Gagasan SPPT-PKKTP dan Desain Rancangan Bangun Sistem Penanganan
a. Pihak yang diharapkan membuat kerja sama adalah penuntut umum, hakim,
panitera dan advokatrelawan pendamping. b.
Kebijakan yang diharapkan adalah adanya kebijakan yang mengatur tentang penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dalam pemeriksaan tingkat
Pengadilan. c.
Kejaksaan harus mengalokasikan dana untuk penangan kasus Kekerasan terhadap perempuan dan saksi-saksi ke persidangan.
d. Dalam menyusun surat tuntutan, jaksa harus menginformasikan tentang
subtansi surat tuntutan dan meminta masukan dari korban dan relawan pendampingadvokat korban atas subtansi surat tuntutan tersebut.
e. Dalam menyusun pertimbangan hukum dan pertimbangan atas fakta-fakta
dipersidangan, majelis hakimhakim harus mempertimbangkan kondisi atau situasi penderitaan dan trauma yag dialami korban sebagai akibat dari
kekerasan yang dialamnya. f.
Panitera harus mencatat dengan baik dan lengkap semua fakta yang tertangkap di persidangan terutama keterangan saksi dan korban serta tidak
menambahkan maupun menguangi fakta-fakta yang terungkap. g.
Dalam hal menetapkan biaya rehabilitasi bagi korban, hakim pun turut memperhitungkan penderitaan psiks drai pelaku biaya immaterial dan
bukan hanya sekedar dari perhitungan dampak fisik korban.
h. Dalam hal waktu penahanan pelaku telah habis, pihak rutan dan lapas dapat
segera memberithukan kepada penuntut umum, keluarga atau pun kepada relawan pendamping korban serta kepada korban sendiri.
Kedua, penanganan perempuan sebagai pelaku yaitu:
10
1. Tahapan Penyidikan a.
Pada saat polisi menangkap pelaku, diharapkan polisi segera memberitahukan hak-hak tersangka seraya mencarkan pendamping bagi
pelaku. b.
Kepolisian memberi kemudahan kepada pelaku penasehat hukum pelaku untuk mendapatkan turunan BAP untuk pembelaan.
c. Tersedianya advokat-advokat yang berpresepektif jender dan dapat
memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada pelaku yang tidak mampu untuk membayar jasa advokat.
d. Dalam hal jaksa mengetahui pelaku tidak mempunyai penasehat hukum,
jaksa mendesak kepada pihak kepolisian untuk mengupayakan kehadiran penasehat hukum pada saat pemeriksaan di kepolisian.
e. Dalam hal pelaku melakukan tindak pidana karena sebelumnya korban
sering memperlakukan pelaku dengan tidak baik dan korban tidak meninggal dunia, penasehat hukum dari pelaku diharapkan secara langsung
10
Ibid, h, 65-69.
menganjurkan kepada pelaku untuk juga melaporakn pernuata korban terhadap dirinya.
f. Penasehat hukum pelaku segera mengajukan permohonan kepada kepolisian
untuk melakukan visum et repertum dan visum et psikiatricum atas diri korban akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh korban terhadap pelaku.
g. Dalam hal penyidikan terhaddap pelaku penyidik harus memberikan
informasi kepada jaksa tentang latar belakang peristwa jyang dialkuakn pelaku dan meminta masukan berkaitan dengan penggalian akar
permasalahan kasus dengan sebenar-benarya. h.
Penyidik dapat menhargai keberadaan pendamping bag pelaku bahkan mampu menyediaka relawan pendamping psikolog yang memahami
kekerasan terhadap perempuan bagi pelaku apabila melihat kondisi pelaku dalam keadaan shock berat. Pendamping dianggap sebagai mitra dan dapat
saling mendukung. i.
Pada saat pelaku masuk ke rutan lapas selama proses pemberkasan, kesempatan bagi pelaku untuk bertemu dan bekomunikasi secara bebas
dengan penasehat hukumrelawan pendamping pihak-pihak di luar keluarga korban tidak dibatasi. Petugas rutanlapas dapat menciptakan lingkungan
yang kondusif bagi pelaku, tidak memperlakukan pelaku sama dengan narapidana lainnya.
