Pelaksanaan Perkawinan Sebagai Sanksi Bagi Pelaku Khalwat Dalam Persepektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (Atudi di Kota Langsa)
PELAKSANAAN PERKAWINAN SEBAGAI SANKSI BAGI PELAKU KHALWAT DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN
1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (Studi Di Kota Langsa)
SKRIPSI
Disusun dan diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH
SHOFA HUSRA
110200005
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
(2)
PELAKSANAAN PERKAWINAN SEBAGAI SANKSI BAGI PELAKU KHALWAT DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN
1974 TENTANG PERKAWINAN DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM (Studi Di Kota Langsa)
SKRIPSI
Disusun dan diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH
SHOFA HUSRA
110200005
DisetujuiKetua Departemen Hukum Perdata
Dr. H. Hasim Purba, S.H.,M.Hum. (196603031985081001)
Dosen Pembimbing 1 Dosen Pembimbing II
Dr. Ramlan Y. Rangkuti, MA Dr.Yefrizawati, SH, M.Hum
(195103171980031002) (197512102002122001)
FAKUTLAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini
NAMA : SHOFA HUSRA
NIM : 110200005
DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN
JUDUL SKRIPSI : Pelaksanaan Perkawinan Sebagai Sanksi Bagi Pelaku Khalwat Dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam ( Studi Di Kota Langsa ).
Dengan ini menyatakan :
1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut di atas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi karya ilmiah orang lain.
2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari siapapun.
Medan, Juli 2015
SHOFA HUSRA 110200005
(4)
72
ABSTRAK
SHOFA HUSRA*
RAMLAN Y. RANGKUTI**
YEFRIZAWATI***
Salah satu syarat perkawinan adalah didasarkan atas persetujuan kedua
calon mempelai. Di Kota Langsa terdapat perkawinan yang dilangsungkan tanpa terpenuhinya syarat tersebut. Perkawinan ini terjadi sebagai sanksi bagi pelaku khalwat/mesum. Menurut ketentuan qanun bagi mereka yang melanggar qanun tersebut dikenakan hukuman berupa cambuk dan atau denda. Tetapi ada juga sanksi yang diberikan yaitu melangsungkan perkawinan bagi pelaku khalwat/mesum. Pada kenyataannya pelaku khalwat merasa keberatan dalam melangsungkan perkawinan tersebut. Masalah menjadi rumit karena di Aceh
upacara perkawinan bukan hanya proses ritual belaka. Upacara perkawinan di
Aceh mengandung berbagai makna filosofis dan sosiologis. Adapun permasalahan
dalam penelitian ini adalah: apa yang menjadi dasar hukum penjatuhan sanksi
perkawinan bagipelaku khalwat, bagaimana status perkawinan yang dilakukan
sebagai sanksi bagi pelaku khalwat, apa dampak perkawinan yang dilakukan
sebagai sanksi khalwat.
Metode yang digunakan adalah metode yuridis normatif dan metode
yuridis empiris. Data penelitian yang dipakai adalah primer, dan sekunder.
Metode pengumpulan data adalah studi kepustakaan dan studi lapangan. Dan alat pengumpulan data yang digunakan adalah pedoman wawancara. Sifat penelitian adalah deskriptif. Data yang dikumpulkan dianalisa secara kualitatif.
Hukuman bagi pelaku khalwat menurut ketentuan Qanun Nomor 14
Tahun 2003 adalah hukuman cambuk dan/atau denda. Tetapi masih ada hukuman
lain yang diberikan kepada pelaku khalwat yaitu melangsungkan perkawinan.
Penjatuhan sanksi perkawinan bagi pelaku khalwat/mesum didasari dari
penyelesaian secara adat yaitu dalam bentuk mediasi. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian ini adalah pelaku, keluarga pelaku, perangkat gampong dan WH.
Penjatuhan sanksi perkawinan diambil dengan tujuan demi kemaslahatan, karena
didapati keterangan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan zina. Status
perkawinan yang dilakukan sebagai sanksi khalwat tidak sah karena mempelai
wanita keberatan melakukan perkawinan, keberatan ini telah diutarakan dalam forum mediasi tersebut, sehingga perkawinan dilakukan dengan keadaan terpaksa, di mana salah satu syarat sah perkawinan adalah disetujui oleh kedua calon mempelai. Dampak yang terjadi akibat perkawinan yang dilangsungkan dalam keadaan terpaksa adalah tidak terciptanya kasih sayang, dikhawatirkan terjadi KDRT, memberi pengaruh buruk pada anak serta memicu perceraian. Undang-undang memberi jalan untuk melakukan pembatalan perkawinan bagi perkawinan yang dilakukan dengan terpaksa.
kata kunci : Khalwat, Mesum, Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat
*
Mahasiswi Hukum Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU **
Staf Pengajar Fakultas Hukum USU ***
(5)
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu,
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, yang telah memberikan karunia, hidayah dan kemudahan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan Skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Universitas Sumatra Utara, maka
disusunlah skripsi yang berjudul “PELAKSANAAN PERKAWINAN SEBAGAI
SANKSI BAGI PELAKU KHALWAT DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM DI
INDONESIA (STUDI DI KOTA LANGSA)”.
Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terimakasih yang sebanyak-banyaknya dan sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum, selaku dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum, selaku Wali Dekan I Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Syafruddin Sulung Hasibuan,S.H., M.H., DFm, selaku wakil Dekan
II FakultasHukum Universitas Sumatera Utara.
4. Bapak O.K. Saidin, S.H., M.Hum, selaku wakil Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. Hasim Purba SH.M.Hum. selaku ketua Departemen Hukum
(6)
6. Ibu Rabiatul Syahriah S.H., M.Hum, selaku Sekertaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
7. Bapak Syamsul Rizal, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Program
Kekhususan Perdata BW Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
8. Bapak Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA. selaku Dosen Pembimbing 1
yang telah membantu dan mengarahkan memberi masukan dan bimbingan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
9. Ibu Dr. Yefrizawati, SH., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang
selalu setia dan sabar membantu, membimbing dan mengarahkan penulis dari awal hingga akhir penulisan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
10.Bapak Abdul Rahman, SH,MH selaku Dosen Pembimbing Akademik.
11.Bapak Ibu Dosen serta seluruh Staff di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara yang juga membantu dan memberi kemudahan kepada Penulis.
12.Seluruh Staff Pegawai Pemerintah Kota Langsa Satuan Polisi Pamong
Praja Dan Wilayatul Hisbah Kota Langsa.
13.Tersayang Nurul Husna (yuyu), Firman Andika (maman), Fatayati nur
(ntan), Aulia Fahmi (aul), Mona Maylisa (monek), Aulia Iski (iki), Akbar, Aal, Munanda Fahlevi (mando).
14.Teman-teman seperjuangan stambuk 2011, serta teman-teman Grup A
spesial yang selalu siap membantu dan memberi semangat dalam keadaan apa pun Dila Armaya (bundo), Ika Khairunnisa S (irun), Teguh Arifianda,
(7)
Nurul Pertiwi (nunuk), Aja Chairinna R, Azirah (makji), Syahnaz Miyagi Munira (agik ulala), Stella, Abdulrahman Haris K (botak), M.Fauzan Akmal (ojan), Piki, Reza Ritonga (eja), Yogi Ar Chaniago, serta seluruh teman-teman Angkatan 2011 dan teman-teman Departemen Perdata, Kekhususan BW, yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Teristimewa Ayahanda Achyar Priady dan Ibunda Nurhaida Artha, terima kasih atas doa, dukungan dan cinta kasih tiada henti yang selama ini ayahanda dan
ibunda berikan kepada penulis. A millions word not enough to explain that I am so
lucky to have you. Your loves is the reason for me to live and survive,. Adek sayang mamak dan bapak.
Kakak-kakak terkasih Widi Faristza, S.K.M dan Liza Agnesta Krisna,
S.H., MH. Yang selalu membantu dan menyemangati setiap saat. Best sisters I
ever had. Tak lupa adik terkasih Alm. Muhammad Ikhlas, although we have never met, I love you.
Abang-abang ipar M. Mufrizal, S.E dan M. Yusuf yang selalu melindungi dan memberi semangat. Serta si mungil Athifa Zahira yang selalu membuat tertawa.
Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga penulis membutuhkan kritik dan saran dari pembaca agar skripsi ini menjadi sempurna di masa yang akan datang.
