59 disangka itu isterinya, lalu ia menyetubuhi perempuan tersebut. Contoh lain ialah
persetubuhan semasa dalam iddah ketika suami menceraikanya dengan talaq tiga, dan ia berkeyakinan bahwa perempuan tersebut masih halal baginya.
82
Jika perempuan itu melahirkan anak setelah lewat masa enam bulan atau lebih dari masa persetubuhan, ketetapan nasab dari orang yang menyetubuhinya karena
yakin kehamilan itu dari padanya. Jika ia melahirkan anak sebelum lewat masa enam bulan, maka tidak ada ketetapan nasab anak dari padanya, karena diyakini kehamilan
itu telah berlaku sebelum persetubuhan syubhat, kecuali jika suami mendakwa bahwa anak yang dilahirkan itu adalah anaknya. Ini karena kemungkinan ia telah
menyetubuhinya sebelum itu dengan persetubuhan syubhat yang lain.
83
Sekiranya lelaki meninggalkan perempuan yang disetubuhi secara syubhat, maka ketetapan juga nasab dari padanya sebagaimna berketetapan nasab setelah
dipisahkan dari perkawinan yang fasid.
C. Pengakuan Anak Dalam Hukum Islam
Pengakuan anak dalam literatur Hukum Islam disebut dengan “istilhag” atau “iqrar” yang berarti pengakuan seorang laki-laki secara suka rela terhadap seorang
anak bahwa ia mempunyai hubungan darah dengan anak tersebut, baik anak tersebut bersetatus di luar nikah atau ana k tersebut tidak diketahui asal usulnya.
84
Menurut Fatchur Rahman yang dikatakan dengan mendaku nasab, ialah mendaku orang lain
82
Ibid., hlm. 24
83
Ibid.
84
Abdul Manan, Aneka Permasalahan Hukum Perdata Islam, Op., Cit., , hlm. 76.
Universitas Sumatera Utara
60 yang tidak diketahui asal-mula nasabnya sebagai nasabnya sendiri atau sebagai nasab
keluarga.
85
Lembaga pengakuan anak menurut hukum perdata sebagaimana termuat dalam N-BW dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sama dengan lembaga
“istilhaq” dalam hukum Islam yang mempunyai arti adalah pengakuan seorang mukallaf bahwa ia adalah ayah dari seorang anak yang tidak diketahui nasabnya.
Menurut Abdullah Ali Husein tidak setiap mukallaf dapat mengakui seorang anaknya yang sah, melainkan harus berpegang kepada asas yaitu :
a. Adanya status yang baik dari anak tanpa ayah b. Tidak ada ketunggalan Hukum dalam masalah nasab
c. Pengakuan itu diharapkan melindungi bagi yang lemah d. Adanya larangan mengingkari kembali pengakuanyang telah diberikan.
Dengan asas ini hukum Islam telah memberikan patokan terhadap masalah anak sah dalam kehidupan seseorang, sehingga tidak terjadi hal-hal yang
buruk dalam kehidupan seseorang.
86
Menurut konsep hukum Islam, pengakuan anak ada dua macam yaitu pengakuan anak untuk diri sendiri dan pengakuan anak untuk orang lain. Pada
prinsipnya sama tujuanya hanya dalam pelaksanaanya sendiri sedikit berbeda, yakni : a. Mendaku nasab orang lain untuk didaku nasabnya oleh si pendaku muqrir
sendiri, dan b. Mendaku nasab orang lain untuk didakukan-nasabnya kepada orang lain yang
tidak mendaku
87
85
Fatchur Rahman, Op. Cit., hlm. 72.
86
Abdullah Ali Husein, Muqarranah Tasyri’iyah minal qawaninul wadhriyyah wa Tasyri’il Islam muqaranatan bainil fiqhil Qanuniyah faransiy wa mazhabil Imukam Malik, Darul Ihyail Kutub
Arabiyah, Cairo, 1997, hlm.235
87
Fatchur Rahman, Loc. cit
Universitas Sumatera Utara
61 Menurut Iman Jauhari cara menentukan asal usul anak ada tiga yaitu dengan
cara perkawinan sah atau fasid, pengakuan nasab, dan kesaksian,
88
pada kesempatan ini akan dibahas secara rinci tentang pengakuan nasab atau dakwaan nasab.