j. Jaksa dapat menyarankan kepada kepolisian untuk menghentikan penyidikan
perkara atas kasus pencemaran anam baik atau perbuatan yang tidak
menyenangkan yang dituduhkan kepada pelaku yang sebelumnya telah melapor kepada penyidik, laporan pelaku dihentikan karena tidak cukup
bukti terutama keterangan saksi. 2. Penyusunan surat dakwaan
a. Penyidik dan penasehat hukum pelaku harus saling berkomunikasi pada saat
penyidik akan melimpahkan berkas perkara dan melimpahkan pelaku kepada kejaksaan.
b. Jaksa harus menyerahkan salinan atau copy surat dakwaan dan berkass
perkara kepada penasehat hukum pelaku bersamaan dengan saat jaksa menyerahkan
berkas perkara
ke pengadilan
sehingga penasehat
hukumadvokat pelaku dapat segera mempelajari dan mempersiapkan tangkisan atau banatahn atas suart dakwaan.
c. Jaksa harus mengeluarkan surat keterangan dapat mengunjungi pelaku d
ruang tahanan atas permintaan penesahat hukumadvokat pelaku da relawan pendamping pelaku.
d. Jaksa harus mempertimbangkan surat penangguhan atas diri pelaku yang
diajukan oleh penasehat hukumadvokat pelaku atau keluarga pelaku. Untu itu perlu dirumuskan kriteria tentang kondisi pelaku sehingga dapat
prmohonan penangguhan penahanan dapat diterima. e.
Jaksa harus segera menyerahkan atau mengirimkan salinan surat penahanan atas diri pelaku kepada penasehat hukum advokat pelaku atau keluarga
pelaku dan relawan pendamping pelaku. Demikian juga sebaliknya,
penasehat hukum pelaku harus aktif bertanya kepada jaksa tentang salinan surat penahanan atas diri pelaku.
f. Ada surat edaran jaksa agung SEJA tentang jaksa khusus penanganan
kasus Kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian, jaksa yang menangani perkara pelaku dapat menggali dan mempertimbangkan latar
belakang kekerasan yang dialami pelaku yang dilakukan korban. 3. Tingkat pengadilan
a. Apabila pelaku ditahan selama proses ditingkat pengadilan, pengadilan harus
menyediakan ruanng yang cukup bagi pelaku untuk bertemu dengan penasehat hukum advokat, relawan pendamping dan keluarga korban
selama menunggu jadwal persidangan dan menunggu waktu untuk dikembalikan ke ruang tahanan.
b. Mejelis hakimhakim harus menerima permohonan penasehat hukum pelaku
untuk memeriksakan kondisi psikologis pelaku ke psikiater apabila pelaku tidak didampingi penasehat hukum jadwal pada saat pemeriksaan di tingkat
penyidikan. c.
Majelis hakimhakim harus mendesak jaksa untuk menyerahkan salinan berkas perkara kepada penasehat hukum pelaku apabila ada permohonan dari
penasehat hukum pelaku untuk mendapatkan salinan berkas perkara guna kepentingan pembelaan.
d. Jaksa dan penasehat hukum pelaku harus saling berkomunikasi mengenai
adanya informasi tentang jadwal persidangan sehingga penasehat hukum
pelaku dan relawan pendamping dapat memberi penguatan moril kepada pelaku dan keluarga pelaku.
e. Dalam hal membuat tuntutan, jaksapenuntut umum mempertimbangkan
latar belakang permasalahan atau akar masalah perkara berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh pelaku, saksi, psikolog atau relawan
pendamping dan psikiater yang disampaikan didalam persidangan. f.
Penetapan jadwal sidang harus mempertimbangkan waktu untuk menyampaikan kepada pelaku penasehat hukum pelaku dan keluarga pelaku
serta masing-masing pihak pun mempunyai inisiatif untuk saling memberikan informasi yang didapat setelah yang bersangkutan mendapat
surat dari pihak pengadilan. g.
Hakim dapat menggunakan kewenangannya untuk menangguhkan hari sidang apabila pelaku dianggap belum mampu untuk melakukan persidangna
atas kasusnya. Untuk hal ini diharapkan pihak penuntut umum pun dapat juga memahaminya dan juga memberikan waktu untuk dapat menangguhkan
waktu sidang. h.
Apabila pelaku merasa tdak sanggup secar psikologis untuk dapat menghadiri sidang, penasehat hukum pelaku dan pendamping dapat langsng
memberikan argument kepada hakim dan dapat disertai denagn surat hasil pemeriksaan psikologpsikiater mengenai kondisi pelaku. Diharapkan hakim
dapat menyetujui hal tersebut.
i. Hakim menyetujui permohonan dari penasehat hukum pelaku yang ingin
menhadirkan saksi ahli untuk penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.
j. Ada kebjakan untuk menugaskan hakim-hakim perempuan dan hakim-hakim
yang telah berpresepektif jender dan memahami kekerasan terhdapa perempua dalam menangani kasus-kasus yang dihadapi pelaku sebagai
korban kekerasan tehadap perempuan sebelumnya. k.
