Gagasan SPPT-PKKTP dan Desain Rancangan Bangun Sistem Penanganan

a. Pihak yang diharapkan membuat kerja sama adalah penuntut umum, hakim, panitera dan advokatrelawan pendamping. b. Kebijakan yang diharapkan adalah adanya kebijakan yang mengatur tentang penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dalam pemeriksaan tingkat Pengadilan. c. Kejaksaan harus mengalokasikan dana untuk penangan kasus Kekerasan terhadap perempuan dan saksi-saksi ke persidangan. d. Dalam menyusun surat tuntutan, jaksa harus menginformasikan tentang subtansi surat tuntutan dan meminta masukan dari korban dan relawan pendampingadvokat korban atas subtansi surat tuntutan tersebut. e. Dalam menyusun pertimbangan hukum dan pertimbangan atas fakta-fakta dipersidangan, majelis hakimhakim harus mempertimbangkan kondisi atau situasi penderitaan dan trauma yag dialami korban sebagai akibat dari kekerasan yang dialamnya. f. Panitera harus mencatat dengan baik dan lengkap semua fakta yang tertangkap di persidangan terutama keterangan saksi dan korban serta tidak menambahkan maupun menguangi fakta-fakta yang terungkap. g. Dalam hal menetapkan biaya rehabilitasi bagi korban, hakim pun turut memperhitungkan penderitaan psiks drai pelaku biaya immaterial dan bukan hanya sekedar dari perhitungan dampak fisik korban. h. Dalam hal waktu penahanan pelaku telah habis, pihak rutan dan lapas dapat segera memberithukan kepada penuntut umum, keluarga atau pun kepada relawan pendamping korban serta kepada korban sendiri. Kedua, penanganan perempuan sebagai pelaku yaitu: 10 1. Tahapan Penyidikan a. Pada saat polisi menangkap pelaku, diharapkan polisi segera memberitahukan hak-hak tersangka seraya mencarkan pendamping bagi pelaku. b. Kepolisian memberi kemudahan kepada pelaku penasehat hukum pelaku untuk mendapatkan turunan BAP untuk pembelaan. c. Tersedianya advokat-advokat yang berpresepektif jender dan dapat memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada pelaku yang tidak mampu untuk membayar jasa advokat. d. Dalam hal jaksa mengetahui pelaku tidak mempunyai penasehat hukum, jaksa mendesak kepada pihak kepolisian untuk mengupayakan kehadiran penasehat hukum pada saat pemeriksaan di kepolisian. e. Dalam hal pelaku melakukan tindak pidana karena sebelumnya korban sering memperlakukan pelaku dengan tidak baik dan korban tidak meninggal dunia, penasehat hukum dari pelaku diharapkan secara langsung 10 Ibid, h, 65-69. menganjurkan kepada pelaku untuk juga melaporakn pernuata korban terhadap dirinya. f. Penasehat hukum pelaku segera mengajukan permohonan kepada kepolisian untuk melakukan visum et repertum dan visum et psikiatricum atas diri korban akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh korban terhadap pelaku. g. Dalam hal penyidikan terhaddap pelaku penyidik harus memberikan informasi kepada jaksa tentang latar belakang peristwa jyang dialkuakn pelaku dan meminta masukan berkaitan dengan penggalian akar permasalahan kasus dengan sebenar-benarya. h. Penyidik dapat menhargai keberadaan pendamping bag pelaku bahkan mampu menyediaka relawan pendamping psikolog yang memahami kekerasan terhadap perempuan bagi pelaku apabila melihat kondisi pelaku dalam keadaan shock berat. Pendamping dianggap sebagai mitra dan dapat saling mendukung. i. Pada saat pelaku masuk ke rutan lapas selama proses pemberkasan, kesempatan bagi pelaku untuk bertemu dan bekomunikasi secara bebas dengan penasehat hukumrelawan pendamping pihak-pihak di luar keluarga korban tidak dibatasi. Petugas rutanlapas dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pelaku, tidak memperlakukan pelaku sama dengan narapidana lainnya. j. Jaksa dapat menyarankan kepada kepolisian untuk menghentikan penyidikan perkara atas kasus pencemaran anam baik atau perbuatan yang tidak menyenangkan yang dituduhkan kepada pelaku yang sebelumnya telah melapor kepada penyidik, laporan pelaku dihentikan karena tidak cukup bukti terutama keterangan saksi. 