Landasan Teori Asuransi Syariah

negara kita, menjadikan usaha ini terus berkembang di masa-masa yang akan datang.

B. Landasan Teori Asuransi Syariah

1. Pengertian Asuransi Syariah Dalam bahasa Arab Asuransi disebut At-tamin, penanggung disebut Mu’ammin, sedangkan tertanggung disebut Mu’ammaan Lahu atau Mustamin. 35 35 Jubran ma’ud, Ar-Rai’id, Mu’jam Lughawy ‘Ashry, Hal.30. At-Tamin memiliki arti perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut. Men-Ta’Min-kan sesuatu, artinya seseorang membayarmenyerahkan uang cicilan untuk agar ia atau ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang, dikatakan “seseorang mempertanggungkan atau mengansuransikan hidupnya, rumahnya atau mobilnya. Tujuan dalam Islam yang menjadi dasar kebutuhan mendasar, yaitu al- kifayah “kecukupan” dan al-amnu “keamanan”. Sebagaimana firman Allah SWT “Dialah Allah yang megamankan mereka dari ketakutan”, sehingga sebagian masyarakat menilai bahwa bebas dari lapar merupakan bentuk keamanan. Mereka menyebutkan bahwa al-amnu al-qidza’i “aman konsumsi”. Prinsip tersebut, Islam mengarahkan kepada umatnya untuk mencari rasa aman baik untuk diri sendiri di masa mendatang maupun untuk keluarganya, sebagaimana nasihat Rasul kepada Sa’ad bin Abi Waqqash agar mempersedekahkan sepertiga harta. Selebihnya ditinggalkan untuk keluarganya agar tidak menjadi beban masyarkat. Menurut Mushtafah Ahmad Zarqa: Asuransi secara istilah adalah kejadian. Adapun metologi dan gambaranya dapat berbeda-beda, namun pada intinya, asuransi adalah cara atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari resiko ancaman bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dan perjalanan kegiatan hidupnya atau dalam aktifitas ekonominya. 36 Asuransi adalah sikap ta’awun yang telah diatur dengan sistem yang sangat rapi, antara sejumlah besar manusia. Semuanya telah siap mengantisipasi suatu peristiwa. Jika sebagian mengalami peristiwa tersebut, maka semuanya saling menolong dalam menghadapi peristiwa tersebut dengan sedikit pemberian yang diberikan oleh masing-masing peserta. Dengan pemberian tersebut, mereka dapat menutupi kerugian-kerugian yang dialami oleh peserta yang tertimpah musibah. Dengan demikian, asuransi adalah ta’awun yang terpuji, yaitu saling menolong dalam berbuat kebaikan dan takwa. Dengan ta’awun mereka saling membantu antara sesama, dan mereka takut dengan bahaya yang mengancam mereka. Husain Hamid Hisan: 37 Dalam buku Aqdu at-Ta’min wa Mauqifu asy-Syariah al-Islamiyyah Minhu, az-Zargqa juga mengatakan bahwa sistem asuransi yang dipara ulama hukum syariah adalah sebuah sistem ta’awun dan tadhamun yang bertujuan untuk menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah. Tugas ini dibagikan kepada sekelompok tertanggung, dengan cara memberikan pengganti kepada orang yang tertimpah musibah. Pengganti tersebut diambil dari kumpulan premi-premi mereka. Mereka mengatakan bahwa dalam penetapan semua hukum yang berkaitan dengan kehidupan sosial dan ekonomi, Islam bertujuan agar suatu masyarakt hidup berdasarkan atas asas saling menolong dan menjamin dalam pelaksanaan hak dan kewajiban. 38 Asuransi dilihat dari segi teori dan sistem, tanpa melihat sarana atau cara- cara kerja dalam merealisasikan sistem dan mempraktekan teorinya, sangat 36 Mushtafah Ahmad Zarqa, Al-Igh tishodi Al-Islamiyah.Bairut: Dar al-Fikr. 1968, Hal.4. 37 Husain Hamid Hisan, Hukmu asy-Syarii’ah al-Islamiyah Fii’ uquudi at-Tam’in.Kairo: Darul. 2007,Hal.2. 