Medan, Juli 2015
(8)
(9)
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 6
E. Metode Penelitian ... 7
F. Keaslian Penelitian ... 11
G. Sistematika Penulisan ... 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN ... 14
A. Pengertian Perkawinan dan Asas Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam ... 14
1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ... 14
2. Pengertian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam ... 16
3. Asas Hukum Perkawinan ... 18
B. Syarat Sah Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Komplikasi Hukum Islam ... 24
(10)
1. Syarat Sah Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 24
2. Syarat Sah Perkawinan Menurut Komplikasi Hukum Islam... 28
C. Akibat Hukum Perkawinan Dalam Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Komplikasi Hukum Islam . 34
1. Akibat Hukum Perkawinan Dalam Undang-undang Nomor
1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ... 34
2. Akibat Hukum Perkawinan Dalam Komplikasi Hukum Islam 48
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG QANUN NOMOR 14 TAHUN
2003 TENTANG KHALWAT/MESUM ... 56
A. Sejarah Pembentukan dan Pemberlakuan Qanun Nomor 14 Tahun
2003 Tentang Khalwat/Mesum ... 56
B. Tugas dan Wewenang Wilayatul Hisbah ... 63
C. Pengertian Khalwat menurut Qanun Nomor 14 Tahun 2003
Tentang Khalwat/Mesum ... 65
D. Sanksi Hukum Terhadap Pelaku Khalwat... 69
BAB IV PELAKSANAAN PERKAWINAN SEBAGAI SANKSI BAGI
PELAKU KHALWAT DALAM PERSPEKTIF
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG
PERKAWINAN DAN KOMPLIKASI HUKUM ISLAM ... 72
(11)
Khalwat ... 72
B. Status perkawinan yang dilakukan sebagai sanksi Khalwat ... 81
C. Dampak Perkawinan Yang Dilakukan Sebagai Sanksi Khalwat ... 83
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 90
A. Kesimpulan ... 90
B. Saran ... 91
(12)
72
ABSTRAK
SHOFA HUSRA*
RAMLAN Y. RANGKUTI**
YEFRIZAWATI***
Salah satu syarat perkawinan adalah didasarkan atas persetujuan kedua
calon mempelai. Di Kota Langsa terdapat perkawinan yang dilangsungkan tanpa terpenuhinya syarat tersebut. Perkawinan ini terjadi sebagai sanksi bagi pelaku khalwat/mesum. Menurut ketentuan qanun bagi mereka yang melanggar qanun tersebut dikenakan hukuman berupa cambuk dan atau denda. Tetapi ada juga sanksi yang diberikan yaitu melangsungkan perkawinan bagi pelaku khalwat/mesum. Pada kenyataannya pelaku khalwat merasa keberatan dalam melangsungkan perkawinan tersebut. Masalah menjadi rumit karena di Aceh
upacara perkawinan bukan hanya proses ritual belaka. Upacara perkawinan di
Aceh mengandung berbagai makna filosofis dan sosiologis. Adapun permasalahan
dalam penelitian ini adalah: apa yang menjadi dasar hukum penjatuhan sanksi
perkawinan bagipelaku khalwat, bagaimana status perkawinan yang dilakukan
sebagai sanksi bagi pelaku khalwat, apa dampak perkawinan yang dilakukan
sebagai sanksi khalwat.
Metode yang digunakan adalah metode yuridis normatif dan metode
yuridis empiris. Data penelitian yang dipakai adalah primer, dan sekunder.
Metode pengumpulan data adalah studi kepustakaan dan studi lapangan. Dan alat pengumpulan data yang digunakan adalah pedoman wawancara. Sifat penelitian adalah deskriptif. Data yang dikumpulkan dianalisa secara kualitatif.
Hukuman bagi pelaku khalwat menurut ketentuan Qanun Nomor 14
Tahun 2003 adalah hukuman cambuk dan/atau denda. Tetapi masih ada hukuman
lain yang diberikan kepada pelaku khalwat yaitu melangsungkan perkawinan.
Penjatuhan sanksi perkawinan bagi pelaku khalwat/mesum didasari dari
penyelesaian secara adat yaitu dalam bentuk mediasi. Pihak yang terlibat dalam penyelesaian ini adalah pelaku, keluarga pelaku, perangkat gampong dan WH.
Penjatuhan sanksi perkawinan diambil dengan tujuan demi kemaslahatan, karena
didapati keterangan bahwa pelaku telah melakukan perbuatan zina. Status
perkawinan yang dilakukan sebagai sanksi khalwat tidak sah karena mempelai
wanita keberatan melakukan perkawinan, keberatan ini telah diutarakan dalam forum mediasi tersebut, sehingga perkawinan dilakukan dengan keadaan terpaksa, di mana salah satu syarat sah perkawinan adalah disetujui oleh kedua calon mempelai. Dampak yang terjadi akibat perkawinan yang dilangsungkan dalam keadaan terpaksa adalah tidak terciptanya kasih sayang, dikhawatirkan terjadi KDRT, memberi pengaruh buruk pada anak serta memicu perceraian. Undang-undang memberi jalan untuk melakukan pembatalan perkawinan bagi perkawinan yang dilakukan dengan terpaksa.
kata kunci : Khalwat, Mesum, Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat
*
Mahasiswi Hukum Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU **
Staf Pengajar Fakultas Hukum USU ***
(13)
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sepanjang sejarah perkembangan manusia, manusia adalah makhluk yang tidak dapat hidup sendiri, kecuali dalam keadaan terpaksa manusia dapat berpisah dari kelompoknya dalam sementara waktu. Keadaan ini digambarkan dengan jelas
melalui pernyataan bahwa manusia adalah makhluk zoonpoliticon75, yaitu bahwa
manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat.
Setiap manusia membutuhkan manusia lain. Salah satu kebutuhan hakiki manusia adalah kebutuhan biologis yang menuntut manusia untuk saling mencintai, memiliki pasangan hidup dan sekaligus melahirkan keturunan dari pasangannya. Pemenuhan kebutuhan itu dilakukan melalui perkawinan, selain untuk kebutuhan biologis manusia, perkawinan juga bertujuan untuk mewujudkan
keluarga yang sakinah dan penuh dengan cinta kasih, saling percaya dan penuh
rasa tanggung jawab sehinggan lahir dari keluarga itu keturunan yang baik dan berkualitas yang akan melanjutkan estafet perjuangan orang tua.
Perkawinan merupakan salah satu jalan atau suratan hidup yang dialami oleh hampir semua manusia di muka bumi ini walaupun ada beberapa di antaranya yang tidak terikat dengan perkawinan sampai ajal menjemput. Semua agama resmi di Indonesia memandang perkawinan sebagai sesuatu yang sakral,
75
C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 2002,) Hal 29
(14)
harus dihormati, dan harus dijaga kelanggengannya. Oleh karena itu, setiap orang tua merasa tugasnya sebagai orang tua telah selesai bila anaknya telah memasuki jenjang perkawinan.
Sebagai negara hukum 76 Indonesia menyelenggarakan kekuasaan
pemerintahan berdasarkan dengan hukum. Setiap tingkah laku manusia yang berhubungan dengan manusia lain dan mempunyai akibat hukum, diatur dengan peraturan perundang-undangan. Hal ini bertujuan demi tercapainya keadilan dan ketertiban masyarakat.
Begitu pula dalam hal perkawinan. Keinginan masyarakat Indonesia untuk memiliki hukum perkawinan secara tertulis ya ng isinya merupakan wujud dari hukum-hukum perkawinan yang telah berlaku di dalam masyarakat tersebut, baik itu hukum perkawinan adat maupun hukum perkawinan menurut ketentuan agama yang ada. Keinginan ini sudah muncul pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, dan seterusnya sampai pada masa kemerdekaan. Harapan memiliki hukum perkawinan tertulis tersebut baru dapat terwujud pada awal tahun 1974, dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun1974 tentang Perkawinan.
Indonesia mengatur masalah perkawinan secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UUP). Sebagai syarat dapat dilangsungkannya perkawinan, salah satunya adalah bahwa
76
Pasca Amandemen UUD RI 1945, Konstitusi menentukan bahwa penyelenggaraan negara menganut prinsip supermasi hukum (bukan supermasi parlemen) dan prinsip demokrasi yang berdasar UUD RI 1945 (Konstitusionalisme) sehingga setiap kebijakan ditentukan oleh hukum. Lihat pasal 1 ayat (2) ayat (3) UUD RI 1945. Lihat juga Zainal Arifin Hoesain, Judical Review di Mahkamah Agung : tiga Dekade Pengujian Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta Pers : 2009) Halaman 52-53
(15)
perkawinan itu harus didasarkan atas persetujuan oleh kedua belah pihak (Pasal 6 UUP), hal ini dapat dilihat pada penjelasan Pasal 6 UUP Tahun 1974 yang berbunyi :
“Oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak azasi manusia, maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dari pasal ini tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang-undang-undang
ini.”
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Pasal 4 ayat (1) menegaskan, penyelenggaraan kehidupan beragama di Aceh diwujudkan dalam
bentuk pelaksanaan syariat Islam dan dipertegas melalui Undang-undang Nomor
18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darusalam selanjutnya dipertegas kembali dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh telah memberikan landasan yuridis bagi pelaksanaan syariát
Islam di Aceh. Kehadiran kedua undang-undang ini telah membuka kesempatan
luas bagi masyarakat Aceh untuk melaksanakan syariát Islam secara kaffah.
Pelaksanaan syariát Islam di Aceh sebetulnya bukanlah hal yang baru, karena
masyarakat Aceh telah menjadikan Islam sebagai aturan yang mengatur
prikehidupan sehari-hari.77 Kesepakatan pelaksanaan syari’at Islam di Provinsi
Aceh diatur dalam Qanun Nomor 11 Tahun 2002 Tentang Pelaksanaan Syariát
Islam bidang Akidah, Ibadah, dan Syiar Islam.
77
(16)
Pelaksanaan syariát Islam diberlakukan dalam kehidupan sehari-hari sehingga norma agama harus dihormati dan dipatuhi, termasuk bagi perbuatan khalwat78yang bertentangan dengan syari’at Islam. Berkaitan dengan khalwat
Pemerintah Aceh mengeluarkan Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang
khalwat/mesum yang di dalamnya mengatur tentang perbuatan yang dikategorikan
sebagai perbuatan khalwat, sanksi bagi pelaku khalwat dan sebagainya. Namun
prakteknya dalam masyarakat pelaku yang melakukan khalwat bukan hanya
sekedar bersunyi-sunyi tapi memang perbuatan yang menjurus kepada zina atau sudah melakukan zina. Hal ini diakui oleh para pelaku tersebut kepada petugas Wilayatul Hisbah79.
Sampai saat ini NAD belum memiliki aturan tertulis tentang zina, sehingga
bagi pelaku khalwat tersebut diberikan sanksi untuk melakukan perkawinan.