2. Penyusunan surat dakwaan a. Penyidik dan penasehat hukum pelaku harus saling berkomunikasi pada saat penyidik akan melimpahkan berkas perkara dan melimpahkan pelaku kepada kejaksaan. b. Jaksa harus menyerahkan salinan atau copy surat dakwaan dan berkass perkara kepada penasehat hukum pelaku bersamaan dengan saat jaksa menyerahkan berkas perkara ke pengadilan sehingga penasehat hukumadvokat pelaku dapat segera mempelajari dan mempersiapkan tangkisan atau banatahn atas suart dakwaan. c. Jaksa harus mengeluarkan surat keterangan dapat mengunjungi pelaku d ruang tahanan atas permintaan penesahat hukumadvokat pelaku da relawan pendamping pelaku. d. Jaksa harus mempertimbangkan surat penangguhan atas diri pelaku yang diajukan oleh penasehat hukumadvokat pelaku atau keluarga pelaku. Untu itu perlu dirumuskan kriteria tentang kondisi pelaku sehingga dapat prmohonan penangguhan penahanan dapat diterima. e. Jaksa harus segera menyerahkan atau mengirimkan salinan surat penahanan atas diri pelaku kepada penasehat hukum advokat pelaku atau keluarga pelaku dan relawan pendamping pelaku. Demikian juga sebaliknya, penasehat hukum pelaku harus aktif bertanya kepada jaksa tentang salinan surat penahanan atas diri pelaku. f. Ada surat edaran jaksa agung SEJA tentang jaksa khusus penanganan kasus Kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian, jaksa yang menangani perkara pelaku dapat menggali dan mempertimbangkan latar belakang kekerasan yang dialami pelaku yang dilakukan korban. 3. Tingkat pengadilan a. Apabila pelaku ditahan selama proses ditingkat pengadilan, pengadilan harus menyediakan ruanng yang cukup bagi pelaku untuk bertemu dengan penasehat hukum advokat, relawan pendamping dan keluarga korban selama menunggu jadwal persidangan dan menunggu waktu untuk dikembalikan ke ruang tahanan. b. Mejelis hakimhakim harus menerima permohonan penasehat hukum pelaku untuk memeriksakan kondisi psikologis pelaku ke psikiater apabila pelaku tidak didampingi penasehat hukum jadwal pada saat pemeriksaan di tingkat penyidikan. c. Majelis hakimhakim harus mendesak jaksa untuk menyerahkan salinan berkas perkara kepada penasehat hukum pelaku apabila ada permohonan dari penasehat hukum pelaku untuk mendapatkan salinan berkas perkara guna kepentingan pembelaan. d. Jaksa dan penasehat hukum pelaku harus saling berkomunikasi mengenai adanya informasi tentang jadwal persidangan sehingga penasehat hukum pelaku dan relawan pendamping dapat memberi penguatan moril kepada pelaku dan keluarga pelaku. e. Dalam hal membuat tuntutan, jaksapenuntut umum mempertimbangkan latar belakang permasalahan atau akar masalah perkara berdasarkan keterangan yang disampaikan oleh pelaku, saksi, psikolog atau relawan pendamping dan psikiater yang disampaikan didalam persidangan. f. Penetapan jadwal sidang harus mempertimbangkan waktu untuk menyampaikan kepada pelaku penasehat hukum pelaku dan keluarga pelaku serta masing-masing pihak pun mempunyai inisiatif untuk saling memberikan informasi yang didapat setelah yang bersangkutan mendapat surat dari pihak pengadilan. g. Hakim dapat menggunakan kewenangannya untuk menangguhkan hari sidang apabila pelaku dianggap belum