Kajian Terhadap Gagasan Sistem Dan Kelembagaan Peradilan Pidana Terpadu Sppt-Pkktp Perkara Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga

(1)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

MUHAMMAD ISHAR HELMI N I M . 1 6 1 2 0 4 8 0 0 0 0 0 5

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM DOUBLE DEGREE ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A


(2)

KAJI.A.N TERHADAP GAGASAi\T SISTEM DAI\ KELEMBAGAAI\I

PERADILAN PIDANA TERPADU SPPT.PKKTP PERKARA KORBANT KEKERASAN DALAM RT]MAH TA}IGGA

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum UntukMemenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh:

Muhammad Ishar Helmi I\[M. 1612048000005

KONSENTRASI HUKIIM KELEMBAGAAN NEGARA PROGRAM DOT'BLE DEGREE ILMU IIUKTIM

FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKTIM UI\IVERSITAS ISLAM IYEGERI

SYARIF IIIDAYATULLAH

JAKARTA

t435Ht20t4IilI NIP. 1977 12fi2007 101 002


(3)

diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Double Degree Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 9 Januari 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program

Strata Satu (S-1) pada Program Double Degree Ilmu Hukum.

Jakarta, 9 Januari 2014

NrP. 19550505 198203 l0l 2

PANITIA UJIAN MI]NAQASYAH

l.

Ketua

2. Sekretaris

3. Pembimbing

4. Penguji I

5. Penguji II

Dr. Diawahir Heiazziey. S.H.. MA. NIP. 1 955 l 0 15t979031002 Drs. Abu Thamrin. S.H.. M.Hum. NIP. I 96s09081995031001 Ismail Hasani. S.H.. MH. NIP. l 977 l 2 172A07 10t002 J.M. Muslimin. MA.. Ph.D. NIP. l 96808 l2l 99903 l0l4 Dr. Djawahir Hejazziey. S.H.. MA. NrP. I 95s I 0l 5 197903 1002


(4)

LEMBAR PERIIYATAAN

Dengan ini saya menyatakm bahwa:

l.

Skripsi ini merupakan hasil L:arya asli saya yang diajukan unttrk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar stata 1 di Universitas Islam Negeri (tmf) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini t€lah saya canfirmkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

di

Universitas Islam Negeri

(lmQ

Syarif Hidayatulah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku

di

Universitas Islam (tm.Q Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.


(5)

PKKTP PERKARA KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Program Double Degree Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1435 H/2014 M. x + 78 halaman.

Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui argumentasi hukum Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP), bagaimana praktik peradilan terhadap kasus KDRT selama ini, serta desain SPPT yang ditawarkan dalam gagasan SPPT-PKKTP dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dengan menggunakan SPPT-PKKTP.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dan library reasearch

yang mana melakukan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral skripsi ini dan buku-buku dan jurnal-jurnal yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

Hasil penelitian menunjukan bahwa pada prakteknya saat ini di pengadilan belum berkeadilan jender, APH juga belum terjalinnya koordinasi seperti yang di inginkan SPPT-PKKTP, karena di institusi APH sendiri berbeda pemahaman mengenai SPPT-PKKTP yang dikhususkan untuk perempuan korban kekerasan. APH sendiri memahaminya hanya SPPT saja bukan SPPT-PKKTP untuk perempuan korban kekerasan. Didalam sistem peradilan pidana berdasarkan KUHP tersangka/terdakwa lebih memiliki akses untuk berinteraksi dengan penegak hukum dibandingkan dengan korban. Korban hanya berinteraksi pada saat pemeriksaan di pengadilan. Korban tidak pernah diikutsertakan pada saat penyidik berkomunikasi atau menyerahkan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum. Dengan kata lain, KUHAP tidak memberikan akses Jaksa Penuntut Umum berhubungan sebelum proses pemeriksaan sampai ke Pengadilan.

Kata Kunci: Gagasan, Sistem Peradilan Pidana, SPPT-PKKTP.

Pembimbing : Ismail Hasani, S.H., M.H. Daftar Pustaka : 1985 s.d 2013


(6)

vi

KATA PENGANTAR

 





Alhamdulillah, penulis panjatkan kepada sang kholiq yang telah memberikan kekuatan dan kemudahan serta nikmat sehingga dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skriipsi ini. Tak lupa shalawat dan salam penulis haturkan kepada Baginda Rasulullah SAW., semoga syafaat-Nya senantiasa tercurahkan kepada umat muslimin.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam meraih gelar Sarjana Hukum (S.H) pada Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak dukungan dan saran dari berbagai pihak, sehingga ucapan terima kasih penulis sampaikan dengan tulus dan sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A., Ketua Program Double Degree Ilmu Hukum dan Bapak Ismail Hasani, S.H., M.H., Sekretaris Program Double Degree Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum sekaligus Dosen Pembimbing Skripsi penulis yang tidak lelah selalu memberikan saran serta motivasinya dalam penyusunan skripsi ini, terima kasih Pak.


(7)

vii

4. Dosen-dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membimbing penulis dari awal masuk hingga bisa menyelesaikan skripsi ini dan Staf-staf/Karyawan yang membantu proses administrasi penulis .

5. Pegawai Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang membantu memberikan pinjaman referensi kepada penulis.

6. Ibu Emma Mukarromah Div. Revormasi Hukum dan Kebijakan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (KOMNAS PEREMPUAN) yang sudah memberikan informasi sekaligus ilmu sehingga membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Pegawai Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (RI) yang telah membantu memberikan bahan dan referensi kepada penulis.

8. Ayahanda tercinta Ojo Jauhari dan Ibunda tersayang Iseu Setiawati, sujud abdiku kepada kalian atas doa dan pengorbanan kalian selama ini, “allahummagfirlii waliwalidayya warhamhuma kama rabbayani sogiro”. Adikku tercinta Mugia Saida D, Saudara-saudariku Teh Ayu, Teh Yuni, Teh Neng, Teh Mia, Izal, Aa Asep, dan keponakan Wilda, Inara, Fadil, Adlin kebaradaan kalian selalu memberikan support.


(8)

viii

9. Ulfa Fauziah Hidayati thanks atas support dan doanya selama ini.

10. Sahabat-sahabat terbaiku: Mamduh, Jefri, Ihsan, Mufti, Fikri, Rouf, Yusuf, Zainul, Najwa, Dewi, Roro Estri, Mas Rudi, Asep Kustia, Fauzan, Farhan, canda tawa kalian akan selalu menjadi sebuah kenangan yang tak terlupakan.

11. Teman-teman Double Degree angkatan Kedua; Mbak Nisa, Andre, Rouf, Ihsan, dan Farhan. Thank for all kalian selalu memberikan suntikan-suntikan ilmu yang penulis sama sekali belum tahu.

12. Teman-teman seperjuangan Pondok Peantren Wali Songo Ngabar Ponorogo Jawa Timur, syukron katsir atas semua doa dan semangat nya.

13. Semua pihak yang penulis tidak bisa sebutkan satu-persatu terima kasih atas bantuannya dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis pun menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini selanjutnya. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat dijadikan rujukan penyusunan skripsi selanjutnya.

Jakarta, 9 Januari 2014


(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI... ix

BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Studi Review ... 7

F. Metode Penelitian ... 8

G. Sistematika Penulisan ... 12

BAB II Sistem Peradilan Pidana di Indonesia A. Pengertian Sistem Peradilan Pidana... 14

B. Model Sistem Peradilan Pidana ... 16

C. Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) ... 26


(10)

x

BAB III Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan

A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga ... 30 B. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT ... 36

BAB IV Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penangan Kasus Kekerasan Terhadap

Perempuan (SPPT-PKKTP)

A. Praktek Peradilan Dalam Penanganan Kasus Kekerasan

Dalam Rumah Tangga ... 42 A. Argumentasi Hukum SPPT-PKKTP ... 44 B. Gagasan SPPT-PKKTP dan Disain Rancangan Bangun Sistem Penanganan

Dan Penyelesaian kasus Kekerasan Terhadap Perempuan ... 48 C. Analisa Penulis KDRT dalam Pandangan Islam ... 68

BAB V Penutup

A. Kesimpulan ... 73 B. Saran-saran ... 75


(11)

1

A. Latar Belakang Masalah

Kekerasan di masyarakat bukan lagi suatu hal yang baru. Kekerasan sering dilakukan bersamaan dengan tindak pidana, seperti datur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Yang paling menarik perhatian publik kekerasan tersebut terjadi dalam lingkup rumah tangga yang seringkali banyak menimpa kaum perempuan. Kekerasan tersebut cenderung tersembunyi (hidden crime) karena baik pelaku ataupun korban berusaha untuk merahasiakan perbuatan tersebut dari pandangan publik. Pada kenyataannya sangatlah sulit mengukur secara tepat luasnya kekerasan terhadap perempuan, karena ini berarti harus memasuki wilayah peka kehidupan perempuan, yang mana perempuan sendiri enggan membicaraknnya.1

Pada awalnya secara umum kekerasan tehadap perempuan hanya diatur dalam KUHP, dibawah bab tentang kejahatan terhadap kesusilaan. Namun, lambat laun kekerasan terhadap perempuan meningkat yang mana banyak mendapat perhatian karena sifat dan dampaknya yang luas bagi masyarakat. Pencatatan data kasus KDRT dapat ditelusuri dari sejumlah institusi yang layanannya terkait sebagaimana diatur dalam UU Penghapusan KDRT dan Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban

1

Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga “Dalam Perspektif Yuridis


(12)