Sementara sanksi untuk khalwat adalah cambuk 9 kali atau denda (9 Pasal 22 (1)
Qanun Nomor 14 Tahun 2003). Dalam hal ini timbul masalah yang komplek
dikarenakan pasangan pelaku khalwat tersebut dipaksa untuk melakukan
perkawinan, padahal pada kenyataannya tidak semua pelaku ataupun keluarga dari
pelaku khalwat menyetujui pekawinan itu atau belum adanya kesiapan
masing-masing pihak.
Masalah menjadi rumit karena di Aceh upacara perkawinan bukan hanya
proses ritual belaka. Upacara perkawinan di Aceh mengandung berbagai makna
filosofis dan sosiologis. Ada banyak tahapan dan syarat yang harus dilaksanakan
78
Khalwat atau mesumadalah perbuatan bersunyi-sunyi antara dua orang mukllaf atau lebih yang berlainan jenis yang bukan muhrim atau tanpa ikatan perkawinan (Lihat Pasal 1butir 20
Qanun No 14 Tahun 2003 Tantang Khalwat) 79
(17)
demi terpenuhinya kehormatan upacara perkawinan tersebut. Tahapan-tahapan tersebut yaitu mulai dari :
1. Tahapan awal peralatan dan bahan–bahan upacara yaitu : mas kawin, uang
hangus, makanan, pakaian dan perhiasan.
2. Tahapan penentuan waktu dan tempat pelaksanaan, penentuan waktu dilakukan
dengan memilih tanggal yang dianggap baik, biasanya tanggal tersebut
ditanyakan kepada ulama di gampong80 pihak mempelai wanita.
3. Tahapan proses upacara, ada beberapa tahapan proses upacara Jak Keumalen
(mencari calon isteri atau suami), Jak Ba Ranub (melamar), Jak Ba Tanda
(pertunangan).
4. Tahapan pelaksanaan perkawinan dengan memakai adat aceh.81
Hal yang sama juga terjadi di Kota Langsa sanksi yang diberikan bagi
pelaku khawat adalah perkawinan, terkait makna perkawinan yang begitu sakral
dan memiliki tahapan yang panjang seperti tersebut di atas, maka kedua pelaku zina dan keluarga masing-masing sangat keberatan untuk melaksanakan perkawinan. Sehingga akhirnya perkawinan dilaksanakan dengan terpaksa untuk memenuhi sanksi tersebut.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian ilmiah dengan judul skripsi “Pelaksanaan Perkawinan Sebagai Sanksi Bagi Pelaku
80
Gampong adalah sebutan untek desa dalam bahasa Aceh 81
arsipbudayanusantara.blogspot.com/2013/06/adat-pernikahan-masyarakat-aceh.html?m=1. Diakses Tanggal 27 September 2014.
(18)
Khalwat Dalam Perspektif Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam (Studi Di Kota Langsa)”
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang di atas didapati beberapa permasalahan yang akan diteliti yaitu sebagai berikut :
1. Apa yang menjadi dasar hukum penjatuhan sanksi perkawinan bagi pelaku
khalwat ?
2. Bagaimana status perkawinan yang dilakukan sebagai sanksi khalwat ?
3. Apa dampak perkawinan yang dilakukan sebagai sanksi khalwat ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui dasar hukum penjatuhan sanksi perkawinan bagi pelaku
khalwat.
2. Untuk mengetahui status perkawinan yang dilakukan sebagai sanksi khalwat.
3. Untuk menegtahui bagaimana dampak perkawinan yang dilakukan sebagai
sanksi khalwat.
D. Manfaat Penelitian
Kegiatan penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yaitu :
(19)
1. Manfaat Teoritis
a. Dapat dijadikan bahan pendukung untuk pengembangan wawasan dan
kajian lebih lanjut bagi kalangan akademis mengenai sanksi perkawinan
yang diberikan bagi pelaku khalwat.
b. Memperkaya khasanah perpustakaan hukum khususnya di bidang hukum
Perdata. 2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarakat khususnya
memberikan informasi ilmiah mengenai tinjauan pelaksanaan perkawinan
sebagai sanksi bagi pelaku khalwat perspektif hukum perkawinan dan
hukum Islam.
b. Sebagai masukan bagi pelaku khalwat tentang akibat-akibat hukum yang
dapat ditimbulkan atas tindakan yang dilakukannya dan sebagai kajian bagi DPRA terhadap kekosongan hukum bagi pelaku zina di Aceh,
sehingga dapat memberi masukan untuk membentuk qanun yang mengatur
mengenai perbuatan zina.
E. Metode Penelitian
1. Sifat dan metode pedekatan
Sifat penelitian dalam skripsi ini adalah deskriptif dalam memberikan gambaran dan memaparkan sebagian atau keseluruhan dari objek yang akan diteliti. Terkait dengan hal itu, juga dikemukakan pemikiran-pemikiran yang
(20)
berkenaan dengan permasalahan-permasalahan yang dibahas. Dalam hal ini
perkawinan yang dilakukan sebagai sanksi pelaku khalwat.
Metode pendekatan yang digunakan di dalam skripsi ini adalah metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode yuridis normatif adalah penelitian yang disebut juga penelitian hukum doktrinal. Pada penelitian hukum jenis ini, biasanya hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (law in books), atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau
norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap pantas.82
Metode ini digunakan untuk mengkaji norma-norma hukum yang
berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan sebagai sanksi bagi pelaku khalwat
dalam perspektif Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Metode yuridis empiris yaitu penelitian hukum melalui fenomena hukum, masyarakat atau fakta sosial yang terdapat dalam masyarakat. Metode ini berupaya mengamati fakta-fakta hukum yang berlaku ditengah masyarakat. Titik tolak pengamatan ini berada pada kenyataan atau fakta-fakta sosial yang ada dan hidup di tengah-tengah masyarakat sebagai budaya hidup masyarakat. Fakta di lapangan (dalam hal ini Kota Langsa) dalam perkawinan sebagai sanksi bagi
pelaku khalwat. Metode ini dilakukan untuk mengetahui penerapan sanksi
khalwat di daerah Kota Langsa dan mengetahui akibat yang terjadi pada sebuah
pelaksanaan perkawinan yang didahului oleh perbuatan khalwat yang terjadi
dalam masyarakat.
82
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta, Pt RajaGrafindo Persada,2004,) Hal 118
(21)
2. Data penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder .
Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan secara langsung dari sumber datanya. Data primer disebut juga data asli.
Data sekunder adalah data yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumen, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumen yang biasanya disediakan di perpustakaan, atau milik pribadi.
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang isinya mempunyai
kekuatan hukum mengikat, dalam hal ini adalah norma atau kaidah dasar peraturan perundang-undangan.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan
bahan hukum primer yang digunakan dan dapat membantu menganalisis, memahami dan mendukung bahan hukum primer, misalnya :
1) Buku-buku ilmu hukum tentang perkawinan dan khalwat.
2) Jurnal ilmu hukum berkaitan dengan perkawinan dan khalwat.
3) Artikel ilmiah hukum tentang perkawinan dan khalwat.
4) Bahan-bahan seminar, lokakarya dan sebagainya.83
c. Bahan-bahan tersier, yaitu, bahan hukum yang mendukung bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder dengan memberikan pemahaman dan
83
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Mandar Maju, 2008, Bandung), Hal 86.
(22)
pengertian atas bahan hukum lainnya. Dalam skripsi ini dipakai Kamus Hukum dan Kamus Bahasa Indonesia.
3. Metode pengumpulan data
Dalam penulisan skripsi, penulis menggunakan metode pengumpulan data yang meliputi :
a. Studi kepustakaan (library research)
Mengumpulkan data dengan cara mendapatkan dan mempelajari data-data secara teoritis sebagai bahan penunjang dalam penyusunan skripsi dengan membaca buku literatur dari instansi maupun dari buku-buku pustaka, karya ilmiah serta referensi-referensi lainnya.
b. Studi lapangan (field research)
Mengumpulkan data-data yang dibutuhkan dengan terjun langsung ke lapangan, yaitu Kota Langsa. Data diperoleh dengan cara wawancara.
Wawancara (interview) adalah situasi peran antara pribadi bertatap-muka (
face-to-face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban yang relevan dengan masalah penelitian
kepada seseorang responden.84 Dalam hal ini narasumber yang diwawancarai
adalah :
1) Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Dan Wilayatul Hisbah Kota Langsa.
2) Pelaku khalwat.
84
(23)
3) Ulama.
4) Orang tua pelaku khalwat.
4. Alat pengumpulan data
Alat pengumpulan data yang digunakan dalam skripsi ini adalah pedoman wawancara. Pedoman wawancara adalah daftar pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan. Dalam penelitian ini yang diwawancara adalah para pihak yang terlibat
dalam kasus khalwat.
5. Analisis data
Analisis data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan. Data yang telah terkumpul dianalisa secara kualitatif dengan menggunakan metode deduktif yaitu, penarikan kesimpulan yang berawal dari pengetahuan yang bersifat umum kemudian ditarik suatu kesimpulan khusus.
F. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
bahwa ada penelitian yang sudah dilakukan menyangkut khalwat, yaitu :
Sarifah Naila (040200324) Tinjauan Ketentuan Pidana Qanun Nomor 14 Tahun
2003 Tentang Khalwat/Mesum
Namun penelitian di atas berbeda baik objek penelitian maupun tempat penelitian, dengan penulisan tentang Pelaksanaan Perkawinan Sebagai Sanksi
(24)
Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia (Studi Di Kota Langsa). Dengan demikian, penulisan skripsi ini adalah asli, dan dapat dipertanggungjawabkan.