1. Pengakuan keatas diri sendiri Umpamanya bapak mengakui anak, ataupun anak mengakui bapak, seperti ia
berkata, “ini adalah anak saya”, atau “ini adalah ibu saya”, atau “ini adalah bapak saya”. Pengakuan ini sah dibuat walaupun ia sedang sakit berat yang membawa mati
dengan empat syarat yang akan datang yang disepakati oleh kebanya fuqaha di kalangan mazhab-mazhab. Syarat-syarat itupun telah disebut dalam pembahasan
pengakuan iqrar dan akan diuraikan berikut: a Orang yang diakui tidak diketahui nasab, yaitu ia tidak diketahui nasabnya
dari bapak yang lain. Seandainya ia diketahui mempunyai nasab dari bapak yang lain bukan yang membuat pengakuan, maka pengakuanya
adalah batal karena syarat menghukumkan ketetapan nasab dari bapak itu dan bila yakin ketetapan pada nasab dari seseorang, ia tidak lagi menerima
perpindahan daripadanya kepada yang lain. Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW melaknat orang yang menasabkan keturunan tidak
kepada bapaknya atau orang yang mewalikan tidak pada walinya. b Orang yang tidak diketahui nasab di sisi setengah ulama Hanafi ialah
orang yang tidak diketahui mempunyai bapak di negeri tempat dilahirkan. Ini jelas pada masa kini di samping kemudahan perhubungan dan mencari
negeri tempat ia dilahirkan. c Para ulama membuat pengecualian dari syarat itu berketetapan dengan
anak li’an, ia tidak sah didakwa dengan nasabnya dan dihubungkan dengan orang lain. Ini karena ada kemungkinan bahwa bapak yang
membuat li’an itu akan menarik balik li’an dan membohongi dirinya tentang dakwaan anak itu bukan anaknya.
d Pengakuan dirasakan benar dari segi pandangan dan realita dengan orang yang diakui anak itu dan kemungkinan ketetapan pertalian nasab dengan
orang yang membuat pengakuan. Sekiranya orang yang diakui nasab itu
88
Iman Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, Op. cit., hlm. 25
Universitas Sumatera Utara
62 berada ditahap umur yang munasabah sebagai anak bagi orang yang
membuat pengakuan. Jika orang yang diakui nasab itu jelas lebih tua atau sebaya atau berbeda umurnya tidak jauh dengan orang yang membuat
pengakuan yang kebiasaanya tidak mungkin ia adalah anak kepada orang yang membuat pengakuan, maka dalam hal yang seperti ini tidak sah
pengakuanya karena pengakuan itu dibohongi oleh panca indera dan kenyataan. Jika ada orang yang membuat pengakuan katanya kepada
seorang anak lelaki, “ini adalah anak saya”, sedangkan umur anak itu 10 tahun dan umur yang membuat pengakuan 20 tahun, maka tidak diambil
pengakuan itu disisi ulama Hanafi karena anak itu tidak mungkin dilahirkan sebagai anaknya pada pendapat mereka sebelum orang yang
membuat pengakuan berumur 12 tahun. e Dengan demikian apabila dua orang yang membuat pengakuan berbalas
bertetapan apabila masing-masing mengaku nasabnya, maka tidak ada ketetapan nasabnya karena apabila satu pengakuan pada nasab bercabang
dengan pengakuan orang lain padanya berarti terdapat dua pengakuan bertentangan, maka tidak dihubungkan pertalian nasab dengan salah satu
dari mereka karena tidak ada alasan diutamakan salah seorang dari pada yang lainya.
f Anak yang diakui itu membenarkan pengakuan, seandainya ia mempunyai keahlian untuk membuat demikian, yaitu : baliqh dan berakal disisi
jumhur, dan mumaayiz dissi Hanafi, karena pengakuan iqrar adalah dalil yang merupakan hujjah hanya keatas orang yang membuat pengakuan
saja. Ia tidak menjadi hujjah ke atas orang lain kecuali dengan saksi, atau orang lain itu membenarkan ikrar orang yang membuat pengakuan itu.
Jika anak yang diakui itu masih kecil atau gila, maka tidak disyaratkan pembenaran daripadanya karena kedua-duanya tidak berkeahlian membuat
pengakuan atau membenarkan. g Ulama Maliki berpendapat bahwa tidak mungkin menjadi satu syarat bagi
ketetapan nasab dari orang yang membuat pengakuan dipersiapkan pengakuanya oleh orang yang diakui karena nasab adalah hak anak keatas
bapak. Oleh karena itu ketetapan pengakuanya tanpa tertakluk kepada orang yang diakui seandainya tidak ada dalil yang menunjukan
h pembohongan orang yang membuat pengakuan. i Pengakuan tidak boleh menetapkan nasab dengan orang lain, ada benar
ataupun bohong karena pengakuan manusia adalah hujah ke atas diri orang yang membuat pengakuan saja, bukan hujah keatas orang lain,
karena yang menjadi hujah ke atas orang lain ialah kesaksian atau dakwaan. Kesaksian seseorang pada perkara yang tidak dilihat oleh orang
lelaki tidak diterima, dan dakwaan yang dibuat oleh seorang saja tidak menjadi hujjah.