2

kekerasan Dalam Rumah Tangga. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau disebut Komnas Perempuan, mencatat bahwa semakin meningkatnya perempuan korban kekerasan. Menurut catatan tahunan Komnas Perempuan tahun 2013, sampai tahun 2012 mencapai 216.156 kasus yang dilaporkan dan ditangani oleh lembaga-lembaga mitra pengada layanan. Jumlah angka KTP ini menjadi hamper 2 kali lipat dari angka tahun sebelumnya.2

Dengan menyadari adanya kompleksitas permasalahan terkait kekerasan dalam rumah tangga khususnya terhadap perempuan, maka pada tahun 2004 disahkannya Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Rumah Tangga yang secara umum dapat memback up kaum perempuan dalam mendapatkan hak-hak hukumnya.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan di Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang semestinya melindungi pihak-pihak yang paling rentan di dalam rumah, yaitu perempuan dan anak, telah digunakan untuk justru mengkriminalisasi perempuan korban kekerasan. Akibatnya, perempuan korban tidak mendapatkan haknya atas kebenaran, keadilan dan pemulihan. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat bahwa UU PKDRT adalah terobosan hukum penting bagi upaya menghadirkan keadilan di Indonesia. UU PKDRT merupakan salah satu

2

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Catatan Komnas Perempuan:

Korban Berjuang, Publik Bertindak, Mendobrak Stagnansasi Sistem Hukum, (Jakarta: KOMNAS


(13)

wujud komitmen negara untuk menghapus segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini sejalan dengan komitmen pemerintah Indonesia setelah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui UU No. 7 tahun 1984 pada tanggal 24 Juli 1984.3

Namun, upaya korban mencari keadilan dihadapkan pada banyak hambatan. APH juga belum mampu menyediakan perlindungan dan pendampingan optimal bagi korban dalam melaksanakan UU PKDRT. Rumah aman dan bantuan hukum masih langka dan sebagian besar masih sulit diakses korban. Unit penanganan perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan tidak dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai. Komnas Perempuan juga menerima laporan di mana APH melakukan memediasi pelaku dan korban tanpa dikerangkai misi memutus siklus kekerasan dan memberi efek jera pada pelaku. Sejumlah APH juga mengabaikan hak korban atas informasi yang utuh tentang proses hukum yang akan dijalani dan akibat hukumnya. Semua situasi ini menyebabkan korban merasa terintimidasi dan akibatnya, sejumlah banyak korban mencabut laporannya atau meminta APH menghentikan proses kasus atas kekerasan yang dialami. 4

3

Pernyataan Sikap KOMNAS Perempuan Jelang Satu Dasawarsa UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Hentikan Kriminalisasi Perempuan Korban Kdrt, Jakarta 12

September 2013, Artikel diakses pada tanggal 26 September 2013 dari

http://www.komnasperempuan.or.id/.

4


(14)

4

Pada tanggal 23 Nopember 2011, terbentuklah kesepakatan bersama5 anatara KOMNAS Perempuan dengan APH tentang akses keadilan bagi perempuan korban kekerasan, yang mana dengan adanya kesepatan tersebut diharapkan menjamin akses keadilan bagi perempuan korban kekerasan.6 Hal tersebut kemudian menjadikan sebuah gagasan mengenai Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) yang diharapkan menjadi wujud dari kesepakatan bersama antara beberapa lembaga diatas serta menjamin akses keadilan dan melindungi perempuan korban kekerasan.

Berangkat dari permasalahan diatas penulis tergugah untuk menkaji dalam bentuk skripsi yang berjudul, “KAJIAN TERHADAP GAGASAN SISTEM DAN KELEMBAGAAN PERADILAN PIDANA TERPADU

SPPT-PKKTP PERKARA KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH

TANGGA”.

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripssi ini, penulis membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasanya lebih jelas dan

5

KOMNAS perempuan, Mahkamah Agung, Kejaksaan RI, Kepolisian RI, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Dan Perhimpunan Advokat Indonesia.

6

Lebih lanjut Lihat Kesepakatan Bersama Nomor: 147/KNAKTP/MoU/XI/2011, Nomor: 184B/KMA/SKB/XI/2011, Nomor: KEP-244A/A/JA/11/2011, Nomor: B/27/XI/2011, Nomor: 34/MoU/MPP-PA/2011, Nomor: 011/PERADI-DPN/MoU/XI/2011. tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban Kekerasan.


(15)

terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Disini penulis hanya akan membahas gagasan mengenai sistemperadilan pidan terpadu untuk perkara korban kekerasan dalam rumah tangga.

2. Perumusan Masalah

Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) secara teori sudah memback up perempuan dalam hal perlindungan terhadap kekerasan. Namun, realita APH juga belum mampu menyediakan perlindungan dan pendampingan optimal bagi korban dalam melaksanakan UU PKDRT.. Dalam hal ini KOMNAS Perempuan mengambil peran bersama bersama aparat penegak hukum lainnya yakni peradilan di bawah ligkungan Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan perlindungan Anak dan juga Advokat yang mana dalam hal ini membuat kesepakatan menjamin perlindungan terhadap perempuan dengan menggagas sebuah sistem peradilan pidana terpadu penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan.

Rumusan masalah tersebut penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana praktik peradilan terhadap kasus KDRT selama ini?

2. Apa argumentasi hukum dan bagaimana Gagasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) ?


(16)

6

3. Seperti apakah desain SPPT dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dengan menggunakan SPPT-PKKTP?

C. Tujuan Penelitian

Mengacu pada permasalahan yang telah disebutkan diatas, penelitian ini bertujuan:

1. Untuk mengetahui praktik peradilan terhadap kasus KDRT selama ini.

2. Untuk mengetahu argumentasi hukum dan bagaimana Gagasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP).

3. Untuk mengetahui desain SPPT dalam Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan dengan menggunakan SPPT-PKKTP.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para penegak hukum dan praktisi hukum dalam menangani masalah Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) pada umumunya, maupun dikalangan akademisi yang sedang bergulat di dalam bidangnya.

2. Penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi penulis dalam menambah wawasan, pengalaman, dan pengetahuan tentang materi kajian yang akan dibahas pada permasalahan tersebut.


(17)

3. Hasil Penelitian ini agar dapat dijadikan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya.

E. Studi Review

Pembahasan dalam penelitian ini penulis melakukan tela’ah studi terdahulu pada hasil penelitian yang pembahasannya menyerupai dengan pembahasan yang akan di angkat oleh penulis yaitu:

No. Identitas Subtansi Pembeda

1

2

Muhammad Ishar Helmi,

Relevansi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga Sebagai Payung Hukum Perkara Perceraian dengan Pandangan Hukum Islam

Tentang Ta’dib, Fakultas

Syari’ah dan Hukum -Hukum Keluarga/Peradilan

Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2013.

Hanafiah Ahmad,

Penanganan Isteri Nusyuz dalam Hukum Islam Perbandingan Dengan Undang-Undang No. 23

tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga (PKDRT), Fakultas

Syari’ah dan Hukum -Hukum Keluarga Islam UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta. 2010.

Disini penulis akan membahas bagaimana

relevansi UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga (PKDRT) sebagai payung hukum perkara

perceraian akibat pelanggaran pasal 116

KHI dengan hukum Islam tentang pemberian

pelajaran terhadap isteri

(ta’dib).

Hasil penelitian berupa skripsi ini membahas

tentang relevansi penanganan Isteri

Nyusuz persfektif Undang-Undang No. 23

tahun 2004 tentang Pengahapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dengan pandangan Hukum Islam

Disini penulis akan membahas gagasan sistem peradilan pidana terpadu penangan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan (SPPT-PKKTP), baik mengenai dasar hukum, model penanganan kasus, dan penyelesaian kasusnya.


(18)

8

F. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini, maka Penulis menggunakan metode:

a. Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini, adalah: 1. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji

penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 7

2. Penelitian Kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan mengkaji, menganalisa serta merumuskan buku-buku, literatur dan yang lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

Sedangkan pendekatan yang dilakukan dalam penyusunan skripsi ini antara lain:

1. Pendekatan perundang-undang (statute approach) ialah pendekatan dengan melakukan pengkajiian terhadap peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian skripsi ini. 8

2. Pendekatan terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal ialah untuk mengungkapkan kenyataan, sejauh mana perundang-undang tertentu serasi

7

Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Pubhlishing, 2008), h.294.

8


(19)

secara vertikal, atau mempunyai keserasian secara horizontal apabila menyangkut perundang-undang sederajat mengenai bidang yang sama.9

Secara Vertikal: pendekatan dengan melihat apakah suatu peraturan perundang-undang yag berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antara satu dengan lain apabila dilihat dari sudut vertikal atau hierarki peraturan perundang-undang yang ada.10

Secara Horizontal: pendekatan dengan meninjau peraturan perundang-undang yang kedudukannya sederjat atau sama.

b. Sumber Bahan Hukum

Dalam penyusunan skripsi ini Penulis menggunakan dua jenis sumber data yaitu:

1. Bahan hukum primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang terdiri atas peraturan perundang-undang yang diurutkan berdasarkan hierarki peraturan perundang-undang dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang. Bahan hukum primer tersebut yaitu UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) dan MOU Mahkamah Agung, Kejaksaan, Kepolisian, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan

9

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Rajawali Press, 1985), h.85.

10

Bambang Suggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h.94.


(20)

10

Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) tentang akses keadilan bagi perempuan korban kekerasan .

