BAB III BENTUK-BENTUK KORUPSI PADA ERA MODERNISASI
A. Korupsi dan Modernisasi
Korupsi memang berlangsung pada semua lapisan masyarakat. Namun lapisan masyarakat yang tengah melaksanakan modernisasi, korupsi ini paling
banyak terjadi. Biasanya, korupsi itu berbareng dengan pembangunan industri, perkembangan sumber-sumber kekayaan dan kekuasaan baru, dan bersamaan pula
dengan tampilnya klas-klas baru yang banyak mengajukan tuntutan-tuntutan baru pada pihak pemerintah. Korupsi merupakan salah satu kriterium dari tidak adanya
institusionalisasi politik yang efektif, dan dari kurang berfungsinya sistem kontrol dan yudikatif. Banyak pegawai negeri dan pejabat tidak lagi mempunyai otonomi
karena sudah terbelenggu oleh suapan dan sogokan, dan tidak mempunyai pertalian dengan rakyat yang harus diberi pelayanan sosial. Sebab mereka justru
mengaitkan dengan sistem kelembagaannya dengan tuntutan eksternal yaitu pihak-pihak yang bersedia menyuap dan memberikan hadiah-hadiah.
Universitas Sumatera Utara
Modernisasi yang didukung oleh pendidikan ikut mendorong peningkatan ambisi-ambisi sosial dan ambisi-ambisi materiil, dan memupuk nafsu-nafsu
memiliki. Pemenuhan dorongan ambisi serta kebutuhan-kebutuhan baru itu dicapai orang baik dengan cara yang konvensional maupun yang tidak. Jadi yang
mana menyuburkan mental-mental korupsi yaitu dengan menggunakan cara-cara pencapaian dan aturan-aturan yang dibuat sendiri. Kalau bisa menggunakan jalan-
jalan meminta yang deviatif, menyimpang dari hukum dan norma umum. Pola hidup sederhana dan jujur yang diagung-agungkan di masa lalu, pada
periode modernisasi menjadi “bahan cemoohan” dan sindiran satiritis, sebaliknya cara hidup eliter, dengan konsumsi mewah dan pola “jet set”, menjadi modus
tingkah laku. Apa yang dianggap sebagai asusila pada zaman “normal” dahulu, misalnya menerima sogokan, suapan, menggelapkan uang Negara, dan lain-lain
pada zaman modern sekarang ini dianggap sebagai biasa, merupakan gejala sosial yang terjadi dimana-mana.
Orientasi pada uang dan harta kekayaan pada zaman modern sekarang, juga ambisi-ambisi perorangan dan interest-interest pribadi tampaknya
berkembang subur dalam kondisi sosial yang “bebas” sekarang; bahkan tampaknya menjadi semakin liar tidak terkendali. Maka korupsi menjadi satu
aspek dari kebudayaan masyarakat Indonesia yang tengah mengadakan usaha modernisasi.
Di lain pihak, kita memaknai gejala korupsi dari sudut pandang yang lain lagi, karena dapat atau tidaknya suatu tindakan dikatakan korupsi pada dasarnya
sangat tergantung pada siapa yang mendefenisikannya dan diterapkan terhadap
42
Universitas Sumatera Utara
siapa. Untuk kepentingan pribadi yang masuk dalam proses politik pada awalnya bukanlah masalah dalam birokrasi, karena hal semacam itu dapat diterima. Unsur
tersebut dapat menjadi persoalan, ketika muncul sistem lain yang berbeda, atau ketika sistem yang baru diterapkan.