Universitas Sumatera Utara
63 Berdasarkan ini, apabila orang yang membuat pengakuan nasab ialah seorang
isteri ataupun perempuan yang sedang berada dalam iddah, maka disyaratkan juga suaminya turut setuju mengaku anak yang diakui oleh isterinya itu adalah anaknya
juga. Ataupun isteri dapat membuktikan bahwa dia yang melahirkan anak yang diakui dari suaminya itu karena pengakuan itu meletakan nasab kepada orang lain, dan ini
tidak boleh diterima kecuali ia membenarkanya atau dengan bukti saksi. Ikrar batal jika orang yang membuat pengakuan itu berkata secara terang
dalam ikrarnya bahwa anak yang dia akui itu adalah anaknya dari zina, karena zina tidak layak menjadi sebab bagi ketetapan nasab, lantaran nasab adalah suami nikmat,
maka tidak boleh dicapai dengan cara yang diharamkan. Apabila sempurna ikrar nasab anak atau bapak dengan syarat-syarat ini,
sahlah nasab orang yang diakui dari orang yang membuat pengakuan dan akhirnya berlakulah pusaka mempusakai. Apabila sah ikrar, maka orang yang membuat ikrar
itu tidak boleh menarik balik pengakuanya karena apabila ketetapan ia tidak boleh dibatalkan dengan penarikan balik pengakuan.
Ulama Hanafi juga mensyaratkan sah ikrar nasab anak itu ketika masih hidup. Oleh karena itu, jika seseorang membuat pengakuan bahwa si anu anaknya sedangkan
si anu itu telah mati, maka tidak sah pengakuan tersebut dan tidak ada ketetapan nasab denganya. Nasab tidak perlu menentukan setelah anak itu mati, lantaran mayat
tidak diperlukan kemuliaan dan penghormatan keturunan. Akan tetapi Ulama Hanafi mengecualikan dari hukuman ini apabila anak yang mati itu mempunyai anak. Maka
demi untuk menjaga kemashlahatan cucu-cucunya, karena mereka memerlukan
Universitas Sumatera Utara
64 penentuan nasab bapak mereka. Menentukan nasab bapak mereka adalah suatu
kemuliaan dan penghormatan bagi mereka. Ulama Maliki tidak mensyaratkan anak yang diakui itu masih hidup karena
nasb anak adalah hak anak ke atas bapaknya. Oleh karena itu, menentukan nasabnya tidak bergantung kepada hidup atau mati sianak, sebagaimana tidak disyaratkan ada
pembenaran dari anak. Namun orang yang mengakui bapak tidak berhak mempusakai harta dari anak yang diakui itu, kecuali anak itu mempunyai anak atau anak itu
mempunyai harta yang sedikit supaya ia tidak dituduh membuat pengakuan nasab untuk mendapat harta yang banyak. Syarat-syarat yang lepas itu adalah juga syarat-
syarat pengakuan nasab kepada orang lain selain dari syarat yang terakhir. Ulama Syafi’I dan Hanbali berpendapat bahwa nasab boleh menetapkan
keatas orang lain dengan pengakuan iqrar dengan syarat-syarat yang lepas dan dengan syarat-syarat pewaris membuat pengakuan dan bapak yang dihubungkan
dengan orang yang masih hidup walaupun ia seorang yang gila karena pengakuan iqrar orang lain bagi menetapkan nasab seseorang dari seseorang sedangkan ia
masih hidup adalah mustali
89
Menurut Abdullah Ali Husein dalam hukum Islam dikenal berapa syarat untuk melaksanakan pengakuan seorang anak bagi dirinya sendiri, yaitu:
1 Orang yang mengakui anak haruslah seorang pria sebab tidak ada alat bukti lain menurut hukum Islam untuk membuktikan adanya hubungan
kebapaan, sedangkan bagi wanita pembuktian dapat dilaksanakan dengan menyatakan ia mengandung dan melahirkan anak tersebut
89
Wahhab al-Zuhaili seperti dikutip oleh Iman Jauhari dalam Bukunya Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, Op., Cit., . hlm 863-865
Universitas Sumatera Utara
65 2 Orang yang mengakui anak itu haruslah orang mukallaf, sedangkan
pengakuan orang gila, orang yang dipaksakan dan orang yang belum cukup umur tidak dapat diterima
3 Anak yang diakui itu haruslah anak yang tidak diketahui nasabnya, tidak sah pengakuan terhadap anak yang sudah diketahui nasabnya, demikian
juga terhadapa anak yang telah ter bukti secara sah sebagai anak zina atau tidak diakui sebelumnya dengan cara lain
4 Pengakuan itu tidak disangkal oleh akal sehat, misalnya umur anak yang diakui lebih tua dari yang megakui, atau tempat tinggal mereka sangat
jauh yang menurut ukuran biasa tidak mungkin mereka mempunyai hubungan anak atau kebapaan.