2. Bahan hukum sekunder

Bahan Hukum sekunder merupakan data yang diperoleh dari bahan kepustakaan. Bahan hukum yang terdiri atas buku-buku (textbook) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de hersende leer), jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasl-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian skripsi ini.11 Bahan hukum sekunder tersebut terdiri dari buku-buku hukum, kitab-kitab fiqh yang berkaitan dengan ta’dib, media cetak, artikel-artikel baik dari internet maupun berupa data digital.

c. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Berisis uraian logis prosedur pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, serta bagaimana bahan hukum tersebut diinterventarisasi dan diklasifkasikan dengan menyesuaikan masalah yang dibahas.

Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan, digunakan metode sebagai berikut:

1. Metode Dokumentasi

11


(21)

Metode dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa cattan, transkip, buku, surat kabar, media online, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda, dan sebagainya.12

2. Metode Interview

Metode Interview adalah sebuah dialog yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara.13 Dalam penulisan skrips ini Penulis akan melakukan wawancara dengan para pakar hukum, seperti hakim dan pengamat hukum lainnya.

d. Teknis Analisis Bahan Hukum

Analis bahan hukum merupakan langkah-langkah yang berkaitan dengan pengelolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan bahan hukum hakikatnya merupakan kegiatan untuk mengadakan sistemasisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Sistemastisasi berarti membuat klasisfikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi.

12

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h.201

13


(22)

12

Dalam analisis Bahan Hukum ini kegiatan yang dilakukan antara lain:

1. Memilih pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dalam peraturan perundang-undang.

2. Membuat sistematik dari pasal-pasal atau kaidah-kaidah hukum tersebut yang kemudian dihubungkan dengan kitab-kitab fiqh yang berkaitan dengan masalah yang penulis angkat sehingga menghasilkan klasisfikasi tertentu.

e. Teknik Penulisan

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini, penulis berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam buku pedoman penulisan

skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan merupakan pola dasar pembahasan skripsi dalam bentuk bab dan sub bab yang secara logis saling berhubungan dan merupakan suatu masalah yang diteliti. Adapun sistem penulisan skripsi ini sebagai berikut: Bab I : Pendahuluan Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Perumusan

Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangka Teori, Studi Review, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan


(23)

BAB II : Membahas Sistem Peradilan Pidana di Indonesia meliputi pengertian Sistem Peradilan Pidana, model Sistem Peradilan Pidana, Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-kasus Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP). BAB III : Mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga Terhadap Perempuan

meliputi Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT.

BAB IV : Membahas Gagasan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penangan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) meliputi Praktek Peradilan dalam Penanganan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga, argumentasi hukum SPPT-PKKTP, gagasan SPPT-PKKTP dan desain rancangan bangun sistem penanganan dan penyelesaian kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (KTP) dengan menggunakan SPPT-PKKTP, dan analisa penulis KDRT dalam pandangan Islam.

Bab V : Dalam bab ini merupakan penutup kajian ini, penulis menyimpulkan berkaitan dengan pembahasan yang penulis lakukan sekaligus menjawab rumusan masalah yang penulis gunakan dalam bab. Uraian terakhir adalah saran yang dapat dilakukan untuk kegiatan lebih lanjut berkaitan dengan apa yang telah penulis kaji.


(24)

14

BAB II

SISTEM PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

A. Pengertian Sistem Peradilan Pidana

Sistem Peradilan Pidana ialah sistem yang dibuat untuk menanggulangi masalah-masalah kejahatan yang dapat mengganggu ketertiban dan mengancam rasa aman masyarakat, merupakan salah satu usaha masyarakat untuk mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterima. Pelaksanaan peradilan pidana adalah upaya untuk menanggulangi kejahatan yang terjadi di masyarakat dengan mengajukan para pelaku kejahatan ke pengadilan sehingga menimbulkan efek jera kepada para pelaku kejahatan dan membuat para calon pelaku kejahatan berpikir dua kali sebelum melakukan kejahatan.1

Sistem peradilan pidana merupakan koordinasi lembaga mulai dari pelaku menjadi tersangka, terdakwa, sampai dengan putusan pengadilan. Sistem ini biasanya memiliki tiga komponen, penegak hukum (polisi, shariffs, marshal, proses peradilan (hakim, jaksa, pengacara), dan koreksi (petugas penjara, petugas percobaan, dan petugas pembebasan bersyarat) juga disebut sistem penegakan hukum.2

1

Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Restu Agung, 2007), h. 4.

2 Garner, Bryan A, “Black’s Law Dictionary”, Eight Edition, (St. Paul Minn: West, a


(25)

Muladi mengatakan, sistem peradilan pidana sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem dapat bersifat phisik dalam arti sinkronisasi struktural (structural syncronization) dalam arti keselarasan mekanisme administrasi peradilan pidana, dapat pula bersifat substansial (substancial syncronization)

dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku, dan dapat pula bersifat kultural (cultural syncronization) dalam arti menghayati pandangan, sikap, dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.3

Mardjono mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarkat. Tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan yaitu: Pertama, mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; Kedua, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; dan

Ketiga, mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya. Dari tujuan tersebut mardjono mengemukakan bahwa empat komponen dalam sistem peradilan pidana yakni kepolisian,

3

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1995), h. 13.


(26)

16

kejaksaan, pegadilan dan lembaga pemasyarakatan diharapkan dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu integrated criminal justice sistem.4

B. Model Sistem Peradilan Pidana

Pada umumnya dalam sistem peradilan pidana dikenal ada tiga bentuk pendekatan, yaitu: pendekatan normatif, administratif dan sosial yaitu:5 Pertama,

pendekatan normatif yakni memandang keempat aparatur penegak hukum (kepolisan, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat aparat tersebut merupakan bagian yang semata-mata tidak terpisahkan dari sistem penegakan hukum;6 Kedua, pendekatan administratif, pendekatan ini memandang keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horsontal maupun bersifat vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut, sistem yang digunakan adalah sistem administrasi;7 Ketiga, pendekatan sosial, pendekatan ini memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian

4

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, cet. Ke-2, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 3.

5

Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan

Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), h. 38.

6

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Universitas Diponegoro, 1995), h. 1-2.

7

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, cet. Ke-2, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 6-7.


(27)

yang tidak terpisahkan dari suatu sistem social sehingga mesyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidak berhasilan dari keempat aparatur penegak hukum terrsebut dalam melaksanakan tugasnya, sistem yang digunakan adalah sistem sosial.8

Lebih jauh Parker membedakan pendekatan normatif tersebut kedalam dua model yakni, crime control model dan due process model, dan perbedaan dua model tersebut sesuai dengan kondisi social, budaya, dan structural (sobural) masyarakat Amerika Serikat. Polarisasi pendekatan normatif kedalam sistem peradilan pidana bergaya Packer tersebut tidak bersifat mutlak, sehingga operasionalisasi kedua model ini dilandaskan pada asumsi yang sama yaitu:9 1. Penetapan suatu tindakan sebagai tindak pidana harus lebih dahulu ditetapkan

jauh sebelum proses identifikasi dan kontak dengan seseorang tersangka pelaku kejahattan atau asas ex post facto law atau asas undang-undang tidak berlaku surut. Aparatur penegak hukum atau law enforcement officer tidak diperkenankan menyimpang dari asas tersebut.

2. Diakui kewenangan yang terbatas pada aparatur penegak hukum untuk melakukan tindakan penyidikan dan penangkapan terhadap tersangka pelaku kejahatan.

8

Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan

Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), h. 39.

9

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, cet. Ke-2, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 8.


(28)

18

3. Seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus dilindungi dan berhak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak.

Crime control mode didasarkan atas anggapan bahwa penyelenggara peradilan pidana adalah semata-mata untuk menindas pelaku criminal (criminal conduct), dan ini adalah tujuan utama dari proses peradilan pidana. Sebab dalam hal ini yang diutamakan adalah ketertiban umum (public order) dan efesiensi. Dalam model ini berlaku sarana cepat dalam ranga pemberantasan kejahatan. Dan berlaku apa yang disebut sebagai presumption of guilty. Kelemahan dalam model ini adalah seringkali teradi pelanggaran hak-hak asasi manusia.10

Due process model munculah nilai baru, merupakan sebuah konsep perindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan pembatasan kekuasaan pada peradilan pidana. Jadi dalam model ini proses criminal harus dapat kendalikan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan sifat otorter dlam rangka maksimum efesiensi. Dalam model ini diberlakukan apa yang dinamakan dengan

presumption of innocence.11 Perbedaan dari kedua model ini terletak pada mekanisme dan tipologi model yang dianutnya. Crime control model merupakan

10

Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan

Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), h. 40-41.

11


(29)

tipe affirmative model12 sedangkan due process model merupakan negative model13.

Tabel 1

Perbedaan Crime Control Model dan Due Process Model14

Crime control model Due process model

5 karakteristik Values 6 karakteristik

1. Refresif

2. Presumtion of guilt 3. Informal fact-finding 4. Factual guilt

5. Efisiensi

Mekanisme 1. Preventif

2. Presumption of innounce 3. Formal-adjudicative 4. Legal guilt

5. Efektivitas

6. Kesusilaan & criminal sanction

Affirmative model Tipologi Negative model

Selanjutnya, Muladi mengemukakan kelemahan-kelemahan model sistem peradilan pidana seperti; crime control model tidak cocok karena model ini berpandangan tindakan yang bersifat refresif sebagai terpenting dalam melaksanakan proses peradilan pidana; Due model process tidak sepenuhnya menguntungkan karena bersifat anti-authoritarian; Model family atau family

12

Affirmative model yakni selalu menekankan pada eksistensi dan penggunaan kekuasaan

pada setiap sudut dari proses peradilan pidana, dan dalam model ini kekuasaan legislatif sangat dominan.