38 Ibid, Hal.3. relevan dengan tujuan-tujuan umum syariah yang diserukan oleh dalil-dalil juiz- nya. Dikatakan demikian karena Asuransi dalam arti tersebut adalah sebuah gabungan kesepakatan untuk saling menolong, yang telah diatur dengan sistem yang sangat rapi, antara sejumlah besar manusia. Tujuannya adalah menghilangkan meringankan kerugian dari peristiwa-peristiwa yang terkadang menimpah mereka. Jalan yang mereka tempuh adalah dengan memberikan sedikit pemberian dari masing-masing individu. Asuransi dalam pengertian ini dibolehkan, tanpa adanya perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat dalam sebagia sarana-sarana kerja yang berusaha merealisasikan dan mengaplikasikan teori dan sistem tersebut, yaitu akad-akad yang dilangsungkan oleh para tertanggung bersama perorangan-perorangan Asuransi. 39 Defenisi diatas tanpak bahwa Asuransi Syariah bersifat saling melindungi dan tolong menolong disebut dengan ta’awun. Ta’awun Yaitu prinsip hidup saling Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia DSN-MUI dalam fatwanya tentang pedoman umum asuransi syariah, memberi defenisi tentang asuransi, yaitu: “Asuransi syariah Ta’min, Takaful, Tadhamun adalah usaha saling melindungin dan tolong menolong diantara sejumlah orang pihak melalui investasi dalam bentuk aset yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad perikatan yang sesuai dengan syariah.” 39 Ibid. Hal.4. melindungi dan menolong atas dasar ukhuwah Islami antara sesama anggota peserta Asuransi Syariah dalam menghadapi malapetaka resiko. 40 2. At-Takaful Tolong-Menolong Premi dalam Asuransi Syariah adalah sejumlah dana yang dibayar oleh peserta yang terdiri atas Dana Tabungan dan Tabarru. Dana tabungan adalah dana titipan dari peserta asuransi syariah Life Insurance dan akan mendapat alokasi bagi hasil al-Mudrarabah dari pandangan investasi bersih yang diperoleh setiap tahun. Dana tabungan beserta alokasi bagi hasil akan dikembalikan kepada para peserta apabila peserta yang bersangkutan mengajukan klaim, baik berupa klaim tunai maupun klaim manfaat asuransi. Tabarru adalah dana kebajikan yang akan diberikan dan diikhlaskan oleh peserta asuransi jika sewaktu-waktu akan digunakanuntuk membayar klaim atau manfaat asuransi Life maupun General Insurane . Istilah lain yang sering digunakan untuk asuansi syariah adalah Takaful. Kata Takaful berasal dari kata Takafala-Yatakafalu, secara etimologi berarti menjamin atau saling menanggung. Takaful dalam pengertian Muamalah ialah saling memikul resiko diantara sesama orang sehingga antara yang satu dengan yang lain menjadi penanggung atas resiko yang lainnya. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar saling menolong dalam kebaikan dengan cara masing-masing mengeluarkan dana Tabarru dana ibadah, sumbangan yang ditunjukan untuk menanggung resiko. 41 40 Fatwa Dewan Syariah Nasional No.20DSN-MUIX2001 Tentang Pedoman Umum Syariah 41 Muhammad Syakir Sula, Konsep Asuransi Dalam Islam, Bandung: PPM Fi Zhilal. 2006. Hal.1. Takaful dalam pengertian muamalat diatas, ditegakkan dalam tiga prinsip dasar, yaitu: a. Saling bertanggung jawab Diriwayatkan oleh Bukhari Muslim, yang mengajarkan bahwa hubungan orang-orang yang beriman dalam jalinan rasa kasih sayang satu sama lain, ibarat satu badan. sebagian tubuh sakit, maka seluruh anggota tubuh akan turut merasakan penderitaan. b. Saling berkerja sama dan saling membantu Allah swt memerintahkan agar dalam kehidupan bermasyarakat ditegakan nilai tolong-menolong dalam kebajikan dan taqwa. Hadist Nabi saw, mengajarkan bahwa orang yang meringankan kebutuhan hidup saudaranya akan diringankan kebutuhannya oleh Allah swt. c. Saling melindungi Hadist Nabi saw, mengajarkan bahwa belum sempurna keimanan seseorang yang dapat tidur dengan nyenyak dengan perut kenyang, sedangkan tetangganya menderita kelaparan. Dasar pijak Takaful dalam Asuransi mewujudkan hubungan manusia Islam diantara para pesertanya yang sepakat untuk menanggung bersama diantara mereka, atas resiko yang diakibatkan musibah yang diderita oleh peserta. Semangat Asuransi Takaful adalah menekankan kepada kepentingan bersama atas rasa persaudaraan diantara peserta. 