5 Pengakuan itu dibenarkan oleh anak dewasa yang diakuinya, jika yang diakuinya menyangkal terhadap pengakuan itu maka peria yang mengakui
itu harus membuktikanya atau anak yang diakui itu harus mengangkat sumpah kalau ia mau maka hubungan nasab itu terbukti adanya.
90
Apabila pengakuan anak telah dilaksanakan sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana tersebut diatas, maka anak yang diakui itu menjadi anak yang sah dan
kedudukanya adalah sama dengan kedudukan anak kandung. Pengakuan anak tersebut dapat dilakukan di hadapan dua orang saksi, atau dihadapan lembaga resmi
dengan akta otentik atau surat biasa. Pengakuan anak tersebut merupakan tindak sepihak, kecuali apabila orang yang diakui itu sudah dewasa dan menyangkalnya,
dalam hal yang terakhir ini diperlukan campur tangan pihak pengadilan. Apabila seorang pria telah melaksanakan pengakuan terhadap seorang anak
dengan menyatakan bahwa ia adalah anaknya, maka pengakuan tersebut tidak boleh dicabut kembali, sekali ia telah mengirarkanya maka pengakuan itu berlaku terus
sepanjang masa. Pengakuan anak itu dapat dilaksanakan kapan saja, walaupun setelah meninggalnya orang yang diakui. Hanya saja hukum Islam menganggap bahwa
90
Ibid. hlm. 236-237.
Universitas Sumatera Utara
66 pengakuan anak terhadap orang yang telah meninggal dunia bermotif yang tidak baik,
biasanya karena ada warisan. Dalam hukum Islam pengakuan anak yang seperti ini baru dapat diterima apabila anak yang diakui itu tidak mempunyai ahli waris dan
harta peninggalanya hanya sedikit.
91
2. Pengakuan Terhadap orang lain Pengakuan dengan nasab yang diletakan kepada orang lain, yaitu ikrar
keturunan yang merupakan cabang dari asal nasab. Contohnya seseorang berikrar katanya, “ini adalah saudara saya”, “ini adalah bapak saudara saya”, “ini adalah datuk
saya”, atau “ini adalah anak saudara saya”
92
Pengakuan itu adalah sah dengan syarat-syarat di atas serta satu syarat tambahan, yaitu pembenaran orang lain. Apabila seseorang berkata, “ini adalah
saudara saya”, maka ketetapan nasabnya disisi Ulama Hanafi dengan syarat bapaknya mengiakan pengakuan anaknya itu, atau ada bukti saksi menunujukan
sah pengakuanya itu, atau dua orang waris mengiakan pengakuan itu jika bapanya telah mati karena ikrar hanya menjadi hujjah bagi orang yang membuat pengakuan
saja. Ia hanya mempunyi wilayah kuasa keatas diri sendiri, tidak pada orang lain. Jika bapak ataupun dua orang waris tidak mengiakan pengakuan itu, ataupun
tidak ada bukti saksi yang menunjukan sah ikrar itu, maka implikasi ke atas orang yang membuat pengakuan itu adalah mengikuti pengakuanya pada hak dirinya
91
H. Taufiq, Pengakuan Anak Wajar Menurut Hukum Perdata Tertulis dan Hukum Islam , Dirbinbaperais Depag RI, Jakarta, 1995, hlm. 62
92
Iman Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, Op. cit., hlm. 29
Universitas Sumatera Utara
67 sendiri. Dengan itu, ia diwajibkan memberi nafkah orang yang diakui saudaranya
seandainya ia seorang fakir yang lemah sedangkan yang membuat pengakuan itu kaya. Orang yang diakui saudaranya turut berkongsi harta pusaka yang didapati oleh
orang yang membuat pengakuan dari peninggalan bapaknya ini adalah pendapat ulama Hanafi.