13

Negative model yakni selalu menekankan pembatasan kekuasaan formal dan modifikasi

dari penggunaan kekuasaan tersebut. Kekuasaan yang dominan dalam hal ini adalah kekuasaan yudikatif dan selalu mengau pada konstitusi.

14

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, cet. Ke-2, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 12.


(30)

20

model kurang memadai karena terlalu offender oriented sementara masih terdapat korban (victms) yang juga memerlukan perhatian serius.15

Menurut muladi juga model sistem peradilan pidana yang cocok bagi Indonesia adalah model yang mengacu pada daad-dader strafrecht yang disebut sebagai model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model yang realistic yaitu yang memperhatikan berbagai kepentingan yang harus dilindungi oleh hukum pidana yaitu kepentingan Negara, kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana dan kepentingan korban kejahatan.16

Berlakunya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana jelaslah telah terjadi perubahan pemikiran dan pandangan dari sebelumnya HIR (Het Herziene Inlandsch Reglemennt) stbld. 1941 No. 44, yang mana tentang kedudukan tersangka dan tertuduh atau terdakwa., dalam proses penyelesaian perkara pidana di Indonesia. Perubahan pemikiran dan pandangan di maksud tampak terlalu menitik beratkan terhadap perlindungan atas hak dan kepentingan tersangka, tertuduh atau terdakwa, akan tetap kurang memperhatikan efisiensi mekanisme penyelesaian perkara pidana itu

15

Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan

Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), h. 46.

16

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, cet. Ke-2, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 13.


(31)

sendiri oleh aparat yustisi dan kepeningan korban penyalahgunaan kekuasaan aparat penegak hukum.17

Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada baik yang terdapat didalam atau di luar KUHAP dapat diterangkan bahwa sistem peradilan pidana di Indonesia mempunyai prangkat struktur atau sub sistem yakni kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lembaga permasyarakatan dan advokat atau penasehat hukum sebagai quasi sub sistem.18

Sistem peradilan pidana berdasarkan KUHAP, polisi selaku petugas penyidik, baru dapat mengolah kasus stelah mendapat pengaduan dari korban atau masyarakat atas dugaan adanya tindak pidana. Kemudian pihak kepolisian dapat menindaklanjuti pengaduan korban dengan melakukan penyelidikan dan penyidikan. Untuk kepentingan pengembangan kasus, polisi berwenang menetapkan tersangka, bahkan menahan tersangka. Hasil penyelidikan dan penyidikan tersebut diserahkan kepada Jaksa penuntut Umum (JPU). JPU melanjutkan pekerjaan dari polisi, untuk itu di bisa memeriksa lebih lanjut denga korban dan tersangka. JPU juga memiliki kewenangan menahan tersangka. Jika JPU merasa berkas telah cukup bukti, maka maka selanjutnya diajukan ke Pengadan untuk disidangkan.

17

Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan

Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), h. 63.

18


(32)

22

Setelah masuk ke dalam persidangan status tersangka berubah menjadi terdakwa, dimana hakim dalam memeriksa perkara, dapat meminta keterangan korban, terdakwa, dan saksi lainnya. Bahkan hakim juga dapat mempertemukan korban dengan tersangka. Selam proses persidangan di pengadilan terjadi interaksi yang cukup intens antara terdakwa dan korban, terdakwa denga petugas rumah tahanan/lembaga permasyarakatan, terdakwa dengan panitera pengadlan, terdakwa dengan jaksa penuntut umum, juga terdakwa dengan hakim. Didalam sistem peradilan pidana berdasarkan KUHP tersangka/terdakwa lebih memiliki banyak akses untuk berinteraksi dengan penegak hukum dibandingkan dengan korban. Korban hanya berinteraksi pada saat pemeriksaan di pengadilan. Korban tidak pernah diikutsertakan pada saat penyidik berkomunikasi atau menyerahkan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum. Dengan kata lain, KUHAP tidak memberikan akses Jaksa Penuntut Umum berhubungan sebelum proses pemeriksaan sampai ke Pengadilan.19

Dalam sistem peradilan yang lazimnya selalu melibatkan dan mencakup sub-sistem seperti yang tersebut di atas dengan ruang lingkup masing-masing proses peradilan pidan sebagai berikut, yaitu:20

19

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kertas Kebjakan; Sistem Peradilan PidanaTerpadu Yang Berkeadilan Jender Dalam Penanganan Kasus kekerasan Terhadap

Perempuan, (Jakarta: KOMNAS Perempuan, 2005), h. 25.

20

Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan


(33)

1. Kepolisian, dengan tugas utama; menerima laporan dan pengaduan dari publik manakaa terjadinya tinda pidana, melakukan penyelidikan adanya penyidikan tindak pidana, melakukan penyaringan terhadap kasus-kasus yang memenuhi syarat untuk diajukan ke kejaksaan, melaporkan hasil penyidikan kepada kejaksaan dan memastikan dilindunginya para pihak yang terlibat dalam proses peradia pidana. (UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, UU No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara) 2. Kejaksaan dengan tugas pokok; menyaring kasus yang layak diajukan ke

pengadilan, mempersiapkan bekas penuntutan, melakukan penuntutan da melaksanakan putusan pengadilan. (UU No. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan, UU No. 16 tahun 2002)

3. Pengadilan yang berkewajiban untuk, menegakan hukum dan keadilan, saksi dan korban dalam proses peradilan pidana, melakuka pemeriksaan kasus-kasus secara efisien dan efektif, memberika putusan yang adil berdasarkan hukum, dan menyiapkan arena publik untuk persidngan sehingga publik dapat berpartisipasi terhadap proses peradilan di tingkat ini. (UU No. 14 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman, UU No. 35 tahun 1999 tentang revisi terhadap UU No. 14 tahun 1970, UU No. 4 Tahun 2004)

4. Lembaga pemasyarakatan, yang berfungsi untuk menjalankan putusan pengadilan berupa pemenjaraan, memastikan perlindungan hak-hak narapidana melakukan upaya-upaya untuk memperbaiki narapidana,


(34)

24

mempersiapkan narapidana untuk kembali ke masyarakat. (UU No. 12 tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan)

5. Pengacara dengan fungsi; melakukan pembelaan bagi klien dan menjaga hak-hak klien dipenuhi dalam proses peradilan. (UU No. 18 tahun 2003 tentang Advokat)

Sistem hukum di Indonesia pada saat ini memang belum berkeadilan jender dalam penangan kasus kekerasan terhadap perempuan. Pada tingkat subtansi hukum, terdapat peraturan, baik materiil maupun formil, yang cenderung menyulitkan perempuan untuk mencapai keadilan. Menyangkut sistem peradilan pidana, didalam KUHAP hanya ada beberapa pasal yang secara spesifik mengatur hak korban, yaitu hak ketika ia menjadi saksi.21 Saksi korban orang yang dirugikan akibat terjadinya kejahatan atau pelaggaran didengar pertama sebelum saksi lainnya karena dianggap saksi utama. Selanjutnya hak korban untuk mendapatkan ganti rugi melalui gugatan ganti rugi yang digabungkan oleh jaksa dengan perkara pidana (ps. 98). Disamping pasal tersebut diatas, terdapat pengaturan hak korban yang tidak sfesifik, yaitu tersirat ketika ia menjadi saksi yang sama posisinya dengan saksi lainnya. Hak-hak saksi tersebut didalam KUHAP yaitu:22

1. Hak saksi untuk tidak mendapat pertanyaan yang bersifat menjerat (ps. 166).

21Pasal 160 ayat 1 huruf b KUHAP “yang

pertama-tama didengar keterangannya adalah

korban yang menjadi saksi”.

22

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kertas Kebjakan; Sistem Peradilan PidanaTerpadu Yang Berkeadilan Jender Dalam Penanganan Kasus kekerasan Terhadap


(35)

2. Hak saksi untuk hadir dalam persidagan (ps. 167).

3. Hak mengundurkan diri sebagai saksi jika emiliki hubungan darah, perkawinan atau saksi uga sebagai terdakwa (ps. 168)

4. Hak untuk menolak diumpah (ps. 161).

5. Hak untuk didengar keterangannya tanpa hadirnya terdakwa (ps. 173). 6. Hak untuk diperiksa keterangannya tanpa kehadiran saksi lainnya (ps. 172). 7. Hak untuk mendapat juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan

menerjemahkan dengan bear semua yang diterrjemahkan (ps. 177 ayat (1)). 8. Hak khusus untuk saksi bisu dan atau tuli serta tidak dapat menulis yaitu hak

mendapat penerjemah orang yang pandai bergaul dengannya (ps. 178 ayat (1)); dan hak untuk mendapatkan semua pertnyaan atau teguran secara tertulis dan menjawab secara tertulis bagi saksi yan bisu dan atau tuli tapi dapat menulis (ps. 178 ayat (2)).

Hak-hak tersebut meskipun secara eksplisit dijamin di dalam KUHAP, pada prakteknya sering kali tidak terpenuhi, misalnya ha katas ganti rugi yang sangat jarang diperoleh karena pada umumnya jaksa dalam melakukan tuntutan tidak memasukkan tuntutan ganti rugi untuk korban, apalagi haknya sebagai saksi. Perlindungan terhadap korban tersebut itu jika dibandingkan dengan perlindungan terhadap terdakwa sangat tidak memadai. Hak-hak tersangka dan terdakwa jauh lebih banyak dijamin didalam KUHAP (Ps. 50, 51, 52, 53 & 177, 53 (2) & 178, 54 & 55, 56, 57 (1), 57 (2), 58, 59, 60, 61 (1), 62 (1), 63, 64, 65).