Putusan yang dijatuhkan dapat memberikan rasa keadilan bagi pelaku dengan mempertimbangkan latar belakang yang dialami pelaku sehingga
harus didudukan sebagai pelaku dalam persidangan. l.
Majelis hakimhakim dapat mempertimbangkan masukandukunga yang diberikan oleh masyarakat pemantau peradilan kasus-kasus Kekerasan
terhadap perempuan dengan harapan dapat lebih menggali latarelakang kasus tersebut.
m. Majelis hakimhakim dapat menerima kehadiran masyarakat yang sedang
melakukan pemantauan terhadap proses peradila terhadap kasus-kasus Kekerasan terhadap perempuan.
n. Panitera harus mendengarkan dengan seksama dan mencatat secara lengkap
tentang semua fakta-fakta yang ada diruangan persidangan, dengna tidak mengurangi atau menambahkan dari keterangan yang ada.
o. Selama menjalani proses persidangan, pihak rutanlapas dapat
memperlakukan pelaku secara manusiawi denga menghargai hak-hak yang
masih dimiliki oleh pelaku dan tidak memperlakuakn pelaku sama dengan penghuni rutanlapas lainnya yang bukan kasus Kekerasan terhadap
perempuan ataupun yang telah memiliki keputusan hakim tetap. p.
Panitera secara cepat untuk mengirimkan salinan putusan mengenai kasus pelaku kepada jaksa, pelaku, penashat hukum pelaku dan keluarga pelaku
serta lapas agar dapat segera menjalankan tugas dan wewenangnya baik itu untuk membebaskan ataupun menahan pelaku maupun untuk mengajukan
upaya hukum lainnya. 4. Eksekusi atau menjalani putusan pengadilan
a. Salian putusan dapat segera dikirimkan oleh ketua panitera kepada masing-
masing tidak terbatas pada penasehat hukum dan penuntut umum serta rutanlapas namun juga buat keluarga atau pendamping dari pelaku.
b. Pihak pengadilan bisa langsung menurunkan berita acara pelaksanaan
putusan pengadilan langsung kepada jaksa, kepala rutanlapas serta kepada penasehat hukumpendampng dari korban untuk dapat dengan segera
dilaksanakan. c.
Pidak pengadilan menunjuk dan emngirimkan hakim pengawas dan pengamat untuk mengawasi pelaksanaan putusan kasus tersebut.
d. Penandatanganan berita acara ppelaksanaan putusan haruslah dihadiri jaksa,
ketua rutanlapas, terpidana dengan mengikutsertakan penasehat hukum dan pendamping dengan disaksikan oleh hakim pengawas dan pengamat.
e. Apabila diputus bersalah, pihak rutanlapas dapat memberikan program
pembinaan kepada terpidana sesuai dengan kebutuhan korban bukan hanya keterampilan dan pembinaan kerohanian, seperti yang biasa diberikan
kepada terpidana lainnya. f.
Dapat selalu memberikan kebebasan kepada terpidana untuk dapat bertemu dan berkomunikasi dengna bebas baik dengan keluarga, pendamping
maupun semua pihak yang berusaha untuk menolong terpidana. g.
Pihak rutalapas dan hakim dan dapat melaporkan perkembangan- perkembangna yang terjadi kepada penasehat hukumpendamping.
Hasil workshop uji coba SPPT-PKKTP mengenai daraft krangka SOP mekanisme koordinasi penanganan kekerasan terhadap perempuan dalam rangka
implementasi SPPT-PKKTP di makasar, yaitu:
11
1. Prosedur koordinasi regular lintas istitusi a.
Para pihak melakuakn rapat koordinasi bersama untuk pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan minimal 6 enam bulan sekali.
b. Rapat koordiasi difasilitasi oleh Pemerinah Daerah.
c. Masing-masing institusi APH menunjuk perwakilan sebagai contact person
dari institusnya.