Ulama Maliki berpendapat, orang yang diakui saudara mengambil kadar yang kurang dari bahagian orang yang membuat pengakuan dengan sebab pengakuanya.
Apabila seseorang anak membuat pengakuan dengan saudara yang lain, sedangkan anak yang lain mengingkarinya, maka anak yang ingkar mengambil separuh pusaka,
manakala separuh lagi berkongsi antara anak yang membuat pengakuan denga orang yang diakui saudaranya. Ini disisi ulama Hanafi. Adapun pendapat ulama Maliki,
anak yang inkar mengambil seluruh bahagian pusaka dan orang yang diakui saudara mengambil apa yang kurang dari bahagian anak yang membuat pengakuan dengan
andaian bahwa harta pusaka dibagi tiga.
93
Jika harta peninggalan si mati ada 12 dinar umpamanya, maka orang yang diakui saudara disisi Hanafi mengambil 3 dinar sebagai harta anak yang membuat
pengakuan. Manakala pendapat maliki, ia mengambil anak yang membuat pengakuan. Manakala pendapat Maliki, ia mengambil 2 dinar, anak yang ingkar 6
dinar, dan anak yang membuat pengakuan 4 dinar, karena pusaka dibagi tiga. Dalam keadaan tidak ada orang yang diakui, bagi anak yang membuat pengakuan 6 dinar,
93
Ibid. hlm. 30
Universitas Sumatera Utara
68 dan dalam keadaan ia wujud, maka anak yang berikrar 4 dinar, dan yang kurang dari
padanya, yaitu 2 dinar dambil oleh orang yang diakui saudara. Apabila sah ikrar bernasab bagi seseorang, maka orang yang diakui bernasab
mempusakai harta orang yang membuat ikrar jika ia mati sama seperti ahli waris lain, sekalipun yang lain itu tidak mengiakan pengakuan simati sebelum ia meninggal
dunia. Jenis keterangan dalam meletakan nasab kepada orang lain. Meletakan nasab
kepada orang lain adalah dengan keterangan disisi Abu Hanifah dan Muhammad. Ia adalah pengakuan dua orang lelaki atau seorang lelaki dan dua orang perempuan
sebagaimana saksi. Imam Malik berpendapat, pengakuan nasab kepada orang lain tidak
berketetapan, kecuali dengan ikrar dua oran karena ia meletakan nasab keatas orang lain. Oleh karena itu, diambil bilangan orang yang berikrar sebagaimana buku
penyaksianya. Manakala pendapat Syafi’I, Ahmad dan Abu Yusuf, jika semua ahli waris membuat pengakuan bernasab dengan orang yang akan berkongsi mereka
dalam medapat pusaka, maka berketetapan nasabnya, walaupun ahli waris hanya seorang saja baik lelaki maupun perempuan, karena nasab adalah hak yang ketetapan
dengan pengakuan seperti pengakuan berhutang. Oleh karena ikrar adalah suatu perkataan yang tidak disyaratkan keadilan, maka tidak sah diqiyaskan dengan saksi.
94
Perbedaan antara ikrar bernasab dengan mem ‘bin’kan anak, bahwa pengakuan bernasab berlainan dengan mem’bin’kan seseorang anak angkat, karena
94
Ibid. hlm. 31-32
Universitas Sumatera Utara
69 pengakuan ini tidak mewujudkan nasab. Ia sebenarnya satu cara bagi menentukan dan
menzahirkanya. Tindakan membinkan seseorang anak angkat adalah suatu perbuatan mengada-ngadakan nasab, dia boleh berlaku walaupun orang yang dijadikan anak
angkat itu mempunyai bapak yang dikenali. Sebaliknya anak yang berketetapan nasab dengan ikrar mungkin terjadi kecuali apabila bapak bagi anak itu tidak diketahui
95
Menurut Husni syarat-syarat yang diperlukan dalam pengakuan anak secara tidak langsung adalah secara umum sama dengan syarat-syarat yang diperlukan
dalam pengakuan untuk diri sendiri, hanya ditambah dua points lagi, yaitu : 1. Bahwa orang yang dihubungkan nasab kepadanya membenarkan bahwa ia
betul mempunyai hubungan nasab dengan seseorang yang dihubungkan nasab kepadanya.
2. Ada saksi-saksi yang membenarkan pengakuan dari orang yang dihubungkan nasab kepadanya dan saksi-saksi ini diperlukan jika orang lain yang
dihubungkan dengan nasab kepadanya tidak membenarkan pengakuan tersebut.