(36)

26

Ketidak seimbangan pengaturan tentang korban dengan hak tersangka dan terdakwa kemudian mempengaruhi sikap dan tidakan para penegak hukum yang mempunyai kecendrungan sebagai pelaksana Undang-Undang (legalistk). Dengan melaksanakan KUHAP, mereka telah enegakan hukum yang ada. KUHAP mengatur mekanise kerja institusi dimana hubungan antara satu instansi dengan nstansi lainnya sangatlah kaku. Setiap instansi telah memiliki wewenang yang jelas. Tidak ada ruang antara penegak hukum membahas masalah-masalah yang menyangkut kepentingan masyarakat pencari keadilan yang harus dipecahkan bersama.

C. Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP)

Sistem peradilan pidana terpadu ialah jaringan peradilan yang bekerja sama secara terpadu diantara bagian-bagianya untuk mencapai tujuan tertentu baik jangka pendek maupun jangka panjang. Dapat pula dikatakan bahwa sistem peradlan pidana adalah suatu komponen (sub sistem) peradilan pidana yang saling terkait / tergantung satu sama lain dn bekerja untuk mencapai tujuan, yatu untuk menanggulangi satu sama lain dan bekerja untuk mencapai tujuan, yaitu untuk menanggulangi kejahatan sampai batas yang dapat ditoleransi oleh masyarakat.


(37)

Dari pengertian sistem tersebut sudah menggambarkan adanya keterpaduan antara sub-sub sistem yang ada dalam peradilan.23

Sistem peradilan pidana terpadu merupakan sistem yang mampu menjaga keseimbangan perlindungan kepentingan, baik kepentingan Negara, kepentingan masyarakat, maupun kepentigan individu termasuk kepentngan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan.24

Menurut Muladi makna integrated justice system ini adala singkronisasi atau keserempakan dan keselarasan yang dapata dibedakan dalam; pertama,

singkronisasi structural yaitu keserempakan dan keselarasan dalam kerangka hubunngan antar lembaga penegak hukum; kedua, sinkronisasi subtansial yaitu keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertical dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif; ketiga, sinkronisasi kultural yaitu keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluuh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.

Kata terpadu dalam sistem perdilam pidana terpadu disini ialah adanya kesamaan prosedur (sub sistem dalam peradilan pidana pada posisi masing-masng harus mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan / ditentukan didalam undang-undang), presepsi (adanya pemahaman / pengetahuan yang sama antara sub-sub sistem terhadap perkara / kasus yang ada), dan tujuan (sub-sub sistem peradilan

23

Rusli Muhammad, Sistem peradilan Pidana Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 33.

24


(38)

28

harus memiliki tujuan yang sama yaitu menanggulangi kejahatan hingga batas toleransi yang dapat di terima masyarakat).25

Perlu kita pahami bahwa eksistensi dan penyelenggaraan the integrated criminal justice system diartikan proses manajemen (perilaku yang mempunyai tujuan tertentu) dari raw-input, instrumental input, environment input sebagai bagian komponen sistem proses untuk saling berhbungan dalam interrelasi dan interaksi mewujudkan suatu hasil berupa out put dari tujuan diadakannya peradilan pidana guna mencapai cita-cita social civilization dan unwalfare.26

Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) merupakan sistem terpadu yang menunjukan proses keterkaitan antar instansi/pihak yang berwenang menangani kasus kekerasan terhadap perempuan dan akses pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi perempuan dalam setiap proses peradilan kasus kekerasan terhadap perempuan.27

Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang berkeadilan jender dalam penanganan kasus kekerasan tehadap perempuan merupakan sistem terpadu yang menunjukan proses keterkaitan antar instansi / pihak yang berwenang menangani

25

Rusli Muhammad, Sistem peradilan Pidana Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2011), h. 36.

26

Ibid.

27

Pasal 1 angaka (6) MOU antara Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Mahkamah Agung RI, Kejaksaan Agung RI, Kepolisian Negara RI, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI, dan Perhimpunan Advokat Indonesia.


(39)

kasus kekerasan terhadap perempuan dan akses pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi perempuan dalam setiap proses peradilan kasus kekerasan terhadap perempuan.28

Pemahaman SPPT-PKKTP yang berbeda di APH membuat belum berjalannya sistem tersebut.29 SPPT-PKKTP yang mereka maksud atau mereka pahami yaitu hanya SPPT saja yakni SPPT koordinasi antara polisi, jaksa, dan hakim. Sedangkan SPPT-PKKTP yang dimaksud ialah sistem peradilan pidana yang memang berpihak kepada korban, putusan yang berpihak kepada korban, memberikan keadilan kepada perempuan, bagaimana suara korban tersebut didengar, komunikasi dan koordinasi antara penegak hukum dengan pendamping juga dan apa yang dirasakan juga bisa menjadi bahan dalam mengajukan tuntutan atau menjatuhkan putusan. Konsep SPPT-PKKTP sudah sejak lama di bagun yaitu tahun 2003, namun sejauhmana konsep ini dibangun bersama APH ternyata masih datar dan inkonstitusionalisasi, hal tersebut bisa disebabkan karena di APH sendiri sering terjadi pergantian jabatan (pergantian posisi orang), belum lagi ketidak harmonisan informasi.30

28

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kertas Kebjakan; Sistem Peradilan PidanaTerpadu Yang Berkeadilan Jender Dalam Penanganan Kasus kekerasan Terhadap

Perempuan, (Jakarta: KOMNAS Perempuan, 2005), h. 51.

29

Wawancara Pribadi dengan Ema Mukarromah (Div. Hukum dan Kebijakan KOMNAS Perempuan), Jakarta 25 Nopember 2013.

30


(40)

30

BAB III

KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA TERHADAP PEREMPUAN

A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Kekerasan Dalam Rumah Tangga terdiri dari Kekerasan dan Rumah Tangga yang mana keduanya memiliki keterkaitan. Sejauh ini kekerasan dalam rumah tangga merupakan suatu bentuk perbuatan dianggap baru. Meskipun pada dasarnya bentuk-bentuk kekerasan ini dapat ditemui dan terkait pada bentuk perbuatan pidana tertentu, seperti pembunuhan, penganiayaan, perkosaan dan pencurian.1

Kekerasan didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu: pertama, perihal yang bersifat, yang berciri keras. Kedua, perbuatan seseorang atau sekolompok orang yang menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Ketiga, paksaan.2

Kekerasan adalah tindakan yang membawa kekuatan untuk melakukan paksaan atau pun tekanan berupa fisik maupun non fisik3, atau dapat juga diartikan sebagai suatu serangan atau invasi fisik ataupun integritas mental psikologis seseorang. Seperti yang dikemukakan oleh Elizabeth Kandel Englander yang

1

Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga “Dalam Persepektif Yuridis

-Viktimologis, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011, cet. 2), h. 58.

2

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), h. 425.

3

Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung:Eresco, ,1988), h. 55.


(41)

dikutip oleh Rika Saraswati, bahwa: secara umum, kekerasan adalah perilaku agresif dengan maksud untuk menyebabkan kerusakan (fisik atau psikologis). Kerusakan fisik atau psikologis yang terjadi secara tidak sengaja, karena tidak adanya niat, tidak disebut dengan kekerasan. 4

Ada beberapa penggunaan pengertian kekerasan terhadap orang lain, yaitu violence, battery dan assault5. Violence (kekerasan) yaitu: Pertama,

kekerasan dengan diringi marah yang berapi-api; Kedua, kerasan fisik melawan hukum, penyalahgunaan kekuatan; kekuatan yang digunakan terhadap hak umum, terhadap kebebasan publik; dan Ketiga, tenaga dari setiap kekuatan fisik sehingga dapat melukai, kerusakan atau penyalahgunaan.

battery ialah; criminal battery, defined as the unlawful application of force to the person or another, may be devided into its three basic elements:

Pertama, Perilaku terdakwa (tindakan atau misi); Kedua, "Kondisi mental" nya yang mungkin niat untuk membunuh atau melukai, atau kelalaian kriminal, atau mungkin perbuatan dari perbuatan melawan hukum; dan Ketiga, Hasil berbahaya bagi korban, yang mungkin berupa cedera badan atau berupa sentuhan yang menyakitkan.

Assault yaitu: Setiap usaha yang disengaja atau ancaman untuk menimbulkan cedera pada orang lain .... Setiap perilaku yang disengaja akan memberikan korban rasa takut atau yang dapat membahayakan korban. Serangan dapat

4

Rika Saraswati, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006), h. 13.

5

Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga “Dalam Persepektif Yuridis


(42)

32

dlakukan tanpa benar-benar menyentuh, atau mencolok, atau melukai tubuh orang lain.

Kata battery ini sering dkombinasikan dengan assault and battery yang mana memeiliki arti:

Any unlawful touching of another which is without justification or excuse.

Setiap menyentuh melanggar hukum yang lain adalah tanpa pembenaran atau alasan.

Dari beberapa pengertian tersebut kekerasan terhadap perempuan memiliki ciri yaitu; dapat berupa fisk aatau non fisik (psikis), dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat), Dikehendaki/dminati oleh pelaku dan ada akibat/kemungkinan akibat yang merugkan pada korban (fisik atau psikis) yang tidak dikendaki oleh korban.