42 42 Ir.Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah Life and General, Hal.33-34. 3. Tabarru HibahDana Kebajikan Tabarru berasal dari kata tabarra’a yatabarra’u-tabarru’ua, artinya sumbangan, hibah, dan dana kebajikan. Orang yang memberikan kebajikan disebut mutabarri. Tabarru merupakan pemberian sukarela seseorang kepada orang lain, tanpa ganti rugi, yang mengakibatkan perpindahanya kepemilikan harta itu dari pemberian kepada orang yang diberi. Ulama mendefenisikan Tabbarru dengan “akad yang mengakibatkan pemilikan harta, tanpa ganti rugi, yang dilakukan seseorang dalam keadaan hidup kepada orang lain secara sukarela. 43 43 Ibid, Hal.35. Niat tabarru dana kebajikan dalam akad Asuransi Syariah adalah alternatif uang sah yang dibenarkan oleh syara’ dalam melepaskan diri dari praktik gharar yang diharamkan oleh Allah swt. Dalam konteks akad dalam Asuransi Syariah, tabarru bermaksud memberikan dana kebajikan dengan niat ikhlas dengan tujuan saling membantu diantara sesama peserta takaful Asuransi Syariah apabila ada diantaranya yang mendapat musibah. Dana klaim yang diberikan diambil dari rekening tabarru yang sudah diniatkan oleh semua peserta ketika akan menjadi peserta Asuransi Syariah, untuk kepentingan dana kebajikan atau dana tolong-menolong. Karena dalam akad tabarru, pihak yang memberi dengan ikhlas memberi suatu tanpa ada keinginan untuk menerima apa pun dari orang yang menerima, kecuali kebaikan dari Allah swt. Hal ini berbeda dengan akad mu’awadhah dalam Asuransi Konvensional dimana pihak yang memberi sesuatu kepada orang lain berhak menerima penggantian dari pihak yang diberikan. Akad tabarru adalah semua bentuk yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong menolong, bukan semata untuk tujuan komersial. Dalam akad tabarru hibah, peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah, sedangkan perusahaan hanya bertindak sebagai pengelolah. 44 4. Aqad Akad Lafal akad berasal dari Arab al-aqd yang berarti perikatan, perjanjian. Secara terminologi fiqih, akad didefenisikan sebagai pertalian ijab pernyataan melakukan ikatan dan qabul pernyataan penerimaan ikatan sesuai dengan kehendak Syariah yang berpengaruh pada objek perikatan. Percantuman kalimat yang sesuai dengan kehendak Syariah maksudnya adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak syara’. Misalnya, kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Percantuman kalimat berpengaruh pada objek perikatan maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak kepada pihak yang lain. Majelis Ulama Indonesia melalui Dewan Syariah Nasional, mengeluarkan Fatwa khusus tentang: Pedoman Umum Asuransi Syariah sebagai berikut: 45 a. Asuransi Syariah Ta’min, Takaful, Tadhamun adalah usaha saling melindung dan saling menolong diantara sejumlah orangpihak melalui investasi dalam Pertama: ketentuan umum 44 Ibid, Hal.36. 45 Fatwa Dewan Syariah, Op.cit. bentuk aset dan atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad perikatan yang sesuai dengan Syariah. b. Akad yang sesuai dengan Syariah yang dimaksud pada poin 1 adalah yang tidak mengandung gharra penipuan, maysir perjudian, riba bunga, zulmu penganiayaan, riswah suap, barang haram, dan maksiat. c. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan umtuk tujuan komersial. d. Akad tabarru adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebaikan dan tolong menolong, dan semata-mata bukan untuk tujuab komersial. e. Premi adalah kewajiban peserta untuk memberikan sejumlah dana kepada perusahaan sesuai dengan kesepakatan dengan akad. f. Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberi perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad. Kedua: Akad dalam Asuransi a. Akad yang dilakukan antara peserta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan atau akad tabarru. b. Akad tijarah yang dimaksud dalam ayat 1 adalah mudharabah, sedangkan akad tabarru adalah hibah. c. Dalam akad sekurang-kurangnya disebutkan: - Hak dan kewajiban peserta dan perusahaan - Cara dan waktu pembayaran premi - Jenis akad tijarah atau akad tabarru serta syarat-syarat yang disepakati sesui dengan jenis asuransi yang diadakan. Ketiga: kedudukan setiap pihak dalam akad tijarah dan akad tabarru a. Dalam akad tijarah mudharabah, perusahaan bertindak sebagai mudrarib pengelolah dan peserta bertindak sebagai shahibul mal pemegang polis b. Dalam akad tabarru hibah, peserta memberikan hibah yang akan digunakan untuk menolong peserta lain yang terkena musibah. Perusahaan bertindak sebagai pengelolah dana hibah. Keempat: ketentuan dalam akad tijarah dan tabarru a. Jenis akad tijarah dapat dirubah menjadi jenis akad tabarru bila pihak yang tertahan haknya dengan rela melepaskan haknya sehingga mengugurkan kewajiban pihak yang yang belum menunaikan kewajibannya. b. Jenis akad tabarru tidak dapat di ubah menjadi jenis akad tijarah. Kelima: Jenis Asuransi dan akadnya a. Dipandang dari segi jenisnya, asuransi itu terdiri atas Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa. b. Akad dari kedua jenis asuransi tersebut adalah mudharabah dan hibah. Keenam: Premi a. Pembayaran premi didasarkan atas jenis akad tijarah dan akad tabarru. b. Untuk menentukan besarannya premi, perusahaan asuransi dapat mengunakan tabel mortalita untuk asuransi jiwa dan tabel mordibita untuk asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukan unsur riba dalam perhitunganya. Fatwa tersebut untuk sementara ini merupakan acuan bagi perusahaan Asuransi Syariah di Indonesia, terutama menyangkut bagaimana akad-akad dalam bisnis Asuransi Syariah dan ketentuan-ketentuan lain yang terkait denganya. 46 5. Gharar Ketidakpastian Defenisi grarar menurut mahzam Imam Syafii yaitu, gharar adalah apa- apanya akibatnya tersembunyi dalam pandangan kita dan akibat yang paling mungkin muncul adalah yang paling kita takuti. Wahbah az-Zuhaili memberi pengertian tentang gharar adalah penampilan yang menimbulkan kerusakan harta atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi hakikatnya menimbulkan kebencian. Karena itu, dikatakan ad-dunya mata’ul ghuruur adalah dunia itu adalah kesenangan yang menipu. 47 1. Asy-Syarkasi dari mazhab Hanafi berpendapat, al-gharar ma yakun masnur al- aqibah ‘sesuatu yang tersembunyi akibatnya’. Menurut bahasa arti gharar adalah penipuan, suatu tindakan yang didalamnya diperkirakan tidak ada unsur sukarela. Gharar dari segi fiqih berarti penipuan dan tidak mengetahui barang yang diperjual belikan dan tidak dapat diserahkan. Selanjutnya Wahbah az-Zuhaili mengutip beberapa penertian gharar yang dikemukakan oleh para fuqoha yang maknanya hampir sama. 2. Al-Qarafi dari mazhab Maliki berpendapat, ashlu al-gharar huwa al-ladzi la yudra hal tahshul am laka ath-thair fil al hawa’ wa as-samak fil al-ma’ 46 Ibid ,Hal.42-44. 47 Muhammad Syakir Sula. Op.cit, Hal.44. ‘sesuatu yang tidak diketahui apakah ia akan diperoleh atau tidak seperti burung di udara dan ikan di air’. 3. Asy-Syirazi dari mazhab Syafii berpendapat, al-gharar ma intawa’anhamruh wa khafiy alaih aqibahtuh ‘sesuatu yang urusanya tidak diketahui dan tersembunyi akibatnya’. 4. Ibnu Taimiyyah berpendapat, gharar ialah tidak diketahui akibatnya. 5. Ibnul Qayyim berpendapat, gharar ialah yang tidak bisa diukur penerimaannya, baik barang itu ada maupun tidak ada, seperti menjual hambah yang melarikan diri dan unta yang liar sekalipun. 6. Ibnu Hamz berpendapat, gharar itu ketika pembeli tidak tahu apa yang dibeli, atau penjual tidak tau apa yang dijualnya. 