96
Apabila syarat-syarat pengakuan anak baik untuk diri sendiri maupun untuk kepentingan orang lain sudah terpenuhi, maka sahlah pengakuan tersebut secara
hukum. Demikian juga apabila seorang laki-laki mengadakan hubungan seksual dengan seorang wanita di luar nikah, kemudian wanita tersebut hamil, lalu laki-laki
tadi atau yang orang lain yang buka membuahi wanita itu menikah dengan wanita hamil tadi, maka anak yang dilahirkan oleh wanita itu menjadi anak yang sah. Hal ini
disebabkan karena dengan kesediaan laki-laki tersebut menikahi wanita hamil tadi,
95
Wahab al-Zuhaili, seperti dikutip Iman Jauhari dalam bukunya Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam Op. cit. hlm. 866-868
96
Ahmad Husni, Ahkam Syai’iyah fi Ahwalisy Syashiyah ‘ala Mazhibil Iman Abu Hanifah, Darul Qutub, Cairo, hlm. 56.
Universitas Sumatera Utara
70 berarti secara diam-diam telah mengakui anak yang lahir dari perkawinan tersebut,
kecuali suami wanita itu mengingkari dengan cara lain. Ketentuan ini adalah sejalan dengan hal yang tersebut dalam fiqih Syafi’I, di mana disebutkan bahwa wanita hamil
karena zina dapat saja dinikahi oleh laki-laki yang tidak menghamilinya dan sah sebagai suami isteri dengan segala akibat hukumnya. Jadi laki-laki dan wanita yang
menikah itu dapat melakukan hubungan seksual tanpa menunggu kelahiran anaknya, sebagaimana yang dikemukakakn oleh Imam Hanafi, demikian juga tentang
kedudukan anak yang dilahirkan itu menjadi anak sah dari suami isteri yang menikah itu meskipun bukan dari orang yang menghamili wanita tersebut.
97
Dalam kompilasi Hukum Islam Indonesia disebutkan bahwa laki-laki yang menghamili wanita itu saja yang boleh menikah dengan wanita yang hamil tersebut.
Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi percampuran nasab anak yang lahir itu apabila wanita yang hamil itu kawin dengan orang bukan membuahinyamenghamilinya.
Sebenarnya kalau terdapat alasan yang kuat tentang motivasi tentang pengakuan anak, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, tidak ada salahnya hakim
mengambil pendapat sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Imam Syafi’I, meskipun syarat yang dikemukakan oleh Imam Hanafi sebagaimana tersebut di atas
dapat dijadikan dasar dalam menetapkan pengakuan anak bagi wanita hamil dan melahirkan anak.
98
97
Iman Jauhari dalam Bukunya Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, Op., Cit., hlm 175.
98
Lihat Pasal 53 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Universitas Sumatera Utara
71 Menurut Fathi Usman pemikiran dari mazhab Syafi’I ini lebih
menitikberatkan kepada manfaat dan mudharat bagi semua pihak, terutama bagi anak yang lahir dari hasil perbuatan zina atau luar nikah. Tentang hal ini Asy Syatibi dalam
kitab al-Muwafaqad menyatakan bahwa manfaat dan mudharat adalah merupakan hal yang nisbi, bukan hakiki. Suatu keadaan yang mungkin dianggap bermanfaat di suatu
waktu tertentu belum tentu bermanfaat untuk orang lain. Oleh karena itu terserah kepada hakim untuk menetapkan mana yang lebih baik dan bermanfaat untuk semua
pihak, sehingga segalanya dapat berjalan secara baik dan damai. Solusi yang diberikan oleh Syatibi ini akan lebih jelas apabila dikaitkan dengan tugas hakim
sebagai pencipta hokum dalam skala makro. Dengan demikian hakim bebas memutuskan soal tersebut baik dengan konsep Imam Syafi’I maupun dengan konsep
Imam Hanafi atau pendapat yang lain asalkan membawa manfaat kepada semua pihak, tidak akan menimbulkan mudharat para generasi selanjutnya.
99
3. Pengakuan Anak Terhadap Anak Temuan. Menurut sayyid sabiq yang dimaksud dengan “al-Laqith” anak temuan
adalah anak kecil yang belum baliqh, yang diketemukan di jalan atau sesat dijalan dan tidak diketahui keluargnya. Memungutnya merupakan fardu kifayah, sama
hukumnya memungut barang hilang lainya. Seorang anak kecil yang ditemukan di Negara Islam, maka dihukumkan sebagai muslim. Orang yang menemukan anak
temuan tersebut berkewajiban untuk member nafkah, jika ia tidak memiliki harta,
99
Fathi Ustman, al-Fiqhu Islamy wa Tathwwur, Darul Kuwaitiyah, Kuwait, 1989, hlm 26
Universitas Sumatera Utara
72 maka ia dapat minta bantuan kepada Baitul Mal guna dipergunakan untuk biaya
hidup dan biaya lain-lain yang diperlukan anak temua tersebut.