mampu untuk melakukan persidangna atas kasusnya. Untuk hal ini diharapkan pihak penuntut umum pun dapat juga memahaminya dan juga memberikan waktu untuk dapat menangguhkan waktu sidang. h. Apabila pelaku merasa tdak sanggup secar psikologis untuk dapat menghadiri sidang, penasehat hukum pelaku dan pendamping dapat langsng memberikan argument kepada hakim dan dapat disertai denagn surat hasil pemeriksaan psikologpsikiater mengenai kondisi pelaku. Diharapkan hakim dapat menyetujui hal tersebut. i. Hakim menyetujui permohonan dari penasehat hukum pelaku yang ingin menhadirkan saksi ahli untuk penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. j. Ada kebjakan untuk menugaskan hakim-hakim perempuan dan hakim-hakim yang telah berpresepektif jender dan memahami kekerasan terhdapa perempua dalam menangani kasus-kasus yang dihadapi pelaku sebagai korban kekerasan tehadap perempuan sebelumnya. k. Putusan yang dijatuhkan dapat memberikan rasa keadilan bagi pelaku dengan mempertimbangkan latar belakang yang dialami pelaku sehingga harus didudukan sebagai pelaku dalam persidangan. l. Majelis hakimhakim dapat mempertimbangkan masukandukunga yang diberikan oleh masyarakat pemantau peradilan kasus-kasus Kekerasan terhadap perempuan dengan harapan dapat lebih menggali latarelakang kasus tersebut. m. Majelis hakimhakim dapat menerima kehadiran masyarakat yang sedang melakukan pemantauan terhadap proses peradila terhadap kasus-kasus Kekerasan terhadap perempuan. n. Panitera harus mendengarkan dengan seksama dan mencatat secara lengkap tentang semua fakta-fakta yang ada diruangan persidangan, dengna tidak mengurangi atau menambahkan dari keterangan yang ada. o. Selama menjalani proses persidangan, pihak rutanlapas dapat memperlakukan pelaku secara manusiawi denga menghargai hak-hak yang masih dimiliki oleh pelaku dan tidak memperlakuakn pelaku sama dengan penghuni rutanlapas lainnya yang bukan kasus Kekerasan terhadap perempuan ataupun yang telah memiliki keputusan hakim tetap. p. Panitera secara cepat untuk mengirimkan salinan putusan mengenai kasus pelaku kepada jaksa, pelaku, penashat hukum pelaku dan keluarga pelaku serta lapas agar dapat segera menjalankan tugas dan wewenangnya baik itu untuk membebaskan ataupun menahan pelaku maupun untuk mengajukan upaya hukum lainnya. 4. Eksekusi atau menjalani putusan pengadilan a. Salian putusan dapat segera dikirimkan oleh ketua panitera kepada masing- masing tidak terbatas pada penasehat hukum dan penuntut umum serta rutanlapas namun juga buat keluarga atau pendamping dari pelaku. b. Pihak pengadilan bisa langsung menurunkan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan langsung kepada jaksa, kepala rutanlapas serta kepada penasehat hukumpendampng dari korban untuk dapat dengan segera dilaksanakan. c. Pidak pengadilan menunjuk dan emngirimkan hakim pengawas dan pengamat untuk mengawasi pelaksanaan putusan kasus tersebut. d. Penandatanganan berita acara ppelaksanaan putusan haruslah dihadiri jaksa, ketua rutanlapas, terpidana dengan mengikutsertakan penasehat hukum dan pendamping dengan disaksikan oleh hakim pengawas dan pengamat. e. Apabila diputus bersalah, pihak rutanlapas dapat memberikan program pembinaan kepada terpidana sesuai dengan kebutuhan korban bukan hanya keterampilan dan pembinaan kerohanian, seperti yang biasa diberikan kepada terpidana lainnya. f. Dapat selalu memberikan kebebasan kepada terpidana untuk dapat bertemu dan berkomunikasi dengna bebas baik dengan keluarga, pendamping maupun semua pihak yang berusaha untuk menolong terpidana. g. Pihak