalu berlaku dan yang zahir, bukan mengenai perkara-perkara yang jarang berlaku atau tersembunyi yang luar dari kebiasaan. Oleh sebab itu, jika
dipercaya dan diyakini bahwa pada realita tidak ada pertemuan antara suami isteri, maka tidak ada ketetapan nasab anak dari suami. Umpamanya, jika salah seorang dari
mereka ditahan di dalam penjara, atau berada di Negara yang jauh dan memakan masa yang lama sehingga melebihi waktu maksimum masa hamil. Karena itu
pendapat ini diamalkan dalam undang-undang dan inilah pendapat yang shahih karena ia bersesuaian dengan kaidah-kaidah syariah dan akal.
72
71
Wahhab al-Zuhaili, seperti dikutip oleh Iman Jauhari, Ibid.
72
Ibid. hlm. 20
Universitas Sumatera Utara
55 Inti sari perselisihan, Ulama Hanafi berpendapat bahwa pertalian nasab anak
tidak akan ternafikan melainkan dengan li’an, manakala menurut jumhur, nasab anak ternafi walaupun tanpa lian, karena pada adat kebiasaanya tidak mungkin berlaku
pertemuan antara suami isteri
73
. Waktu ketetapan nasab setelah perceraian dari suami yang sah. Perceraian
berlaku sama ada sebelum bersetubuh ataupun setelah bersetubuh : a. Jika suami menceraikan isterinya sebelum bersetubuh dan sebelum
berkhalwat, kemudian isteri melahirkan anak setelah bercerai. Maka ia membawa anak itu sebelum lewat waktu enam bulan dari mulai perceraian,
berketetapan nasab anak itu dari suami, karena diyakini bahwa isteri telah hamil sebelum berlaku perceraian
b. Jika suami menceraikan isterinya setelah bersetubuh atau setelah berkhalwat, sama ada talaq raj’i, talak ba’in, atau suami mati. Maka jika isteri membawa
anak setelah talahq atau setelah suami mati, maka ketetapan nasab anak dari suami jika anak itu dillahirkan sebelum berlaku kehamilan yang lama
bermula pada hari talaq atau kematian. Kehamilan yang lama seperti yang kami telah terangkan ialah empat tahun pada pendapat ulama Syafi’I dan
Hanbali, dua tahun pada pendapat ulama Hanafi dan lima tahun pada pendapat yang masyhur disisi Maliki.
74
Sekiranya isteri melahirkan anak setelah lewat waktu yang lama semasa hamil dari hari perceraian atau kematian, maka tidak ada ketetapan nasab anak dari suami
yang menceraikanya atau suami yang mati. Ini adalah pendapat jumhur.
75
Ulama Hanafi memperincikan tentang talaq raji dan talak ba’in, mereka berpendapat, sekiranya berlaku talaq raj’I dan isteri tidak membuat pengakuan bahwa
‘iddah telah habis, maka ketetapan nasab anak kepada suami, sama dengan isteri
73
Ibid.
74
Ibid
75
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
56 membawa anak sebelum lewat dua tahun dari perceraian atau setelah lewat dua tahun
atau lebih, karena talaq raj’I tidak mengharamkan suami ke atas isterinya. Oleh karena itu suami dibolehkan bersedap-sedap bersama isterinya, dan perbuatan ini
dikiran sebagai merujuk semula.
76
Jika isteri membuat pengakuan bahwa iddahnya telah habis dan ada kemungkinan waktunya telah tamat yaitu telah lewat masa 60 hari pada pendapat Abu
Hanifah, dan 39 hari pada pendapat dua sahabat, maka tidak ada ketetapan nasab anak dari suami, kecuali apabila jarak masa di anatara pengakuan dan kelahiran kurang
dari enam bulan, karena diantara pengakuan atau salah pengakuanya. Jika masa tersebut enam bulan atau lebih, tidak ada ketetapan juga nasab anak dari suami
kecuali jika suami sendiri mendakwa anak itu adalah anaknya.
77
Jika perceraian itu dengan talak ba’in atau kematian suami, dan isteri tidak membuat pengakuan habis iddahnya, maka tidak ada ketetapan nasab anak dari
suami, kecuali apabila isteri membawa anak sebelum berlaku masa dua tahun dari perceraian atau kematian, karena maksimum waktu hamil disisi mereka ialah dua
tahun. Oleh karena itu, jika ia melahirkan anak dalam jangka waktu ini dan ada kemungkinan ia hamil dari suami nya sebelum talaq atau sebelum kematian suami,
maka ketetapan nasab anak dari suami yan menceraikanya atau yang mati. Jika ia
76
Ibid.