100
Ahmad Husni mengatakan bahwa : “Sebenarnya hukum Islam telah memberikan perhatian yang serius terhadap
lembaga pengakuan anak ini, termasuk juga pengakuan terhadap anak temuan. Hampir semua kitab fiqih tradisional maupun kontemporer menulis tentang
lembaga pengakuan anak ini, khususnya kepada anak temuan yang disebut dengan “laqith”. Demikian juga undang-undang keluarga muslim di Negara-
negara Islam Timur Tengah telah menetapkan bahwa perlindungan terhadap anak temuan itu merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
orang Islam untuk menyantuninya, jika ia tidak melakukanya maka ia akan berdosa dan dapat dikenakan denda sebagai perbuatan jarimah. Apa yang
dikemukakan oleh Ahmad Husni ini di Indonesia belum dapat tempat yang wajar, belum ada pengaturan secara luas tentang lembaga masalah anak
temuan yang harus diakui sebagai anak kandungnya. Tentang hal ini merupakan satu hal yang sangat tabu dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Peraturan perundang-undangan tentang hukum kekeluargaan di Indonesia belum memberikan forsi yang lengkap dan rinci terhadap lembaga pengakuan
anak sebagaimana dalam peraturan-peraturan hokum kekeluargaan di Negara Muslim lainya dan juga di beberapa Negara yang tergabung dalam asean”
101
Orang Islam yang menemukan anak temuan dapat melakukan pengakuan terhadap anak tersebut terhadap anak kandungnya. Apabila pihak yang orang
menemukan anak tersebut telah mengikrarkan pengakuanya, maka sahlah anak tersebut sebagai anaknya sendiri, dan sah pula pertalian nasab anak tersebut dengan
orang yang mengakuinya meskipun pengakuan tersebut dilawan oleh orang lain dengan menunjukan bukti-bukti yang kuat dan meyakinkan. Menurut Imam Malikk,
pengakuan tersebut tidak sampai menimbulkan nasab yang sah, kecuali yang
100
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah Jilid 7, Penerjemah Moh. Thalib, al-Ma’arif Bandung, 1994, hlm. 92.
101
Ahmad Husni, Ahkam Syai’iyah fi Ahwalisy Syashiyyah ‘ala mazahabil Imam Abu Hanifah, Seperti dikutip oleh Abdul Manan dalam bukunya Aneka permasalahan Hukum Perdata
Islam, Op., Cit., hlm. 57.
Universitas Sumatera Utara
73 menemukan anak tersebut mempunyai alasan dan bukti yang dibenarkan oleh hukum
Islam. Jika hal ini dapat dilaksanakan oleh orang yang menemukan anak tersebut, maka sahlah anak itu sebagai anak kandungnya dan mempunyai akibat hukum
keperdataan dalam bidang kewarisan, perwalian dan sebagainya.
102
Tentang anak temuan yang lahir dari perkawinan yang tidak sah atau sebagai akibat zina, anak tersebut tidsak mempunyai hubungan dengan laki-laki yang
menghamili ibunya bahkan laki-laki itu harus dirajam sebagaimana ketentuan yang telah digariskan dalam hukum Islam. Anak yang lahir dari akibat zina ini hanya
mempunyai hubungan darah dengan ibu yang melahirkanya. Tetapi Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa anak yang lahir dari hubungan di luar nikah antara seorang laki-
laki dengan seorang wanita yang tidak terkait dengan perkawinan lain, dapat diakui oleh orang laki-laki membuahinya sebagai anak yang sah. Sedangkan kejahatan
terhadap zina yang dilakukan tetap dilaksanakan sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh hukum Islam. Sebahagian besar para pakar hukum Islam tidak sependapat
dengan pemikiran Ibnu Taimiyah ini, mereka hanya sepakat bahwa hukum Islam mengajurkan untuk mengakui anak luar nikah itu hanya sebatas pada kemshlahatan
dan untuk menutupi aib saja, ini pun sepanjang tidak ada halangan hukum Islam yang mengaturnya. Jadi tidak merubah statusnya dari anak luar nikah menjadi anak yang
sah.