48 Gharar terjadi apabila, kedua belah pihak misalnya: peserta asuransi, pemegang polis dan perusahaan saling tidak mengetahui apa yang akan terjadi, kapan musibah akan menimpa, apakah minggu depan, tahun depan, dan sebagainya. Ini merupakan suatu kontrak yang dibuat berdasarkan pengandaian semata. 49 1. Timbangan yang jelas diketahui dengan jelas berat dan jenis yang ditimbang Inilah yang disebut gharar ‘ketidakjelasan’ yang dilarang dalam islam. Kehebatan sistem Islam dalam bisnis sangat menekankan hal ini, agar kedua belah pihak tidak dizalimi atau terzalimi. Karena itu, Islam mensyaratkan beberapa syarat sahnya jual beli, yang tampanya jual beli dan kontrak menjadi rusak. 2. Barang dan harga yang jelas dan dimakluni tidak boleh harga yang majhul ‘tidak diketahui ketika dibeli’ 3. Mempunyai tempo tangguh yang dimaklumi. 4. Ridha kedua belah pihak terdapat bisnis yang dijalankan. Menurut Islam, gharar ini merusak akad. Islam menjaga kepentingan manusia dalam aspek ini. Imam an-Nawawi menyatakan bahwa larangan gharar dalam bisnis Islam mempunyai peranan yang begitu hebat dalam menjamin 48 Ibid, Hal.47. 49 Ahmadi Sukarno, Asuransi Islam dalam Tinjauan Sejarah dan Perspektif Ulama, Jakarta: Pascasarjana UIN Syarif Hidatullah. 2003, Hal.26. keadilan. Contoh jual-beli gharar ini adalah membeli atau menjual anak lembu yang masih didalam perut ibunya. Menjual burung yang terbang diudara. Ia menjadi gharar karena tidak dapat dipastikan. Sempurnakah janin yang akan dilahirkan, dapatkah ditangkap burung itu. Maka, jika harga dibayar, tiba tiba barangnya tidak sempurna, lalu pembeli tidak puas hati hingga terjadi kerusuhan atau keributan. Islam melarang gharar untuk menghindari kejadian seperti ini. Akan tetapi, Islam memaklumi gharar yang sedikit yang tidak dapat dielakan. Kedua belah pihak saling meridhai, kontrak secara zatnya tetap termaksud kedalam katagori bay al-gharar yang diharamkan. Walaupun nisbahpersentase atau kadar bayaranya telah ditentukan agar pesertapemegang polis maklum, ini juga tidak tahu, akankah musibah akan terjadi? Disinilah gharar terjadi. Anwar Ibrahim, mengatakan bahwa para ahli fiqih hampir dikatakan sepakat mengenai defenisi gharar. Yaitu untung-untungan yang sama kuat antara ada dan tidak ada, atau sesuatu yang mungkin akan terwujud dan mungkin tidak terwujud, seperti jual beli burung yang masih terbang bebas di udara. 50 1. Bentuk akad Syariah yang melandasi penutupan polis. Hadist riwayat Buchari dan Muslim dari Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah saw melarang jual beli hashah atau jual beli gharar. Selanjutnya pada bagian manakah gharar ‘ketidakpastian’ dalam Asuransi Konvensional ada 2 bentuk: 2. Sumber dana pembayaran klaim dan keabsahan penerimaam klaim uang itu sendiri. 50 Muhammad Syakir Sula, Op.cit, Hal.48. Secara Konvensional, kontrakperjanjian dalam Asuransi Jiwa dapat dikatagorikan sebagai akad pertukaran, yaitu pertukaran pembayaran premi dengan uang pertanggungan. Secara Syariah, dalam akad pertukaran harus jelas berapa uang yang dibayar dan berapa yang diterima. Keadaan ini menjadi rancu gharar karena tidak tahu berapa yang akan diterima sejumlah uang pertanggungan, tetapi tidak tahu berapa yang akan dibayarkan jumlah seluruh premi karena hanya Allah yang tahu kapan seseorang akan meninggal. Disini gharar terjadi di Asuransi Konvensional. 