11
Uji Coba SPPT-PKKTP, Draft Kerangka SOP Mekanisme Koordinasi Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rangka Implementasi SPPT-PKKTP, Hasil Workshop
Makasar 3-4 Juli 2013.
d. Dalam rangka pencegahan KTP, rapat koordinasi dapat mendiskuskan bedah
kasus KTP sebagai bahan pebelajaran kecuali pihak pengadilan tidak terlibat dalam bedah kasus KTP.
e. Perlunya laporan hasil rapat koordinasi bag setiap APH sebagai acuan tindak
lanjut dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempua. Laporan ini disampaikan kepada masing-masing nstitusi APH.
2. Prosedur koordinasi penyampaian informasi hak korban a.
Dalam setiap proses peradilan pidana APH, pendamping dan lembaga pengada layanan menyampaikan informasi hak-hak korban.
b. APH dapat menanyakan kepada korban sejauh mana korban mengetahui
hak-hak apa saja yang harus diperolehnya. c.
APH dapat menanyakan kepada korban apakah sudah ada APH lain atau pendamping yang sudah menyampaikan informasi. Apabila korban sudah
mendapatkan informasi tentang hak-haknya dan APH atau pendamping, maka APH tetap menyampaikan informasi hak korban untuk melengkapi
informasi yang telah didapatkan. d.
Penyampaian informasi yatu tentang hak-hak korban sebelum, selama dan setelah proses hukum baik ditingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan.,
termasuk hak-hak pemulihan yang menad hak korban. 3. Prosedur koordinasi internal kepolisian antara UPPA dan unit Reskrim untuk
menghindarkan reviktimisasi korban
a. Pengaduan dan pelaporan kasus KTP masuk SPKT Sentra Pelayanan
Kepolisian Terpadu di tiap POLRES dan POLSEK. b.
SPKT akan menhubungi petugas piket reskim yang akan melakukan interview awal untuk mengklasifikasi tindak pidana yang dilaporkan.
c. Jika petugas piket reskim menemukan tindak pidana terkait perempuan dan
anak maka akan dirujuk ke UUPA di POLRES.
12
d. Jika petugas piket reskim menerima laporan dari pelapor dimana terlapor
adalah korban KTP dan anak atau pelapor di kasus KTP, maka laporan drujuk kepada UUPA.
e. Pimpinan reskrim meunjuk satu penyidik untuk menangan dua perkara
dimana pelapor dan terlapor adalah pihak yang sama. f.
Sebelum dlakukan pemeriksaan pendahuluan akan dilakukan konseling yang dilakukan pada ruang pelayanan khusus pada SPKT.
g. Petugas SPKT dilaksanakan oleh POLWAN.
4. Koordinasi antara penyidik dan penuntut umum
a. Ketika posisi sudah menemukan mnnimal 2 alat bukti yang sah maka
enyidik segera berkoordinasi dengan jaksa. b.
Koordinasi dengan jaksa dilakukan maksimal dalam waktu 2 x 24 jam setelah adanya minimal 2 alat bukti.
12
Catatan: untuk kasus ini lain maka akan dirujuk ke Pidana Umum.
c. Jika proses P-19 menuju P-21 memakan waktu lebih dari 7 hari atau sudah 2
kali bolak-balik, jaksa dan polisi mencar solusi bersama agar perkara dapat berstatus P-21, termasuk melakukan gelar perkara.
d. Jaksa dan polisi dapat meminta pendapat ahli jika terdapat kebutuhan seteah
dilakukan gelar perkara. 5.
Prosedur internal di kejaksaan terkait koordinasi dengna korban a.
Penuntut umum dapat melakukan komunikasi dan koordinasi denngan saksi korban sebelum P-21 atau sebelum proses persidangan agar penuntut umum
dapat memperoleh keyakinan dalam membuat dakwaan atau tuntutan. b.
Komunikasi dan koordinasi tersebut dilakukan terhadap semua pelaporan atau pengaduan berdasarkan pertimbangan penuntut umum.
c. Komunikasi dan koordinasi tersebut wajib dilakukan oleh penuntut umum
dalam indak pidana kekerasan seksual dan KDRT. d.
Koordinasi dan komunikasi tersebut dilakukan di ruang khusus pemeriksaan korban di kejaksaan.
6. Prosedur di pengadilan
a. Hakim dapat memberi saran dan penjelasan kepada para pihak yang sedang
berperkara perdata di pengadilan untuk melaporkan ke kepolisian jika terdapat indikasi pidana dalam perkara tersebut.
b. Terhadap perkara KTP yang displit dalam perkara pidana terpisah ketua
pengadilan memerintahkan hakimmajelis hakim yang sama supaya tidak terjadi disparsitas putusan.