G. Sistematika Penulisan
Bab 1 merupakan gambaran umum yang berisi tentang pendahuluan. Pada bab ini diuraikan alasan mengapa penulis tertarik memilih judul tersebut sehingga membuatnya dalam bentuk skripsi, dengan menguraikan latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, keaslian penulisan dan sistematika penulisan yang bertujuan untuk memberi penjelasan terhadap perkawinan sebagai
sanksi bagi pelaku khalwat.
Bab II berisi tinjauan umum tentang hukum perkawinan terhadap
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompila si Hukum Islam,
yang meliputi pengertian dan syarat sah perkawinan dan akibat hukum perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan dalam Kompilasi Hukum Islam.
Bab III berisi tinjauan umum Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang
Khalwat/Mesum, tugas dan wewenang Wilayatul Hisbah, pengertian khalwat
menurut Qanun Nomor 14 Tahun 2003 Tentang Khalwat/Mesum, sanksi hukum
terhadap pelaku khalwat.
Bab IV berisi tinjauan pelaksanaan perkawinan sebagai sanksi bagi pelaku khalwat dalam perspektif Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, yang meliputi dasar hukum
(25)
penjatuhan sanksi perkawinan bagi pelaku khalwat, dan status perkawinan yang dilakukan sebagai sanksi khalwat, dan dampak perkawinan yang dilakukan
sebagai sanksi khalwat.
Bab V berisi kesimpulan dan saran. Pada bab ini hanya memuat tentang kesimpulan dan mencoba memberi saran-saran yang dianggap penting terkait
(26)
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN
A. Pengertian Perkawinan Dan Asas Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam 1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Indonesia sebagai negara hukum mengatur setiap perbuatan-perbuatan warga negaranya dalam suatu bentuk regulasi yang bersifat positif. Demikian halnya dengan masalah perkawinan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, merupakan salah satu wujud regulasi tata tertib perkawinan yang dimiliki oleh Negara Indonesia, dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 yaitu tentang pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Pasal 1 UUP merumuskan perkawinan adalah :
“Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan bertujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Berdasarkan rumusan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian perkawinan memiliki 5 (lima) unsur, yaitu :
a. Ikatan lahir batin
b. Antara seorang pria dengan seorang wanita
c. Sebagai suami isteri
d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Selain itu M.Yahya Harahap merinci unsur-unsur definisi perkawinan dalam Pasal 1 UUP yaitu :
(27)
a. Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri.
b. Ikatan lahir batin itu ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia yang kekal dan sejahtera.
c. Dasar ikatan lahir batin dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan
pada Ketuhanan Yang Maha Esa.85
Suatu “ikatan” adalah merupakan hubungan yang tidak formil, suatu
ikatan yang tidak dapat dilihat. Walau tidak nyata ikatan itu harus ada, karena tanpa adanya ikatan batin, ikatan lahir suatu perkawinan akan menjadi rapuh. Terjalinnya ikatan lahir dan batin merupakan fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang kekal, dapat diartikan bahwa perkawinan itu haruslah
berlangsung seumur hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.86
Digunakan kata “seorang pria dan wanita” mengandung arti bahwa
perkawinan adalah antar jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang saat ini sudah dilegalkan oleh beberapa Negara Barat.
Digunakan ungkapan “sebagai suami isteri” mengandung arti bahwa perkawinan
itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam suatu rumah tangga,
dan bukan sekedar istilah “hidup bersama”.
Perkawinan memiliki hubungan erat terhadap agama/kerohanian, Sehingga perkawinan bukan saja memiliki unsur lahir/jasmani tetapi juga karena unsur batin
85
M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional, (CV Zahir Trading CO Medan, 1975), Hal 11
86
K. Wantjik Saleh, Hukum perkawinan Indonesia, (Galia Indonesia, Jakarta, Cetakan ke 4, 1976) Hal 14
(28)
atau rohani dengan demikian tujuan87 perkawinan menurut perundangan untuk kebahagiaan suami isteri serta keturunan.
2. Pengertian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Pengertian (ta’rif) perkawinan menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
adalah :
“Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu aqad yang
sangat kuat atau mitsaaqaan ghaaliizhan untuk mentaati perintah Allah
SWT dan melaksanakannya merupakan ibadah.”
Pengertian perkawinan menurut KHI pada dasarnya tidak mengurangi arti
perkawinan menurut UUP. Ungkapan kata aqad yang sangat kuat atau miitsaqan
ghalizhan merupakan penjelasan dari ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan UUP yang mengandung arti bahwa aqad pernikahan itu bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan. Ungkapan untuk menaati perintah Allah dan pelaksanaannya merupakan ibadah, merupakan penjelasan dari
ungkapan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam UUP. Hal ini lebih menjelaskan
bahwa perkawinan bagi umat Islam merupakan peristiwa agama dan oleh karena
itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.88
Dalam bahasa agama (Islam) ikatan antara pria dan wanita tersebut disebut nikah artinya ‘menghimpun’ atau ‘menggumpulkan’, yaitu salah satu upaya
88
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Prenada Media, Jakarta, 2007), Hal 40-41
(29)
menyalurkan naluri seksual suami-isteri dalam sebuah rumah tangga, sekaligus sarana untuk menghasilkan keturunan yang dapat menjamin kelangsungan keberadaan manusia diatas bumi. Keberadaan nikah itu sejalan dengan lahirnya manusia pertama di atas bumi dan merupakan fitrah manusia yang diberikan Allah SWT, terhadap hamba-Nya.
Menurut pandangan Islam perkawinan mengandung 3 (tiga) aspek yaitu, aspek hukum, aspek sosial dan aspek agama :
1. Dari aspek hukum
Perkawinan merupakan suatu perjanjian dalam bahasa Al-Qur’an
perkawinan adalah yang sangat kuat disebut dengan kata-kata missaqaan
ghaliizaan
2. Dari aspek sosial
Dalam masyarakat setiap bangsa, ditemui penilaian umum ialah bahwa orang yang berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.
3. Dari aspek agama
Perkawinan itu dianggap suatu lembaga suci dalam agama Islam. Upacara perkawinan adalah upacara suci, yang kedua belah pihak dihubungkan menjadi pasangan suami isteri atau saling minta menjadi
pasangan hidupnya dalam hidupnya dengan menggunakan nama Allah. 89
Menurut hukum asal perkawinan itu adalah mubah (boleh), namun hukum
tersebut dapat berubah dengan beberapa keadaan yaitu sebagai berikut :
89
(30)
1. Wajib yaitu bagi orang-orang yang telah pantas untuk kawin, berkeinginan untuk kawin dan memiliki perlengkapan untuk kawin, karena takut akan
terjerumus berbuat zina jika tidak kawin.90
2. Sunnah yaitu, apabila seseorang dilihat dari segi jasmaninya. Sudah
memungkinkan untuk kawin dan dari segi materi telah mempunyai maka bagi orang yang demikian itu sunah baginya untuk kawin, kalau dia kawin akan mendapat pahala sedang tidak kawin dia berdosa atau tidak mendapat
apa-apa.91
3. Makruh yaitu bagi orang yang pada dasarnya mampu melakukan
perkawinan namun merasa ia akan berbuat curang dalam perkawinan itu.92
4. Haram kepada orang yang berniat menyakiti atas perempuan yang
dinikahinya.93
3. Asas Hukum Perkawinan
Asas hukum merupakan sebuah aturan dasar atau merupakan prinsip hukum yang masih bersifat konkret. Dapat pula dikatakan bahwa asas hukum merupakan dasar yang melatarbelakangi suatu peraturan yang bersifat kongkrit dan bagaimana hukum itu dapat dilaksanakan.
Menurut Theo Huijbers, asas hukum adalah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum. Asas-asas itu dapat disebut juga
90
Amir Syarifudin, Op.Cit Hal 46 91
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (Yogyakarta, Liberty), Hal 20.
92
Amir Syarifuddin, Op.Cit, Hal 46. 93
Abdullah Siddik, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta, Timtamas Indonesia, 1983), Hal 32
(31)
pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak juga bagi pembentukan undang-undang dan interpretasi undang-undang-undang-undang tersebut (asas hukum berbeda dengan asal
atau sumber hukum).94
Asas hukum merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam hukum yang harus dipedomani. Peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan asas hukum. Demikian pula dengan implementasi atau pelaksanaan hukum dalam kehidupan sehari-hari serta segala putusan hakim harus senantiasa mengacu pada asas hukum tidak boleh bertentangan dengannya.
Asas-asas atau prinsip-prinsip yang terkandung dalam Undang-undang Perkawinan Nasional Indonesia menurut M. Yahya Harahap sebagai berikut :
a. Menampung segala kenyataan-kenyataan yang hidup dalam masyarakat
bangsa Indonesia dewasa ini. Undang-undang Perkawinan ini menampung di dalamnya segala unsur-unsur ketentuan Hukum Agama dan kepercayaan masing-masing anggota masyarakat yang bersangkutan.
b. Juga asas hukum perkawinan ini sedemikian rupa telah disesuaikan dengan
tuntutan perkembangan zaman dalam hal ini dimaksud memenuhi aspirasi emansipasi kaum wanita Indonesia di samping perkembangan sosial ekonomis dan teknologi yang telah membawa implikasi mobilitas sosial di segala lapangan hidup dan pemikiran.
c. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga bahagia yang kekal
1) Suami isteri saling bantu membantu serta saling lengkap melengkapi.
94
(32)
2) Masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya dan untuk pengembangan kepribadian itu suami isteri harus saling bantu membantu.