103
102
Iman Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Hukum Islam, Op., Cit. Hlm. 178
103
H. Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Materiel dalam Praktek Peradilan Agama, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2003, hlm. 119.
Universitas Sumatera Utara
74 Menurut Taufiq ada perbedaan yang prisipil antara pengakuan anak menurut
hukum Islam dengan konsep pengangkatan anak dalam hukum perdata Barat adalah :
“
Menurut konsep hukum Islam dan pengangkatan anak itu tidak semata-mata untuk memberikan kedudukan anak luar nikah sebagai anak kandung,
sedangkan menurut konsep hukum perdata barat pengakuan anak dan pengangkatan itu semata-mata memberikan kedudukan anak luar kawin
sebagai anak kandung. Ketentuan-ketentuan hukum Islam mengenai pengakuan anak tersebut segi lahir semata bukan bukan dari segi hakekat dan
agama diyani. Sehubungan dengan hal itu, apabila seorang mengambil anak dari rumah sakit yang tidak diketahui siapa orang tuanya mengakuinya
sebagai anaknya, maka perbuatan ini mengakibatkan timbulnya hubungan hukum perdataaan antara anak yang diakui tersebut dengan orang yang
mengakuinya sebagai anak kandung
”
.
104
Untuk melakukan pengakuan anak tidak ada pembatasan waktu, seseorang dapat saja melakukan pengakuan anak kapan saja bahkan pada saat anak yang diakui
itu telah meninggal duniapun pengakuan itu dapat dibenarkan. Hanya saja dalam hal yang terakhir ini hukum Islam sangat bersikap hati-hati, jangan sampai pengakuan itu
mengakibatkan timbulnya kemudharatan pada pihak lain sebagai sebahagian besar pengakuan yang dilakukan setelah anak itu meningggal dunia biasanya bermotif harta
warisan. Bukan motif lain yang sebagaimana yang telah diuraikan diatas. Apabila pengakuan anak telah dilaksanakan oleh seseorang sesuai dengan
ketentuan yang telah ditentukan oleh hukum Islam maka akan lahir akibat hukum yang timbul pertalian nasab antara yang mengakui dengan yang diakui, anak yang
diakui itu menjadi anak yang sah menurut syar’i dan sama kedudukanya dengan anak hasil perkawinan yang sah dalam segala hal dan kewajiban yang timbul dari padanya.
104
H. Taufiq, Pengakuan Anak Wajar Menurut Hukum Islam, Makalah, Kowani, Jakarta, 1996, hlm. 6.
Universitas Sumatera Utara
75 Khusus pengakuan anak untuk orang lain, jika dibantah oleh anak yang diakuinya dan
tidak ada bukti yang menguatkan pengakuanya, maka tidak ada akibat hukum dari padanya seperti pertalian nasab dan hak kewarisan, hubungan hanya sebatas pada hak
kekeluargaan saja seperti hak memberi nafkah, memelihara dan memberikan pendidikan secukupnya.
Disamping itu, dengan adanya pengakuan anak itu maka akhirnya hak mempusakai dengan jalan mewaris. Khusus dalam hal pengakuan anak untuk orang
lain, sedangkan orang yang diakui itu tidak membenarkan pengakuan itu dan tidak ada bukti-bukti yang mendukung adanya pertalian nasabnya, maka yang mengakui
mengandung resiko dengan timbulnya hak antara yang diakui dan yang mengakui dan tidak sebaliknya.
Menurut Mazhab Hanafi bahwa orang yang diakui itu memperoleh setelah maulal muwalah. Orang karena itu apabila yang mengakui mempunyai ahli waris,
termasuk dwawil arham, maka yang dilakukan itu tidak berhak mewaris. Tetapi jika ahli waris suami atau isteri maka ia berhak atas sisanya karena Raad kepada suami
atau isteri dan ini harus diakhirkan Ahmad Husni. Berbeda dengan mazhab Syafi’i bahwa hak mempusakai itu bukan hak sebagai pewaris, meskipun dalam beberapa hal
dianggap sebagai pewaris, meskipun dalam beberapa hal dianggap sebagai pewaris, misalnya hak didahulukan dari pada memberikan kelebihan sepertiga kepada
Universitas Sumatera Utara
76 penerima wasiat. Alasan mazhab Syafi’I bahwa kewarisan itu haruslah didasarkan
kepada pertalian nasab yang sah
105
105
F athurrahman, Op. Cit., hlm. 74-75.
Universitas Sumatera Utara
77
BAB III PENGAKUAN ANAK MENURUT HUKUM PERDATA BW
A. Pengakuan anak dalam Hukum perdata