rutalapas dan hakim dan dapat melaporkan perkembangan- perkembangna yang terjadi kepada penasehat hukumpendamping. Hasil workshop uji coba SPPT-PKKTP mengenai daraft krangka SOP mekanisme koordinasi penanganan kekerasan terhadap perempuan dalam rangka implementasi SPPT-PKKTP di makasar, yaitu: 11 1. Prosedur koordinasi regular lintas istitusi a. Para pihak melakuakn rapat koordinasi bersama untuk pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan minimal 6 enam bulan sekali. b. Rapat koordiasi difasilitasi oleh Pemerinah Daerah. c. Masing-masing institusi APH menunjuk perwakilan sebagai contact person dari institusnya. 11 Uji Coba SPPT-PKKTP, Draft Kerangka SOP Mekanisme Koordinasi Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rangka Implementasi SPPT-PKKTP, Hasil Workshop Makasar 3-4 Juli 2013. d. Dalam rangka pencegahan KTP, rapat koordinasi dapat mendiskuskan bedah kasus KTP sebagai bahan pebelajaran kecuali pihak pengadilan tidak terlibat dalam bedah kasus KTP. e. Perlunya laporan hasil rapat koordinasi bag setiap APH sebagai acuan tindak lanjut dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempua. Laporan ini disampaikan kepada masing-masing nstitusi APH. 2. Prosedur koordinasi penyampaian informasi hak korban a. Dalam setiap proses peradilan pidana APH, pendamping dan lembaga pengada layanan menyampaikan informasi hak-hak korban. b. APH dapat menanyakan kepada korban sejauh mana korban mengetahui hak-hak apa saja yang harus diperolehnya. c. APH dapat menanyakan kepada korban apakah sudah ada APH lain atau pendamping yang sudah menyampaikan informasi. Apabila korban sudah mendapatkan informasi tentang hak-haknya dan APH atau pendamping, maka APH tetap menyampaikan informasi hak korban untuk melengkapi informasi yang telah didapatkan. d. Penyampaian informasi yatu tentang hak-hak korban sebelum, selama dan setelah proses hukum baik ditingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan., termasuk hak-hak pemulihan yang menad hak korban. 3. Prosedur koordinasi internal kepolisian antara UPPA dan unit Reskrim untuk menghindarkan reviktimisasi korban a. Pengaduan dan pelaporan kasus KTP masuk SPKT Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu di tiap POLRES dan POLSEK. b. SPKT akan menhubungi petugas piket reskim yang akan melakukan interview awal untuk mengklasifikasi tindak pidana yang dilaporkan. c. Jika petugas piket reskim menemukan tindak pidana terkait perempuan dan anak maka akan dirujuk ke UUPA di POLRES. 12 d. Jika petugas piket reskim menerima laporan dari pelapor dimana terlapor adalah korban KTP dan anak atau pelapor di kasus KTP, maka laporan drujuk kepada UUPA. e. Pimpinan reskrim meunjuk satu penyidik untuk menangan dua perkara dimana pelapor dan terlapor adalah pihak yang sama. f. Sebelum dlakukan pemeriksaan pendahuluan akan dilakukan konseling yang dilakukan pada ruang pelayanan khusus pada SPKT. g. Petugas SPKT dilaksanakan oleh POLWAN. 4. Koordinasi antara penyidik dan penuntut umum a. Ketika posisi sudah menemukan mnnimal 2 alat bukti yang sah maka enyidik segera berkoordinasi dengan jaksa. b. Koordinasi dengan jaksa dilakukan maksimal dalam waktu 2 x 24 jam setelah adanya minimal 2 alat bukti. 12 Catatan: untuk kasus ini lain maka akan dirujuk ke Pidana Umum. c. Jika proses P-19 menuju P-21 memakan waktu lebih dari 7 hari atau sudah 2 kali bolak-balik, jaksa dan polisi mencar solusi bersama agar perkara dapat berstatus P-21, termasuk melakukan gelar perkara. d. Jaksa dan polisi dapat meminta pendapat ahli jika terdapat kebutuhan seteah dilakukan gelar perkara. 