3) Dan tujuan akhir yang dikejar oleh keluarga bangsa Indonesia ialah
keluarga bahagia yang sejahtera spiritual dan material.
d. Prinsip yang ke-3 yang menjadi asas undang-undang ini sekaligus
menyangkut
1) Kesadaran hukum agama dan keyakinan masing-masing warga Negara
bangsa Indonesia : yaitu perkawinan harus berdasarkan hukum agama dan kepercayaan masing-masing
2) Juga menurut asas agar setiap perkawinan merupakan tindakan yang
harus memenuhi administratif pemerintahan dengan jalan pencatatan pada catatan yang ditentukan undang-undang artinya sebagai akta resmi yang termuat dalam daftar catatan resmi pemerintah.
e. Undang-undang Perkawinan ini menganut asas monogami, akan tetapi
sekalipun dimaksud menganut prinsip ini sama sekali tidak menutup kemungkinan untuk poligami jika agama yang bersangkutan mengizinkan itu, tetapi harus melalui beberapa ketentuan sebagai persyaratan-persyaratan yang diatur undang-undang ini.
f. Prinsip bahwa perkawinan dan pembentukan keluarga dilakukan oleh
pribadi-pribadi yang telah matang jiwa dan raganya. Hal ini memang dapat dilihat manfaatnya menengok kebiasaan yang banyak membawa kesedihan
(33)
dalam rumah tangga yaitu perkawinan yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat yang terdiri dari pribadi yang masih muda
1) Asas ini bertujuan menghapus kebiasaan anak-anak atau perkawinan
dalam usia yang sangat muda yang belum matang memegang tanggung jawab sebagai suami isteri. Sehingga sering tetap menjadi beban orang tua yang berakibat ketidakmampuan untuk berdiri sendiri.
2) Untuk menjaga pertumbuhan populasi yang menjadi masalah nasional.
3) Memperkecil jumlah perceraian dan mempersukar perceraian.
g. Kedudukan suami isteri dalam kehidupan keluarga adalah seimbang baik
dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Pokok prinsip ini dapat dirinci :
1) Dalam kehidupan rumah tangga suami isteri sederajat, dan segala
sesuatu harus dirundingkan bersama
2) Isteri berhak mencapai kedudukan sosial di luar lingkungan rumah
tangga dan suami tidak dapat melarang hal tersebut
3) Lebih jauh kalau diperhatikan asas yang disebut pada poin g tersirat
suatu penjurusan yang lambat laun akan menuju tendensi sistem
kekeluargaan yang bilateral atau parental.95
Selain alenia tersebut di atas, Sudarsono juga memberikan penjelasan mengenai asas-asas yang tercantum dalam UUP secara sederhana yaitu :
a. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal untuk itu suami isteri perlu saling membantu dan melengkapi,
95
(34)
agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil (Pasal 1 UUP).
b. Dalam undang-undang dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah
sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut Peraturan Perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 UUP)
c. Undang-undang ini menganut asas monogami. Hanya apabila
dikehendaki oleh yang bersangkutan, karenan hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang (Pasal 3 UUP).
d. Undang-undang ini menganut prinsip bahwa calon suami-isteri
harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih dibawah umur (Pasal 7 UUP).
e. Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang
bahagia kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut
prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk
(35)
sesuai dengan pasal 19 PP Undnga-undang Perkawinan Nomor 19 Tahun 1975 serta harus dilakukan didepan pengadilan.
f. Hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan
suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh
suami isteri (Pasal 31 UUP).96
Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku yang dijalankan menurut hukum yang telah ada adalah sah. Demikian pula mengenai sesuatu hal undang-undang ini tidak mengatur dengan
sendirinya ketentuan yang ada.97
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa asas hukum perkawinan merupakan prinsip-prinsip dasar yang dijadikan tumpuan untuk membentuk suatu aturan hukum perkawinan yang bersifat konkrit. Prinsip yang terkandung dalam UUP mencakup syarat sah perkawinan, tujuan dari perkawinan, asas monogami terbuka (dibolehkan poligami bila ketentuan agama yang bersangkutan mengizinkannya), ditentukannya usia perkawinan bagi calon suami isteri dengan mempertimbangkan faktor psikologis, perceraian yang dipersulit dan hak kewajiban suami isteri.
96
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Rineka Cipta, Jakarta, 2010) Hal 6 97
(36)
B. Syarat Sah Perkawinan Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
1. Syarat Sah Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Perkawinan dapat dilangsungkan bila seseorang memenuhi syarat baik materil maupun syarat formil. Syarat materil yaitu, syarat mengenai diri pribadi calon mempelai. Sedangkan syarat formil yaitu, syarat yang mencakup formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat melangsungkan perkawinan.
Syarat-syarat materil dalam UUP adalah sebagai berikut :
1. Persetujuan dari kedua calon mempelai (Pasal 6 ayat (1))
Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Jadi, dalam perkawinan ada kebebasan kehendak dan dihindari adanya unsur paksaan. Arti persetujuan dalam hal ini sudah terang yaitu, tidak seorangpun dapat memaksa calon wanita maupun calon pria tanpa persetujuan bebas dari mereka. Hal ini juga mencakup emansipasi wanita bahwa seorang wanita dalam kehidupan masyarakat sekarang mempunyai kebebasan penuh menentukan pilihannya dalam ikatan perkawinan.
2. Izin melangsungkan perkawinan (Pasal 6 ayat (2),(3),(4), dan (5))
a. Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin
dari orang tuanya.
b. Jika salah satu dari kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu
menyatakan kehendaknya. Izin cukup diperoleh dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(37)
c. Jika kedua orang tua meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya izin diperoleh dari wali orang yang memelihara atau keluarga yang memiliki hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dapat menyatakan kehendaknya.
d. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat di antara mereka atau jika
seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan kehendaknya, maka pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang yang disebutkan di atas
3. Usia calon mempelai laki-laki sudah 19 tahun dan wanita 16 tahun (Pasal
7 ayat (1), (2))
Undang-undang menentukan untuk pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun, dan untuk pihak perempuan sudah berumur 16 tahun. Sedangkan menyimpang dari umur-umur disebutkan di atas, dapat meminta dispensasi dari pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak perempuan maupun pihak laki-laki. Tiap-tiap negara dapat menentukan batas umur untuk kawin. Ketentuan itu menegaskan bahwa mereka yang berumur 21 tahun ke atas tidak memerlukan izin orang tuanya.
4. Perkawinan harus terbebas dari larangan Perkawinan (Pasal (8), (9) dan
(38)
Seseorang dilarang melangsungkan perkawinan dengan orang tertentu. Hal ini karena menyangkut hubungan keluarga karena perkawinan ataupun karena susuan. Perkawinan dilarang antara dua orang yang :
a. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun
ke atas;
b. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu
antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan
ibu/bapak tiri;
d. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan;
e. Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau
kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
yang berlaku, dilarang kawin.
Selanjutnya dalam Pasal 9 UUP disebutkan seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal pengadilan memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pasal 10 UUP menyebutkan apabila suami dan isteri telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain
(39)
dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaan itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.98
Syarat formil ini berkaitan dengan tata cara pelaksanaan perkawinan, yang diatur dalam Pasal 12 UUP, yang menyebutkan bahwa tata cara pelaksanaan perkawinan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Peraturan perundang-undangan dimaksud adalah yang PP Nomor 9 Tahun 1975. Pasal 10 menyatakan :
“1. Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak
pengumuman kehendak perkawinan oleh Pegawai Pencatat seperti dimaksud dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintahan ini.
2. Tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
3. Mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing
hukum dan agama dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh 2
saksi.”
Pengumuman kehendak melangsungkan perkawinan dilakukan dengan cara menempelkan surat pengumuman sesuai dengan formulir yang ditetapkan oleh kantor Pencatatan Perkawinan. Atau penempelan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.
Selanjutnya Pasal 11 PP Nomor 9 tahun 1975 menyatakan :
“1. Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Pasal 10 Peraturan Pemerintah ini, kedua mempelai menanda tangani akta perkawinan yang telah dipersiapkan Pegawai Pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku.
98
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Legal Center Publishing,2003) Hal 13
(40)
2. Akta perkawinan yang telah ditanda tangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditanda tangani pula oleh kedua saksi dan Pegawai Pencatat yang menghadiri perkawinan, dan yang melangsungkan perkawinan dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditanda tangani pula oleh wali nikah atau yang mewakili.
3. Dengan penandatanganan akta perkawinan, maka perkawinan
Ptelah tercatat secara resmi.”
Ketentuan mengenai pencatatan di atas harus dipenuhi baik oleh pihak calon mempelai maupun oleh pihak Pegawai Pencatat Perkawinan, sebagaimana ketentuan yang berkaitan dengan aturan pencatatan perkawinan Pasal 2 ayat (2) UUP. Pencatatan tiap-tiap perkawinan sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran dan kematian. 2. Syarat Sah Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Perkawinan merupakan wadah penyaluran kebutuhan biologis manusia yang wajar, karena itulah perkawinan yang sarat dengan nilai dan bertujuan untuk
mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, perlu diatur
dengan rukun dan syarat tertentu, agar tujuan yang disyaratkan dalam perkawinan dapat tercapai.
Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu,
seperti membasuh muka untuk wudhu’ dan takbiratul ihram untuk shalat, atau
adanya calon laki-laki dan perempuan 99
Rukun nikah merupakan hal-hal yang harus dipenuhi pada waktu melangsungkan perkawinan. Rukun nikah merupakan bagian dari hakekat
99
Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2003), Hal 45.