51 6. Maisir Judi Untung-Untungan Kata maisir dalam Arab arti secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa berkerja yang bisa juga disebut berjudi. Istilah lain yang digunakan dalam Al-Quran adalah kata alzam yang berarti praktik perjudian. Judi dalam arti terminologi agama diartikan sebagai “suatu transaksi yang dilakukan oleh dua pihak untuk kepemilikan suatu benda atau jasa yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lain dengan cara mengaitkan transaksi tersebut dengan suatu tindakan atau kejadian tertentu. Prinsip perjudian adalah larangan, baik itu terlibat secara mendalam maupun hanya berperan sedikit saja atau tidak berperan sama sekali. Lalu mengharapkan keuntungan semata misalnya hanya coba-coba disamping sebagai orang-orang yang terlibat melakukan kecurangan. Kita mendapatkan apa yang semestinya kita 51 Ibid, Hal.46-48. tidak dapatkan, atau kehilangan suatu kesempatan. Melakukan pemotongan dan bertaruh benar-benar masuk dalam katagori defenisi perjudian. 52 Judi pada umumnya maisir dan penjualan undian khusunya azlam serta segala bentuk pertaruhan, undian atau lotre yang berdasarkan pada bentuk-bentuk perjudian adalah haram didalam Islam. Rasulullah melalarang segara bentuk bisnis yang mendatangkan uang yang diperoleh dari untung-untungan, spekulasi, dan ramlan atau terkaan dan bukan diperoleh dari hasil kerja. 53 Diriwayatkan dalam Buchari dan Muslim dari Abu bin Umar bahwa Rasulullah melarang jual beli yang disebut habal-al-habla semacam jual beli yang dipraktikan pada zaman jahiliah. Dalam jual beli ini, seseorang harus membayar seharga seekor unta betina yang unta tersebut belum lahir tetapi akan segera lahir sesuai jenis kelamin yang diharapkan. 54 52 Afzalur Rahman, Op.cit, Hal.112. 53 Ibid, Hal.113. 54 Muhammad Syakir Sula, Op.cit. Hal.49. Diriwayatkan oleh beberapa sahabat Nabi, termaksud Jabir, Abu Huraira, Abu said al-Khudri, Said Ibnul-Musayyid, dan Rafiy bin Khadij bahwa Rasulullah melarang transaksi muzabanah dan mulhaqalah. Kedua jenis transaksi diatas sangat merakyat pada zaman sebelum Islam. Muzabanah adalah tukar menukar buah yang masih segar dengan yang sudah kering dengan cara bahwa jumlah buah yang kering sudah dapat dipastikan jumlahnya sedangkan buah yang segar ditukarkan tidak dapat ditebak karena masih berada di pohon. Sama halnya dengan muhaqalah, penjualan gandum ditukar dengan gandum yang masih ada dalam bulirnya yang jumlahnya masih ditebak tebak. Disebabkan kejahatan judi itu lebih parah dari pada keuntungan yang diperolehnya, maka dalam al-Qur’an, Allah SWT sangat tegas melarang judi dan semacamnya, sebagaimana dalam ayat berikut: “mereka akan bertanya kepadamu tentang minuman keras dan judi, katakanlah, pada keduanya terhadap dosa besar dan manfaat bagi manusia. Tetapi, dosanya lebih besar dari manfaatnya.al-Baqarah:219 “hai orang-orang yang beriman, sesunguhnya khamar, maisir, berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termaksuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan. al- Maidah:90 Ayat diatas secara tegas menunjukan keharaman judi. Selain judi itu rijs yang berarti busuk, kotor, dan termaksud perbuatan setan, ia juga sangat berdampak negatif pada semua aspek kehidupan. Mulai dari aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, moral, sampai budaya. Bahkan pada giliranya akan merusak sendi-sendi kehidupan bangsa dan bernegara. Sebab setiap perbuatan yang melawan perintah Allah pasti akan mendapat celaka. Perhatikan firman Allah selanjutnya tentang efek negatif yang dapat ditimbulkan oleh judi, “sesunggunya setan itu termaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran meminum khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sholat, maka berhentilah kamu dari mengerjakan pekerjaan itu. al-Maidah:91 Karena itu merupakan perbuatan setan, maka wajar jika kemudian muncul upaya-upaya untuk menguburkan makna judi. Sebab, salah satu tugas setan, yang terdiri dari jin dan manusia adalah mengemas sesuatu yang batil haram dengan kemasan bisnis yang baik dan menarik. Atau dengan nama-nama yang indah, cantik, dan memiliki daya tarik, hingga tanpaknya seakan-akan halal. Allah berfirman: “dan demikianlah kami jadikan tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan- setan dari jenis manusia dan dari jenis