Pengertian kekerasan juga terdapat dalam pasal 89 KUHP yaitu, "membuat orang pigsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan"6, melakukan kekerasan memiliki arti mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara yang tidak sah. Pingsan yang diartikan tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya dan tidak berdaya berarti tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali, sehingga tidak mampu mengadakan perlawanan sedikitpun, tetapi seseoang yang tidak berdaya itu masih dapat mengethui apa yang

6

Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP edisi Revisi 2008, cet ke 15, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 39.


(43)

terjadi atas dirinya. perbuatan tersebut didalam KUHP digolongkan penganiayaan pasal 354 dan 352 KUHP.7

Pada Sidang Umum ke 85 tanggal 20 Desember 1993, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengesahkan “Deklarasi Anti Kekerasan Terhadap

Perempuan”, yang menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan

pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dijelaskan dalam pasal 1 Deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan terhadap perempuan yaitu:8

“Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan

perbedaan kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau pskologis, termasuk ancaman tndakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam

kehidupan pribadi”.

Dari uraian di atas dapatlah kita simpulkan bahwa tindakan kekerasan tidak hanya berupa tindakan fisik, melainkan juga perbuatan non fisik (psikis). Tindakan fisik bisa dirasakan langsung akibatnya oleh korban, serta dapat dilihat oleh siapa saja, sedangkan non fisik (psikis) yang bisa merasakan langsung hanyalah korban, karena hal tersebut langsung menyinggung hati nurani atau perasaan seseorang.

Sedangkan pengertian rumah tangga tidak dapat di temukan dalam Deklarasi PBB, namun secara umum dapat diketahui bahwa rumah tangga

7

R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya

Lengkap Pasal demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1996), h. 98.

8

Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga “Dalam Persepektif Yuridis


(44)

34

merupakan organisasi terkcil dalam masyarakat yang terbentuk karena adanya ikatan perkawinan. Di dalam rumah tangga biasanya berisi ayah, ibu dan anak-anak. Pengertian rumah tangga juga tidak tercantum secara khusus, tetapi yang dapat kita jumpai adalah pengertian keluarga dalam pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang-Undang-Undang Hukum Acara Pidana9.

Pengertian rumah tangga atau keluarga disini hanya dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang apa yang menjad objek pembicaraan tentang kekerasan terhadap perempuan. Karena terjadinya kekerasan dalam rumah tangga sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Namun selama ini selalu dirahasiakan oleh keluarga, maupun korban sendiri. Hal tersebut menjadi budaya dimasyarakat, karena tindakan kekerasan apapun bentuknya yang terjadi dalam rumah tangga atau keluarga adalah merupakan masalah keluarga (private) yang mana orang lain tidak boleh mengetahuinya.10

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan salah satu bentuk kekerasan berbasis gender, yakni kekerasan yang terjadi karena adanya asumsi gender dalam relas laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan masyarakat. KDRT tidak sekedar percekcokan dan perselisihan suami istri belaka. Perselisihan antara suami dan istri merupakan hal biasa, namun KDRT lebih buruk dari itu.

9

Pasal 1 angka 30 KUHAP: Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubugan darah sampai derajad ertentut atau hubungan perkawinan.

10

Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga “Dalam Persepektif


(45)

KDRT bersumber pada cara pandang yang merendahkan martabat kemanusiaan dan relasi yang timpang, serta pembakuan peran-peran gender pada seseorang. KDRT dapat menimpa siapa saja yang ada dalam lingkup rumah tangga11, seperti istri, suami, anak, saudara atau pekerja rumah tangga yang hidup dalam satu rumah. Tetapi yang lebih banyak menjadi korba dalam hal ini adalah perempuan.12

Kekerasan Dalam Rumah Tangga adalah bentuk kejahatan yang terjadi didalam suatu rumah tangga yang dilakukan oleh suami kepada isterinya atau sebaliknya oleh isteri kepada suaminya.13 Hal ini terjadi karena tidak adanya kesepahaman dan saling pengertian akan hak dan tanggung jawabnya dalam keluarga, disatu pihak merasa memiliki kekuasaan penuh (superprioritas) sedangkan pihak lain merasa sebagai pelengkap dalam keluarga, sehingga terlahirlah berbaga bentuk kekerasan yang pada realitanya banyak dialami oleh kalangan perempuan.14

11

Pasal 1 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang PKDRT.

12

Faqihuddin Abdul Kodir dkk, Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama Tentang

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta: Komnas Perempuan, 2008), h. 31.

13

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarrga, h. 363.

14

Muhammad Zain dan Mukhtar as-Shodiq, Membangun Keluarga Humanis, (Jakarta: Graha Cipta, 2005, cet. 1), h. 41.


(46)

36

B. Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Persfektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT

Disahkannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan merupakan momentum sejarah bagi bangsa Indonesia, khususnya bagi kaum perempuan dan kelompok masyarakat lainnya yang memiliki kepedulian mengenai masalah kekerasan terhadap perempuan. Lahirnya undang-undang tersebut merupakan bagian dari penegakan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi lahirnya undang-undang tersebut juga dilandasi oleh berbagai pertimbangan, antara lain bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan. Dengan demikian, segala bentuk kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga khususnya kaum perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia.15

Terdapat banyak bentuk-bentuk pelanggaran kekerasan dalam rumah tangga, seperti yang marak dan realitanya dirasakan oleh kaum perempuan atau laki-laki yang menerima perlakuan kekerasan dalam rumah tangga. Di dalam pasal 5 Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu larangan melakukan kekerasan dalam rumah tangganya yaitu dengan cara:

1. Kekerasan Fisik, 2. Kekerasan Psikis,

15

Moerti Hadiati Soeroso, Kekerasan Dalam Rumah Tangga “Dalam Persepektif Yuridis


(47)

3. Kekerasan Seksual, atau 4. Penelantaran Rumah Tangga.

Dalam Undang-Undang PKDRT kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.16 Kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang secara langsung dirasakan oleh fisik, misalnya memukul dan membunuh.17 Korban kekerasan fisik, biasanya ia telah mengalami kekerasan psikis sebelum dan sesudahnya. Kekerasan fisik bisa muncul dalam berbagai bentuk dan rupa, mulai dari menampar, menempeleng, memukul, membanting, menendang, membenturkan ke benda lain sampai bisa menusuk dengan pisau bahkan membakar.18

Kekerasan psikis yang mana mengarah pada serangan terhadap mental/psikolog seseorang, kekerasan ini berupa kekerasan yang mengakibatkan perasaan tertekan, stres, dan munculnya penyakit didalam hati.19 Kekerasan terhadap psikis ini paling banyak kasus-kasus yang dilaporkan ke lembaga-lembaga pendamping.20

16

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT.

17

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarrga, h. 364.

18

Faqihuddin Abdul Kodir dkk, Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama Tentang

Kekerasan Dalam Rumah Tangga, h. 32.

19

Mustofa Hasan, Pengantar Hukum Keluarrga, h. 364.

20

Faqihuddin Abdul Kodir dkk, Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama Tentang


(48)

38

Sebagaimana disebutkan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hlangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat terhadap seseorang.

Di pasal 8 UU PKDRT kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan sksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual yaitu kekerasan yang mengarah kepada seksualitas seseorang, yakni dapat berupa pemaksaan hubungan seksual atau perkosaan, pemukulan dan bentuk-bentuk kekerasan lain yang menyertai hubungan intim; besa sebelum atau sesudah berhubungan suami istri, pemaksaan dalam berbagai posisi dan kondisi dalam berhubungan seksual, pemaksaaan aktivias tertentu, pornografi, penghinaan terhadap seksualitas perempuan melalui bahasa verbal ataupun juga pemaksaan terhadap istri untuk terus-menerus hamil ataupun menggugurkan kehamilan. Biasanya kekerasan seksual ini disertai dengan kekerasan lain, baik kekerasan terhadap fisik, mental, maupun ekonomi, yang pastinya tidak hanya berdapak pada organ seks/reproduksi secara fisik, tetapi juga berdampak pada kondisi psikis atau mental seseorang.

Penelantaran rumah tangga, suami sebagai kepala keluarga memiliki kewajiban untuk menafkahi juga mengurusi keluarganya. Kekerasan ini


(49)

berdimensi ekonomi yang dialami perempuan, sekalipun pihak suami ditempatkan sebagai kepala rumah tangga, namun tidak sedikit dari pihak suami menelantarkan isteri dan anak-anak mereka, melarang istri untuk bekerja tetapi juga tidak memberikan uang atau pendapatan yang cukup untuk keluarga.21 Hal ini diatur juga dalam pasal 9 UU No. 23 tahun 2004 tantang PKDRT.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) merupakan segala bentuk kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga. Didalam Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) menyebutkan bahwa lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang meliputi suami, istri dan anak, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian yang menetap dalam rumah tangga tersebut, orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Pembantu rumah tangga atau orang yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga juga termasuk dalam lingkup rumah tangga, karena selama dia berada dalam rumah tangga tempat dia bekerja dalam jangka waktu tersebut dia dianggap sebagai anggota keluarga.22

Setiap orang dalam rumah tangga berpotensi menjadi korban kekerasan, siapapun yang merasa tersubordinasi dan menerima perlakuan kekerasan oleh

21 Ibid.

22


(50)

40

pihak lain dalam rumah tangga tersebut. Sehingga korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) bisa saja suami, istri, anak, anggota keluarga yang hidup dalam rumah tangga dan orang yang bekerja dalam rumah tangga tersebut misalnya pembantu rumah tangga .