(41)
perkawinan, artinya bila salah satu dari rukun nikah tidak terpenuhi maka perkawinan yang dilangsungkan tidak sah. Adapun rukun perkawinan menurut Pasal 14 KHI adalah :
1. Calon suami
2. Calon Isteri
3. Wali nikah
4. Dua orang saksi
5. Ijab dan Kabul
Syarat yaitu adalah sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi sesuatu itu tidak termasuk dalam
rangkaian pekerjaan itu seperti menutup aurat untuk sholat.100Atau menurut Islam
calon pengantin laki-laki/perempuan harus beragama Islam. Sah yaitu suatu perbuatan pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.
Syarat-syarat perkawinan menurut hukum Islam antara lain adalah (1) persetujuan kedua belah pihak, (2) adanya mahar atau pun mas kawin, (3) tidak
ada larangan-larangan perkawinan dan (4) pencatatan perkawinan101
Setelah rukun terpenuhi, maka masih ada syarat-syarat yang tentunya harus dipenuhi juga, sebagai berikut :
1. Calon mempelai laki-laki dan perempuan .
Ketentuan mengenai calon mempelai laki-laki dan perempuan diatur dalam Pasal 15, 16, dan 39 KHI. Adanya calon mempelai yang akan melakukan perkawinan, adapun syarat-syarat calon mempelai adalah : (1)Harus cukup umur
100
Ibid
101
(42)
laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun (2) Harus ada persetujuan kedua belah pihak (3) Tidak ada larangan perkawinan.
Calon mempelai laki-laki dan perempuan adalah suatu syarat mutlak, absolut karena tanpa calon mempelai laki-laki dan perempuan tentu tidak akan ada perkawinan. Calon mempelai ini harus bebas dalam menyatakan persetujuannya tidak dipaksa oleh pihak lain.
2. Wali bagi calon mempelai perempuan
Wali dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya, yang diatur dalam Pasal 19 KHI. Dalam arti lain wali adalah seseorang yang kedudukannya berwenang untuk bertindak atas nama perempuan dalam satu akad nikah. Aqad nikah dilakukan oleh 2 pihak, yaitu pihak laki yang dilakukan oleh mempelai
laki-laki itu sendiri dan pihak perempuan yang dilakukan oleh walinya.102 Adanya
keharusan wali nikah dari pihak perempuan diatur dalam Pasal 20 KHI seba gai berikut :
a. Yang bertindak sebagai wali nikah ialah laki-laki yang memenuhi
syarat-syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.
b. Wali nikah terdiri dari (a) wali nasab (b) wali hakim
Dalam Pasal 21 KHI terdapat 4 kelompok dalam urutan kedudukan, yaitu :
102
(43)
a. Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.
b. Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung, atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.
c. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung seayah dan keturuan laki-laki mereka.
d. Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah sekakek dan keturunan laki-laki mereka.
3. Saksi
Kesaksian untuk suatu perkawinan hendaknya diberikan kepada 2 (dua) laki-laki dewasa dan adil serta dapat dipercaya. Harus ada saksi dalam pelaksanaan akad. Pelaksanaan akad nikah akan sah apabila dua orang saksi yang menyaksikan akan nikah tersebut. Saksi merupakan rukun sehingga apabila tidak ada saksi maka perkawinan itu tidaklah sah. Ketentuan mengenai saksi diatur dalam Pasal 24 KHI yaitu :
a. Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
b. Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi
Adapun syarat-syarat menjadi saksi adalah ditentukan dalam Pasal 25 KHI yaitu :
a. Muslim
(44)
c. Harus Aqil baligh
d. Tidak terganggu ingatan
e. Tidak tuna rungu atau tuli
4. Ijab dan Kabul
Ijab Qobul, adalah bagian akhir dari rukun perkawinan. Ijab yang diucapkan oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan sebagaimana diatur dalam Pasal 27, 28, 29 KHI adalah sebagai berikut :
a. Ijab dan qobul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun
dan tidak berselang waktu.
b. Akad nikah dilakukan secara pribadi oleh wali yang bersangkutan. Wali
nikah dapat diwakilkan kepada orang lain.
c. Yang mengucapkan qabul adalah calon mempelai pria secara pribadi.103
Di samping ijab qabul hal yang harus ada dalam pelaksanaan sebuah perkawina adalah mahar. Pasal 1 KHI huruf d menyebutkan, mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang, atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Isla m. Mahar yang diberikan kepada calon mempelai wanita yang dinikahi akan menjadi miliknya secara penuh. Dasar hukum memberi mahar adalah Al-quran, yang
menyebutkan “Berikan kepada isteri-isteri mahar mereka sebagai pemberian”
103
Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (Jakarta : PT. Dian Rakyat, 1986) Hal 31
(45)
(Surat Annisa : 4) “Dan kawinilah wanita-wanita dengan izin keluarganya dan
berikan pada mereka maharnya” (Surat Annisa : 24).104
Mahar bukan merupakan rukun perkawinan tetapi kedudukan mahar adalah hal yang sangat penting dalam suatu perkawinan. Mahar dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
a. Mahar musamma, mahar yang bentuk dan jumlahnya ditetapkan dalam
sighad akad nikah, mahar ini bisa dibayar secara tunai atau ditangguhkan dengan persetujuan kedua pihak.
b. Mahar mitsil, mahar yang dipertimbangkan atas dasar kelayakan umum
yang dipertimbangkan di mana wanita tinggal.105
Dengan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu perkawinan yang sah hanya dapat dilangsungkan dengan memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan hukum Islam.
C. Akibat Hukum Perkawinan Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
1. Akibat Hukum Perkawinan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Sebagai subjek hukum manusia tidak pernah lepas dari hak dan kewajiban. Sama halnya dalam perkawinan. Perkawinan amat penting dalam kehidupan
104
Jafizham, Persentuhan Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan Islam, (Medan, Cv. Percetakan Mestika, 1977) Hal 205
105
Hamid Sarong, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia,(Banda Aceh : PeNA, 2010) Hal 96
(46)
manusia, perorangan maupun kelompok. Perkawinan mewujudkan perdamaian dan ketentraman hidup serta menumbuhkan kasih saying antara suami isteri, kalangan keluarga yang lebih luas bahkan dalam kehidupan umat manusia
umumnya.106 Mereka adalah insan yang berasal dari pola kehidupan yang
berlainan, mereka datang dari dua tipe karakter, sifat, tabiat, perilaku, kebiasaan dari dua keluarga yang berbeda. Kehidupan kedua insan yang berbeda itu hakikatnya adalah saling berkorban demi tegaknya, utuhnya dan keharmonisan rumah tangga.
Setelah menikah dan sah menjadi suami dan isteri, mereka mempunyai beban yang tidak lain adalah kewajiban yang diberikan hukum kepada subjek hukum. Mempunyai kewajiban yang sama dan seimbang dalam kehidupan rumah tangga, juga dalam pergaulan dalam masyarakat. Tidak boleh saling mengekang dan menghalangi satu sama lain karena masing-masing berhak melakukan perbuatan hukum.
Namun undang-undang menetapkan suami adalah kepala rumah tangga. Dia adalah kapten sebuah kapal yang sedang mengarungi samudra yang luas, menuju ke pantai yang bahagia sedangkan isteri adalah ibu rumah tangga. Pelaksanaan sebuah perkawinan akan menimbulkan akibat hukum bagi suami dan isteri tersebut, sehingga munculah hak dan kewajiban antara suami isteri itu. Hak suami isteri berkedudukan seimbang dalam rumah tangga, demikian juga dalam pergaulan sosial kemasyarakatan. Sebagai kepala rumah tangga, suami berhak
106
(47)
untuk menetapkan tempat tinggal bersama atau kediaman yang merupakan rumah tinggal bersama dengan anak-anak.
Di dalam UUP terdapat akibat-akibat yang timbul dalam perkawinan terhadap suami isteri yaitu :
a. Hak dan kewajiban suami isteri
1) Hak dan kewajiban suami isteri bersama-sama
Hak adalah apa yang diterima seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban adalah apa yang dilakukan seseorang terhadap orang lain. Berkaitan dengan hubungan suami isteri dalam rumah tangga suami mempunyai hak begitu juga isteri memiliki hak, di sisi lain suami memiliki beberapa kewajiban dan isteri juga memiliki kewajiban.
Hak suami isteri secara bersama-sama diatur didalam Pasal 31 UUP yaitu, hak dan kedudukan isteri seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat, masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum, dan suami adalah kepala keluarga dan ibu rumah tangga. Suami isteri mempunyai hak untuk menentukan kediaman bersama.
Sedangkan kewajiban suami isteri bersam-sama adalah suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susuanan masyarakat (Pasal 30 UUP). Dalam Pasal 32 UUP juga disebutkan kewajiban suami isteri yaitu,
(48)
harus mempunyai tempat kediaman yang tetap, rumah tempat kediaman yang ditentukan oleh suami isteri bersama.
Rumah tangga sebagai unit yang menjadi susunan masyarakat adalah hal yang tak dapat dipungkiri baik hal itu ditinjau dari sosiologi budaya keluarga rumah tangga. Serta rumah tangga itu pula yang menjadi pelanjutan kehidupan bangsa dan masyarakat yang melahirkan keturunan yang akan melanjutkan masyarakat yang baik di masa yang akan datang. Dalam arti keluhuran tersebut adalah sesuatu
kaitan yang lebih bersifat human soul yang melekat pada kesadaran
spiritual dari pada seseorang dan pada suatu norma hukum yang dapat
dipaksakan.107
Yahya Harahap berpendapat dalam suatu titik pertautan dalam mengartikan keluhuran terdapat persamaan di dalam kehidupan manusia dari dulu sampai sekarang yaitu :
a) Setiap hak yang luhur menghendaki pengorbanan dalam
rumah tangga ditentukan oleh skala rumah tangganya. Yang paling jelas dalam maksud tersebut perkawinan adalah pembinaan penyatuan dua jenis manusia yang mempunyai perbedaan, perbedaan tersebut seperti dalam status sosial, ekonomis, dan perbedaan pendidikan, semua ini akan membawa akibat yang tak dapat dipertemukan tanpa saling adanya pengorbanan yang selaras dengan tujuan tersebut.