5. Prosedur internal di kejaksaan terkait koordinasi dengna korban a. Penuntut umum dapat melakukan komunikasi dan koordinasi denngan saksi korban sebelum P-21 atau sebelum proses persidangan agar penuntut umum dapat memperoleh keyakinan dalam membuat dakwaan atau tuntutan. b. Komunikasi dan koordinasi tersebut dilakukan terhadap semua pelaporan atau pengaduan berdasarkan pertimbangan penuntut umum. c. Komunikasi dan koordinasi tersebut wajib dilakukan oleh penuntut umum dalam indak pidana kekerasan seksual dan KDRT. d. Koordinasi dan komunikasi tersebut dilakukan di ruang khusus pemeriksaan korban di kejaksaan. 6. Prosedur di pengadilan a. Hakim dapat memberi saran dan penjelasan kepada para pihak yang sedang berperkara perdata di pengadilan untuk melaporkan ke kepolisian jika terdapat indikasi pidana dalam perkara tersebut. b. Terhadap perkara KTP yang displit dalam perkara pidana terpisah ketua pengadilan memerintahkan hakimmajelis hakim yang sama supaya tidak terjadi disparsitas putusan. 7. Prosedur penyediaan situasi yang nyaman bagi perempuan Korban dalam proses persidangan a. Jaksa meminta kepada hakim agar saksi korban memberikan kesaksian tanpa dperhadapkan dengan terdakwa. b. Hakim menilai apakah saksi korrban dapat memberikan kesaksian tanpa diperhadapkan dengan terdakwa. c. Sidang tertutup untuk umum dala kasus kesusilaan yang berkaitan dengna kasus tindak pidana umum. d. Tahap pemeriksaan saksi korban dipersidangan, hakim dapat menyatakan sidnag tetutup. Setelah selesai pemeriksaan saksi korban tersebut, hakim dapat menyatakan sidang terbuka untuk umum pada saat pembacaan putusan wajib terbuka. e. Jaksa akan menempatkan saksi Koran druang tunggu khusus pengadilan saat menunggu proses persidangan yang terpisah dari ruang tunggu terdakwa. f. Hakim dapat menggunakan teleconference untuk pemerksaan korban agar tidak diperhadapkan dengan terdakwa dalam waktu yang sama. Dari sistem peradilan pidana di Indonesia sekarang ini, sebenarnya SPPT- PKKT memiliki wujud yaitu: 13 SPPT-PKKTP memberikan ruang yang besar untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan korban. Korban ditempatkan sebagai subjek dan memiliki akses informasi dalam setiap proses keadilan. Jika korban 13 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kertas Kebjakan; Sistem Peradilan PidanaTerpadu Yang Berkeadilan Jender Dalam Penanganan Kasus kekerasan Terhadap Perempuan, h. 55-60. membutuhkan bantuan pendamping atau bantuan hukum, korban berhak didampingi penasehat hukum dan relawan pendamping. Ada koordinasi dan mekanisme kerja antar pihakinstansi yang berwenang dalam memberi pelayanan terhadap korban yang cepat dan peka atas kebutuhan korban. Peran yang jelas dari setiap instasi untuk menjamin hak korban harus dibarengi pula dengan koordinasi dan mekanisme kerja yang baik sehingga tidak terjadi upaya saling melempar tanggung jawab. Adanya advokasi dana yang cukup bagi pihak instansi yang berwenang untuk menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Dimulai dari proses pendampingan, penyidikan, pemeriksaan dan pemulihan bagi korban. Hubungan dari setiap pihak yang terlibat dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan berkaitan satu sama lain, tidak kaku, dan terbuka terhadap setiap usahatindakan-tindakan khusus di dalam mengupayakan hukum yang berkeadilan jender bagi para perempuan korban. Dari gagasan SPPT-PKKTP ada dua ide yang berkembang yaitu usulan tentang sebuah badan peradilan. Pertama, family court pengadilan keluarga dirancang khusus untuk pengadilan yang berdimensi KDRT. Konsep tersebut sangat sulit diterapkan di Indonesia karena family court merupakan bentuk peradilan baru dan memang jika ingin membentuk peradilan baru harus mengubah konstitusi. Sedangkan di Indonesia berdasarkan konstitusi ada empat peradilan dibawah Mahkamah Agung Ps. 24 angka 2 UUD NRI 1945. 