Kekerasan dalam rumah tangga merupakan masalah sosial, bukan masalah keluarga yang harus disembunyikan.23 Sehingga diharapkan setiap orang yang mendengar, melihat atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya.24

Masih minimnya putusan pengadilan yang memberikan keadilan bagi perempuan korban KDRT sangat terkait dengan masih rendahnya pemahaman hakim tentang diskriminasi gender yang dialaminya. Ketiadaan pemahaman ini bahkan dapat membalik posisi perempuan yang semula sebagai korban berubah menjadi tersangka. Untuk mendorong penguatan pemahaman hakim tentang diskriminasi gender, Komnas Perempuan mendorong agar materi HAM dan Gender bagi penegak hukum –termasuk bagi hakim- terintegrasi dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan di setiap instansi penyelenggara pendidikan penegak hukum. Ini merupakan salah satu upaya yang tertuang dalam Kesepakatan Bersama Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban Kekerasan antara Komnas Perempuan, Mahkamah Agung RI, Kejaksaan RI, Kepolisian RI, KPPPA dan

23

Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang PKDRT.

24


(51)

PERADI pada November 2011. Sebagai tindak lanjut MoU, sampai tahun 2013 Mahkamah Agung RI telah menyelenggarakan 1 kali pelatihan berdurasi 40 JPL untuk membangun sensitivitas para hakim tentang kekerasan terhadap perempuan yang ditujukan bagi hakim di lingkungan pengadilan umum. Upaya ini masih perlu didorong agar menjadi program rutin MA, selain upaya pengintegrasian materi serupa dalam Diklat Cakim yang proses diskusinya masih terus berlangsung.25

Selain itu, Komnas Perempuan berdasarkan Kesepakatan Bersama tersebut mendorong implementasi dari Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP). Konsep ini merujuk antara lain pada mekanisme koordinasi yang perlu dibangun di antara aparat penegak hukum dengan menggunakan analisa gender sebagai pijakan. Sampai dengan tahun 2013, konsep ini telah diujicobakan di beberapa daerah di Indonesia, termasuk dengan melibatkan hakim dari Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan sosialisasi kepada hakim Peradilan Agama.26

25

Sri Nurherawati, Putusan Pengadilan atas Perkara Kekerasan terhadap Perempuan di

Ranah Privat, artikel diakses pada tanggal 23 Nopember 2013 dari

http://www.komnasperempuan.or.id/2013/09/putusan-pengadilan-atas-perkara-kekerasan terhadap-perempuan-di-ranah-privat/

26


(52)

42

BAB IV

GAGASAN SISTEM PERADILAN PIDANA TERPADU PENANGANAN KASUS KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN (SPPT-PKKTP)

A. Praktek Peradilan dalam Penanganan Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga

Undang-Undang PKDRT diakui sebagai sebuah terobosan progresif dalam sistem hukum pidana, tetapi dalam pelaksanaannya masih menitikberatkan pada pelaku hukum. jika ini terjadi pada suami maka pihak korban (isteri) akan berfikir panjang untuk meneruskan tuntutannya karena relasi suami isteri yang ada diantara mereka. Di samping itu, aparat penegak hukum masih memandang KDRT sebagai delik aduan sehingga selalu diarahkan untuk diselesaikan secara kekeluargaan. Sika nonreporting korban, khususnya perempuan sangat erat dengan posisi korban sebagai subordinasi dalam rumah tangga, yang tidak dengan segera keputusan meskipun hal tersebut utuk menolong dirinya sendiri.1

Penegakan hukum KDRT sebagai contoh kejahatan perkawinan di Pengadilan Agama, Majelis hakim hanya melihat terpenuhinya syarat poligami jika istri tidak memiliki keturunan. Sementara syarat dan tata cara berisitri lebih dari satu tidak menjadi pertimbangan. Pengaturan poligami dan kejahatan perkawinan bertujuan melindungi istri syah. Dalam praktek justru diabaikan

1

Hamidah Abdurrachman, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam

Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Sebagai Implementasi hak-hak Korban, Jurnal


(53)

bahkan dalam penegakan hukumnya. Secara pidana tidak diproses dan pembatalan perkawinan suami yang kedua dan seterusnya ditolak Hakim. Salah satu pertimbangan hakim menolak pembatalan didasarkan pada istri syah tidak dapat menunjukkan akta nikah asli suami dengan istri kedua, hal tersebut tentu saja berlawanan dengan hukum. Dalam sidang perceraian, istri seringkali kehilangan hak asuh anak bahkan anak kehilangan hak mendapat kasih sayang ibu karena ibu dianggap murtad (keluar dari agama Islam). Salah satu pertimbangan yang sangat personal dan dijamin atas UU Hak Sipil Politik No. 12/2011(ICCPR).

Sementara itu, perkara KDRT seringkali menjadi tersembunyi di balik perkara perceraian. Hal ini setidaknya ditunjukkan oleh data Badilag MA RI yang mencatat 203.507 perkara perceraian yang sudah mendapatkan akta cerai sepanjang tahun 2012. Dari keseluruhan perkara tersebut, penyebab perceraian adalah perkara KDRT yang umumnya tidak diproses secara pidana. Seperti poligami tidak sehat (23%), tidak ada keharmonisan (18%), faktor ekonomi (16%), tidak ada tanggung jawab dan lain-lain (15%). Perempuan korban beragama Islam yang mengajukan perceraian melalui Peradilan Agama seringkali memilih untuk tidak memproses KDRT yang dialaminya ke Peradilan Umum karena berbagai hal. Antara lain karena memilih untuk segera lepas dari kekerasan pihak suami; atau enggan berurusan dengan dua kali proses peradilan yang akan memakan waktu, biaya dan energi yang banyak.2

2

Sri Nurherawati, Putusan Pengadilan atas Perkara Kekerasan terhadap Perempuan di


(54)

44

Kasus-kasus tersebut menunjukkan pertimbangan hukum dalam putusan pengadilan tidak meletakkan CEDAW dan instrumen hukum internasional menjadi dasar. Acuan utama yang digunakan hanyalah KUHP (Kitab Undang Undang Hukum Pidana) yang merupakan produk kolonial Belanda dan KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana). Hampir sebagian Hakim belum memahami penggunaan CEDAW sebagai instrumen dalam mengambil keputusan non diskriminasi bagi perempuan korban/ Terdakwa. Putusan-putusan dalam kasus KDRT hampir secara keseluruhan tidak komprehensif memulihkan korban. Antara putusan pengadilan negeri, pengadilan agama bahkan bila terkait PTUN tidak berkorelasi dan cenderung membuat perempuan kelelahan dan menyerah pada diskriminasi hukum yang dialaminya.3

B. Argumentasi HukumSPPT-PKKTP

Diskriminasi terhadap perempuan merupakan bagian dari pelanggaran HAM, begitu juga dengan kekerasan terhadap perempuan merupakan bagian dari diskrimanasi terhadap perempuan. Hal ini sebagai mana tertera dalam konstitusi kita pada pasal 28 D, 28 G dan 28 I, yang mana didalamnya mengatur mengenai

http://www.komnasperempuan.or.id/2013/09/putusan-pengadilan-atas-perkara-kekerasan terhadap-perempuan-di-ranah-privat/

3 Ibid.


(55)

hak semua warga Negara atas perlindungan diri prbadinya, keluarga serta kehormatan, juga kedudukan yang sama di muka hukum (equality before the law).

Hak-hak korban dan khususnya, pendampingan bagi korban dalam sistem peradilan kita dapat dikatakan belum mendapat perhatian yang memadai. Meski wacana hak asasi manusia (HAM) sudah jauh berkembang, tetapi fokusnya lebih pada melindungi hak-hak pelaku ketimbang korban. Sementara, salah satu prinsip yang paling fundamental di dalam sistem hukum kita adalah prinsip“ kesamaan di muka hukum (the equality before the law)‟. Prinsip ini memberi jaminan terhadap setiap manusia untuk diperlakukan sama di hadapan hukum, termasuk dengan sistem peradilan. Selanjutnya, prinsip kedua yang sangat berkaitan adalah “pemberian bantuan hukum sebagai salah satu HAM”. Bantuan hukum adalah upaya hukum yang diminta oleh klien atau diberikan oleh lembaga bantuan hukum sebagai cerminan bahwa setiap manusia yang terkena masalah hukum, sementara dirinya dalam keadaan buta hukum, adalah bagian tak terpisahkan dari jaminan atas perlindungan manusia oleh kesewenang-wenangan aparatur hukum dalam melaksanakan tugasnya.4

Pada tahun 1979 diadakanlah sebuah konvensi oleh majelis umum PBB mengenai penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, yang kemudian diratifikasi oleh Indonesia sejak tahun 1984 melalui Undang-undang No.7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Segala Bentuk Diskriminasi

4

KOMNAS Perempuan, Majalah Info PPH:Menuju Sistem Peradilan Pidana Terpadu

Untuk Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) Edisi-2, (Jakarta: Divisi


(56)

46

terhadap Wanita.Konvensi CEDAW memiliki arti penting karena merupakan suatu instrumen hukum internasional pertama yang menetapkan arti diskriminasi terhadap perempuan.

