berdimensi ekonomi yang dialami perempuan, sekalipun pihak suami ditempatkan sebagai kepala rumah tangga, namun tidak sedikit dari pihak suami menelantarkan
isteri dan anak-anak mereka, melarang istri untuk bekerja tetapi juga tidak memberikan uang atau pendapatan yang cukup untuk keluarga.
21
Hal ini diatur juga dalam pasal 9 UU No. 23 tahun 2004 tantang PKDRT.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT merupakan segala bentuk kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Didalam Undang-Undang
nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga PKDRT menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang
meliputi suami, istri dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana karena hubungan darah, perkawinan, persusuan,
pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga tersebut, orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.
Pembantu rumah tangga atau orang yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga juga termasuk dalam lingkup rumah tangga, karena selama dia berada dalam
rumah tangga tempat dia bekerja dalam jangka waktu tersebut dia dianggap sebagai anggota keluarga.
22
Setiap orang dalam rumah tangga berpotensi menjadi korban kekerasan, siapapun yang merasa tersubordinasi dan menerima perlakuan kekerasan oleh
21
Ibid.
22
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT.
pihak lain dalam rumah tangga tersebut. Sehingga korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga KDRT bisa saja suami, istri, anak, anggota keluarga yang hidup
dalam rumah tangga dan orang yang bekerja dalam rumah tangga tersebut misalnya pembantu rumah tangga .
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah sosial, bukan masalah keluarga yang harus disembunyikan.
23
Sehingga diharapkan setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah
tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya.
24
Masih minimnya putusan pengadilan yang memberikan keadilan bagi perempuan korban KDRT sangat terkait dengan masih rendahnya pemahaman
hakim tentang diskriminasi gender yang dialaminya. Ketiadaan pemahaman ini bahkan dapat membalik posisi perempuan yang semula sebagai korban berubah
menjadi tersangka. Untuk mendorong penguatan pemahaman hakim tentang diskriminasi gender, Komnas Perempuan mendorong agar materi HAM dan
Gender bagi penegak hukum –termasuk bagi hakim- terintegrasi dalam kurikulum
pendidikan dan pelatihan di setiap instansi penyelenggara pendidikan penegak hukum. Ini merupakan salah satu upaya yang tertuang dalam Kesepakatan
Bersama Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban Kekerasan antara Komnas Perempuan, Mahkamah Agung RI, Kejaksaan RI, Kepolisian RI, KPPPA dan
23
Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT.
24
Pasal 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT.
PERADI pada November 2011. Sebagai tindak lanjut MoU, sampai tahun 2013 Mahkamah Agung RI telah menyelenggarakan 1 kali pelatihan berdurasi 40 JPL
untuk membangun sensitivitas para hakim tentang kekerasan terhadap perempuan yang ditujukan bagi hakim di lingkungan pengadilan umum. Upaya ini masih perlu
didorong agar menjadi program rutin MA, selain upaya pengintegrasian materi serupa dalam Diklat Cakim yang proses diskusinya masih terus berlangsung.
25
Selain itu, Komnas Perempuan berdasarkan Kesepakatan Bersama tersebut mendorong implementasi dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu
Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan SPPT-PKKTP. Konsep ini merujuk antara lain pada mekanisme koordinasi yang perlu dibangun
di antara aparat penegak hukum dengan menggunakan analisa gender sebagai pijakan. Sampai dengan tahun 2013, konsep ini telah diujicobakan di beberapa
daerah di Indonesia, termasuk dengan melibatkan hakim dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan sosialisasi kepada hakim Peradilan Agama.
26
25
Sri Nurherawati, Putusan Pengadilan atas Perkara Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah
Privat, artikel
diakses pada
tanggal 23
Nopember 2013
dari http:www.komnasperempuan.or.id201309putusan-pengadilan-atas-perkara-kekerasan
terhadap- perempuan-di-ranah-privat
26
Ibid.
42
BAB IV GAGASAN SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU PENANGANAN
KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN SPPT-PKKTP
A. Praktek Peradilan dalam Penanganan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga
Undang-Undang PKDRT diakui sebagai sebuah terobosan progresif dalam sistem hukum pidana, tetapi dalam pelaksanaannya masih menitikberatkan
pada pelaku hukum. jika ini terjadi pada suami maka pihak korban isteri akan berfikir panjang untuk meneruskan tuntutannya karena relasi suami isteri yang ada
diantara mereka. Di samping itu, aparat penegak hukum masih memandang KDRT sebagai delik aduan sehingga selalu diarahkan untuk diselesaikan secara
kekeluargaan. Sika nonreporting korban, khususnya perempuan sangat erat dengan posisi korban sebagai subordinasi dalam rumah tangga, yang tidak dengan segera
keputusan meskipun hal tersebut utuk menolong dirinya sendiri.
