Sejarah Berdirinya Kelompok Gambaran Umum Lokasi Penelitian .1 Letak Keadaan Geografis

yaitu berkat adanya kawah ijen yang terletak di ujung tertinggi kawasan ini. Faktor tersebut mengakibatkan tanaman kopi dapat tumbuh subur. Terutama sebagai prasyarat lingkungan kopi yang membutuhkan tanah dengan ketinggian minimal 1000 meter untuk dibudidayakan. Dengan topografi yang sedemikian rupa, kawasan ini menjadi kawasan yang baik untuk dijadikan perkebunan terutama bagi komoditi kopi. Hal ini dibuktikan dengan bertambahnya ekspansi lahan perkebunan kopi. Sebelum dilakukan program pembinaan pada petani, dan sebelum adanya penetapan wilayah Agropolitan pada tahun 2010 BPS Kabupaten mencatat hanya ada 68 ha tanah yang digunakan untuk perkebunan kopi arabika. Angka ini kian meningkat menjadi 130 ha penggunaan lahan kopi pada 2012. Sejak menjadi fokus pembangunan daerah Agropolitan, kawasan ini kian mendapat perhatian dari pemerintah. Saluran irigasi dan peng-kavlingan pada perkebunan terus dilakukan pemerintah dan para petani kopi agar tanaman kopi dapat tumbuh optimal serta memiliki lahan yang terus bertambah.

4.1.2 Sejarah Berdirinya Kelompok

Hasil penelaahan pada tahun 2010 yang dilakukan DISHUTBUN, Puslit- koka dan BI Jember, membuahkan hasil berupa turunnya surat keputusan No.5201600202.22010 oleh Dinas Kehutanan Perkebunan Profinsi Jawa Timur. Fenomena historis ini menjadikan Kabupaten Bondowoso menjadi salah satu daerah Agropolitan di Jawa Timur. Sejak ditetapkan sebagai kawasan Agropolitan, lewat Program Kluster Kopi Rakyat, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Bondowoso mengakomodir petani-petani kopi yang ada untuk mendapatkan binaan dan bantuan program. Pembinaan dan bantuan ini berada pada ranah program Kluster Kopi Rakyat untuk menumbuh-kembangkan potensi kopi yang ada di Kabupaten Bondowoso, khususnya di Kecamatan Sumberwringin. Sejak desember 2010, DISHUTBUN melakukan pembinaan terhadap 5 kelompok kopi yang masing-masing di koordinir oleh 5 orang ketua kelompok. 5 orang tersebut dipilih dengan berbagai pertimbangan dan penelaahan yang telah dilakukan sebelumnya. Menurut Surata, mereka dipilih berkat pengalaman dan prestasi yang dimiliki. Mereka ialah Mathusen ketua kelompok I, Sukarjo ketua kelompok 2, Suheri ketua kelompok 3, Nurjumali ketua kelompok 4. Dan Sumarhom ketua kelompok 5, kelompok yang menjadi objek penelitian. Masing-masing kelompok diwajibkan untuk beranggotakan minimal 20 orang dan keseluruhannya ialah petani kopi Arabika. Berdasarkan struktur kelompok yang disuguhkan oleh informan, berikut gambar struktur organisasi Kelompok 5. Gambar 4.1 Struktur Organisasi Kelompok 5 Sumber: Data primer, Februari 2014. Terlihat dari gambar bagan di atas, kelompok memiliki pembina Kepala Dinas HUTBUN Bondowoso dan Puslit Koka. Menurut koordinator lapangan program SR program pembinaan terhadap petani dilakukan dengan sinergi berbagai pihak. Pembinaan secara umum dilakukan dibawah komando langsung Kepala Dinas HUTBUN Bondowoso dan Puslit Koka berada pada sektor pembinaan tekhnis seperti cara menanam kopi dari hulu hingga hilir. SR juga menambahkan bahwa ketua yang dipilih langsung oleh Dinas HUTBUN ini memiliki kewajiban untuk mengkoordinir anggota kelompoknya terhadap program-program yang akan dan telah dijalankan. Dalam konteks ini, hanya ketua yang dipilih oleh Dinas HUTBUN. Selebihnya, seperti anggota kelompok, bendahara, sekertaris dan personalia lainnya, ketua kelompok bebas menentukan. Hingga saat ini, kelompok 5 memiliki 20 anggota kelompok. Kelompok yang diketuai oleh Sumarhum ini memiliki struktur organisasi yang cukup tertata rapi mulai dari sekertaris, bendahara, seksi budaya tanaman, seksi pengolahan, seksi humas, seksi pemasaran. Tugas pokok dan fungsi dari masing-masing struktur kelompok ini selanjutnya penulis sajikan dalam lampiran 1. Dengan adanya struktur kelompok diharapkan kinerja kelompok akan lebih optimal. Namun demikian, berdasarkan observasi penulis, terdapat beberapa personalia dalam kelompok seperti bendahara dan sekertaris yang tidak menjabat sebagaimana mestinya. Hal ini karena pihak yang menduduki jabatan tersebut merasa bukan anggota kelompok. Fenomena ini merupakan bagian dari pokok bahasan dinamika kelompok.

4.1.3 Kondisi Sosial Budaya