7. Prosedur penyediaan situasi yang nyaman bagi perempuan Korban dalam
proses persidangan a.
Jaksa meminta kepada hakim agar saksi korban memberikan kesaksian tanpa dperhadapkan dengan terdakwa.
b. Hakim menilai apakah saksi korrban dapat memberikan kesaksian tanpa
diperhadapkan dengan terdakwa. c.
Sidang tertutup untuk umum dala kasus kesusilaan yang berkaitan dengna kasus tindak pidana umum.
d. Tahap pemeriksaan saksi korban dipersidangan, hakim dapat menyatakan
sidnag tetutup. Setelah selesai pemeriksaan saksi korban tersebut, hakim dapat menyatakan sidang terbuka untuk umum pada saat pembacaan putusan
wajib terbuka. e.
Jaksa akan menempatkan saksi Koran druang tunggu khusus pengadilan saat menunggu proses persidangan yang terpisah dari ruang tunggu terdakwa.
f. Hakim dapat menggunakan teleconference untuk pemerksaan korban agar
tidak diperhadapkan dengan terdakwa dalam waktu yang sama. Dari sistem peradilan pidana di Indonesia sekarang ini, sebenarnya SPPT-
PKKT memiliki wujud yaitu:
13
SPPT-PKKTP memberikan ruang yang besar untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan korban. Korban ditempatkan sebagai subjek
dan memiliki akses informasi dalam setiap proses keadilan. Jika korban
13
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kertas Kebjakan; Sistem Peradilan PidanaTerpadu Yang Berkeadilan Jender Dalam Penanganan Kasus kekerasan Terhadap
Perempuan, h. 55-60.
membutuhkan bantuan pendamping atau bantuan hukum, korban berhak didampingi penasehat hukum dan relawan pendamping.
Ada koordinasi dan mekanisme kerja antar pihakinstansi yang berwenang dalam memberi pelayanan terhadap korban yang cepat dan peka atas kebutuhan
korban. Peran yang jelas dari setiap instasi untuk menjamin hak korban harus dibarengi pula dengan koordinasi dan mekanisme kerja yang baik sehingga tidak
terjadi upaya saling melempar tanggung jawab. Adanya advokasi dana yang cukup bagi pihak instansi yang berwenang untuk menangani kasus kekerasan terhadap
perempuan. Dimulai dari proses pendampingan, penyidikan, pemeriksaan dan pemulihan bagi korban.
Hubungan dari setiap pihak yang terlibat dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan berkaitan satu sama lain, tidak kaku, dan terbuka
terhadap setiap usahatindakan-tindakan khusus di dalam mengupayakan hukum yang berkeadilan jender bagi para perempuan korban.
Dari gagasan SPPT-PKKTP ada dua ide yang berkembang yaitu usulan tentang sebuah badan peradilan. Pertama, family court pengadilan keluarga
dirancang khusus untuk pengadilan yang berdimensi KDRT. Konsep tersebut sangat sulit diterapkan di Indonesia karena family court merupakan bentuk
peradilan baru dan memang jika ingin membentuk peradilan baru harus mengubah
konstitusi. Sedangkan di Indonesia berdasarkan konstitusi ada empat peradilan dibawah Mahkamah Agung Ps. 24 angka 2 UUD NRI 1945.
14
Kedua, Pengadilan Khusus yakni dengan tidak membentuk sebuah badan peradilan baru, tetapi dibentuk dibawah pengadilan, misalnya di bawah
pengadilan umum yakni dengan ad hoc seperti pengadilan khusus niaga, pengadilan khusus pajak, pengadilan khusus tipikor dan lain-lain. Penempatan
pengadilan khusus ini memang usulannya masih terus berkembang. Ada yang mengusulakan di bawah pengadilan umum, ada usulan di bawah pengadilan
agama, ada yang usul dibawah kedua-duanya, dan ada juga usulan dibawah satu atap. Secara konseptual memang usulan-usulan tersebut masih sangat konsep dan
masih sangat berkembang.
15
Dari kedua usulan diatas yang memang memungkinkan adalah usulan yang kedua yaitu pengadilan khusus. Yang mana memang secara sistem tidak
perlu mengubah konstitusi dengan menawarkan peradilan khusus tersebut. Hasil kajian Komnas Perempuan yang kemudian disampaikan kepada para
pemangku kepentingan khususnya Mahkamah Agung menyimpulkan 4 empat alternatif cara mewujudkan Pengadilan Khusus di Indonesia yaitu; Pertama,
dilakukan melalui penggabungan perkara perdata dan pidana untuk ditangani satu majelis; Kedua, penyelesaian satu atap perdata dan pidana di Pengadilan Umum;
14
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2011, h, 145.