77
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
57 melahirkan anak setelah masa itu, maka tiada kemungkinan ia hamil sebelum talaq
atau sebelum kematian suami
78
Jika ia mendakwa ‘iddahnya telah tamat, dan ada kemungkinan demikian, maka tidak ada ketetapan nasab anak dari suami, kecuali apabila ia bersalin sebelum
membuat pengakuan dengan syarat waktu di antara talaq dan kelahiran kurang dari dua tahun
79
2. Perkawinan fasid Perkawinan yang fasid dalam menentukan nasab adalah sama seperti
perkawinan yang shahih, karena langkah berhati-hati dan cermat dalam menentukan nasab demi untuk mencerahkan hidup anak dan menjaganya. Syarat bagi menentukan
nasab dengan sebab perkawinan fasid ada tiga, yaitu : a. Suami teridiri dari orang yang boleh menghamilikan, yaitu baliqh disisi ulama
Maliki dan Syafi’I, baliqh atau remaja disisi ulama Hanafi atau Hanbali b. Berlaku persetubuhan dengan perempuan ataupun khalwat pada pendapat
ulama Maliki. Jika tidak ada persetubuhan atau khalwat setelah perkawinan fasid, maka tidak ada ketetapan nasab anak karena khalwat pada perkawinan
fasid adalah sama seperti khalwat pada perkawinan shahih, Karena berpeluang melakukan persetubuhan. Ulama Hanafi mensyaratkan berlaku persetubuhan
saja. Khalwat tidak memadai untuk menentukan nasab dengan sebab perkawinan yang fasid karena tidak dihalalkan persetubuhan antara lelaki dan
perempuan c. Perempuan melahirkan anak setelah enam bulan atau lebih dari persetubuhan,
atau khalwat disis ulama Maliki, dan dari persetubuhan di sisi ulama Hanafi. Jika perempuan melahirkan anak sebelum lewat masa enam bulan dari
persetubuhan dan khalwat di sisi dua golongan pertama, maka tidak ada ketetapan nasab dari lelaki itu karena ia menunjukan bahwa dia telah hamil
sebelum bersetubuh, dan ia adalah anak dari lelaki lain. Sebaliknya dia
78
Ibid. hlm. 23.
79
Ibid
Universitas Sumatera Utara
58 melahirkan anak setelah enam bulan atau lebih dari bersetubuh berkhalwat,
maka ketetapan nasab anak dari suami melalui perkawinan fasid.
80
Tidak ternafi nasab dari lelaki itu kecuali dengan li’an pada pendapat Maliki, Syafi’I dan Hanbali. Namun pada pendapat ulama Hanafi tidak ternafi nasab anak itu
walaupun dengan li’an, karena tidak sah li’an disisi Hanafi melainkan setelah perkawinan yang sah, sendangkan perkawinan dalam masalah ini adalah fasid.
Waktu ketetapan nasab setelah berpisah dari perkawinan yang fasid. Apabila berlaku perpisahan setelah perkawinan fasid dengan sebab isteri ditinggalkan atau
dipisahkan oleh qadi setelah bersetubuh atau khalwat, kemudian ia melahirkan anak sebelum berlalu masa maksimum hamil dari ia dipisahkan, maka ketetapan nasab
pada pendapat ulama Maliki. Sebaliknya jika melahirkan anak setelah berlalu masa maksimum waktu hamil, tidak ada ketetapan dari suaminya. Waktu hamil maksimum
sebagaimana yang telah dijelaskan ialah empat tahun pada pendapat ulama Syafi’I dan Hanbali, lima tahun pada pendapat Hanafi, dan satu tahun syhamsiah disisi
undang-undang dan para doktor
81
3. Persetubuhan syubhat Persetubuhan syubhat ialah hubungan jenis buka zina dan tidak berasaskan di
atas aqad perkawinan yang sah atau perkawinan yang fasid. Umpamanya, perempuan bersama suaminya pada malam pertama tanpa mengenalinya terlebih dahulu, Cuma
orang berkata bahwa itulah isterinya, lalu ia menyetubuhinya. Contoh lain seperti lelaki bersetubuh dengan perempuan yang sedang terbaring di tempat tidurnya dan
80
Ibid. hlm. 23
81
Ibid
Universitas Sumatera Utara
59 disangka itu isterinya, lalu ia menyetubuhi perempuan tersebut. Contoh lain ialah
persetubuhan semasa dalam iddah ketika suami menceraikanya dengan talaq tiga, dan ia berkeyakinan bahwa perempuan tersebut masih halal baginya.
82
Jika perempuan itu melahirkan anak setelah lewat masa enam bulan atau lebih dari masa persetubuhan, ketetapan nasab dari orang yang menyetubuhinya karena
yakin kehamilan itu dari padanya. Jika ia melahirkan anak sebelum lewat masa enam bulan, maka tidak ada ketetapan nasab anak dari padanya, karena diyakini kehamilan
itu telah berlaku sebelum persetubuhan syubhat, kecuali jika suami mendakwa bahwa anak yang dilahirkan itu adalah anaknya. Ini karena kemungkinan ia telah
menyetubuhinya sebelum itu dengan persetubuhan syubhat yang lain.
83
Sekiranya lelaki meninggalkan perempuan yang disetubuhi secara syubhat, maka ketetapan juga nasab dari padanya sebagaimna berketetapan nasab setelah
dipisahkan dari perkawinan yang fasid.
C. Pengakuan Anak Dalam Hukum Islam