Dalam kasus birokrasi atau sistem politik di Indonesia, sistem yang lebih baru dipandang lebih baik kerena sesuai dengan kebutuhan pengelolaan sebuah
Negara. Oleh karena itu sistem inilah yang dijadikan acuan dan kriteria penilaian. Ketika segala sesuatu yang ada dalam sistem politik tradisional dilihat lewat
kacamata yang berbeda, yang hampir sepenuhnya berlawanan, pada waktu itu pula hal-hal semula dianggap benar dan wajar lantas menjadi salah dan tidak
wajar. Salah satu basis dari perilaku korupsi adalah tidak adanya pembedaan
yang tegas antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum dalam aturan nilai dan norma yang ada dalam suatu masyarakat. Berbagai sistem politik lokal
tradisional di Indonesia memperlihatkan bahwa hal semacam itulah yang terdapat dalam sistem politik lokal tradisional di Indonesia. Meskipun secara formal,
sistem lokal tradisional semacam itu tidak diakui, namun dibanyak tempat sistem tersebut masih banyak bertahan dan perangkat nilai yang ada di dalamnya masih
tetap aktif dalam kehidupan sehari-hari. Dalam setiap masyarakat yang mengalami proses modernisasi dan
perubahan-perubahan yang cepat, selalu muncul kelompok-kelompok sosial baru yang ingin berpartisipasi dalam bidang politik; namun mereka tidak mampu
mengidentifikasikan diri dengan nilai-nilai dan prosedur politik yang ada. Mereka
Universitas Sumatera Utara
justru ingin memuaskan ambisi-ambisi dan kepentingan pribadi. Disamping itu, lembaga-lembaga politik sering dijadikan ambisi pribadi, dan tidak jarang oleh
tokoh-tokoh politik baru. Dalam pemerintahan yang korupsi, mereka yang mendapatkan kekuasaan
politik tertinggi memiliki kesempatan yang paling banyak untuk mendapatkan kekayaan paling banyak, maka korupsi berat berada di puncak, itu hampir selalu
disebabkan oleh adanya kelembagaan politik yang sangat lemah. Kelembagaan semacam ini tidak mampu berdiri secara otonom, dan tidak mampu membebaskan
diri dari macam-macam pengaruh penyogokan dan pembelian. Sebaliknya,
masyarakat-masyarakat yang sangat modern seperti yang
terdapat di Amerika Serikat dan India yang tengah memodernisir diri, dengan bantuan perlembagaan politik yang sangat kuat, pemimpin-pemimpin politik
yang baru muncul bisa tersosialisasi dalam kode-kode nilai yang mengabdi pada kepentingan umum.
Dalam keadaan begini, tingkah laku korupt itu akan lebih banyak berlangsung pada tingkat hierarki birokrasi atau hierarki politik yang lebih
bawahan pada eselon-eselon lebih rendah. Pejabat-pejabat birokrasi pada tingkat rendah pada umumnya lebih cenderung untuk melakukan korupsi daripada
pejabat-pejabat pada eselon atasan. Pejabat-pejabat regional dan lokal lebih korupt daripada pejabat tingkat nasional.
Kepemimpinan nasional tingkat teratas dan kabinet nasionalnya, pada umumnya bisa dinyatakan relative bebas dari praktek korupsi, ada Clean
Universitas Sumatera Utara
Government. Sedangkan pejabat-pejabat kota dan lokal, pada umumnya sangat dalam bergelimang dalam tindak korupsi.
Korupsi itu merupakan produk daripada meluasnya partisipasi politik di kalangan masyarakat luas, berkat meningkatnya taraf pendidikan dan sistem
informasi namun mereka tidak tersosialisir dalam lembaga-lembaga politik yang ada. Dengan kata lain apabila proses mobilitas vertikal ke atas dalam mesin politik
dan birokrasi politik tidak mungkin berlangsung, maka akan terjadi banyak korupsi; sedang cara-cara inkonvensional serta inkonstitusional untuk usaha
mobilitas vertikal, akan lebih merajalela. Pengurangan jumlah korupsi dalam situasi sedemikian ini hanya bisa
berlangsung dengan jalan reorganisasi, dan restrukturalisasi kekuatan-kekuatan sosial yang baru muncul dalam sistem politik tadi. Korupsi juga banyak
berlangsung dalam masyarakat yang mengutamakan egoisme atau pementingan diri sendiri, yaitu kepentingan individual, keluarga, clan, kelompok, kliek, dan
suku sendiri. Pada umumnya peristiwa sedemikian ini disebabkan oleh tidak adanya partai-partai politik yang efektif, contohnya di Negara Iran zaman Syah
Reza Pahlevi, Muang Thai dan Philipina dengan sistem kepartaian yang lemah maka korupsi demi kepentingan individual dan familiar berkembang dengan
suburnya.
B. Praktek-Praktek Korupsi di Indonesia Korupsi Serta Latar Belakang Masyarakat