17
2.2. Penelitian Terdahulu
T. Makmur, Safrida dan Kharisma Jayanth 2011 dalam jurnalnya yang berjudul “Ketimpangan Distribusi pendapatan Rumah Tangga Masyarakat Desa
Di Kecamatan Peukan Bada Kabupaten Aceh Besar” menghasilkan bahwa:
1. Dari hasil analisis menggunakan koefisien Gini Gini Ratio dapat
disimpulkan bahwa ketimpangan yang terjadi di Kecamatan Peukan Bada adalah ketimpangan sedang untuk pekerjaan penduduk sebagai petani dan
buruh dan ketimpangan rendah untuk pekerjaan penduduk sebagai pedagang dan PNS. Apabila dilihat secara keseluruhan sampel diperoleh
indeks Gini sebesar 0,386 ini artinya pada Kabupaten Peukan Bada mempunyai nilai ketimpangan distribusi pendapatannya sedang.
2. Berdasarkan kriteria Bank Dunia, tingkat ketimpangan diukur dengan
ketentuan apabila 40 penduduk pendapatan rendah menerima lebih kecil dari 12 dari jumlah pendapatan seluruhnya maka digolongkan pendapatan
tinggi sedang atau kurang merata, kelompok rumah tangga yang berada pada kategori ini adalah petani. Dan kelompok rumah tangga pedagang,
PNS dan buruh berada pada kategori sedang, karena menerima lebih dari 12 pendapatan. Lebih lanjut apabila dilihat secara keseluruhan
untuk secara keseluruhan Kecamatan Peukan Bada memperlihatkan bahwa pendapatan masyarakat di wilayah masih kurang merata atau ketimpangan
sedang,
18
Hal ini menunjukkan bahwa 40 penduduk pendapatan rendah menerima 11,4 pendapatan per tahun, itu artinya ketimpangan di Kecamatan
Peukan Bada masih kurang merata atau ketimpangannya sedang. Halim, Salmiah, dan Satia 2011 dalam jurnalnya yang berjudul
“Distribusi Pendapatan Dari Tingkat Kemiskinan Petani Kopi Arabika di Desa Tanjung Beringin Kecamatan Sumbul Kabupaten Dairi” menghasilkan bahwa:
1. Selain menjadikan usaha tani kopi Arabika sebagai sumber mata
pencaharian utama, petani sampel juga menekuni berbagai cabang usaha lain sebagai sumber mata pencaharian tambahan seperti, usaha tani nonkopi
Arabika dan kegiatan produktif lain diluar usahatani. Pendapatan petani sampel dari usahatani kopi Arabika mampu memberikan kontribusi terbesar
terhadap total pendapatan petani selama tahun 2011 sebesar 65,68 2.
Tingkat ketimpangan distribusi pendapatan petani sampel menurut indikator koefisien Gini Gini Ratio berada dalam kategori menengah
dengan nilai Gini Ratio sebesar 0,36. Sedangkan menurut indikator Bank Dunia World Bank, tingkat ketimpangan distribusi pendapatan
petani sampel berada dalam kategori rendah karena kelompok 40 petani yang berpendapatan terendah menguasai lebih dari 17 jumlah
keseluruhan pendapatan petani, sebesar 19,26. 3.
Menurut kriteria garis kemiskinan Sajogyo 1988, jumlah petani kopi Arabika miskin di Desa Tanjung Beringin selama tahun 2011 ialah
sebanyak 9 keluarga atau sekitar 21,43. Sementara itu menurut kriteria garis kemiskinan Badan Pusat Statistik BPS; 2010, jumlah petani kopi
19
Arabika miskin di Desa Tanjung Beringin selama tahun 2011 ialah sebanyak 7 keluarga atau sekitar 16,67, sedangkan selebihnya sebanyak 35 keluarga
atau sekitar 83,33 berada dalam kategori tidak miskin. Retnosari 2006 dalam skripsinya yang berjudul “Analisis Pengaruh
Ketimpangan Distribusi Pendapatan Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Jawa Barat” menyimpulkan bahwa:
1. Faktor tingkat ketimpangan distribusi pendapatan penduduk Jawa Barat
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat dengan koefisien positif. Hal ini menandakan tingkat
ketimpangan distribusi pendapatan yang diukur dengan rasio Gini berjalan searah dengan laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Semakin tinggi tingkat
ketimpangan pendapatan, maka pertumbuhan ekonomi di Provinsi Jawa Barat akan semakin meningkat pula.
2. Pengaruh variabel lain yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Jawa
Barat diantaranya; pertama, faktor laju pertumbuhan penduduk Jawa Barat ternyata memiliki pengaruh yang negatif yang signifikan terhadap laju
pertumbuhan ekonomi, yang berarti juga laju pertumbuhan penduduk meningkat maka laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat akan semakin
menurun. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Thomas Robert Maltus; kedua, faktor pengeluaran pemerintah Jawa Barat memiliki pengaruh
yang positif terhadap laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat. Hal ini menunjukan pengaruh pengeluaran pemerintah yang signifikan dalam
percepatan pertumbuhan ekonomi, yang artinya kebijakan alokasi
20
pengeluaran pemerintah tepat sasaran; ketiga, investasi dalam negeri periode sebelumnya berpengaruh positif yang signifikan terhadap laju pertumbuhan
ekonomi, yang berarti juga jika investasi dalam negeri periode sebelumnya meningkat maka laju pertumbuhan ekonomi Jawa Barat akan semakin
meningkat. Yasa dan Arka 2015 dalam jurnalnya yang berjudul “Pengaruh
Pertumbuhan Ekonomi dan Disparitas Pendapatan Antardaerah Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Provinsi Bali” menyimpulkan bahwa disparitas
pendapatan antardaerah provinsi bali yang diukur dengan indeks williamson dalam periode 2001-2012 mengalami penurunan dengan nilai rata-rata sebesar
0,29 yang berarti disparitas tergolong dalam kriteria rendah. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan terhadap disparitas pendapatan
antardaerah. Disparitas pendapatan antardaerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat, sedangkan pertumbuhan ekonomi
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Bali. Pertumbuhan ekonomi berpengaruh tidak langsung terhadap kesejahteraan
masyarakat Provinsi Bali melalui disparitas pendapatan antardaerah, atau dengan kata lain disparitas pendapatan antar daerah merupakan variabel
mediasi dalam pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Bali.
Sugiharto 2007 dalam jurnalnya yang berjudul “Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Nelayan Desa Benua Baru Ilir Berdasarkan Indikator Badan Pusat
Statistik” menyimpulkan bahwa Berdasarkan indikator BPS tahun 2005
21
diketahui bahwa nelayan di Desa Benua Baru Ilir yang tergolong dalam tingkat kesejahteraan tinggi sebanyak 3 responden 15 dengan jumlah skor
20. Nelayan yang tergolong dalam tingkat kesejahteraan sedang sebanyak 17 responden 85 dengan jumlah skor berkisar 17-19. Berdasarkan ketiga
indikator tersebut secara umum diketahui bahwa taraf hidup nelayan di Desa Benua Baru Ilir tergolong sejahtera.
2.3. Kerangka Konseptual