14 Kedua, Pengadilan Khusus yakni dengan tidak membentuk sebuah badan peradilan baru, tetapi dibentuk dibawah pengadilan, misalnya di bawah pengadilan umum yakni dengan ad hoc seperti pengadilan khusus niaga, pengadilan khusus pajak, pengadilan khusus tipikor dan lain-lain. Penempatan pengadilan khusus ini memang usulannya masih terus berkembang. Ada yang mengusulakan di bawah pengadilan umum, ada usulan di bawah pengadilan agama, ada yang usul dibawah kedua-duanya, dan ada juga usulan dibawah satu atap. Secara konseptual memang usulan-usulan tersebut masih sangat konsep dan masih sangat berkembang. 15 Dari kedua usulan diatas yang memang memungkinkan adalah usulan yang kedua yaitu pengadilan khusus. Yang mana memang secara sistem tidak perlu mengubah konstitusi dengan menawarkan peradilan khusus tersebut. Hasil kajian Komnas Perempuan yang kemudian disampaikan kepada para pemangku kepentingan khususnya Mahkamah Agung menyimpulkan 4 empat alternatif cara mewujudkan Pengadilan Khusus di Indonesia yaitu; Pertama, dilakukan melalui penggabungan perkara perdata dan pidana untuk ditangani satu majelis; Kedua, penyelesaian satu atap perdata dan pidana di Pengadilan Umum; 14 Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2011, h, 145. 15 Wawancara Pribadi dengan Ema Mukarromah Div. Hukum dan Kebijakan KOMNAS Perempuan, Jakarta 25 Nopember 2013. Ketiga, pembentukan pengadilan khusus di Peradilan Agama; dan Keempat, hukum acara khusus untuk keterpaduan penanganan perkara perdata dan pidana di Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Alternatif pertama sangat sulit untuk diterapkan, penyatuan majelis di pengadilan Agama dan Pengadilan Umum terbentur oleh kewenangan kedua institusi yang berbeda, pembatasan tersebut yang membuat keduanya sulit untuk menyatu. Untuk itu yang paling memungkinkan yakni dibentuknya Pengadilan Khusus tersebut di Pengadilan Umum karena memiliki kewenangan mengadili perkara perdata dan pidana berbeda dengan Pengadilan Agama yang hanya khusus mengadili perkara perdata. Penganan satu majelis di Pengadilan Umum karena memang kewenangan nya sudah meliputi penanganan perdata dan pidana. Alternatif yang kedua penyatu atapan perdata pidana, hal ini juga sulit untuk diwujudkan. Jika kita melihat perbandingan dengan Negara lain yang sudah memiliki family court, contoh di Australia tetap perdata pidana tidak dapat digabung melihat yang sudah berjalan tetap dipisah hanya saja satu atap dalam satu gedung yaitu pidananya di lantai 2 dua dan perdatanya di lantai 3 tiga. Kemudian jika kita melihat di Afrika Selatan, family court sendiri tidak mempunyai kewenangan mengadili perkara pidana, tetapi hakim bisa merujuk ke Pengadilan pidana, jadi bukan satu majelis. Bedanya dengan hakim Pengadilan Agama yang ada di Indonesia, family court di Afrika Selatan hakimnya bisa merujuk, jadi jika kasus perceraian yang berdimensi KDRT pidana bisa merujuk ke pengadilan pidana agar perkara tersebut dapat di proses. Di Indonesia hal tersebut tidak dapat dilakukan, apabila kita melihat SPPT yang ada penanganan harus bertahap mulai dari kepolisian, kejaksaan dan peradilan. Tahapan-tahapan tersebut memang harus dilalui dan begitu juga dengan asas hakim bersifat pasif 16 lijdelijkkeheid van de rehter yaitu hakim tidak boleh mengadili memutus selain dari gugatan yang diajukan. Apabila gugatan diajukan oleh para pihak, maka tidak ada hakim yang mengadili perkara bersangkutan nemo judex sine actore. 