107
(49)
b) Keluhuran tidak terlepas dari pengertian akhlak dan moral, karena itu suami-isteri berkewajiban memiliki budi pekerti yang tinggi sebagai sarana mewujudkan rumah tangga, maka tujuan Pasal 30 UU Perkawinan tersebut bahwa rumah tangga di Indonesia haruslah rumah tangga yang
berbudi dan bernurani luhur.108
Selanjutnya, kewajiban suami isteri bersama diatur juga dalam Pasal 33 UUP yang berbunyi, suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
Tujuan diaturnya ketentuan ini adalah untuk mencapai tujuan perkawinan. Sebab suatu perkawinan tanpa dilandasi kewajiban yang bertimbal balik di antara suami dan isteri, perkawinannya akan bubar, ibaratnya masing-masing pihak bertepuk sebelah tangan
2) Kewajiban suami
Dalam UUP Pasal 34 (1) disebutkan bahwa kewajiban suami melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Melindungi isteri dalam arti moral termasuk memperlakukan istri dengan kasih sayang dan kelembutan serta menjamin keselamatan isteri dari segala macam ancaman yang berupa apapun yang datangnya dari luar sesuai dengan kemampuan suami, juga memperlindungi kehormatan isteri dalam
108
(50)
kehidupan masyarakat dan menjamin ketentraman isteri dalam keadaan kedamaian jasmani dan rohani dengan jalan menghindarkan perlakuan yang menyakiti, baik secara kekerasan dan tindakan yang bersifat kasar.
Kewajiban suami memberi sesuatu keperluan hidup rumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Hal ini merupakan tugas utama, pemenuhan kebutuhan yang meliputi pemberian nafkah dan tempat kediaman serta pakaian yang wajar sesuai dengan kemampuan standar
sosial ekonomi oleh suami.109
3) Kewajiban Isteri
Selain dari kewajiban-kewajiban suami yang kata lain disebut sebagai hak isteri, seorang isteri juga memiliki kewajiban-kewajiban
yang merupakan hak dari suami. 110 UUP hanya menyebutkan
kewajiban isteri sebatas mengatur rumah tangga dengan sebaik -baiknya (Pasal 34 ayat 2). Dalam hal ini isteri melakukan kerjasama dengan suami. Suami mencari nafkah dan isteri yang melakukan pengaturan keuangan dalam rumah tangganya. Sebenarnya sepintas lalu hal ini sudah disinggung sewaktu membicarakan Pasal 31 ayat (3) yang telah menempatkan kedudukan isteri dalam perkawinan sebagai ibu rumah tangga.
Di samping dalam pasal tersebut ada juga kewajiban istri dalam rumah tangga sebagai berikut :
109
Ibid. Hal. 103 110
(51)
a) Menyiapkan makanan/hidangan keluarga sesuai dengan cara dan kebiasaan waktu makan di mana mereka hidup.
b) Pemeliharaan dan pengasuhan anak-anak.
c) Pemeliharaan dan pengaturan rumah tempat kediaman yang
sempurna, rapi dan bersih sebagaimana selayaknya sebagai rumah tempat kediaman yang baik.
d) Kewajiban istri untuk menjaga hak milik kekayaan suami
secara jujur sewaktu suami tidak ada. Hal ini adalah kewajiban bilateral, yang artinya suamipun harus dan wajib memelihara harta istri.
e) Kewajiban istri untuk tinggal dan hidup bersama dalam
rumah yang telah ditetapkan bersama.111
Maka dalam segi hukum keluarga adalah kewajiban bagi istri untuk hidup tinggal bersama suami, meninggalkan tempat tinggal bersama berarti istri telah melanggar ketentuan hukum sebab akan membawa akibat tidak dapat melaksanakan kewajibannya mengurus rumah tangga dalam arti yang luas sebagaimana selayaknya
b. Harta bersama dalam perkawinan dalam Undang-undang Perkawinan
111
(52)
Berkaitan kedudukan harta benda dalam perkawinan pengaturan harta tersebut diatur dalam Pasal 35 UUP. Berdasarkan pasal tersebut terdapat 2 penggolongan harta benda dalam perkawinan, yaitu :
1) Harta bersama (Pasal 35 ayat (1)).
2) Harta bawaan yang dibedakan atas harta bawaan masing-masing suami
dan isteri dan harta bawaan yang diperoleh dari hadiah atau warisan (Pasal 35 ayat (2)).
Asas harta bersama ini pokok utamanya adalah harta pencarian bersama
dan dengan sendirinya menjadi harta bersama yang lazim disebut harta syarikat. Dalam arti yang umum harta bersama itu ialah barang-barang yang diperoleh selama perkawinan di mana suami isteri itu hidup berusaha untuk memenuhi kepentingn kebutuhan hidup keluarga.
Menurut UUP, harta bersama perkawinan diurus oleh suami istri secara bersama-sama, yaitu suami dengan isteri atau isteri dengan suaminya, artinya bahwa dalam melakukan pengurusannya itu salah satu pihak dapat bertindak atas persetujuan dari pihak lain.
Selain harta bersama dikenal juga harta bawaan yaitu harta yang dibawa oleh suami isteri ke dalam perkawinan. Harta ini adalah milik pribadi suami atau isteri. Menurut UUP terhadap harta bawaan ini ada dua kemungkinan:
Pertama : Harta bawaan dimaksudkan ke dalam harta bersama, sehingga menjadi milik bersama suami isteri. Misalnya sebelumnya kawin si laki-laki telah memiliki sebuah rumah dan rumah tersebut dijadikan milik bersama.
(53)
Kedua : Harta bawaan itu tetap menjadi milik pribadi, dan tidak dimasukkan
ke dalam harta bersama.112
c. Lahirnya anak dalam Undang-undang Perkawinan
Anak merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang memiliki harkat dan martabat seutuhnya. Kehadiran anak adalah karunia terbesar bagi keluarga, agama, bangsa, dan negara. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, anak merupakan penerus keturunan juga penerus cita-cita bagi kemajuan suatu bangsa. Anak dikategorikan sebagai keturunan kedua setelah ayah dan ibu (orang
tua).113 Dalam Perundang-undangan di Indonesia pengaturan mengenai anak
tepatnya terdapat dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan anak, dalam Pasal 1 angka 1 menyebutkan, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Menurut ketentuan Undang-undang Perkawinan kedudukan anak diatur secara otentik (resmi di dalam undang-undang) dan rinci. Pertama yang ditegaskan adalah : Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah (Pasal 42 UUP). Anak sah memiliki hubungan keperdatakan dari kedua orang tuanya dan anak yang tidak memenuhi kriteria Pasal 42 UUP itu disebut anak yang tidak sah. Pasal 43 ayat (2) UUP dikatakan bahwa Anak tidak sah atau anak luar kawin adalah anak yang dilahirkan bukan dari perkawinan yang sah, sehingga memiliki konsekuensi, yaitu anak tersebut hanya mempunyai
112
M Yahya Harahap, Op.Cit Hal 117 113
WJS. Poerdarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta, Balai Pustaka, 1992) Hal 38-39
(54)
hubungan perdata dengan ibunya dengan ibu dengan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat 1).
Anak di luar kawin tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sehingga tidak akan memiliki hubungan baik secara hukum maupun kekerabatan kepada bapaknya. Secara yuridis ayah tidak wajib memberi nafkah terhadap anak itu walaupun secara biologis adalah anaknya sendiri. Selanjutnya untuk anak hasil perzinahan oleh isteri seorang ayah diberikan hak oleh UUP untuk menggungat keabsahan anak tersebut, seperti yang dinyatakan dalam Pasal 44 UUP bahwa seorang suami dapat menggugat sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya bilamana ia dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan anak itu berasal daripada perzinaan tersebut (Pasal 44 ayat (1)), dengan demikian pengadilan
memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas pihak yang
berkepentingan.114
Namun pada tanggal 17 Februari 2012 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan No. 46/PUU-VIII/2010 mengenai status anak di luar kawin. MK berpendapat bahwa Pasal 43 ayat (1) UUP bertentangan dengan UUD NRI 1945, yaitu Pasal 28b ayat (2) yang menyatakan setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan dikriminasi dan Pasal 28 d ayat (1) yang menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta pengakuan yang sama dihadapan hukum. Keputusan tersebut menyatakan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata
114
(55)
dengan ibu dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah termasuk hubungan perdata dengan ayahnya.
Menurut pertimbangan MK, hukum harus memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk kepada anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinan masih disengketakan.
Dengan adanya keputusan MK tersebut hubungan anak di luar kawin dengan ayahnya adalah hubungan darah dalam arti biologis yang dikukuhkan berdasarkan proses hukum. Putusan MK membuka kemungkinan hukum bagi ditemukannya subjek hukum yang harus bertanggung jawab terhadap anak di luar kawin untuk bertindak sebagai bapaknya.