15
Wawancara Pribadi dengan Ema Mukarromah Div. Hukum dan Kebijakan KOMNAS Perempuan, Jakarta 25 Nopember 2013.
Ketiga, pembentukan pengadilan khusus di Peradilan Agama; dan Keempat, hukum acara khusus untuk keterpaduan penanganan perkara perdata dan pidana di
Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Alternatif pertama sangat sulit untuk diterapkan, penyatuan majelis di
pengadilan Agama dan Pengadilan Umum terbentur oleh kewenangan kedua institusi yang berbeda, pembatasan tersebut yang membuat keduanya sulit untuk
menyatu. Untuk itu yang paling memungkinkan yakni dibentuknya Pengadilan Khusus tersebut di Pengadilan Umum karena memiliki kewenangan mengadili
perkara perdata dan pidana berbeda dengan Pengadilan Agama yang hanya khusus mengadili perkara perdata. Penganan satu majelis di Pengadilan Umum karena
memang kewenangan nya sudah meliputi penanganan perdata dan pidana. Alternatif yang kedua penyatu atapan perdata pidana, hal ini juga sulit
untuk diwujudkan. Jika kita melihat perbandingan dengan Negara lain yang sudah memiliki family court, contoh di Australia tetap perdata pidana tidak dapat
digabung melihat yang sudah berjalan tetap dipisah hanya saja satu atap dalam satu gedung yaitu pidananya di lantai 2 dua dan perdatanya di lantai 3 tiga.
Kemudian jika kita melihat di Afrika Selatan, family court sendiri tidak mempunyai kewenangan mengadili perkara pidana, tetapi hakim bisa merujuk ke
Pengadilan pidana, jadi bukan satu majelis. Bedanya dengan hakim Pengadilan Agama yang ada di Indonesia, family court di Afrika Selatan hakimnya bisa
merujuk, jadi jika kasus perceraian yang berdimensi KDRT pidana bisa merujuk ke pengadilan pidana agar perkara tersebut dapat di proses.
Di Indonesia hal tersebut tidak dapat dilakukan, apabila kita melihat SPPT yang ada penanganan harus bertahap mulai dari kepolisian, kejaksaan dan
peradilan. Tahapan-tahapan tersebut memang harus dilalui dan begitu juga dengan asas hakim bersifat pasif
16
lijdelijkkeheid van de rehter yaitu hakim tidak boleh mengadili memutus selain dari gugatan yang diajukan. Apabila gugatan diajukan
oleh para pihak, maka tidak ada hakim yang mengadili perkara bersangkutan nemo judex sine actore.
17
Disini berarti hakim tidak dapat merujuk ke pengadilan pidana. Di Afrika Selatan perkara tersebut tidak perlu masuk ke polisi lagi atau
jaksa, melainkan langsung ke meja hakim untuk disidangkan karena memang perkara tersebut satu form sejak awal pendaftaran.
18
Alternatif yang ketiga yaitu dibentuk pengadilan khusus di Pengadilan Agama, melihat beberapa penjelasan diatas juga memang hal ini juga sangat sulit
karena memang melihat kewenangannya perdata saja tidak memiliki kewenangan pidana.
Alternatif yang keempat yaitu hukum acara khusus. Alternatif yang keempat ini yang paling memungkinkan yang antara lain mengatur tentang majelis
hakim yang sama dalam penanganan perkara perdata pidana dengan pihak pelaku dan korban yang sama.
16
Asas Hukum Acara Perdata, yang mana perkara perceraian merupakan perkara perdata.
17
Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Insonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012, h. 245.
18
Wawancara Pribadi dengan Ema Mukarromah Div. Hukum dan Kebijakan KOMNAS Perempuan, Jakarta 25 Nopember 2013. .
Konsep-konsep diatas memang masih keseluruhannya dalam tahap pengembangan dan masih dalam proses membutuhkan waktu yang realitif tidak
singkat masih membutuhkan waktu yang panjang karena membangun pemahaman di APH sendiri masih cukup sulit serta menerapkan sistem peradilan yang
berkeadilan jender pada materi-materi pelatiahan dan pendidikan di APH itu sendiri masih dalam proses.