jin, sebagai mereka membisikan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia.” al-An’aam:112 “setan pun menampakan kepada mereka sebagus keindahan apa yang mereka kerjakan”. al-An’aam:43 Industri Asuransi, adanya maisir dan gambling, disebabkan adanya gharar sistem dan mekanisme pembayaran klaim. Jadi judi terjadi illat-nya karena disana ada gharar. Mustafa Ahmad Zarqa mengatakan bahwa adanya unsur gharar menimbulkan al-qumaar. Sedangkan al-qumaar sama dengan maisir, gambling, dan perjudian. Artinya ada salah satu pihak yang untung dan pihak lain yang dirugikan. 55 Akad judi menurut Husain Hamin Hisan, merupakan akad gharar karena masing-masing pihak yang berjudi dan bertaruh tidak menentukan pada waktu akad, jumlah yang diambil atau jumlah yang diberikan itu bisa ditentukan nanti, tergantung pada suatu peristiwa yang tidak pasti. 56 55 Mustafa Ahmad Zarqa, Op.cit, Hal.131. 56 Husain Hamid Hisan, Op. cit, Hal.117. Jika menang maka ia mengetahui jumlah yang diambil dan jika kalah maka ia mengetahui jumlah yang ia berikan. Mohd. Fadzli Yusof menjelaskan bahwa unsur maisir dalam asuransi konvensional terjadi karena di dalamnya terdapat faktor gharar. Ia mengatakan: “adanya unsur perjudian karena adanya unsur gharar, terutama dalam kasus asuransi jiwa. Apabila pemegang asuransi jiwa meninggal dunia, sebelum akhir periode polis asuransi, namun telah membayar sebagian preminya, maka tertanggung akan menerima sejumlah uang tertentu. Bagaimana cara memperoleh uang dan darimana asalnya tidak diberitahukan kepada pemegang polis. Hal ini akan dipandang sebagai al-maisir “perjudian” dalam asuransi konvensional”. 57 Syafii Antonio mengatakan bahwa unsur maisir artinya adanya salah satu pihak yang untung, namun di lain pihak justru mengalami kerugian. 58 a. Ketika seseorang pemegang polis mendadak kena musibah sehingga memperoleh hasil klaim, padahal baru sebentar menjadi klien asuransi dan baru sedikit membayar premi. Jika ini terjadi nasabah diuntungkan. Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum masa reversing period, biasanya tahun ketiga untuk periode tertentu, maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. Pada kesempatan lain, Syafii Antonio menjelaskan tentang maisir dalam Asuransi Konvensional bahwa maisir adalah suatu bentuk kesepahaman antara beberpa pihak, namun ending yang dihasilkan hanya satu atau sebagian kecil saja yang diuntungkan.Maisir dalam asuransi konvensional terjadi dalam 3 hal: b. Sebaliknya, jika hingga akhir masa perjanjian tidak terjadi sesuatu, sementara ia sudah membayar premi secara penuhlunas, maka perusahaanlah yang diuntungkan. c. Apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontrak sebelum masa reserving period, maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja, bahkan uangnya dianggap hangus. 59 Salah satu pakar asuransi dan sekaligus praktisi asuransi yang cukup tenama di Indonesia, Muhaimin Iqbal, ACII mengatakan bahwa: 57 Mohammad Fadzli Yusof, Takaful Sistem Insurans Islam, Malaysia: Tinggi Press. 2006. Hal.32. 58 Muhammad Syakir Sula, Op.cit, Hal.51. 59 Ibid. Unsur perjudian sebenarnya tidak disetujui dalam teori dasar asuransi konvensional. Dalam ilmu asuransi konvensional, asuransi berbeda dengan judi karena kontrak asuransi harus berdasarkan adanya kepentingan keuangan insurable interest dan atas kepentingan keuangan tersebut hanya dijamin terhadap resiko murni pure risk, artinya dengan ganti rugi asuransi nasabah. Nasabah akan dipulihkan ke kondisi finansial sesaat sebelum kejadian suatu resiko, nasabah tidak boleh mendapatkan keuntungan dari terjadinya suatu resiko. Dari sisi lain judi tidak mengharuskan adanya kepentingan keuangan dan resiko yang diperjudikan sifatnya spekulatif atau salah satu pihak akan untung dan pihak lain akan rugi. Dari