1) Hak dan kewajiban orang tua dan anak dalam Undang-undang Perkawinan
Keluarga merupakan unit terkecil dari masyarakat. Keluarga merupakan kehidupan masyarakat terkecil yang memiliki tujuan bersama. Di dalamnya terdapat orang-orang yang memiliki ikatan batin dan biologi. Orang yang ada di dalam keluarga disebut anggota keluarga biasanya terdiri dari ayah, ibu, dan anak. Kehidupan keluarga bagi umat manusia adalah kehidupan mutlak. Oleh karena itu pasangan suami isteri atau orang tua pasti dituntut untuk dapat menjalankan bahtera rumah tangganya dengan baik. Di dalam keluarga masing-masing anggota memiliki peranan
(56)
juga hak dan kewajiban masing-masing. UUP telah mengatur hak dan kewajiban orang tua sebagai berikut :
a) Hak dan kewajiban orang tua
Orang tua dan anak memiliki hak dan kewajiban timbal balik, kewajiban orang tua merupakan hak anak begitu pula sebaliknya kewajiban anak merupakan hak orang tua. Hak orang tua menurut UUP diatur dalam Pasal 46 yang merupakan kewajiban anak yaitu :
(1) Anak berkewajiban menghormati orang tua dan
mentaati kehendak mereka yang baik.
(2) Setelah dewasa anak berkewajib memelihara orang tua
dan dan keluarga dalam garis lurus ke atas sesuai dengan kemampuannya.
Sedangkan kewajiban orang tua menurut UUP Pasal 45 ayat (1) berbunyi :
“Kedua orang tua wajib mendidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya.”
Ayat 2 disebutkan :
“Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini berlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara
(57)
Jadi secara rinci kewajiban orang tua terhadap anaknya dapat dijelaskan sebagai berikut :
(1) Memberikan perlindungan.
(2) Memberikan pendidikan.
(3) Mewakili anak dalam segala perbuatan hukum bagi
yang umurnya 18 tahun kebawah dan belum pernah kawin.
(4) Memberikan biaya pemeliharaan anak walaupun
kekuasaan orang tua telah dicabut
Berdasarkan pasal di atas berarti orang tua memiliki kewajiban memelihara dan mendidik anak dengan sebaik-baiknya. Bila orang tua tidak melaksanakannya atau orang tua berlalu buruk terhadap anak, maka orang tua dapat dicabut kekuasaannya.
Alimentasi diatur dalam Pasal 45-49 UUP. Setiap anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) atau belum pernah melangsungkan perkawinan berada di bawah kekuasaan orang tuanya selama orang tuanya tidak dicabut dari kekuasaannya. Kekuasaan orang tua memberi wewenang kepada orang tua untuk mewakili anaknya dalam melakukan perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Meskipun demikian dalam Pasal 48 UUP menentukan orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau mengadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang
(1)
dianggap setuju, lalu perkawinan dilangsungkan sesuai rukun dan syarat maka perkawinan ini adalah sah.
3. Bagaimana pendapat tengku tentang sanksi perkawinan yang diberikan WH terhadap pelaku mesum terkait kebebasan kehendak tersebut ?
Menurut saya, itu kurang bisa kita terima. Karena di dalamnya ada unsure pemaksaan harus ada solusi lain tanpa paksaan. perkawinan dalam keadaan ini punya dampak yang tidak baik juga seperti :
a. Dalam keluarga tidak ada kasih saying, karena salah satu pihak tertekan.
b. Masing-masing pihak tidak tulus menjalani kewajiban dalam rumah tangga, sehingga akan sering terjadi pertengkaran.
c. Dan yang sangattidak kita inginkan, bisa-bisa terjadi KDRT.
d. Keluarga yang tidak harmonis sering bertengkar, berdampak buruk bagi perkembangan mental anak. Sedangkan Islam mengamanahkan orang tua untuk mendidik dan menjaga anak sebaik-baiknya.
e. Mudah terjadi perceraian. Perceraian adalah hal yang paling dibenci Allah SWT.
Disini orang tua harus lebih ketat lagi menjaga anaknya kalaupun terjadi perzinahan inikan akibat nafsu syaitan. Tapi kalau ditimbang-timbang lagi apa anak itu sudah mampu berumah tangga?
(2)
4. Apakah perkawinan yang dipaksakan itu sah?
Perkawinan yang dipaksakan tidak sah. karena tidak sesuai dengan syarat. Tapi harus diutarakan, kalau sudah diutarakan tetapi tetap terjadi pemaksaan ini bisa diminta untuk dibatalkan. Saya rasa janganlah perkawinan yang suci ini dijadikan sebagai efek jera semata. Tapi harus dilihat segi tujuan perkawinan itu apa.
(3)
Pedoman Wawancara Untuk Kepala Satuan Pamong Praja Dan Wilayatul Hisbah 1. Bagaimana penegakan syariat Islam di Kota Langsa?
Penegakan syariat Islam di Kota Langsa masih terus kita upayakan agar optimal dan efektif. Tetapi sekarang masih terdapatbanyak kendala. Kendala yang paling berat adalah ketidak sepahaman apa yang kami lakukan dengan pandangan masyarakat. Masyarakat masih berpendapat bahwa memakai jelbab atau tidak merupakan pilihan. Sehingga pertanggungjawaban dosa akan langsung masing-masing individu kepada Allah SWT. Tidak perlu harus dipaksakan.
2. Apa arti dari perbuatan zina?
Perbuatan zina itu dalam arti hilim positif melakukan perbuatan suami isteri, tetapi berbeda dengan KUHP makas salah satu pihak telah terikat perkawinan sedangkan dalam Qanun tidak harus dalam keadaan salah satu pihak sudah terikat perkawinan. Asalkan sudah melakukan hubungan suami isteri yang tidak dalam perkawinan (dalam keadaan halal) maka itu sudah zina.
3. Apakah sama antara mesum dangan zina?
Berbeda menurut qanun khalwat. Khalwat/mesum adalah bersunyi-sunyi atau berdua-duaan ditempat sunyi dengan lawan jenis melakukan perbuatan yang mengarah atau mendekati zina.
4. Jika bapak mendapati pelaku mesum, sanksi apa yang akan bapak berikan? Berdasarkan ketentuann qanun maka sanksi yang diberikan adalah cambuk dan atau denda. Tetapi jika dalam penyelesaian non yustisial, ini bisa
(4)
Benar, itu adalah penyelesaian yang bersifat yustisial, dimana proses penyelesaian tidak sampai ke Mahkamah Syariat . Karena jika dilanjutkan dalam proses penyidikan maka pelaku akan dicambuk. Perkawinan bukan paksaan tetapi pelaku diarahkan untuk melangsungkan perkawinan. Ini untuk memberkan efek jera. Karena tidak ada yang menjamin para pelaku tidak mengulangi lagi perbuatan itu.
6. Bagaimana pandangan bapak terhadap asas kebebasan bertindak dalam perkawinan?
Asas ini sangat penting karena tidak boleh ada pernikahan yang dipaksakan. Akan berdampak buruk bagi kedua belah pihak. Apalagi perkawinan adalah peristia suci dan sacral. Dalam kaitannya dengan kasus ini, para pihak harus meminta persetujuan dan kita arahkan untuk mau melakukan perkawinan. Karena jika tidak mau mereka akan dicambuk.
7. Tujuan kebebasan kehendak itu untuk mencapai tujuan perkawinan yang kekal. Jika terjadi perkawinan paksa bukankah tujuan tersebut tidak tercapai?
iya. Makanya saya bilang, perkawinan paksa akan berdampak buruk. Tetapi begini, para pelaku inikan kalau tidak dinikahkan mereka mungkin akan mengulangi lagi perbuatannya. Jalan ini kita ambil demi kebaikan (kemaslahatan) umat. Jangan berbuat bebas mau, tapi waktu disuruh yang baik yaitu menikah tidak mau. Konflik ini sering terjadi karena orangtua tidak setuju dengan pasangan anaknya. Biasanya orangtua punya criteria sendiri calon menantu. Si anak dan orangtua tidak menyangka kalau terjadi sampai begini.
(5)
Pedoman Pertanyaan Untuk Orangtua Pelaku (Nr) 1. Bagaimana kejadian/peristiwa yang terjadi terhadap LS?
Pertama LS pas malam itu dijemput temannya anak kuta Binjai, mendadak pulang ke Langsa karena besok paginya ada ujian di kampusnya. Karena pulangnya malam jadi dikawani temannya itu. Sampe di Langsa udah tengah malam, gak mungkin LS pulang kekosnya lagi, jadi nginap ditempat temannya yang jemput itu. Pagi jam 4 didatangi WH.
2. Bagaimana penyelesaiannya?
Saya ditelepon paginya oleh pihak WH, disuruh datang ke Langsa. Sampai di Kantor WH diselesaikan oleh pihak kampong juga. Dalam penyelesaian itu LS sama temannya itu disuruh menikah. LS masih sekolah, Temannya belum mandiri / mapan. Saya dikasih tempo 1 minggu oleh WH untuk member jawaban.
3. Lalu bagaimana jawabannya?
Saya pulang kerumah panggil orang tua laki-laki. Kita musyawarah dengan orang tua teman LS itu Cuma sanggup 1 mayam, lainnya gak sanggup. LS sendiri pun gak mau nikah, dia nangis aja dirumah. Terus ya udahlah kita nikahkan dulu nanti kita pikir macam mana.Ini pun masih anak-anak. Berat kali saya sebenarnya, maunya LS sekolah dulu bantu orangtua.
(6)
Pedoman Pertanyaan Untuk Pelaku Ls 1. Bagaimana hal ini bisa terjadi ?
Saya harus pulang ke Langsa, karena besok pagi ada ujian. Saya terpaksa nginap di tempat DD, karena sampe Langsa sudah tengah malam.
2. Apakah lisa siap menikah ?
Enggak siap. Terpikirpun gak ada. Masih mau kuliah. Dan saya tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan itu.