Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Asuransi Konvensional

Fungsi pengaturan dan pengawasan Otaritas Jasa Keuangan dalam hal Perasuransian meliputi perizinan usaha, tata kelola penyelenggaraan, pengantian pemilikan, penggabungan, dan peleburan, serta sampai pada pembubaran, likuidasi dan kepailitan. Undang-Undang No 40 Tahun 2014 mengatur lebih lengkap ruang lingkup kewenangan fungsi pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh OJK dibanding dengan Undang-Undang No.2 Tahun 1992. Dalam Undang-Undang yang lama, fungsi pembinaan dan pengawasan hanya meliputi kesehatan keuangan bagi perusahaan Asuransi Kerugian, perusahaan Asuransi Jiwa, perusahaan reasuransi dan meliputi penyelengaaan usaha. Berkaitan dengan fungsi pengaturan dan pengawasan yang dilakukan oleh OJK yang diatur pada pasal 60 Undang-Undang No 40 Tahun 2014, diantaranya adalah: 1. menetapkan peraturan perundang-undangan dibidang perasuransian. 2. memberikan dan mencabut izin usaha perasuransian. 3. menyetujui atau menolak memberikan pernyataan pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akunta publik, penilaian, sampai mewajibkan perusahaan perasuransian menyampaikan pelaporan secara berkala. 17

D. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Asuransi Konvensional

Pertanggung adalah suatu perjanjian, karena itu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian juga harus berlaku terhadap pertanggungan, seperti diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata. Pertanggungan adalah perjanjian khusus maka disamping 17 Ibid, Hal.346. syarat-syarat umum dalam pasal 1320 KUH Perdata masi diberlakukan lagi syarat syarat khusus, yang diatur didalam KUH Dagang. 18 1. Adanya persetujuan kehendak Antara para pihak yang terlibat dalam perjanjian pertanggungan harus ada persetujuan kehendak, maksudnya kedua belah pihak mesti menyetujui tentang syarat-syarat tertentu yang berlaku bagi perjanjian itu. Apa yang disetujui oleh penanggung juga harus disetujui oleh tertanggung. Pengertian yang sama antara kedua belah pihak antara benda yang menjadi objek perjanjian dan mengenai syarat-syarat yang berlaku bagi perjanjian tersebut. 2. Wewenang melakukan perbuatan hukum Kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian pertanggungan harus berwewenang melakukan perbuatan hukum. Artinya kedua belah pihak sudah dewasa, tidak berada dibawah pengampuan, tidak dalam keadaan sakit ingatan, tidak dalam keadaan pailit. Apabila pihak-pihak itu memiliki pihak-pihak lain yang mengadakan pertanggungan perlu disebutkan untuk kepentingan siapa ia mengadakan itu. Kedua belah pihak dapat berupa manusia pribadi dan dapat juga berupa badan usaha. Biasanya pihak penggung berbentuk badan usaha yang pekerjaanya bergerak dalam bidang pertanggungan. 3. Adanya benda yang dipertanggungkan Pada setiap pertanggungan harus ada benda yang dipertanggungkan, karena yang mempertanggungkan benda itu adalah tertanggung, maka ia harus 18 Muhammad Abdul Kadir, Pokok-Pokok Hukum Pertanggungan, Bandar Lampung: PT. Aditya Bakti, 2002, Hal.25. mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung dengan benda yang dipertanggungkan itu. Disebut mempunyai hubungan langsung, apabila tertanggung memiliki benda tersebut. Disebut mempunyai hubungan tidak langsung, apabila tertanggung mempunyai kepentingan atas benda itu. Pihak tertanggung harus dapat membuktikan bahwa ia betul memiliki atau mempunyai kepentingan atas benda yang dipertanggungkan itu. Jika ia tidak dapat membuktikan, mengakibatkan timbulnya anggapan bahwa ia tidak mempunyai kepentingan apa-apa, hal mana mengakibatkan pertanggungan batal. Undang- Undang tidak akan memperoleh orang yang tidak mempunyai kepentingan dalam pertanggungan, walaupun orang yang mengadakan pertanggungan itu tidak mempunyai kepentingan atas benda yang dipertanggungkan, ia harus menyebutkan untuk kepentingan siapa pertanggungan itu diadakan. Orang yang mempertanggungkan benda yang dilarang oleh Undang-Undang, dianggap tidak mempunyai kepentingan. Jika diadakan juga maka pertanggungan itu batal pasal 599 KUH Dagang. 4. Ada causa yang diperbolehkan Causa yang diperbolehkan adalah isi dari perjanjian tertanggung itu tidak dilarang oleh Undang-Undang dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Misalnya isi pertanggungan itu mempertanggungkan benda yang dilarang oleh Undang-Undang, disini tidak ada causa yang diperbolehkan. Misalnya lagi orang yang mempertanggungkan benda itu tidak mempunyai kepentingan, jadi hanya spekulasi saja sifatnya, dalam hal ini sifatnya sebagai perjudian. Perjudian adalah perbuatan yang bertentangan dengan ketertiban umum dan tidak terhormat. Pertangggungan bukan perjudian atau pertaruhan. 5. Pembayaran premi Pertanggungan adalah suatu perjanjian timbal balik, maka kedua belah harus berprestasi. Pertanggungan menerima resiko atas benda yang dipertanggungkan, sedangkan tertanggung harus membayar sejumlah premi sebagai imbalanya. Besar atau kecilnya jumlah premi bukan soal penting. Terpenting adalah kedua belah pihak telah terdapat suatu persetujuan. Premi dibayar resiko beralih, jika premi tidak dibayar maka resiko tidak beralih. 6. Kewajiban pemberitahuan Kewajiban pemberitahuan ada pada tertanggung. Tertanggung wajib memberitahu kepada penanggung tentang keadaan benda yang dipertanggungkan. Kewajiban ini dilakukan pada saat melakukan persetujuan. Tertanggung lalai mengakibatkan pertanggungan itu batal pasal 251 KUH Dagang. 19 19 Ibid, Hal 27. Kewajiban pemberitahuan seperti diatas, diatur dalam Pasal 251 KUH Dagang ini tidak digantungkan kepada adanya itikad baik atau tidak dari tertanggung. Bilamana tertanggung keliru memberitahukan, tanpa sengaja, juga mengakibatkan batalnya pertanggungan kecuali apabila para pihak menjanjikan lain. Biasanya perjanjian semacam itu dinyatakan dengan tegas didalam polis dengan klausula “sudah memberitahukan”.

E. Sistem Operasional Asuransi Konvensional