diperkirakan oleh hakim dengan mempergunakan interprestasi creatif, dimana ia membaca dalam suatu peraturan pidana suatu unsur, yang tidak begitu tegas
dicantumkan di dalamnya.
26
B. Dasar Pertimbangan Hakim Menjatuhkan Sanksi Terhadap Terdakwa ke Lembaga Rehabilitasi
Setiap perbuatan tindak pidana pada akhirnya bermuara pada sanksi. Sanksi tersebut disusun dan diberikan kepada terdakwa sebagai pelaku tindak
pidana. Akan tetapi, sebelum sanski tersebut diberikan kepada terdakwa, terlebih dahulu seorang hakim harus melakukan perumusan sanksi mengacu pada
undang-undang yang ada sebagai dasar untuk penjatuhan vonis. Dalam hal ini, penulis ingin mengutarakan sedikit tentang penyebab
hakim menjatuhkan sanksi pidana terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana narkotika. Penulis juga ingin mengutarakan kapan hakim menjatuhkan
sanksi penjara atau rehabilitasi terhadap seorang terdakwa yang melakukan tindak pidana narkotika.
Ketentuan mengenai rehabilitasi terhadap pelaku tindak pidana narkotika diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2009 dan
Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009. Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 diatur bahwa :
Pasal 54 Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
26
Ibid, hal 4
Universitas Sumatera Utara
Pasal 55 1
Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, danatau
lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan danatau perawatan melalui
rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 2
Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat,
rumah sakit, danatau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan danatau
perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. 3
Ketentuan mengenai pelaksanaan wajib lapor sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 56 1
Rehabilitasi medis Pecandu Narkotika dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh Menteri.
2 Lembaga rehabilitasi tertentu yang diselenggarakan oleh instansi
pemerintah atau masyarakat dapat melakukan rehabilitasi medis Pecandu Narkotika setelah mendapat persetujuan Menteri.
Pasal 57 Selain melalui pengobatan danatau rehabilitasi medis, penyembuhan Pecandu
Narkotika dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah atau masyarakat melalui pendekatan keagamaan dan tradisional.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 58 Rehabilitasi sosial mantan Pecandu Narkotika diselenggarakan baik oleh instansi
pemerintah maupun oleh masyarakat. Kemudian di dalam Undang-undang No.35 Tahun 2009 dinyatakan
bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkoba wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Selanjutnya, didalam Rancangan KUHP Tahun 2008 dalam pasal 110 juga telah mengatur mengenai tindakan rehabilitasi tersebut yaitu :
1. Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada pembuat tindak pidana yang :
a. Kecaduan alcohol, narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya
danatau; b.
Mengidap kelainan seksual atau mengidap kelainan jiwa 2.
Rehabilitasi dilakukan di lembaga rehabilitasi medis atau sosial, baik milik pemerintah ataupun swasta.
27
Perbedaan pengaturan tentang rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dalam Rancangan Undang-undang KUHP RUU KUHP tahun 2008 dengan Undang-undang
No. 35 tahun 2009 adalah dimana di dalam RUU KUHP mengatur mengenai sanksi tindakan dapat dikenakan kepada pembuat tindak pidana kecanduan
narkotika. Sedangkan di dalam Undang-undang No. 35 tahun 2009 berkaitan dengan kewenangan hakim dalam menjatuhkan bentuk putusan rehabilitasi
terhadap pecandu narkotika.
27
Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta : Sinar Grafika, 2004, hal. 25
Universitas Sumatera Utara
Selain hal di atas, hakim juga memberikan sanksi terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana narkotika berupa penjara. Disini hakim dalam
menjatuhkan putusan berdasarkan alat bukti yang ada yang diberikan oleh penyidik kepada jaksa. Dimana terdakwa termasuk dalam golongan pemakai,
pecandu, atau pengedar ataupun produsen. Berdasarkan Undang-undang No. 35 tahun 2009, dijelaskan bahwa :
Pasal 113 1
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp. 1.000.000.000,-
satu miliar rupiah dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- sepuluh miliar rupiah.
2 Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau
menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 satu kilogram atau melebihi
5 lima batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 lima gram, pelaku dipidana dengan pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan paling lama 20 dua puluh tahun dan pidana denda maksimum
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambah 13 sepertiga.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 117 1
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan II, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 10 sepuluh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 600.000.000,- enam ratus juta
rupiah dan paling banyak Rp. 5.000.000.000,- lima miliar rupiah. 2
Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat 1 beratnya
melebihi 5 lima gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 lima tahun dan paling lama 15 lima belas tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambah 13 sepertiga.