1
Penegakan hukum KDRT sebagai contoh kejahatan perkawinan di Pengadilan Agama, Majelis hakim hanya melihat terpenuhinya syarat poligami
jika istri tidak memiliki keturunan. Sementara syarat dan tata cara berisitri lebih dari satu tidak menjadi pertimbangan. Pengaturan poligami dan kejahatan
perkawinan bertujuan melindungi istri syah. Dalam praktek justru diabaikan
1
Hamidah Abdurrachman, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Sebagai Implementasi hak-hak Korban, Jurnal
Hukum No. 3 Vol 17, Juli 2010: Fakultas Hukum Universitas Pancasakti, h. 483-484.
bahkan dalam penegakan hukumnya. Secara pidana tidak diproses dan pembatalan perkawinan suami yang kedua dan seterusnya ditolak Hakim. Salah satu
pertimbangan hakim menolak pembatalan didasarkan pada istri syah tidak dapat menunjukkan akta nikah asli suami dengan istri kedua, hal tersebut tentu saja
berlawanan dengan hukum. Dalam sidang perceraian, istri seringkali kehilangan hak asuh anak bahkan anak kehilangan hak mendapat kasih sayang ibu karena ibu
dianggap murtad keluar dari agama Islam. Salah satu pertimbangan yang sangat personal dan dijamin atas UU Hak Sipil Politik No. 122011ICCPR.
Sementara itu, perkara KDRT seringkali menjadi tersembunyi di balik perkara perceraian. Hal ini setidaknya ditunjukkan oleh data Badilag MA RI yang
mencatat 203.507 perkara perceraian yang sudah mendapatkan akta cerai sepanjang tahun 2012. Dari keseluruhan perkara tersebut, penyebab perceraian
adalah perkara KDRT yang umumnya tidak diproses secara pidana. Seperti poligami tidak sehat 23, tidak ada keharmonisan 18, faktor ekonomi 16,
tidak ada tanggung jawab dan lain-lain 15. Perempuan korban beragama Islam yang mengajukan perceraian melalui Peradilan Agama seringkali memilih untuk
tidak memproses KDRT yang dialaminya ke Peradilan Umum karena berbagai hal. Antara lain karena memilih untuk segera lepas dari kekerasan pihak suami; atau
enggan berurusan dengan dua kali proses peradilan yang akan memakan waktu, biaya dan energi yang banyak.
2
2
Sri Nurherawati, Putusan Pengadilan atas Perkara Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah
Privat, artikel
diakses pada
tanggal 23
Nopember 2013
dari
Kasus-kasus tersebut menunjukkan pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan tidak meletakkan CEDAW dan instrumen hukum internasional menjadi
dasar. Acuan utama yang digunakan hanyalah KUHP Kitab Undang Undang Hukum Pidana yang merupakan produk kolonial Belanda dan KUHAP Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Hampir sebagian Hakim belum memahami penggunaan CEDAW sebagai instrumen dalam mengambil keputusan
non diskriminasi bagi perempuan korban Terdakwa. Putusan-putusan dalam kasus KDRT hampir secara keseluruhan tidak komprehensif memulihkan korban. Antara
putusan pengadilan negeri, pengadilan agama bahkan bila terkait PTUN tidak berkorelasi dan cenderung membuat perempuan kelelahan dan menyerah pada
diskriminasi hukum yang dialaminya.
3
B. Argumentasi Hukum SPPT-PKKTP
Diskriminasi terhadap perempuan merupakan bagian dari pelanggaran HAM, begitu juga dengan kekerasan terhadap perempuan merupakan bagian dari
diskrimanasi terhadap perempuan. Hal ini sebagai mana tertera dalam konstitusi kita pada pasal 28 D, 28 G dan 28 I, yang mana didalamnya mengatur mengenai
http:www.komnasperempuan.or.id201309putusan-pengadilan-atas-perkara-kekerasan terhadap-
perempuan-di-ranah-privat
3
Ibid.
hak semua warga Negara atas perlindungan diri prbadinya, keluarga serta kehormatan, juga kedudukan yang sama di muka hukum equality before the law.
Hak-hak korban dan khususnya, pendampingan bagi korban dalam sistem peradilan kita dapat dikatakan belum mendapat perhatian yang memadai. Meski
wacana hak asasi manusia HAM sudah jauh berkembang, tetapi fokusnya lebih pada melindungi hak-hak pelaku ketimbang korban. Sementara, salah satu prinsip
yang paling fundamental di dalam sistem hukum kita adalah prinsip“ kesamaan di muka hukum the equality before the law
‟. Prinsip ini memberi jaminan terhadap setiap manusia untuk diperlakukan sama di hadapan hukum, termasuk dengan
sistem peradilan. Selanjutnya, prinsip kedua yang sangat berkaitan adalah “pemberian bantuan hukum sebagai salah satu HAM”. Bantuan hukum adalah
upaya hukum yang diminta oleh klien atau diberikan oleh lembaga bantuan hukum sebagai cerminan bahwa setiap manusia yang terkena masalah hukum, sementara
dirinya dalam keadaan buta hukum, adalah bagian tak terpisahkan dari jaminan atas perlindungan manusia oleh kesewenang-wenangan aparatur hukum dalam
melaksanakan tugasnya.
4
Pada tahun 1979 diadakanlah sebuah konvensi oleh majelis umum PBB mengenai penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, yang kemudian
diratifikasi oleh Indonesia sejak tahun 1984 melalui Undang-undang No.7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Segala Bentuk Diskriminasi
4
KOMNAS Perempuan, Majalah Info PPH:Menuju Sistem Peradilan Pidana Terpadu Untuk Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan SPPT-PKKTP Edisi-2, Jakarta: Divisi
Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan, 2005, h. 1-2.