perbedaan inilah, maka teori dasar asuransi menganggap bahwa asuransi bukanlah judi. 60 7. Riba Bunga Tapi kenyataannya, di praktik sangat berbeda dengan teori. Untuk aspek perjudian misalnya, sangat sedikit pelaku asuransi yang menerapkan teori dengan serius dan menghindarkan bisnisnya dari sifat yang menyerupai perjudian atau untung-untungan. Menghindarkan dari unsur maisir tersebut, para pelaku asuransi tidak cukup hanya mengandalkan sisi lain harus memiliki insurable interest, dan kalau terjadi kerugian hanya diganti rugi kekondisi sesaat sebelum kejadian indemnity. Disisi pengelolaan usaha khususnya dalam memilih fortofolio resiko dan menentukan nilai premi juga harus sepadan terhadap resiko yang dijamin. Oleh karena itu, di Indonesia bahkan ada peraturan yang mengharuskan suku premi asuransi dihitung berdasarkan statistik profil resiko sekurang-kurangnya lima tahun. Riba secara bahasa bermakna zidayah “tambahan”. Dalam pengertian lain, secara linguistik riba berarti tumbuh dan membesar. Untuk istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang 60 Ibid, Hal.52. merah yang menegaskan bahwa riba adalah pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. Wahbah az-Zuhaili mengatakan bahwa pengertian riba dari sisi syara’ ialah penambahan dalam perkara-perkara tertentu 61 1. Riba an-nasi’ah yang satu-satunya diketahui oleh orang jahiliah. Yaitu riba yang diambil karena si peminjam yang tidak mampu membayar utangnya yang telah jatuh tempo, kemudian ditetapkan tempo baru, tidak terkecuali apakah utang tersebut merupakan harga barang yang dijual ataupun utang uang qard. . Defenisi ini merupakan defenisi ulama mazhab Hambali. Kitab al-Kanz mazhab Hanafi mendefenisikan riba sebagai kelebihan suatu harta tanpa penggantian di dalam suatu kontrak pertukaran harta dengan harta. Maksudnya ialah kelebihan harta walaupun kelebihan itu dalam bentuk hukum saja. Oleh karena itu, defenisi ini meliputi riba an-nasi’ah dan jual-beli fasid al-buyu’ al-fasidah. Lebih lanjut az-Zuhaili mengatakan bahwa ada dua jenis riba yang di haramkan dalam Islam. Yaitu: 2. Riba al-fald yaitu jual beli yang terdapat dalam enam jenis, yaitu emas, perak, gandum, syair sejenis gandum garam, dan buah tamar. 62 Riba ini diharamkan atas dasar sadd adh-dharai’ yaitu untuk menghindar dari sampai kepada ribaan-nasi’ah. Contohnya seperti orang yang menjual emas dengan emas untuk suatu waktu tertentu kemudian dibayar dengan perak dengan kadar yang lebih yang mengandung unsur riba. Jenis yang pertama ini diharamkan dengan nash Al-Qur’an dan termaksud ke dalam riba jahiliah, sedangkan yang kedua telah ditetapkan pengaharamanya dalam sunnah. Imam Nawawi mengatakan bahwa menurut al-Mawardi, ada dua bentuk keadaan perbedaan dalam pengharaman riba. Pertama dari sunnah bahwa yang 61 Muhammad Syakir Sula, Op.cit. Hal. 55. 62 Ibid, Hal.56. dimaksud dalam riba adalah pembayaran tunda atau pembayaran kemudian. Kedua mengharamkan riba dalam al-Qur’an, sesungguhnya telah dikenal pada zaman jahiliah dengan ribanasi’ah dan mendapat tambahan dalam harta melalui penangguhan dalam pembayaran kemudian muncul sunnah yang menjelaskan riba dalam fiqih menuju pemahaman riba dalam al-Qur’an. Syafi’i Antonio mejelaskan jenis-jenis riba adalah sebagai berikut: 1. Riba Qardh, yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang beruntung muqtaridh. 2. Riba Jahiliah, yaitu untung dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar utangnya pada waktu yang ditetapkan. 3. Riba Fadhl, yaitu pertukaran antara barang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan tidak termaksuk dalam jenis barang ribawi. 4. Riba nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan anatara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian. 63

C. Dasar Hukum Asuransi Syariah