Pasal 122 1
Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan III, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 dua tahun dan paling lama 7 tujuh tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 400.000.000,- empat ratus juta rupiah
dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,- tiga miliar rupiah. 2
Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai, menyediakan Narkotika Golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat 1 beratnya
melebihi 5 lima gram, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tiga tahun dan paling lama 10 sepuluh tahun dan
pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditambah 13 sepertiga.
Universitas Sumatera Utara
Dari isi pasal di atas jelas terlihat bahwa pasal tersebut ditujukan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana narkotika yang tergolong sebagai
pengedar ataupun produsen. Sanksi yang diberikan dari pasal ini jauh lebih berat bila dibandingkan kepada pasal yang mengatur tentang sanksi pidana
terhadap terdakwa yang tergolong pemakai atau pun pecandu. Jadi, secara umum hakim berpedoman terhadap alat bukti yang diberikan
penyidik dan tuntutan jaksa melalui surat dakwaan terhadap terdakwa, apakah seorang terdakwa tergolong sebagai pengedarprosuden atau tergolong
pemakaipecandu. Di dalam bukunya, Oemar Seno Adji menulis tentang kebebasan hakim
dalam batas maxima dan minima. Diketahui bahwa dalam hukum pidana positif kita, ada terdapat hukum penitensier yang berlaku bagi mereka yang belum dan
sudah dewasa. Disadari pula bahwa dua ploblematik maupun jenis hukuman yang terdapat bagi mereka yang belum dewasa, belum terdapat suatu pembaharuan
hukum di dalam KUHP, sedangkan kinder-strafrecht ataupun yang kadang-kadang dinamakan “jeugdbescermingsrecht” sudah mendapat pemecahan legislatif
dalam negara-negara lain seperti di Eropa, Australia, ataupun di negara-negara Asia lain.
28
Stelsel mengenai hukuman-hukuman pokok dan hukuman tambahan dalam KUHP kita tampaknya hidup brlangsung secara tak berubah, bagi pelanggar hukum
yang dewasa. Di introdusir hukum pokok baru dalam KUHP, ialah hukuman tutupan, seperti dikemukakan oleh Undang-undang No. 20 Tahaun 1946 dan
28
Oemar Senoadji. Op.Cit, hal. 6
Universitas Sumatera Utara
diperlakukan sejak tanggal 31 Oktober 1946. Dinyatakan dengan tegas, bahwa hukuman tutupan adalah hukuman pokok baru, sedangkan hukuman itu
dapat dijatuhi oleh hakim dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara karena terdorong oleh maksud yang patut
dihormati.
29
Selain rehabilitasi dan hukuman penjara yang diberikan oleh hakim terhadap terdakwa yang melakukan tindak pidana narkotika, dikenakan pidana
tambahan.
30
Akan tetapi, jika ditinjau melalui pendekatan filosofis kemanusiaan, bahwa hukuman dengan pidana mati sangat pantas dijatuhkan kepada para
penyalahguna narkotika tersebut, terutama terhadap jejaring pengedarnya. Ketentuan ini sesuai menurut ketentuan Pasal 153 undang-undang
No. 35 Tahun 2009, pada intinya mengemukakan bahwa masih tetap diberlakukannya undang-undang lama sepanjang tidak bertentangan danatau
belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan undang-undang ini. Oleh karena itu, sehubung dengan sanksi terhadap tindak pidana narkotika yang disebutkan
dalam Bab XV Undang-undang No. 35 Tahun 2009 yang terdapat pada Pasal 111 sampai Pasal 147 adalah tindak kejahatan,kecuali tersebut dalam Pasal 148 adalah
merupakan pelanggaran. Di dalam Pasal-pasal tersebut jelas sanksi yang diatur oleh Pasal 10 KUHP dan diatur pula secara tegas dalam Undang-undang No. 35
Tahun 2009. Termasuk di dalamnya mengenai hukuman Pidana Mati, yang secara tegas di dalam Undang-undang No.35 Tahun 2009 dalam Pasal 113 dan beberapa
pasal kemudian.
29
Ibid, hal. 6
30
Moh. Taufik Makarao, Tindak Pidana Narkotika, Jakarta, 2003, hal. 47
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena akibat perbuatan tersebut sangat berat bobot kejahatannya, yang pada akirnya dapat menghancurkan hampir kebanyakan generasi muda dari sebuah
bangsa. Negara tetanga seperti Singapura, Malaysia, dan Hongkong sudah menerapkan hukuman mati tersebut. Dan Pada akhirnya, sepeti lazimnya berat
ringan penjatuhan pidana sangat tergantung kepada proses sidang peradilan dan keyakinan serta penilaian hakim yang melakukan pemeriksaan atas suatu perkara
pidana.
31
31
Ibid, hal. 47
Universitas Sumatera Utara
BAB III PERAN HAKIM PENGAWAS DAN PENGAMAT TERHADAP