17 Disini berarti hakim tidak dapat merujuk ke pengadilan pidana. Di Afrika Selatan perkara tersebut tidak perlu masuk ke polisi lagi atau jaksa, melainkan langsung ke meja hakim untuk disidangkan karena memang perkara tersebut satu form sejak awal pendaftaran. 18 Alternatif yang ketiga yaitu dibentuk pengadilan khusus di Pengadilan Agama, melihat beberapa penjelasan diatas juga memang hal ini juga sangat sulit karena memang melihat kewenangannya perdata saja tidak memiliki kewenangan pidana. Alternatif yang keempat yaitu hukum acara khusus. Alternatif yang keempat ini yang paling memungkinkan yang antara lain mengatur tentang majelis hakim yang sama dalam penanganan perkara perdata pidana dengan pihak pelaku dan korban yang sama. 16 Asas Hukum Acara Perdata, yang mana perkara perceraian merupakan perkara perdata. 17 Zainal Asikin, Pengantar Tata Hukum Insonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012, h. 245. 18 Wawancara Pribadi dengan Ema Mukarromah Div. Hukum dan Kebijakan KOMNAS Perempuan, Jakarta 25 Nopember 2013. . Konsep-konsep diatas memang masih keseluruhannya dalam tahap pengembangan dan masih dalam proses membutuhkan waktu yang realitif tidak singkat masih membutuhkan waktu yang panjang karena membangun pemahaman di APH sendiri masih cukup sulit serta menerapkan sistem peradilan yang berkeadilan jender pada materi-materi pelatiahan dan pendidikan di APH itu sendiri masih dalam proses.

D. Analisa Penulis KDRT dalam pandangan Islam

Dalam konteks rumah tangga, bentuk-bentuk kekerasan memang seringkali terjadi, baik yang menimpa istri, anak-anak, pembantu rumah tangga, kerabat ataupun suami. Misal ada suami yang memukuli istri dengan berbagai sebab, ibu yang memukul anaknya karena tidak menuruti perintah orang tua, atau pembantu rumah tangga yang dianiaya majikan karena tidak beres menyelesaikan tugasnya. Semua bentuk kekerasan dalam rumah tangga itu pada dasarnya harus dikenai sanksi karena merupakan bentuk kriminalitas jarimah. Perlu digarisbawahi bahwa dalam konteks rumah tangga, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya agar taat kepada Allah Swt. Hal ini sesuai firman Allah Swt:        … ميرحتلا 6 :66 Artinya: “Wahai orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”. Dalam mendidik istri dan anak-anak ini, bisa jadi terpaksa dilakukan dengan pukulan. Pukulan dalam konteks pendidikan atau ta‟dib ini dibolehkan dengan batasan-batasan dan kaidah tertentu yang jelas. Kaidah itu antara lain: pukulan yang diberikan bukan pukulan yang menyakitkan, apalagi sampai mematikan; pukulan hanya diberikan jika tidak ada cara lain atau semua cara sudah ditempuh untuk memberi hukumanpengertian; tidak baleh memukul ketika dalam keadaan marah sekali karena dikhawatirkan akan membahayakan; tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh memukul lebih dari tiga kali pukulan kecuali sangat terpaksa dan tidak melebihi sepuluh kali pukulan; tidak boleh memukul anak di bawah usia 10 tahun; jika kesalahan baru pertama kali dilakukan, maka diberi kesempatan bertobat dan minta maaf atas perbuatannya. Dengan demikian jika ada seorang ayah yang memukul anaknya dengan tidak menyakitkan karena si anak sudah berusia 10 tahun lebih namun belum mengerjakan shalat, tidak bisa dikatakan ayah tersebut telah menganiaya anaknya. Toh sekali lagi, pukulan yang dilakukan bukanlah