Sebagai Negara anggota PBB yang telah menyetujui, menandatangani, serta meratifikasi konvensi-konvensi tersebut, Pemerintah Indonesia berkewajiban mengejewantahkan butir-butir pelaksanaan konvensi. Komitmen Negara peserta konvensi dalam tingkat pelaksanaan di negaranya menjadi sangat penting agar konvensi tersebut tidak sekedar komitmen di atas kertas yang tak bergigi. Oleh karena itu, pada tahun 1992, CEDAW mengeluarkan Rekomendasi Umum No. 19 yang mewajibkan Negara yang telah meratifikasi Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan untuk memasukkan masalah kekerasan terhadap perempuan dalam laporannya. Rekomendasi ini juga menegaskan bahwa kekerasan berbasis jender (jender-based violence) adalah bentuk diskriminasi yang secara serius menghambat perempuan untuk menikmati kebebasan dan hak-haknya setara dengan laki-laki.5

Ketimpangan jender ini berlangsung hampir di semua ruang, publik maupun privat. Llihatlah lingkungan sekeliling kita mulai dari rumah, sekolah, pergaulan sosial, tempat kerja, pemerintahan, parlemen hingga dalam proses penegakan hukum. Dilingkungan publik, masyarakat masih belum menerima kepemimpinan perempuan. Perwakilan perempuan di parlemen masih rendah

5

Danielle Samsoeri, dkk, KOMNAS Perempuan: Penegakan Hukum yang Berkeadilan


(1)

73

Dari hasil penelitian yang penulis uraikan dan analisis terkait dengan konsep gagasan SPPT-PKKTP, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pada prakteknya saat ini di pengadilan belum berkeadilan jender di APH juga belum terjalinnya koordinasi seperti yang di inginkan SPPT-PKKTP, karena di institusi APH sendiri berbeda pemahaman mengenai SPPT-PKKTP yang dikhususkan untuk perempuan korban kekerasan. APH sendiri memahaminya hanya SPPT saja bukan SPPT-PKKTP untuk perempuan korban kekerasan. Didalam sistem peradilan pidana berdasarkan KUHP tersangka/terdakwa lebih memiliki akses untuk berinteraksi dengan penegak hukum dibandingkan dengan korban. Korban hanya berinteraksi pada saat pemeriksaan di pengadilan. Korban tidak pernah diikutsertakan pada saat penyidik berkomunikasi atau menyerahkan berkas perkara kepada jaksa penuntut umum. Dengan kata lain, KUHAP tidak memberikan akses Jaksa Penuntut Umum berhubungan sebelum proses pemeriksaan sampai ke Pengadilan. Sistem hukum di Indonesia pada saat ini memang belum berkeadilan jender dalam penangan kasus kekerasan terhadap perempuan. Pada tingkat subtansi hukum, terdapat peraturan, baik materiil maupun formil, yang cenderung menyulitkan perempuan untuk mencapai keadilan.


(2)

2. Kekerasan terhadap perempuan merupakan kekerasan yang berbasis jender, bersumber dari ketimpangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki yang diperkuat oleh nilai-nilai patriarki. Ketimpangan jender terhadap perempuan selalu dilekatkan pada citra feminitas, yang diartikan sebagai sikap pasrah, mendahulukan kepentingan orang lain, mempertahankan ketergantungannya pada laki-laki serta dituntut untuk mengedepankan peran domestiknya. Sementara laki-laki lekat sebagai sosok yang paling “baik”, maskulinitas, yang mencitrakan sifat keberanian, tegas dalam bertindak, sosok yang harus selalu dipatuhi, dilayani dan diutamakan. Dalam sistem hukum di Indonesia yang menjadi dasar sebagai prinsip dalam membela hak-hak korban khususnya perempuan korban kekerasan yaitu Pertama, kesamaan dimuka hukum (equality before the law) hal ini memberikan jaminan kepada setiap manusia untuk diperlakukan yang sama dimuka hukum. Kedua, pemberian bantuan hukum sebagai salah satu HAM. Gagasan SPPT-PKKTP menawarkan sistem peradilan pidana yang memang berpihak kepada korban, putusan yang berpihak kepada korban, memberikan keadilan kepada perempuan, bagaimana suara korban tersebut didengar, komunikasi dan koordinasi antara penegak hukum dengan pendamping juga dan apa yang dirasakan juga bisa menjadi bahan dalam mengajukan tuntutan atau menjatuhkan putusan.

3. Ada dua desain yang ditawarkan dari konsep SPPT-PKKTP yaitu tentang sebuah badan peradilan family court dan Pengadilan Khusus, namun yang paling memungkinkan dibentuk adalah Pengadilan Khusus. Ada 4 alternatif


(3)

cara mewujudkan pengadilan khusus; Pertama, dilakukan melalui penggabungan perkara perdata dan pidana untuk ditangani satu majelis; Kedua, penyelesaian satu atap perdata dan pidana di Pengadilan Umum; Ketiga, pembentukan pengadilan khusus di Peradilan Agama; dan Keempat, hukum acara khusus untuk keterpaduan penanganan perkara perdata dan pidana di Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Dari keempat alternative diatas yang paling mungkin bisa diwujudkan adalah alternatif keempat melihat sistem peradilan pidana dan konstitusi yang ada di Indonesia.

B. Saran-saran

1. Diadakan pelatihan dan pendidikan di Institusi APH yang didalamnya memuat materi kekerasan berbasis jender agar para APH faham khususnya hakim faham tentang kekrasan berbasis jender.

2. SPPT-PKKTP dan konsep Pengadilan Khusus memang masih berkembang dan butuh dukungan dari Pemerintah khususnya instansi APH untuk mewujudkannya demi terwujudnya sistem peradilan dan Pengadilan yang berkeadilan jender.

3. Agar penelitian dijadikan rujukan APH dalam penegakan hukum kekerasan berbasis jender.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Restu Agung, 2007.

Anwar, Yesmil, Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Bandung: Widya Padjadjaran, 2009.

Arikunto, Suharsismi, Prosedur Penelitan, Jakarta: Rineka Cipta, 2002.

Asikin, Zainal, Pengantar Tata Hukum Insonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012.

Atmasasmita, Romli, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, Bandung:Eresco, ,1988. Bryan A, Garner, “Black’s Law Dictionary”, Eight Edition, St. Paul Minn: West, a

Thomson Business, 2004.

Danielle Samsoeri, dkk., KOMNAS Perempuan: Penegakan Hukum yang Berkeadilan Jender Setelah Program Penguatan Penegakan Hukum, Jakarta: CV. Kurnia Sejati, 2005.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1990.

Faqihuddin Abdul Kodir, dkk. Referensi Bagi Hakim Peradilan Agama tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangg, Jakarta: Komnas Perempuan, 2008.

Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP edisi Revisi 2008, cet ke 15, Jakarta: Rineka Cipta, 2007.

Hasan, Mustofa, Pengantar Hukum Keluarrga, Bandung: CV Pustaka Setia, 2011. Wawancara Pribadi dengan Ema Mukarromah (Div. Reformasi Hukum dan


(5)

Uji Coba SPPT-PKKTP, Draft Kerangka SOP Mekanisme Koordinasi Penanganan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Rangka Implementasi SPPT-PKKTP, Hasil Workshop Makasar 3-4 Juli 2013.

Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia Pubhlishing, 2008.

Kesepakatan Bersama Nomor: 147/KNAKTP/MoU/XI/2011, Nomor: 184B/KMA/SKB/XI/2011, Nomor: KEP-244A/A/JA/11/2011, Nomor: B/27/XI/2011, Nomor: 34/MoU/MPP-PA/2011, Nomor: 011/PERADI-DPN/MoU/XI/2011. tentang Akses Keadilan Bagi Perempuan Korban Kekerasan.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Catatan Komnas Perempuan: Korban Berjuang, Publik Bertindak, Mendobrak Stagnansasi Sistem Hukum, Jakarta: komnas Perempuan, 2013.

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kertas Kebjakan; Sistem Peradilan PidanaTerpadu Yang Berkeadilan Jender Dalam Penanganan Kasus kekerasan Terhadap Perempuan, Jakarta: KOMNAS Perempuan, 2005.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, 2011.

Muhammad Zain dan Mukhtar as-Shodiq, Membangun Keluarga Humanis, Jakarta: Graha Cipta, 2005.

Muhammad, Rusli, Sistem peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 2011. Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Universitas Diponegoro,

1995.

Saraswati, Rika, Perempuan dan Penyelesaian Kekerasan dalam Rumah Tangga, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006.


(6)

________ dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Rajawali Press, 1985.

Soeroso, Moerti Hadiati, Kekerasan Dalam Rumah Tangga “Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis”, cet. 2, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Soesilo, R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal demi Pasal, Bogor: Politeia, 1996.

Suggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003.

Sunaryo, Sidik, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Malang: UMM Press, 2005. JURNAL

Abdurrachman, Hamidah, Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam Putusan Pengadilan Negeri Sebagai Implementasi hak-hak Korban, Jurnal Hukum No. 3 Vol 17, Juli 2010: Fakultas Hukum Universitas Pancasakti.

WEBSITE

Mukarramah, Ema, Dialog Komnas Perempuan dengan Mahkamah Agung tentang Pengadilan Khusus Perkawinan dan Keluarga, artikel diakses pada tanggal

26 September 2013 dari

http://www.komnasperempuan.or.id/2013/07/meniti-langkah-pengadilan-khusus/Meniti Langkah Pengadilan Khusus.

Nurherawati, Sri, Putusan Pengadilan atas Perkara Kekerasan terhadap Perempuan di Ranah Privat, artikel diakses pada tanggal 23 Nopember 2013 dari http://www.komnasperempuan.or.id/2013/09/putusan-pengadilan-atas-perkara-kekerasan terhadap-perempuan-di-ranah-privat/

Pernyataan Sikap Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Jelang Satu Dasawarsa Uu Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Hentikan Kriminalisasi Perempuan Korban Kdrt, Jakarta 12 September 2013, Artikel diakses pada tanggal 26 September 2013 dari http://www.komnasperempuan.or.id/.