pukulan yang menyakitkan, namun dalam rangka mendidik. Demikian pula istri yang tidak taat kepada suami atau nusyuz, misal tidak mau melayani suami padahal tidak ada uzur sakit atau haid, maka tidak bisa disalahkan jika suami memperingatkannya dengan “pukulan” yang tidak menyakitkan. Atau istri yang melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga karena disibukkan berbagai urusan di luar rumah, maka bila suami melarangnya ke luar rumah bukan berarti bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dalam hal ini bukan berarti suami telah menganiaya istri melainkan justru untuk mendidik istri agar taat pada syariat. Semua itu dikarenakan istri wajib taat kepada suami selama suami tidak melanggar syara‟. 19 Namun di sisi lain, selain kewajiban taat pada suami, wanita boleh menuntut hak-haknya seperti nafkah, kasih sayang, perlakuan yang baik dan sebagainya. Seperti firman Allah SWT:  …     … ارق لا 2 : 228 Artinya: …Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang maruf…. Dalam prakteknya, sekalipun Islam memberikan aturan pemukulan, tetapi banyak sekali kasus-kasus yang melampau batasan-batsan yang telah digariskan. Kasus-kasus tersebut tidak sedikit yang mengatasnamakan kebolehan dari Islam. Dalam hal ini terdapat pandangan yang lebih tegas, pandangan secara jelas menyatakan bahwa pemukulan terhadap isteri pada dasarnya adalah makruh. Pandangan ini diny atakan Imam atha‟ 20 , Ibnu Arabi seoarang ulama besar dari mazhab maliki mengutip pandangan ini pada tafsirnya ahkam al- Qur‟an: 21 19 Asri Supatmiati, Pandangan Islam Terhadap Kekerasan Dalam Rumah Tangga, di akses tgl 27 Nopember 2012 dari http:baitijannati.wordpress.com. 20 Seorang tabi’in yang berguru langsung kepada sahabat Nabi SAW. 21 Faqihuddin Abdul Kodir dkk, Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga,h. 49. “Ini pandangan fiqih Imam Atha, dengan pemahamannya yang dalam terhadap syari’ah dan ketekunannya menggeluti soal-soal jtihad, dia meyakini bahwa redaksi “pukullah” pada ayat ini adalah hanya menunjukan kebolehan saja. Tetapi dia sendiri memilih menyatakan bahwa memukul itu hukumnya makruh, dengan argumentasi lain. Yaitu hadits Nabi SAW. Yang driwayatkan Abdullah bin Zam’ah, bahwa Nabi SAW. bersabda: “Sesungguhnya aku tidak senang benci terhadap lelaki yang memukul isterinya ketika dia marah, padahal bias saja setelah itu men ggauinya pada hari yang sama”. Kebolehan memukul dalam QS. an-Nisa:34 bukanlah bersifat mutlak, tetapi ia diikat dengan berbagai perintah pada ayat-ayat lain, dan teladan Nabi SAW. Menegaskan betapa konflik dalam keluarga Nabi SAW., tidak pernah dan tidak perlu diselesaikan dengan media pemukulan. Beberapa pernyataan Nabi SAW., juga dengan tegas menyatakan larangan pemukulan terhadap isteri. Pernyataan lain: “mereka suami suka memukul isteri bukanlah orang-orang yang terbaik.HR. Abu Dawud. Dalam riwayat Bahzt bin Hakim bin Muawiyah, bahwa kakekya bertanya kepada Nabi SAW., “wahai Rasulullah, apa hak isteri kita, dan pa yang boleh kita lakukan dengannya dan apa yang tidak boleh dilakukan?. Nabi SAW., menjawab: “kamu berhak menggaui isterimu bagaimanapun kamu suka, kamu harus memberi makan dari yang kamu makan, memberinya pakaian seperti yang kamu pakai, jangan mencemooh didepan wajah dan jangan memukulnya.” HR. Abu Dawud lihat Ibnu al-Atsir, VII329, no. hadis: 4717. Nabi SAW. sendiri bersedia bersabar ketika menghadapi berbagai perbedaan dan perlakuan dari isteri beliau. Bahkan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengekpresikan keinginan mereka., memberikan masukan